Blog ini berisi KLIPING aneka kritik, opini, solusi yang dihimpun dari berbagai media. Situs ini merupakan kliping pribadi yang dapat diakses publik. Selamat membaca
Cari Blog Ini
Bidvertiser
Jumat, 28 Februari 2014
Parpol untuk Siapa? (Prof. Dr. Komaruddin Hidayat)
Mencegah Penyakit Argentina (Ahmad Erani Yustika)
Awareness: Gerbang Prestasi (Amalia E Maulana, PHD)
Menjaga Keindonesiaan (Hasibullah Satrawi)
Sekilas info: Jadwal Tahapan Pemilu 2014
Pemilu Legislatif :
1. Tgl 16 Maret - 05 April : Masa Kampanye
2. Tgl 06 - 08 April : Masa Tenang
3. Tgl 09 April : Pemungutan Suara
4. Tgl 07 - 09 Mei : Penetapan Hasil Pemilu Nasional
5. Tgl 11 - 17 Mei : Penetapan Perolehan Kursi & Calon terpilih Anggota DPR
dan DPD
6. Bln Juli - Oktober : Pengucapan Sumpah Janji
Pemilu Presiden & Wapres :
1. Tgl 16 - 13 Mei : Penetapan DPT Nasional
2. Tgl 10 - 16 Mei : Pendaftaran Paslon
3. Tgl 05 - 09 Juni : Penetapan Paslon
4. Tgl 14 Juni - 05 Juli : Masa Kampanye
5. Tgl 06 - 08 Juli : Masa Tenang
6. Tgl 09 Juli : Pemungutan Suara
7. Tgl 26 - 28 Juli : Penetapan Hasil Pemilu
8. Tgl 29 - 31 Juli : Pengajuan Gugatan Perselisihan Pemilu
9. Tgl 02 - 13 Agust : Penetapan Hasil Pemilu Pasca. Putusan MK
10. Tgl 15 - 24 Agust : Kampanye Putaran II
11. Tgl 09 Sept : Pemungutan Suara Putara II
12. Tgl 26 - 27 Sept : Penetapan Hasil Pemilu Putaran II
13. Tgl 27 - 29 Sept : Pengajuan Gugatan Perselisihan Pemilu Putaran II
14. Tgl 09 Okt : Penetapan Hasil Pemilu Pasca Putusan MK
15. Tgl 20 Okt : Pelantikan Pres dan Wapres terpilih.
"Mari SukSeskan Pemilu Demi Masa Depan NKRI"
*semoga bermanfaat*
gunakan hak pilihmu
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tri Dharma PT dan Karier Dosen (Suyono)
Hendra menguraikan bahwa tugas utama perguruan tinggi (PT) adalah mengembangkan ilmu pengetahuan. Jadi, pelaksanaan pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat merupakan fungsi lanjutan setelah penelitian dan pengembangan iptek dilaksanakan dengan baik.
Dengan pemahaman seperti itu, idealnya pendidikan dan penelitian wajib berbasis penelitian sehingga urutan Tri Dharma PT yang tepat: penelitian, pendidikan, dan pengabdian kepada masyarakat. Peninjauan urutan itu mendesak dilakukan agar perhatian semua pihak terhadap penelitian berubah sehingga mutu dan produktivitas penelitian meningkat dan pengembangan iptek di Indonesia dapat dipercepat.
Perubahan paling awal sehubungan dengan itu adalah perku- liahan dan pengabdian akan lebih baik karena berbasis riset. Dengan urutan baru itu, dosen dituntut lebih sering meneliti dengan kualitas terus meningkat juga. Perlu payung hukum baru mengubah urutan itu: peraturan menteri atau peraturan presiden.
Tak ada peraturan perundangan yang dilanggar jika urutan diubah. Memang urutan tak ser- ta-merta mengubah gairah dan produktivitas penelitian dosen. Namun, paling tidak ia dapat menciptakan kondisi baru, apala- gi jika ada pilihan karier dosen yang lebih jelas dan terukur seba- gai kebijakan lanjutan.
Pada kebijakan lanjutan itu, misalnya, ada tiga jalur karier do- sen yang perlu dirancang siste- matis dan konsisten sejak awal: dosen peneliti dan pengabdi, dosen pendidik, dan dosen birokrat. Karena itu, sejak jadi dosen (asisten ahli), awalannya adalah placement test. Tes ini diberikan setelah diadakan penjelasan dan si- mulasi melalui lokakarya di kampus masing-masing. Dengan tiga jalur itu, proporsi beban satuan kredit semester (SKS) berbeda-beda, sesuai dengan jenis jalur yang dipilih dosen.
Pindah jalur
Untuk dosen peneliti dan pe- ngabdi, misalnya, bidang peneli- tian dan pengabdian setiap semester minimal 9-10 SKS, perkuliahan 6 SKS. Untuk dosen pendidik, perkuliahan minimal 9-10 SKS, penelitian dan pengabdian 6 SKS. Untuk dosen birokrat, perkuliahan dan penunjang minimal 9-10 SKS, penelitian dan pengabdian 6 SKS. Dengan demikian, jumlah beban SKS setiap dosen, jalur mana pun yang dipilih, berada pada rentangan 15-16 SKS.
Sebagai ilustrasi, karena dia- wali dengan placement test, yang menjadi ketua jurusan, misalnya, adalah yang hasil tes manajeri- alnya paling tinggi. Yang jadi dekan, selain hasil placement test paling tinggi, harus pernah jadi wakil dekan atau ketua jurusan. Dan seterusnya sampai ke rektor. Diharapkan kinerja dosen lebih baik, jelas, dan berkualitas sesuai dengan potensi dan pengalaman masing-masing. Sementara itu, yang jadi dosen peneliti benar- benar produktif dan karyanya bermutu. Demikian juga yang menjadi dosen pendidik.
Penjurusan karier dosen, misalnya, dimulai sejak masa kerja tiga tahun, yakni setelah dosen memiliki jabatan fungsional terendah, asisten ahli. Saat prajabatan atau setiap tahun diadakan penjelasan "penjurusan itu" dan disampaikan oleh pemimpin. Bisa dan boleh pindah jalur, dengan syarat sudah 3-5 tahun di jalurnya dan gagal atau tidak produktif dan ada potensi besar di jalur baru. Namun, yang pindah jalur ke dosen birokrat harus tetap melewati jabatan terendah: ketua jurusan.
Perlu dicatat, mengingat formasi jabatan itu sangat terbatas, sekalipun memilih jalur dosen birokrat, ia belum tentu jadi peja- bat. Artinya, tetap ada kompetisi dan seleksi yang ketat untuk memperoleh pejabat yang terba- ik. Hal itu juga berlaku pada jalur dosen peneliti. Sekalipun memilih jalur dosen peneliti, belum tentu ia menjadi peneliti andal dan sangat produktif. Namun, penelitiannya seharusnya lebih banyak daripada dosen yang memilih jalur dosen pendidik.
Pindah jalur, selama jadi dosen, paling banyak dilakukan tiga kali, paling cepat tiga tahun setelah berada di jalur sebelumnya, dan paling lambat 10 tahun sebelum pensiun. Misalnya, jika dosen (bukan guru besar) pensiun pada usia 65 tahun, semula memilih jalur dosen peneliti dan sangat produktif sampai dengan usia 50 tahun bisa saja setelah itu ia pindah jalur ke dosen birokrat. Karena kinerjanya baik, ia terpi- lih jadi ketua jurusan selama empat tahun. Setelah itu, di usia 54 tahun terpilih jadi dekan dan karena kinerjanya amat baik pada usia 58 tahun jadi rektor.
Jadi, di jalur karier mana pun, setiap dosen mestinya mencapai kinerja terbaik dengan kesempatan adil untuk semua. Dengan tiga jalur itu, karier dosen lebih jelas, terukur, dan kinerjanya akan lebih baik karena sistemnya jelas dan terbuka untuk dipilih, pindah jalur, atau pilihan karier.
Ilustrasi lebih teknis: ketika pilihannya pejabat, yang berhak untuk dipilih adalah mereka yang berada di jalur dosen birokrat atau dosen peneliti untuk ketua lembaga penelitian/pengabdian kepada masyarakat. Dengan kondisi ini pula kompetisi lebih sehat dan iklim kerja diharapkan juga lebih baik. Berkarier di jalur dosen peneliti juga menjanjikan.
Yang kurang menjanjikan adalah yang berkarier di dosen pendidik. Dalam kenyataannya, memang ada dosen yang "bakatnya" hanya mengajar dengan sedikit meneliti dan mengembangkan ilmu. Sementara yang lain sangat berbakat meneliti dan mengembangkan ilmu, mengajarnya hanya untuk pelengkap.
Sekelompok lain berbakat jadi birokrat, mengajar dan meneliti sebagai pelengkap. Kelompok ini tak banyak, sejajar dengan sedikitnya kebutuhan tenaga birokrat.
Jika tawaran kebijakan ini dipilih, semua terkondisi bekerja maksimal. Tidak seperti yang terjadi saat ini, yang jadi birokrat mungkin sebagian kurang sepenuh hati menjalankan tugasnya. Demikian juga yang tanpa tugas tambahan, sebagian kurang sepenuh hati mengajar dan meneliti karena ketiadaan jalur karier yang jelas.
Suyono, Guru Besar Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
Sumber: Kompas cetak edisi 28 Februari 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®
KPK Tak Usah Galau (Harkristuti Harkrisnowo)
Pernyataan bahwa kedua RUU ini akan menggerogoti KPK tentu membuat semua orang Indonesia berang. Lalu apakah sumber kegaduhan sebenarnya? Sungguhkah ini manuver politik untuk mendebilitasi KPK?
RUU KUHP sebenarnya bukan RUU yang muncul kemarin sore, tetapi sudah dirancang sejak awal 1970-an untuk menggantikan KUHP sekarang yang sudah berlaku 1915. Tim perancang dipimpin para profesor hukum pidana, dari Prof Sudarto hingga Prof Muladi.
Upaya rekodifikasi dan unifikasi memakan waktu lama dengan banyak perdebatan sengit. Namun, semua sepakat bahwa RUU KUHP perlu untuk menegakkan kembali nilai-nilai dasar sosial (basic social values), berperan sebagai ultimum remedium, dan menjunjung HAM.
Tahun 1986 Buku I selesai. Buku II selesai 1993 dan diserahkan Prof Mardjono kepada Menteri Kehakiman. Namun, upaya Menteri Kehakiman berikutnya, Muladi, agar dibahas di DPR tidak berhasil. Tahun 2004 dibentuk tim RUU KUHP di bawah Prof Muladi untuk menyempurnakan dan harmonisasi empat misi utama: dekolonialisasi, demokratisasi, konsolidasi, serta harmonisasi dan humanisasi.
Baru pada akhir 2012 RUU KUHP diserahkan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan diteruskan ke DPR pada 11 Desember 2012.
RUU KUHAP relatif baru karena beranjak dari KUHAP tahun 1981. Tim penyusun diketuai Prof Jur Andi Hamzah dan melibatkan elemen-elemen terkait. Walau ada perdebatan, penyusunan ini dilandasi kesepakatan bahwa penting sekali menegakkan
sistem peradilan kriminal terintegrasi (the integrated criminal justice system) dengan kesamaan asas yang menjunjung tinggi HAM sebagaimana dimandatkan Konstitusi, serta pentingnya mekanisme kontrol guna menghindari penyalahgunaan kekuasaan.
Berbagai instrumen HAM internasional juga dijadikan acuan, misalnya Konvensi Anti Penyiksaan, Pendanaan Terorisme, dan Konvensi Korupsi.
Akar polemik
Lalu apa akar polemiknya? Bermula dari pandangan KPK bahwa pembahasan kedua RUU akan mengurangi bahkan menghilangkan kewenangan KPK. Padahal, RUU KUHP bukan semata-mata mengatur korupsi. Dari 766 pasal, hanya 15 pasal tentang korupsi.
RUU KUHP adalah upaya mengindonesiakan KUHP eks penjajah, yang mengatur sebagian besar tindak pidana: mulai dari pengemisan, penganiayaan, pemerkosaan, pencurian, penghinaan, pembunuhan, perdagangan orang, hingga pelanggaran HAM berat. Korupsi tentu penting diatur, tapi apakah pembahasan terhadap 751 pasal—termasuk 211 pasal dalam Buku I tentang Ketentuan Umum—harus ditunda demi menanti pembahasan 15 pasal korupsi? Apalagi ada Pasal 211 yang memberi peluang mengatur lex specialis di luar KUHP,
RUU KUHAP memuat aturan mengenai tata cara polisi mulai dari penangkapan, penahanan, pemeriksaan, sampai lembaga pemasyarakatan, yang berlaku untuk semua tindak pidana, bukan hanya untuk korupsi. Bahkan, hukum acara pidana untuk penanganan korupsi telah diatur secara khusus dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan UU KPK. Tidak mungkin penanganan perkara pencurian atau penganiayaan sama dengan korupsi. Lex specialis juga dibuka peluangnya dalam Pasal 3 Ayat (2) RUU KUHAP.
Intinya, Pasal 211 RUU KUHP dan Pasal 3 Ayat (2) RUU KUHAP ini mematahkan argumentasi bahwa dengan berlakunya kedua UU ini kelak maka UU pidana di luar KUHP menjadi hilang. Justru kedua RUU ini kelak bila diberlakukan merupakan lex generalis atau ketentuan umum, tetapi eksistensi UU pidana khusus lain yang berperan sebagai lex specialis tetap diakui.
Maka tak akan terjadi penghapusan UU ataupun delegitimasi keberadaan lembaga seperti KPK, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan lain-lain. Tidak betul pendapat KPK bahwa kedua pasal pengecualian hanya berlaku bagi tindak pidana perbankan dan perpajakan.
Harus diakui perancang RUU KUHP luput merumuskan kedua tindak pidana dalam ranah hukum administrasi ini. Namun, lex specialis umumnya lebih ditujukan pada hukum yang masuk dalam satu genre, dalam hal ini hukum pidana UU pidana murni seperti UU Tipikor, Pencucian Uang, Pengadilan HAM, dan Terorisme. Dikatakan oleh Silvia Zorzetto (2012), "…lex specialis… is often used to solve redundancy in law… a tool to prevent the simultaneous application of special and general compatible rules." Tak mungkin ada lex specialis manakala tidak ada lex generalis. Pengaturan delik pokok diperlukan dalam RUU KUHP, diatur lebih khusus dalam UU sektoral.
Kejahatan luar biasa
Istilah kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes) dalam hukum internasional adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, dan agresi. Konvensi PBB tentang korupsi tak memakai istilah itu walau sepakat bahwa korupsi adalah kejahatan yang mengurangi kualitas hidup manusia.
Menempatkan UU Tipikor dan UU KPK sebagai lex specialis, bukan hanya hukum materiil tentang korupsi yang diatur, melainkan juga hukum acara pidana. Karenanya, penyelidikan (Pasal 43 dan 44 UU KPK), penyitaan (Pasal 47), dan penyadapan (Pasal 12), sebagian dari kewenangan KPK saat ini, tidak akan diderogasi RUU KUHAP.
Walau demikian, tetap harus diperhatikan bahwa mekanisme kontrol urgen untuk memastikan akuntabilitas penegak. Jika KPK memandang Hakim Pemeriksa Pendahuluan terlampau restriktif, misalnya, harus dicarikan solusi agar KPK tidak dipandang sebagai lembaga yang anti kontrol atau control-proof.
Kegalauan KPK akan potential elimination dengan demikian sebenarnya tidak perlu terjadi. KPK masih diperlukan memberantas kejahatan korupsi.
Harkristuti Harkrisnowo, Guru Besar Fakultas Hukum UI
Sumber: Kompas cetak edisi 28 Februari 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Menumpas Pemberantasan Korupsi (Bambang Widjojanto)
Tuntutan rakyat itu dijustifikasi melalui Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 dan Ketetapan MPR Nomor VIII Tahun 2001 yang menegaskan, upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, perlu dibentuk lembaga yang khusus menangani anti korupsi, pencucian uang, perlindungan saksi, dan pembuatan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Perubahan adalah keniscayaan sehingga revisi atas suatu perundangan adalah hal yang lazim, tetapi semua revisi itu terbuka untuk disikapi secara kritis dan dikaji oleh berbagai pihak, termasuk oleh KPK.
Tak jadi rujukan
Lihatlah naskah akademik yang menjadi dasar revisi KUHP itu, ternyata kedua TAP MPR di atas tidak dijadikan rujukan sama sekali. Begitupun berbagai perundangan materiil lain, antara lain UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian uang, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan perundangan yang mengatur lembaga tertentu seperti UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor serta perundangan lain tidak dikaji secara mendalam dan menjadi bagian penting dalam naskah akademik yang kemudian perlu diserap dalam revisi KUHP.
Yang perlu mendapat perhatian, naskah akademik seperti tersebut dalam publikasi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) 2012, menurut jawaban surat Menteri Hukum dan HAM, sudah disiapkan sejak 1982 dan karena itu rujukan referensinya sebagian besar buku-buku terbitan di bawah tahun 2000-an. Bahkan, ada buku terbitan lama sekali yang dijadikan rujukan, seperti Studies Comparative Criminal Law (1874), The Dilemma of Penal Reform (1939), dan Sentencing in Magistrate Court (1962). Apakah ini mungkin karena buku referensi tersebut tak tergantikan hingga masih tetap jadi rujukan? Bukankah ada cukup banyak referensi baru yang memperdebatkan topik seperti dalam buku di atas? Bersyukur ada buku yang agak baru yang dipakai sebagai rujukan, yaitu Tujuan dan Pedoman Pemidanaan (2009), meski tidak jelas sudah cetakan yang ke berapa.
Kita belum tahu apakah buku-buku mutakhir mengenai perkembangan modus operandi kejahatan tindak pidana korupsi dan pencucian uang serta perkembangan teori pidana dan pemidanaan yang menjadi referensi rujukannya juga digunakan sebagai dasar referensi naskah akademik. Belum lagi jika ditanyakan apakah pengalaman dan pengetahuan terbaik dari lembaga penegakan hukum di Indonesia dan internasional telah cukup digali, dikaji dan dipertimbangkan, serta diabstraksi jadi kerangka masukan dalam naskah akademik agar perumusan pasal-pasal revisi bisa kompatibel dan antisipatif atas perkembangan modus kejahatan yang kian canggih.
Pertanyaan dasar yang perlu diajukan, apakah benar revisi KUHP tidak mendekonstruksi dan mendelegitimasi sifat extraordinary dari kejahatan korupsi menjadi tindak pidana umum? Apakah benar UU Tipikor tetap menjadi UU yang tetap bersifat lex specialis sesuai revisi KUHP?
Kesimpulan dalam naskah akademik menyatakan secara tegas: "… pembentukan hukum pidana di luar KUHP telah menyimpangi ketentuan umum hukum pidana… dalam kenyataannya membentuk hukum pidana sendiri di luar KUHP… mengakibatkan terjadi problem hukum pidana pada level normatif dan praktik penegakan hukum pidana. Keadaan… diperparah dengan dibentuknya lembaga/ institusi baru yang bersifat independen yang diberi wewenang untuk melakukan penegakan hukum dan pembentukan pengadilan baru…". Kesimpulan itu menegaskan: "…kebijakan kodifikasi menjadi pilihan yang tepat dan meniadakan hukum pidana khusus yang dimuat dalam undang-undang di luar kodifikasi…".
Jadi, sudah disimpulkan bahwa pembentukan lembaga baru, yaitu KPK, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan lainnya, termasuk pengadilan yang bersifat independen, telah merusak sistem hukum pidana yang ada. Apakah kesimpulan ini tak terlalu terburu-buru dan terlalu percaya diri (overconfident) karena diputuskan secara sepihak, elitis, dan eksklusif hanya oleh tim perumus, tidak melibatkan kalangan ahli yang lebih luas dengan multiexpertise, para users dalam perundangan ini, dan masyarakat yang kelak akan mendapatkan dampak dari pengaturan revisi ini. Padahal, perundangan yang hendakdirevisi menyangkut hajat hidup orang banyak.
Apabila kesimpulan di atas dikaitkan dengan pernyataan halaman 158 naskah akademik yang mengemukakan, "… kebijakan kodifikasi merupakan pilihan yang tepat dan meniadakan hukum pidana khusus yang dimuat dalam undang-undang di luar kodifikasi… ". Oleh karena itu, yang diambil kebijakan kodifikasi tertutup dan ditetapkan menjadi pilihan oleh perumus naskah akademik. Itu artinya revisi KUHP akan melakukan penghapusan tindak pidana di luar KUHP yang sekaligus penghapusan hukum pidana khusus, termasuk di dalamnya tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang perlu diatur dalam UU yang bersifat lex specialis. Konsekuensi logis lanjutannya, bukan tidak mungkin kelak akan dilakukan penghapusan lembaga-lembaga yang mempunyai kewenangan khusus di bidang pemberantasan korupsi, termasuk pengadilan tipikor. Dengan demikian, pernyataan Menteri Hukum dan HAM dan pejabat lain bahwa UU Tipikor akan diatur secara lex specialis adalah tidak benar. Fakta bahwa pemberantasan korupsi dan lembaga yang diberi mandat untuk itu dilemahkan dan diamputasi adalah sesuatu yang tak terbantahkan.
Kodifikasi tertutup
Hal lain yang penting diperhatikan, model kodifikasi tertutup yang dianut oleh revisi KUHP menegaskan dan menekankan bahwa dalam suatu hukum nasional hanya ada satu sistem hukum pidana dan serta-merta meniadakan pengaturan hukum pidana di luar kodifikasi. Perkembangan jenis kejahatan dan peningkatan modus operandi tidak akan bisa diakomodasi oleh kodifikasi model tertutup. Oleh karena itu, KPK memilih kodifikasi model terbuka karena masih terbuka ruang dan kesempatan untuk mengatur hal-hal khusus yang tidak cukup diatur dengan adanya perkembangan kejahatan selain dari yang diatur di kodifikasi. Lebih-lebih kejahatan korupsi yang masih sangat masif dan bersifat sangat terorganisasi dan kejahatan transnasional, maka dapat dipastikan dengan penanganan atas hukum acara yang bersifat umum dan strategi penanganan yang biasa-biasa saja tidak akan dapat "menaklukkan" korupsi.
Pilihan atas kodifikasi tertutup menyebabkan pengaturan tindak pidana khusus seperti korupsi, pencucian uang, terorisme, HAM, dan narkotika diatur di dalam Buku II Revisi KUHP, kecuali tindak pidana perbankan dan perpajakan. Tim perumus KUHP menggunakan kriteria tertentu untuk menarik masuk suatu jenis tindak pidana khusus ke dalam kodifikasi, yaitu: (1) suatu perbuatan jahat yang bersifat independen; (2) daya berlakunya relatif lestari karena tak berkaitan dengan masalah prosedur atau proses administrasi; dan (3) ancaman hukumannya lebih dari satu tahun pidana perampasan kemerdekaan.
Pada kenyataannya, tim perumus tidak mendefinisikan secara utuh dan menyeluruh pengertian pokok yang dijadikan kriteria tersebut di atas; dan pada konteks tipikor ada banyak tindak tipikor yang terjadinya sangat bergantung pada pelanggaran norma di bidang hukum administrasi sehingga memengaruhi penilaian atas terjadinya tindak pidana korupsi. Dengan demikian, korupsi seyogianya tidak dapat dimasukkan ke dalam kodifikasi Buku II Revisi KUHP.
Selain itu, ketentuan yang tersebut di dalam Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC) yang sudah diratifikasi Indonesia dan juga "katanya" digunakan sebagai rujukan revisi KUHP tidak hanya telah menempatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, tetapi juga menjelaskan dampak luar biasa yang disebabkan oleh kejahatan itu. Misalnya: runtuhnya kepercayaan publik pada birokrasi pemerintahan dan lembaga penegakan hukum, rusaknya nilai etika dan keadilan serta prinsip demokrasi, pelanggaran atas hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat selain menghalangi terwujudnya masyarakat adil, makmur, dan sejahtera.
Karena itu, diperlukan upaya dan sarana yang luar biasa dan tentu saja diperlukan aturan khusus pidana materiil dan hukum acara yang khusus pula.
Beberapa kemunduran
Ada beberapa hal yang dapat dikategorisasikan sebagai suatu kemunduran atas pengaturan pasal tertentu di dalam Buku I KUHP, misalnya: (1) tentang percobaan pidana. Revisi KUHP mengatur perluasan definisi percobaan bukan hanya permulaan pelaksanaan, melainkan juga hingga perbuatan persiapan. Perluasan itu tidak diperlakukan untuk tindak pidana korupsi dan justru diperlukan untuk tindak terorisme; (2) dalam pembantuan. Dalam UU Tipikor, ada suatu norma bahwa pihak yang melakukan pembantuan diancam sama dengan ancaman terhadap pelaku tindak pidana, tetapi di dalam revisi KUHP norma khusus tadi justru dihilangkan.
Kemudian (3) tentang pidana dan pelaksanaan pidana. Pada revisi KUHP ternyata tidak diatur tentang sanksi pidana pembayaran uang pengganti sebagaimana dikenal dalam Pasal 18 UU Tipikor. Tujuan esensial dari UU Tipikor untuk mengembalikan kerugian negara sebanyak-banyaknya tidak dirumuskan dalam revisi; (4) rumusan Pasal 20 UNCAC yang mengatur Illicit Enrichment, yaitu peningkatan kekayaan yang luar biasa dan tidak dapat dipertanggungjawabkan belum dirumuskan sebagai tindak pidana korupsi; dan Pasal 22 UNCAC mengenai Embezzlement of Property in Private Sector justru dirumuskan sebagai tindak pidana penggelapan bukan tindak pidana korupsi.
Ada cukup banyak hal yang perlu diajukan dan semuanya ada dalam kajian KPK atas revisi KUHAP yang segera dipublikasikan oleh KPK. Akhirnya, seluruh uraian di atas dapat menjawab pertanyaan dasar yang diajukan, revisi KUHP ternyata dapat mendekonstruksi dan mendelegitimasi pemberantasan korupsi. Sifat extraordinary dari kejahatan korupsi akan berubah menjadi tindak pidana umum dan kehilangan sifat lex specialis-nya dan lembaga yang mempunyai mandat untuk melaksanakan pemberantasan korupsi akan kehilangan dasar legalitasnya seperti tersebut di dalam revisi KUHP.
Semoga kita tidak bermain-main dengan kata dan pernyataan atas suatu revisi perundangan yang menyangkut hajat hidup banyak orang dan kepentingan atas bangsa dan negara ini. Optimisme pemberantasan korupsi harus terus dihidupkan meski hujan badai dan gelegar petir korupsi terus menghantam persada dari negeri tercinta.
Bambang Widjojanto, Komisioner KPK
Sumber: Kompas cetak edisi 28 Februari 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®
TAJUK RENCANA Tidak Perlu Dipaksakan (Kompas)
Komisi Pemberantasan Korupsi serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menyampaikan keberatan. Dalam pikiran pimpinan KPK, revisi RUU KUHAP dan KUHP akan melumpuhkan KPK. Salah satu pasal yang memberatkan KPK adalah hilangnya pasal penyelidikan serta penyadapan yang harus minta izin hakim pemeriksa. Keberatan hilangnya aturan penyelidikan juga datang dari Kepala Polri Jenderal Sutarman.
Sejarah mencatat, pengungkapan korupsi oleh KPK diawali dengan penyelidikan dengan instrumen penyadapan. Kasus gratifikasi yang melibatkan Ketua MK Akil Mochtar tak akan terungkap jika kewenangan penyelidikan dihapus. Korupsi yang melibatkan ketua umum parpol, anggota DPR, pengusaha, hakim, penyelenggara negara, dan advokat tak akan terungkap tanpa penyelidikan.
RUU KUHAP dan KUHP bukan hanya mengatur soal korupsi. Ada ratusan pasal di sana dalam draf yang sudah disiapkan begitu lama bahkan sebelum KPK lahir. Hampir setiap menteri kehakiman punya obsesi mengegolkan kedua RUU tersebut. Namun, kita melihat sebagaimana tecermin dalam analisis KPK, ada muatan pelemahan KPK dalam kedua draf itu. Ada pertautan kepentingan di antara sejumlah pihak untuk melemahkan KPK.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagaimana dikatakan Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto menegaskan tidak punya niat melemahkan KPK. Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin, seperti dikutip media, mengatakan, "RUU KUHAP dan RUU KUHP merupakan ketentuan umum sehingga tidak menghilangkan kewenangan KPK melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan."
Namun, naskah akademik RUU KUHAP punya semangat berbeda. "Penyadapan pun dilakukan dengan perintah tertulis atasan penyidik setempat setelah mendapat izin hakim komisaris. Dengan demikian, tidak ada kecuali, KPK pun melakukan penyadapan harus dengan izin hakim komisaris". Para penyusun naskah akademik bahkan memberikan titik tekan pada frase "tidak kecuali, KPK...."
Berbagai upaya mengamputasi KPK terus dikerjakan. Sebelum Akil ditangkap, UU KPK berulang kali dimintakan uji materi ke MK. UU Korupsi berulang kali coba direvisi. Saat ini, menjelang Pemilu 9 April 2014, pembahasan RUU KUHAP dan KUHP bukanlah waktu yang tepat. Anggota DPR lebih konsentrasi ke pemilu. Repotnya lagi, sejumlah anggota DPR diselidiki KPK terkait korupsi. Ada konflik kepentingan anggota DPR saat membahas RUU KUHAP.
Di tengah kecurigaan politik yang tinggi, kita sarankan pembahasan RUU KUHAP dan KUHP ditunda sampai terbentuk pemerintahan dan DPR baru. Ditundanya pembahasan RUU KUHP dan KUHAP toh tidak akan menjadikan Indonesia kekosongan hukum pidana.
Sumber: Kompas cetak edisi 28 Februari 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®
TAJUK RENCANA: Lagi-lagi, Israel Bermain Api (Kompas)
Hari Selasa lalu, Parlemen Israel, Knesset, memulai sesi debat untuk memaksakan kedaulatan Israel atas Kompleks Masjid Al Aqsa di Jerusalem. Tindakan Knesset itu segera memancing reaksi keras dari Jordania dan Palestina.
Parlemen Jordania membalas dengan menyetujui mosi untuk mengusir Duta Besar Israel untuk Jordania Daniel Nevo dan menarik duta besarnya dari Israel. Di Kompleks Al Aqsa juga pecah bentrokan antara polisi Israel dan polisi Palestina serta para demonstran Palestina.
Ibarat kata, Israel bermain api: mengobarkan api permusuhan dan mempertebal kebencian dari tidak hanya rakyat Palestina, tetapi juga Jordania. Inilah tindakan provokatif. Tindakan itu tidak hanya akan menciptakan atmosfer yang akan menyuburkan tindak kekerasan, kebencian, tetapi juga meningkatkan konflik.
Ada sementara pihak di Israel yang beranggapan atau bahkan mengklaim bahwa kawasan Temple Mount adalah bagian dari Israel yang direbut dari Jordania pada Perang 1967. Meskipun, sebenarnya lewat traktat perdamaian antara Israel dan Jordania 1994 disepakati bahwa Jordania mendapat hak untuk memelihara dan mengelola semua situs tempat suci umat Islam di Jerusalem Timur itu.
Bahkan, pada 31 Maret 2013, Jordania dan Palestina menandatangani "Kesepakatan Bersama untuk Mempertahankan Masjid Al Aqsa". Inti kesepakatan itu adalah mengakui bahwa Raja Jordania adalah pemelihara dan penjaga tempat-tempat suci di Jerusalem. Dengan demikian, Kompleks Masjid Al Aqsa termasuk di antaranya.
Isu Jerusalem—yang di dalamnya mencakup nasib Jerusalem ke depan, kawasan Al-Haram Al-Sharif atau Temple Mount yang di sana berdiri Masjid Al Aqsa dan The Dome of The Rock, Tembok Barat, tempat-tempat suci lainnya—merupakan isu paling inti dalam konflik Israel-Palestina. Dan, karena itu paling sulit serta paling krusial penyelesaiannya.
Saat Perundingan Camp David II (2000), masalah tersebut pernah dibicarakan antara PM Israel Ehud Barak dan Pemimpin Palestina Yasser Arafat dengan penengah Presiden AS Bill Clinton. Namun, perundingan tersebut tidak membuahkan hasil, termasuk tidak tercapai kesepakatan tentang kawasan Temple Mount. Dalam pertemuan Annapolis, masalah tersebut dibahas lagi, dan lagi-lagi tidak tercapai kesepakatan.
Akan tetapi, sebenarnyalah, kalau saja Israel memegang teguh perjanjiannya dengan Jordania, tidak akan muncul persoalan baru berkait dengan Masjid Al Aqsa. Di sinilah persoalannya: Israel mengingkarinya. Bisa diperkirakan bahwa tindakan Israel itu harus dibayar mahal. Artinya, perdamaian pun semakin jauh dari jangkauan.
Sumber: Kompas cetak edisi 28 Februari 2014
Powered by Telkomsel BlackBerry®