Sementara kedua sumpah lainnya memperoleh porsi ruang, perhatian, dan wacana yang luas dalam pembicaraan sehari-hari.
Padahal, ketiganya—bangsa, tanah air, dan bahasa—merupakan tiga syarat eksistensial dan strategis sebuah negara (Indonesia). Karena itu, seruan mantan Menpora Abdul Gafur tentang terabaikannya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi meletupkan keprihatinan kita. Bahkan, bukan hanya penggunaan kalimat dan kosakata asing dalam ruang publik, melainkan juga penggunaan bahasa lebih sebagai pengikat lingkungan sosial ataupun usia tertentu.
Pujian kita sampaikan tentang upaya profetik sejumlah pemuda dari berbagai daerah dan suku pada 28 Oktober 1928 itu. Namun, pada saat yang sama, kita generasi penerus mengembangkan sikap dan tindakan yang sebaliknya. Kesatuan berbahasa Indonesia yang dijiwai nasionalisme—sari pati dan roh Sumpah Pemuda—kedodoran. Bahasa sebagai lambang, mengutip filsuf Wittgenstein, dalam konteks kita, bahasa Indonesia tergerus.
Kita bangga bahasa Indonesia mampu menjadi sarana pemersatu dalam berkomunikasi dengan ratusan suku. Senyampang itu fungsi pemersatu sekaligus lambang suatu bangsa direcoki perusakan bertubi-tubi yang dari sisi lain dikonfirmasi sebagai dinamika bahasa Indonesia.
Bertaburanlah kosakata asing di ruang publik, seperti di gedung perkantoran, pusat perdagangan, apartemen, kompleks perumahan, dan media massa. Karena berada di ruang dan urusan publik, dampak buruknya langsung ke publik. Dengan maksud menyedot daya tarik, kita melalaikan bahasa Indonesia.
Pasal 36 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 yang mengatur penggunaan bahasa Indonesia memang tumpul karena sanksi tidak dikenakan kepada pelanggarnya. Mungkin juga bukan dengan cara penerapan legal itu jalan terbaik, sebab kunci pokoknya keteladanan yang bisa lebih efektif dengan masih hidupnya budaya paternalistik (tokoh panutan).
Kesadaran berbahasa baku (dalam tulisan) yang baik dan benar berkembang oleh keteladanan, terutama di lingkungan lembaga negara dan swasta, guru dan pejabat, termasuk juga media massa yang semuanya berurusan dengan kepentingan umum.
Bahasa lisan tidak bisa dibakukan—bahasa baku hanya pada bahasa tulis—tetapi kalau dibiarkan bisa meliar. Apalagi kalau yang baku pun tergerus, bisa terjadi di masa depan bahasa Indonesia merosot kembali sebagailingua franca (bahasa pergaulan), dan meliar.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Baku Berbahasa Indonesia".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar