Blog ini berisi KLIPING aneka kritik, opini, solusi yang dihimpun dari berbagai media. Situs ini merupakan kliping pribadi yang dapat diakses publik. Selamat membaca
Sudah bisa diduga akan muncul reaksi keras dari negara-negara yang warga negaranya dijatuhi hukuman mati karena terkait kasus narkoba di Indonesia.
Sikap sangat keras antara lain ditunjukkan oleh Australia. Negara tetangga sebelah selatan Indonesia itu segera menarik duta besarnya dari Jakarta setelah dua warga negaranya dieksekusi mati karena kasus narkoba, Rabu dini hari, di Nusakambangan, Jawa Tengah. Wajar Australia bersikap demikian, karena itulah salah satu tugas negara, yakni melindungi warga negaranya di mana pun.
Pelaksanaan hukuman mati di negeri kita tidak hanya telah memunculkan kehebohan di tingkat nasional, tetapi juga internasional. Padahal, di negara lain, sebut saja Timur Tengah atau ASEAN, biasa saja. Hal itu terjadi oleh banyak sebab, antara lain peran media yang mendramatisasi dan juga karena pemerintah beberapa kali mewacanakan dan menunda pelaksanaannya.
Memang, pelaksanaan hukuman mati masih menjadi isu kontroversial. Ada banyak negara di dunia yang sudah menghapus hukuman mati. Menurut Amnesti Internasional, sudah 140 negara yang menghapus hukuman mati. Pada tahun 2013, sebanyak 22 negara masih memberlakukan hukuman mati, tetapi hanya sekitar 15 negara yang masih menjatuhkan hukuman mati, termasuk Indonesia. Negara-negara anggota ASEAN lainnya yang masih memberlakukan hukuman mati selain Indonesia adalah Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Ada berbagai alasan yang dikemukakan negara-negara yang masih memberlakukan hukuman mati. Namun, apa pun alasannya, kita tetap berpandangan bahwa nilai hidup manusia jauh lebih penting daripada segalanya. Sebab, hidup adalah anugerah, bukan hasil kekuatan manusia, atau hasil rekadaya manusia sendiri. Oleh karena itu, semestinya tidak satu orang pun yang dibenarkan mengklaim berhak untuk mengakhiri hidup orang lain.
Secara moral, hukuman mati tidak dapat dibenarkan. Namun, di Indonesia ada ketetapan tentang hukuman mati. Ketetapan itu masih berlaku hingga saat ini. Karena itu, kita tidak bisa menolaknya. Hanya saja, peradilan dan pelaksanaan hukuman mati harus benar-benar kritis, hati-hati, dan teliti, tidak hantam kromo, serampangan, sehingga mengabaikan aspek keadilan, sehingga bisa jadi menghukum orang yang tidak bersalah dan tidak menghukum orang yang semestinya dihukum karena memang benar-benar bersalah.
Adalah lebih baik kalau hukuman mati digantikan hukuman seumur hidup, misalnya. Hukuman seperti ini— hukuman seumur hidup—lebih manusiawi dan juga lebih menghargai kehidupan. Kita berharap negara tidak diturunkan "derajatnya" dari pemelihara, pelindung kehidupan, menjadi pembunuh kehidupan di tengah pergaulan internasional yang semakin beradab ini.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 April 2015, di halaman 6 dengan judul "Kita Harus Makin Beradab".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Sebuah drama dipertontonkan Polda Sulselbar saat memeriksa dan mengumumkan akan menahan Ketua KPK (nonaktif) Abraham Samad.
Pejabat Polda Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar) sempat mengumumkan akan menahan Abraham. "Berdasarkan analisis penyidik dan fakta hukum, terhadap Abraham dilakukan penahanan," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sulselbar Kombes Joko Hartanto. Namun, tengah malam, penahanan Samad diurungkan.
Pola serupa terjadi saat penyidik Polri memeriksa Wakil Ketua KPK (nonaktif) Bambang Widjojanto beberapa waktu lalu. Penyidik Polri sempat menyodorkan surat penahanan, tetapi kemudian penahanan Bambang diurungkan.
Dua unsur pimpinan KPK itu dijerat Polri atas tuduhan pidana yang terjadi jauh sebelum keduanya menjadi pimpinan KPK. Abraham dituduh memalsukan dokumen kependudukan tahun 2007, sedangkan Bambang dituduh mengarahkan saksi memberikan keterangan tidak benar dalam persidangan sengketa Pemilihan Kepala Daerah Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi pada 2010.
Penangguhan penahanan Abraham dan Bambang adalah langkah bijak Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti. Memang menjadi kewenangan penyidik untuk menahan atau tidak menahan seseorang. Namun, melihat latar belakang kasus keduanya, akan lebih bijak jika Polri menyerahkan kasus keduanya sesuai dengan hukum. Penahanan keduanya biarlah ditentukan hakim yang nantinya akan menyidangkan perkara itu.
Kasus hukum yang melibatkan pimpinan KPK itu menjadi besar karena dikaitkan dengan penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka. Status tersangka Budi kemudian dikoreksi hakim praperadilan Sarpin Rizaldi. Budi batal jadi Kapolri dan kemudian ditunjuk sebagai Wakil Kepala Polri.
Meski masalahnya personal, konflik antara Polri dan KPK beberapa kali terjadi. Sebelumnya, terjadi konflik antara KPK dan Polri pada tahun 2009 dalam kasus Susno Duadji dan tahun 2012 dalam kasus Djoko Susilo.
Pada masa depan, perlu dipikirkan langkah penegakan hukum yang tidak perlu menciptakan kegaduhan. Pasal UU KPK yang menyebutkan pimpinan KPK yang menjadi tersangka harus nonaktif harus diperjelas untuk kasus seperti apa. Seyogianya pasal itu hanya dikenakan untuk tindakan pidana yang dilakukan pimpinan KPK dalam jabatannya dan bukan untuk kasus masa lampau.
Kita pun memandang kesepakatan baru perlu dibangun, termasuk kedaluwarsa penyelidikan korupsi. Perlu ada kesepakatan sampai batas waktu kapan kasus korupsi itu akan diselidiki. Lima tahun? Sepuluh tahun? Sebagai sebuah ide, gagasan kesepakatan baru (new deal) itu tentu akan memancing pro dan kontra. Namun, kesepakatan itu perlu dibangun agar bangsa ini bisa segera melangkah membangun masa depan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 April 2015, di halaman 6 dengan judul ""Drama" Abraham Samad".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Dalam rangkaian pembahasan Peraturan Komisi Pemilihan Umum terkait pemilihan serentak gubernur, bupati, dan wali kota, Komisi II DPR, 24 April 2015, membuat sejumlah rekomendasi. Salah satu di antaranya, jika dituruti, akan membuat KPU dan pelaksanaan pemilihan kepala daerah melenceng dari rel yang semestinya.
Salah satu rekomendasi yang dapat menjadi pemicu masalah tersebut menyebutkan bahwa jika belum ada putusan hukum tetap, putusan terakhir pengadilan sebelum masa pendaftaran calon menjadi pedoman KPU dalam menentukan siapa yang berhak mengusung calon.
Bias kepentingan KMP
Terkait rekomendasi tersebut, setiap kubu di partai politik yang sedang bersengketa, yaitu Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), memiliki penyikapan yang berbeda. Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie setuju terhadap rekomendasi ini: bahwa KPU harus berpegang pada putusan hukum tetap, dan jika belum ada putusan hukum tetap, berpegang pada putusan terakhir. Sementara Partai Golkar kubu Agung Laksono berpandangan bahwa surat keputusan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) sebagai alat legalitas ada di kubu mereka.
Di PPP, kubu Djan Faridz memiliki sikap bahwa rekomendasi DPR merupakan jalan tengah terbaik, yaitu putusan dengan kekuatan hukum tetap atau putusan terakhir. Sementara PPP kubu Romahurmuziy bersikap bahwa KPU seharusnya hanya berpegang kepada putusan hukum tetap.
Rekomendasi DPR tersebut penuh aroma perseteruan politik sempit. Isi rekomendasi terlihat menguntungkan salah satu kelompok, yakni Koalisi Merah Putih (KMP). DPR terlihat tidak mengedepankan kepentingan republik.
Dugaan kepentingan KMP ini terlihat dari selarasnya rekomendasi yang dihasilkan dengan dukungan "kubu KMP" di Partai Golkar dan PPP, yaitu kepengurusan Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie dan PPP kubu Djan Faridz. Keduanya mendukung penuh rekomendasi DPR. Kedua kubu ini pun mayoritas di parlemen dibanding seterunya.
Dengan kata lain, rekomendasi DPR agar KPU mengikuti putusan terakhir jika sampai tahap pendaftaran calon belum ada putusan hukum tetap, tampak bias kepentingan kubu KMP. Hal ini tak mengherankan karena kekuatan dominan di DPR adalah pendukung KMP, baik dilihat dari sisi fraksi Partai Golkar dan PPP ataupun dari sisi komposisi keseluruhan anggota DPR.
Mesti mampu bersikap
Sebagai institusi penyelenggara pemilu yang mandiri, KPU hendaknya mampu mengambil sikap sendiri. KPU juga tidak perlu menjadi mediator konflik. Dalam kondisi yang terjepit dua kepentingan politik yang berlawanan, penyelenggara pemilu, yakni KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), jangan terbawa irama pertikaian. Penyelenggara pemilihan harus memiliki "orkestra" sendiri.
Jika mengikuti rekomendasi yang membahayakan di atas, yaitu apabila belum ada putusan hukum tetap KPU berpegang pada putusan hukum terakhir, selain akan melanggar undang-undang juga bisa menjadi masalah di kemudian hari. Jika putusan yang berkekuatan hukum tetap nantinya berbeda daripada putusan terakhir sekarang ini, maka akan menjadi sengketa dengan lokus kesalahan ada di KPU.
Oleh karena itu, dalam mengambil keputusan ini KPU harus mengedepankan upaya menjunjung supremasi hukum. Karena itu, KPU-yang akan memutuskan paling lambat 30 April 2015 ini-sebaiknya berpegang pada UU dan menjalankan perintah UU yang ada. Jika pengesahan Menkumham sedang dalam proses hukum, hendaknya KPU berpegang kepada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan kepengurusan parpol tersebut telah disahkan Menkumham. Dengan demikian, selain tidak melanggar hukum, KPU juga tidak akan terseret ke dalam konflik internal parpol.
Idealnya, pengadilan mempercepat proses hukum untuk menyelesaikan sengketa kepengurusan ganda Partai Golkar dan PPP tersebut. Dengan demikian, pada tahap pencalonan sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Kemungkinan ideal lain, partai bersengketa menyelesaikan sengketa di internalnya masing-masing.
Masalahnya, tidak ada jaminan bahwa permasalahan ini bisa selesai sebelum tahap pendaftaran calon. Jika sampai masa pendaftaran calon belum ada putusan hukum tetap atau belum ada penyelesaian lain, sebaiknya parpol bersengketa tidak diikutsertakan dalam pilkada pada Desember 2015.
Lentera penerang jalan
Sikap rigid KPU seperti ini diperlukan agar penyelenggara tidak terjebak ke dalam konflik politik dan penyelenggaraan pilkada pada kondisiderail, tergelincir keluar dari rel. Sementara bagi calon yang sedianya akan menggunakan parpol yang tidak bisa ikut dalam pilkada, masih terbuka kesempatan melalui jalur perseorangan.
Bagaimana dengan sikap Bawaslu? Badan ini seolah tidak terkait langsung dengan permasalahan PKPU, tetapi hendaknya Bawaslu tidak hanya diam dalam persoalan ini. Jika terjadi sengketa di kemudian hari akibat KPU salah mengambil sikap, Bawaslu juga yang akan sibuk.
Dengan demikian, sebagai bagian dari penyelenggara pemilu yang memiliki otoritas penyelesai sengketa pemilu, Bawaslu memiliki kepentingan langsung. Karena itu, Bawaslu harus mengingatkan KPU untuk memutuskan jalan terbaik, yaitu jalan yang tidak berpotensi memunculkan masalah dan tidak membuat pilkada tergelincir dalam kondisi keluar dari relnya.
Di tengah kondisi ketegangan politik yang diwarnai partai bersengketa, KPU dan Bawaslu perlu teguh pada kemandiriannya. Kedua penyelenggara pemilu ini harus mampu menjadi lentera penerang jalan agar proses politik republik tidak tergelincir dari rel yang semestinya.
TOTO SUGIARTOKETUA DEPARTEMEN RISET DAN KONSULTING PARA SYNDICATE
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 April 2015, di halaman 7 dengan judul "Parpol Bersengketa dan Kepesertaan di Pilkada".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Memperingati Hari Buruh Dunia 1 Mei, wadah konfederasi serikat buruh dunia (ITUC) menyampaikan pesan end greedy corporate, mengakhiri keserakahan korporasi.
Pesan ini dipilih sebagai respons ITUC atas memburuknya perilaku bisnis korporasi multinasional (KM) di seluruh dunia. Jajak pendapat yang disiarkan ITUC menghadirkan fakta tentang keserakahan KM yang hanya fokus pada profit, tanpa mengindahkan hak pekerja dan lingkungan. Saat ini 60 persen produk global diproduksi perusahaan rantai pemasok global KM. Mereka memilih menggunakan subkontraktor dengan pekerja kontrak untuk terus mereduksi biaya upah dan biaya produksi. Taktik ini dilakukan untuk meminimalkan berbagai hambatan hukum dengan mengalihkannya menjadi tanggung jawab perusahaan lain. Kekuatan KM terus membesar.
Dari hasil jajak pendapat itu juga ditemukan fakta tentang menurunnya kedaulatan negara akibat tekanan KM. Banyak pemerintah lebih mendengar lobi KM ketimbang partai politik atau suara rakyat. Fakta tentang terus membesarnya kekuatan finansial KM berbanding terbalik dengan situasi ketenagakerjaan dengan pertumbuhan eskalasi pekerja kontrak, tingginya penganggur kaum muda, dan meluasnya pekerja informal. Itulah bukti yang tidak bisa dibantah sistem ekonomi global saat ini berlangsung dengan tidak adil. Sudah saatnya itu harus diakhiri.
Kelemahan utama sistem ekonomi saat ini adalah terciptanya sistem persaingan yang membuat negara-negara saling berlomba mendapatkan investasi KM dengan menawarkan syarat minimal dan syarat kerja fleksibel. Akibatnya, abad ke-21 ini terancam berjalan dengan perlombaan ke arah dehumanisasi. Padahal, Deklarasi Philadelphia saat pendirian ILO pada 1919 secara tegas menyatakan bahwa buruh bukan barang komoditas. Buruh seharusnya subyek, bukan obyek, bisnis. Perdagangan buruh ke negara lain seharusnya dihentikan. Buruh bebas bekerja di luar negeri. Namun, biarlah karena keinginannya sendiri, bukan karena keterpaksaan akibat kemiskinan dan kegagalan pemerintah menyediakan lapangan kerja.
Komitmen Presiden Joko Widodo menghentikan pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) secara bertahap layak didukung. Menyambut 70 tahun usia kemerdekaan Indonesia bisa dijadikan momentum menjadikan Indonesia negeri yang lebih beradab. Sebab, apabila dilihat fakta, hanya negara-negara miskin yang mau memperdagangkan rakyatnya. Tiongkok dan India yang memiliki penduduk besar tidak memiliki program perdagangan migran ke luar negeri dan Indonesia bukanlah negara miskin. Rakyat Indonesia miskin karena pengelolaan yang buruk.
Komitmen Philadelphia di atas memudar sejalan dengan tingginya tensi kompetisi ekonomi dan tiadanya kerangka kerja ekonomi global mencegah kecenderungan negatif tersebut terus berlangsung. Bank Dunia sendiri ikut mendorong agar negara-negara terus memperbaiki regulasi pasar kerja dengan terus melakukan efisiensi biaya-biaya buruh. Ini akan membuat pemerintah terus mengadopsi sistem pengupahan biaya rendah karena dalam laporan tahunannya, yang dikenal dengan Doing Business Report, selalu disajikan peringkat negara dengan indikator kesulitan dan kemudahan berbisnis.
Indikator yang kontroversial
Dengan kata lain, pemerintah dibagi dalam dua kategori: berkebijaksanaan yang bersahabat dengan buruh versus berkebijaksanaan yang bersahabat dengan bisnis. Peringkat itulah yang selalu menjadi rujukan pebisnis di seluruh dunia apabila ingin memulai investasi di sebuah negara.
Indikator regulasi pasar kerja yang dibuat sebenarnya kontroversian karena membuat penilaian atas dasar kemudahan melakukan bisnis, termasuk kemudahan melakukan rekrutmen dan PHK. Semakin mudah biaya merekrut dan PHK, maka semakin baiklah peringkat negara tersebut. Itulah sebabnya Indonesia dikategorikan dalam peringkat proburuh karena dianggap banyak memberikan perlindungan hukum kepada buruh, khususnya besaran pesangon dan lamanya proses PHK. Padahal, analisis itu hanya didasarkan pada apa yang tertulis di undang-undang, bukan berdasarkan realitas. Sebab, dalam kenyataannya, buruh Indonesia sangat mudah di-PHK, bahkan dengan sewenang-menang, mayoritas tidak mendapat pesangon sesuai dengan UU. Namun, realitas ini tidak jadi bagian analisis laporan Bank Dunia.
Sementara itu, serikat buruh juga mengalami penurunan pengaruh karena berhadapan dengan berbagai kontradiksi eksternal di atas. Secara tradisional, lawan buruh adalah kapitalis serakah, tetapi saat ini wajah kapitalis berwujud dalam berbagai bentuk. Kadang-kadang dalam UU prokapitalis hasil pesanan mereka bersembunyi dalam kebijakan pemerintahan liberalis, berlindung pada partai politik, bersekongkol dengan perusahaan lokal, dan sebagainya sehingga serikat buruh tidak berhadapan dengan satu entitas, tetapi dengan lawan yang beragam, samar, dan target yang selalu bergerak (relokasi usaha, pengalihan kapital).
Peta pertarungan juga bergeser dari lokal ke global. Serikat buruh diharuskan melakukan kerja sama global untuk mengimbangi pengaruh KM. Beberapa inisiatif global sudah berjalan, seperti kesepakatan kerangka kerja internasional (IFA) antara serikat buruh internasional dan perusahaan KM; kesepakatan antara pembuat sepatu sport internasional dengan serikat buruh garmen dan tekstil; panduan berbisnis untuk KM yang disepakati di ILO; standar operasi bisnis IFC (anak perusahaan Bank Dunia) untuk lingkungan dan sosial.
Aksi internasional
Beberapa upaya internasional sudah dilakukan untuk mengontrol pengaruh KM, mulai dari yang bersifat kode etik sampai dengan yang bersifat mengikat. Namun, itu dirasakan belum mangkus karena mekanismenya yang rumit dan tidak pasti. Yang sudah lama ada adalah panduan operasi KM yang dibuat kelompok kerja sama negara-negara industri maju (OECD). Panduan ini memiliki mekanisme komplain ke negara asal KM, tetapi dengan syarat negara di mana KM beroperasi harus mendirikan wadah kontak nasional. Badan inilah yang bertugas mengajukan gugatan apabila ada KM yang merugikan hak buruh dan lingkungan.
Untuk bisa berjalan, badan ini harus didirikan pemerintah dengan melibatkan unsur tripartit. Untuk Indonesia, badan ini sangat perlu karena bisa dimanfaatkan untuk mengejar pengusaha asing yang banyak kabur meninggalkan kewajibannya. Kasus kaburnya pengusaha sudah banyak terjadi tanpa upaya internasional. Buruh biasanya mengadu ke Disnaker atau DPRD, tetapi tidak ada hasil. Kasus terbaru adalah kaburnya perusahaan T Yee Wo dari Batam pada Januari 2015 dengan meninggalkan utang kepada 308 buruh. Tahun lalu pengusaha PT Mutiara Mitra Busana Apparelindo di Jakarta Utara kabur meninggalkan 458 buruh. Padahal, perusahaan ini memproduksi merek pakaian dari KM terkenal (Tommy Hilfiger, S Oliver, Polo Ralph Lauren). Sejauh ini Indonesia belum melakukan tindakan apa pun terhadap pengusaha yang lari meninggalkan kewajibannya terhadap buruh. Padahal, dengan kerja sama internasional, pelaku pasti bisa digugat karena data tentang keberadaan mereka ada di pemerintah. Jika tindakan tidak dilakukan, modus operandi ini akan terus berlangsung.
Gagasan internasional besar yang saat ini sedang dirancang adalah panduan operasi KM yang dirurumuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Guiding Principles on Business and Human Rights). Gagasan ini diperkenalkan pada 2011 oleh John Ruggie sebagai representasi khusus PBB untuk urusan bisnis dan hak asasi manusia. Tujuannya agar ada mekanisme hukum yang bersifat mengikat untuk mengadili KM yang melanggar hak asasi manusia. Gagasan itu awalnya dianggap kontroversial karena sudah pernah dicoba, tetapi tidak mendapat dukungan. Dalam mekanisme di WTO pernah dicoba mengaitkan antara perdagangan dan hak buruh, tetapi upaya ini gagal dengan alasan bahwa sudah ada badan ILO yang mengurusi soal ketenagakerjaan.
Kali ini gagasan dibawa ke badan PBB, proses akhirnya akan diputuskan pada Juni 2015. Yang cukup menarik, Indonesia menjadi salah satu negara yang mendukung adanya mekanisme ini. Tanggung jawab sosial perusahaan (TSP) yang selama ini dijadikan sebagai cara menunjukkan komitmen sosial perusahaan dinilai kurang berhasil mengingat motif TSP utamanya ditujukan untuk menaikkan citra positif korporasi ketimbang membantu kebutuhan rakyat.
Tanpa mengabaikan beberapa aksi TSP yang bermanfaat, alokasi dana TSP perusahaan umumnya selalu ditujukan untuk memperkuat posisi perusahaan, bukan untuk memperkuat masyarakat. Apalagi, kegiatan TSP hanya bersifat sukarela, tidak bisa diharapkan untuk bertanggung jawab dalam kerangka: perlindungan, penghormatan, pemulihan, seperti gagasan yang dimajukan John Ruggie. Apabila mekanisme ini diterima, akan diperoleh beberapa manfaat: perusahaan akan menjadi hati-hati menjaga perilaku berbisnis, menurunkan konflik sosial dan konflik dengan buruh, mencegah eksploitasi lingkungan, serta berkontribusi mendorong pembangunan yang berkelanjutan.
Komitmen politik Presiden Jokowi menciptakan bangsa yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian harus diterjemahkan dalam aksi nyata dalam berbagai bidang. Dalam bidang ketenagakerjaan, misalnya, menjadikan Indonesia sebagai negara yang dihormati, bukan surga buat pelaku bisnis serakah. Seperti pendirian Brasil di bawah Presiden Lula, "Jangan kita akhiri abad ini seperti cara kita melakoni abad ke-20 dengan mengeksploitasi negara lain."
REKSON SILABANDIREKTUR INDONESIA LABOR INSTITUTE
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 April 2015, di halaman 6 dengan judul "Buruh dan Korporasi Global".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Lebih baik membebaskan 1.000 orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Demikianlah pesan mantan Hakim Agung Bismar Siregar terkait dengan kemungkinan keraguan hakim dalam membuat putusan.
Peringatan Bismar itu terasa mendapatkan tempat ketika pemerintahan Joko Widodo-M Jusuf Kalla giat menetapkan pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana mati, khususnya dalam kasus peredaran gelap narkoba. Dalam dua kali pelaksanaan eksekusi, kegaduhan selalu menyertainya.
Kegaduhan tak hanya terjadi di dalam negeri karena masih ada warga yang bersikap pro dan kontra terhadap hukuman mati, tetapi juga terjadi di luar negeri. Masyarakat internasional bereaksi karena sebagian besar terpidana mati yang dieksekusi dalam dua kejadian di Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, dan di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, adalah warga negara asing.
Walaupun pemerintahan Jokowi-Kalla baru berlangsung enam bulan, Jokowi-Kalla sudah dua kali melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati, yaitu pada 18 Januari dan 29 April lalu. Sebanyak 14 narapidana mati telah dieksekusi. Semula ada 16 terpidana yang akan dieksekusi. Presiden Jokowi menolak permohonan grasi yang mereka ajukan. Sebagian tertunda karena berbagai alasan.
Di Indonesia, menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna H Laoly, pada Januari lalu terdapat tidak kurang 133 terpidana mati. Mereka terdiri dari 57 narapidana mati untuk kasus narkoba, 2 terpidana mati kasus terorisme, dan 74 narapidana mati perkara pidana umum, misalnya pembunuhan berencana.
Selain memiliki narapidana mati, Kementerian Luar Negeri melaporkan, hingga Februari lalu tercatat 229 warga negara Indonesia terancam dieksekusi mati di Malaysia, Tiongkok, dan Arab Saudi. Sebagian besar dari warga negara Indonesia itu, 131 orang terancam dieksekusi mati karena terlibat kasus narkoba. Mereka memerlukan pembelaan dari pemerintah agar terbebas dari hukuman mati itu.
Mary Jane lolos
Dalam pelaksanaan eksekusi Rabu (29/4) dini hari di Nusakambangan, perhatian khalayak lebih banyak tersedot pada terpidana mati asal Filipina, Mary Jane Fiesta Veloso. Mary Jane bersama Serge Areski Atlaoui asal Perancis dan Myuran Sukumaran (Australia) sebenarnya termasuk yang akan dieksekusi pada Januari lalu. Namun, mereka batal dieksekusi karena tengah mengajukan upaya hukum untuk menghindari dari regu tembak.
Serge namanya kembali dikeluarkan dari daftar yang harus dieksekusi Rabu lalu karena masih mengajukan upaya hukum menggugat keputusan presiden yang menolak permohonan grasinya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Namun, diduga tekanan besar dari Pemerintah Perancis-lah yang membuat Serge, yang disebut-sebut sebagai ahli peracik ekstasi dan sabu, terhindar lagi dari eksekusi. Apalagi, PTUN Jakarta, Selasa lalu, menolak gugatan Serge.
Sementara Mary Jane dan Myuran kembali akan dieksekusi karena permohonan grasi dan peninjauan kembali (PK) perkaranya telah ditolak oleh Presiden dan Mahkamah Agung (MA). Myuran, yang disebut sebagai bagian dari jaringan pengedar narkoba "Bali Nine", akhirnya dieksekusi bersama tujuh terpidana mati lainnya, termasuk Zainal Abidin, satu-satunya terpidana mati asal Indonesia, Rabu dini hari.
Mary Jane yang sudah berada di Nusakambangan tak jadi dieksekusi karena ada perintah dari Presiden Jokowi untuk membatalkannya. Sebuah bukti baru, selain besarnya tekanan dari masyarakat internasional dan nasional, yang menyatakan Mary Jane adalah korban perdagangan manusia (human traficking), membuat eksekusi itu tertahan. Selasa, Maria Kristina Sergio, yang mengaku terlibat dalam pengiriman Mary Jane ke Indonesia, menyerahkan diri ke kepolisian Filipina.
Fakta baru itu, misalnya, mendorong anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), Charles Honoris, mendesak Presiden Jokowi membatalkan eksekusi terhadap Mary Jane. Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pun meminta eksekusi terhadap Mary Jane dibatalkan. Presiden yang sempat bertemu dengan Jaksa Agung HM Prasetyo, Selasa, di Jakarta, sebenarnya sudah menyerahkan pelaksanaan eksekusi itu kepada eksekutor (jaksa). Namun, pada detik-detik terakhir Jokowi membatalkan keputusannya itu.
Langkah Presiden tersebut sejalan dengan peringatan yang disampaikan Bismar Siregar. Ada potensi kesalahan dalam putusan terhadap Mary Jane. Potensi kesalahan putusan itu pun sebenarnya juga ada pada kasus Zainal Abidin, yang oleh polisi yang memeriksanya disebutkan bekerja jual-beli ganja. Profesi yang tak masuk akal. Sekalipun bekerja seperti yang disebut polisi, tak mungkin seorang tersangka atau terdakwa mengakui.
Pembelaan untuk Zainal kini sudah terlambat. Namun, untuk Mary Jane masih terbuka peluang untuk meluruskan putusan hakim jika memang ada kesalahan. Namun, dalam hukum, memang lebih baik membebaskan 1.000 orang bersalah daripada memenjarakan seorang yang tak bersalah.
Kini, kejaksaan tinggal menunggu proses hukum terhadap Maria Kristina di Filipina untuk terus atau tidak eksekusi terhadap Mary Jane. Di sisi lain, Mary Jane dapat memakai pengakuan Maria Kristina, yang mungkin saja menjebaknya, sebagai bukti baru (novum) untuk kembali mengajukan PK.
Saatnya mengevaluasi
Lepas dari benar atau tidak putusan hakim terhadap Mary Jane, keputusan penundaan eksekusi itu melegakan berbagai kalangan, terutama keluarganya. Namun, bagi pemerintah dan lembaga penegak hukum di Indonesia, kondisi itu seharusnya menjadi saat yang tepat untuk mengevaluasi kembali kebijakan eksekusi terhadap terpidana mati, termasuk penerapan hukuman mati.
Bagi terpidana mati kasus narkoba yang terus mengulangi perbuatannya, termasuk mengoordinasikan peredaran gelap narkoba dari dalam penjara dengan bantuan oknum aparat, seperti yang ditunjukkan Freddy Budiman, masyarakat tentu tak akan keberatan jika eksekusi segera dilaksanakan. Namun, untuk terpidana mati yang tidak segera dieksekusi dan telah menunjukkan perbaikan perilaku dan penyesalan yang luar biasa, Presiden bisa menunjukkan penghargaannya dengan memberikan keringanan hukuman, menjadi hukuman seumur hidup atau hukuman dengan waktu tertentu (20 tahun).
Mahkamah Konstitusi (MK) memang menyatakan hukuman mati yang masih diterapkan di Indonesia tak bertentangan dengan konstitusi, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menjamin hak hidup setiap warga negara. Namun, MK mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam pelaksanaan hukuman mati itu, misalnya dengan memberikan masa waktu penantian. Jika dalam 10 tahun, misalnya, seorang terpidana mati menunjukkan perilaku yang baik, bisa saja hukuman itu diubah. Prinsipnya, manusia memang tidak berhak untuk menentukan hidup atau mati manusia lainnya.
Lebih dari dua tahun lalu saya menulis "Rumitnya Jenjang Karier Dosen" (Kompas, 16/2/2013). Kali ini saya menulis demikian rumitnya jenjang karier dosen oleh tambahan peraturan dari pemerintah.
Peraturan itu ironis dengan fakta bahwa penyelenggara pendidikan tinggi terus mengeluhkan betapa sulit merekrut dosen. Karier dosen bukan pilihan terbaik lulusan S-1 hingga S-3 kita, apalagi jika mereka tahu jenjang karier dosen amat rumit.
Saya mengikuti beberapa pertemuan terkait sumber daya dosen di tingkat nasional. Pertemuan terakhir bersangkutan secara khusus dengan dosen Fakultas Kedokteran. Sungguh sulit merekrut dokter jadi dosen, apalagi, setelah direkrut, lebih sulit lagi membina dan mempertahankan dosen. Mengapa jenjang jabatan akademik dosen perlu diperumit lagi? Tulisan Rhenald Kasali (Kompas, 15/9/2014) yang disanggah Erry Yulian Triblas Adesta (Kompas, 2/12/2014) menunjukkan kegelisahan apa benar "harga dosen naik?".
Tulisan ini menyumbang saran bagaimana mungkin menaikkan harga dosen jika penilaian atas kualitas dosen demikian kaku dari pemerintah, yang mengatur jenjang karier dosen? Apakah perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) akan memperebutkan dosen yang "hanya" asisten ahli? Berapakah "harga dosen" lektor kepala, sementara karena kakunya peraturan, lektor kepala saat ini harus doktor? Cukup berhargakah dosen muda yang belum S-2/S-3 dan hanya menunjukkan potensi publikasi?
Segera pula teringat isu tentang otonomi perguruan tinggi sebagaimana terus didengungkan Satryo Soemantri Brodjonegoro (terakhir: Kompas, 9/3/2015), termasuk tulisan para pakar pendidikan tinggi yang pro otonomi pendidikan tinggi dalam beragam aspek. Benarkah langkah pemerintah jadi penentu hingga juklak perhitungan teknis dan aturan kaku menilai karier dosen sehingga dosen di mana pun berada dengan sifat institusi sangat heterogen dinilai dengan cara seragam? Demikian besarkah kekuatan aturan pemerintah menentukan jenjang karier dosen secara sama rata?
Perhitungan teknis
Awal November 2014 ada perubahan pada perhitungan teknis beban kredit untuk publikasi ilmiah internasional dengan perhitungan kredit demikian kaku. Sebelumnya, publikasi internasional dapat memiliki poin maksimal 40, kini dibuat tiga kategori: maksimal 40 poin, maksimal 30 poin, dan maksimal 20 poin. Kelas pertama untuk artikel yang terbit dalam jurnal ilmiah internasional dengan impact factor dan terindeks Scopus atau ISI; kelas kedua untuk yang tak memiliki impact factor, tetapi terindeks di Scopus atau ISI; kelas ketiga untuk yang terindeks "hanya" di Directory of Open Access Journal (DOAJ), Google Scholar, dan Copernicus.
Dalam kerumitan ini terkandung sedikitnya empat kekurangpahaman.Benarkah dosen kita mayoritas telah mampu atau dimampukan meneliti dan publikasi? Cukup dipahamikah makna terindeks oleh lembaga berbayar indeks? Dengan begitu rumitnya jenjang karier ini, bagaimana dunia pendidikan tinggi melakukan rekrutmen (naikkah harga dosen?)? Jika remunerasi bagi dosen masih dipandang tak menarik, apalagi dengan kerumitan jenjang karier, apakah yang dapat dijanjikan dunia pendidikan tinggi merekrut dosen baru (apalagi calon dosen berkualitas)?
Bahwa harga dosen naik dan jadi rebutan tentu akan benar bagi dosen berkualitas dan memenuhi tri dharma dengan mumpuni. Berapa persen yang demikian? Sementara, lembaga yang membesarkan dosen itu hingga mumpuni dapat ditinggalkan dan sah saja dalam dunia profesional. Pertanyaannya, bagaimana PT baru, PTS, PTN relatif berukuran sedang dan kecil dapat bersaing atau dapat mempertahankan para dosennya?
Tulisan ini hanya membahas masalah pertama. Perlu diakui, dosen di negeri ini amat heterogen. Ribuan alasan jadi dosen. Heterogenitas bukan saja personal, juga institusional. Jenjang PT terbagi secara institusional berdasarkan kepemilikan (PTN dan PTS) serta jenjang studi yang ditawarkan (D-1 hingga S-3). Heterogenitas termasuk juga penghargaan atas tersebarnya PTN dan PTS dari Sabang hingga Merauke. Lokasi menentukan warna karier dosen.
Keheterogenan juga berimbas pada karya ilmiah yang paling mungkin dihasilkan dosen pada keadaan tertentu. Jumlah publikasi berbanding positif dengan ragam prodi dan jenjangnya. Riset mengenai ini sudah banyak dilakukan para ahli manajemen pendidikan tinggi di dunia. Dapat ditengarai, PT berprodi S-2 dan S-3, para dosennya "diuntungkan" dengan ketersediaan sumber daya yang dapat bekerja sama untuk penelitian dan penulisan ilmiah demi kepentingan mutualisme akademik.
PT dengan prodi S-1 tentu masih dapat bekerja sama dengan produk penulisan ilmiah yang dapat saja terserap sebagai tulisan di jurnal internasional, tetapi dengan kemungkinan lebih kecil dibandingkan PT jenis pertama. Bagaimana dengan PT yang jenjang prodinya D-1 hingga D-3? Bagaimana dengan PT yang terletak di kepulauan dengan akses terbatas untuk publikasi ilmiah?
Sulit diseragamkan
Jelaslah, jenjang karier dosen atas nama heterogenitas amat sulit diseragamkan. Idiom "sejarah ditulis pemenang" agaknya menemukan pembenarannya pada aturan seragam jenjang karier dosen ini. Pemenangnya adalah institusi dengan umur cukup senior, memiliki sumber dana cukup untuk mayoritas dosennya melakukan penelitian dan publikasi, memiliki jenjang prodi sedikitnya S-1 dan terutama S-2 dan S-3, memiliki berbagai fakultas: ilmu sosial, IPA, terapan, serta studi komprehensif, memiliki pusat studi, jejaring nasional dan internasional.
Tak terlalu sulit memahami kebalikan dari semua sifat itu adalah ketakberdayaan dosen berkarier lebih cepat dan berkualitas, apalagi dengan peraturan sedemikian kaku dari pemerintah. Imbasnya, institusi yang tak memiliki sifat itu, atau mayoritas dari sifat tersebut, ditengarai tersendat. Apa yang harus dilakukan? Tentu telah ada upaya pemerintah mengangkat PT yang butuh asuhan. Bimbingan disediakan dalam rupa pertukaran dosen atau pakar dari PT lebih maju ke PT perlu bimbingan. Rekrutmen dosen PTN di beberapa tempat juga diberikan kuota lebih daripada di tempat yang sudah maju. Kopertis disediakan untuk membina PTS.
Langkah itu perlu dihargai. Meski demikian, jika aturan dibuat sangat kaku dan seragam (termasuk untuk pihak tak berdaya), memberdayakan yang kurang berdaya saja tak cukup. Asuhan perlu diberikan dalam kerangka kebijakan. Bantuan adalah kebijakan yang berbeda pada tenggat tertentu. Namun, jika hal ini dibuat, betapa banyak peraturan harus dimunculkan pemerintah karena heterogenitas tadi. Alternatif solusinya: beri ruang-waktu bagi PT yang perlu dibina dengan peraturan yang dibuat PT itu dengan pendampingan pemerintah.
Alternatif lain, pemerintah menghapus kekakuan peraturan baru itu. Sebagai imbal bagi prestasi dosen yang bisa melebihi aturan, beri penghargaan untuk dosen dan institusi yang memenuhi kriteria terbaik. Dengan alternatif ini, pemerintah dapat memfokuskan peraturan yang membela banyak khalayak civitas academica Indonesia (yang heterogen), sekaligus memfokuskan usaha memberdayakan institusi dan dosen yang perlu pembinaan. Tentu tak luput memberi pacuan kepada institusi dan dosen yang sudah terbina, sudah maju, untuk lebih maju. Peran ini lebih sederhana. Jelas lebih memberikan otonomi ke penyelenggara PT, tetapi juga memberi kesempatan pemerintah menjalankan fungsi monev.
Dalam pertemuan rapat koordinasi PTS, Direktur Direktorat Kelembagaan dan Kerjasama Ditjen Dikti Hermawan Kresno Dipojono mengandaikan tekad untuk orientasi pada riset 2045 dapat tercapai jika tahun ini tekad itu jadi histeria massa ristek, terutama para pihak terkait civitas academica pendidikan tinggi. Sudah saatnya pemerintah ambil peran lebih bijak, bukan pada produk kaku yang menghambat kemajuan pihak tak berdaya. Pemerintah adalah pembela dan pemberdaya bangsa Indonesia, termasuk civitas academica perguruan tinggi.
ELISABETH RUKMINIPENGAJAR DI UNIKA ATMA JAYA, JAKARTA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 April 2015, di halaman 7 dengan judul "Jenjang Karier Dosen".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Organisasi sepak bola Tanah Air kembali dirundung kisruh. Bibitnya telah dimulai pada akhir 2014 ketika Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi berencana membentuk Tim Sembilan untuk membenahi persepakbolaan nasional. Kini, karut-marut itu kembali mencapai puncaknya. Pemerintah memutuskan membekukan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia.
Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) selama dua dasawarsa terakhir selalu menjadi rebutan sejumlah kubu. Selama itu pula masyarakat Indonesia dipertontonkan drama konflik internal dan saling sikut. Alih-alih memikirkan perkembangan sepak bola Indonesia, justru adu kepentingan antarkelompok yang ditonjolkan.
Indonesia pernah menjadi macan sepak bola Asia. Namun, itu dulu sekali. Sekarang, jangankan bersaing di Asia, menjadi yang terdepan di Asia Tenggara saja hampir mustahil. Di Piala Federasi Sepak Bola Asia Tenggara 2014, Indonesia bahkan tidak lolos dari fase grup. Di sini, Filipina meraih kemenangan pertamanya atas tim nasional sepak bola Indonesia.
Pada 1998, Indonesia pernah menduduki peringkat ke-76 ranking FIFA. Itu peringkat terbaik Indonesia sepanjang zaman. Berdasarkan daftar peringkat FIFA per April 2015, Indonesia berada di peringkat ke-159, berada di bawah Timor Leste di peringkat 152. Sungguh memalukan. Kini, sepak bola Indonesia miskin prestasi dan hanya kaya konflik.
Belum hilang dari ingatan ketika pada 2011 Andi Mallarangeng selaku Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) saat itu membekukan PSSI di bawah kepemimpinan Nurdin Halid. Keputusan pemerintah kala itu diambil untuk menyikapi kemelut di tubuh PSSI yang tidak memberikan tanda berakhir.
Nurdin Halid berhasil dilengserkan dari kursi kepemimpinan PSSI, tetapi masalah internal PSSI tak serta-merta usai. Setelahnya, tak hanya internal PSSI yang terpecah. Kompetisi pun terbagi dua menjadi Indonesia Super League (ISL) dan Indonesia Premier League (IPL).
Perpecahan kompetisi ini mendorong terjadinya "pengkloningan" klub peserta liga. Banyak klub mengalami dualisme kepemilikan, termasuk Arema Cronus dan Persebaya Surabaya. Penyelesaian masalah dualisme yang tidak tuntas di masa lalu itu menjadi masalah baru di era Imam Nahrawi sebagai Menpora yang bermaksud mereformasi persepakbolaan Indonesia.
Berawal dari Tim Sembilan
Kisruh bermula ketika pada awal Januari 2015 Menpora Imam Nahrawi membentuk Tim Sembilan dari kelompok profesional untuk membenahi persepakbolaan nasional. Pembentukan Tim Sembilan dilatarbelakangi oleh semakin meredupnya prestasi sepak bola Indonesia di kancah regional. Selain itu, persepakbolaan Tanah Air masih belum sepenuhnya terlepas dari kasus rekayasa hasil pertandingan (match fixing) dan tunggakan gaji pemain.
Tim Sembilan bertugas mendengarkan semua pihak terkait, mengumpulkan dan menganalisis permasalahan sepak bola nasional, kemudian memberikan rekomendasi kepada Kemenpora mengenai tindakan yang perlu diambil untuk meningkatkan prestasi sepak bola Indonesia.
Tim Sembilan beranggotakan Imam Prasodjo (sosiolog), Budiarto Shambazy (wartawan senior), Ricky Jacobi (mantan pesepak bola nasional), Gatot S Dewa Broto (Deputi Kemenpora), Nurhasan (akademisi), Djoko Susilo (mantan Duta Besar Swiss), Yunus Husein (mantan Kepala PPATK), Eko Tjiptadi (mantan Deputi Pencegahan KPK), dan Oegroseno (mantan Wakapolri).
PSSI bereaksi atas dibentuknya Tim Sembilan. Pada Kongres PSSI, 4 Januari 2015, banyak anggota PSSI yang hadir menyuarakan penolakan terhadap pembentukan Tim Sembilan. Tindakan Menpora dianggap sebagai intervensi negara terhadap PSSI.
PSSI mengadu kepada Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA). Sekretaris Jenderal FIFA Jerome Valcke merespons aduan itu dengan berkirim surat kepada pemerintah melalui Kemenpora. Valcke meminta Kemenpora dan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) tidak menunda penyelenggaraan ISL 2015. Valcke bahkan mengancam menjatuhkan sanksi kepada Indonesia jika Kemenpora dan BOPI terus melakukan intervensi terhadap PSSI.
Pemerintah jalan terus dengan Tim Sembilan. Pemerintah berkeras meyakinkan bahwa tujuan pembentukan Tim Sembilan sama sekali bukan untuk mengintervensi PSSI sebagaimana diharamkan dalam statuta FIFA.
Pada 27 Februari 2015, Menpora menyurati Presiden FIFA Sepp Blatter untuk menjelaskan duduk persoalan. Melalui surat itu, Menpora menyatakan, penundaan ISL justru untuk memastikan dipatuhinya regulasi FIFA terkait persyaratan klub profesional.
Selanjutnya, Menpora melalui BOPI melakukan verifikasi klub peserta ISL terkait lima aspek, yaitu manajemen, keuangan, atlet, pembinaan usia muda, dan tanggung jawab sosial. Hasilnya, hanya 30-40 persen persyaratan yang dipenuhi oleh 18 klub peserta ISL 2015.
Dari aspek legalitas, 10 klub tidak memiliki nomor pokok wajib pajak dan 13 klub tidak memiliki surat izin usaha perdagangan. Dari aspek keuangan, sembilan klub belum memenuhi laporan keuangan setahun terakhir. Selain itu, tidak ada satu pun klub yang melampirkan laporan pembayaran pajak, kontrak dengan pemilik stadion, dan surat pernyataan lunas tunggakan gaji.
Dari aspek atlet, 17 klub belum memenuhi kontrak pemain lokal, 15 klub belum memenuhi kontrak pemain asing, dan tidak ada satu pun klub yang telah memenuhi kontrak pelatih asing/lokal. Selain itu, semua klub belum memenuhi persyaratan terkait aspek pembinaan usia muda dan tanggung jawab sosial.
Untuk memberikan waktu kepada klub dalam melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi, BOPI merekomendasikan agar ISL 2015 dimundurkan dari jadwal kick off semula 20 Februari 2015.
Pertemuan PSSI, PT Liga Indonesia, dan wakil 18 klub dengan Kemenpora dan BOPI menghasilkan keputusan, kick offISL akan dimulai 4 April 2015 dengan catatan lima aspek profesionalitas klub telah terpenuhi.
Menjelang rencana kick off, pada 1 April 2015, BOPI mengeluarkan keputusan, hanya 16 klub yang direkomendasikan sebagai peserta ISL. Arema Cronus dan Persebaya Surabaya tidak memenuhi syarat sebagai klub profesional karena dualisme kepemilikan yang tak kunjung diselesaikan sejak 2011.
Di luar dugaan, PSSI tetap menggulirkan ISL dengan mengikutsertakan Arema Cronus dan Persebaya Surabaya. PSSI berdalih, sesuai keputusan Kongres PSSI dan laporan kepada FIFA, kompetisi ISL diikuti 18 klub. Ketidakikutsertaan satu saja dari 18 klub itu akan menyebabkan PSSI dinilai melanggar statuta FIFA dan PSSI. Ini akan berimbas pada sanksi FIFA terhadap PSSI.
Menpora memberikan surat peringatan kepada PSSI atas keikutsertaan dua klub yang bermasalah. Pembekuan PSSI menjadi jalan terakhir Menpora setelah tiga surat peringatan diabaikan PSSI. Melalui Surat Keputusan Nomor 01307 Tahun 2015 bertanggal 17 April 2015, pemerintah memutuskan tidak mengakui semua kegiatan dan keputusan PSSI, termasuk hasil Kongres Luar Biasa (KLB) di Surabaya, 18 April 2015, yang memilih kepengurusan PSSI periode 2015-2019. Dalam KLB, La Nyalla Mahmud Mattalitti terpilih menjadi Ketua Umum PSSI.
Kisruh Kemenpora-PSSI sepertinya akan tetap berlanjut meski PSSI telah dibekukan. PSSI akan terus mengatasnamakan FIFA dan memberikan momok sanksi yang akan merugikan Indonesia karena tidak bisa berkiprah dalam kancah regional atau internasional. PSSI pasti terus melawan.
Pemerintah tak seharusnya takut dengan ancaman-ancaman PSSI-FIFA. Kemenpora telah berada di jalur yang seharusnya. Arema Cronus dan Persebaya tidak bisa ditoleransi untuk mengikuti kompetisi selama tidak memenuhi syarat sebagai klub profesional. Aturan tetap harus ditegakkan.
Jika memang sanksi FIFA itu benar-benar jatuh, hal itu seperti dua sisi mata uang yang tidak mungkin berhadapan. Pasti ada efek positif dan negatif dari setiap keputusan yang diambil.
Di satu sisi, memang Indonesia akan mengalami kerugian besar karena "dikucilkan" dari pergaulan sepak bola dunia. Namun, di sisi lain, Indonesia dapat mengambil manfaat untuk menyusun kembali program sepak bola nasional dari titik nol yang terbebas darimatch fixing, tunggakan gaji pemain, serta masalah klasik PSSI lain yang sudah kronis dan mengakar.