Harapan itu menguat bukan hanya karena kegamangan atas fenomena politik dalam negeri, melainkan juga karena terusik oleh gejala di panggung internasional. Politik dan perpolitikan cenderung memecah belah. Suka atau tidak, guncangan politik telah mengganggu perekonomian, menciptakan sensitivitas sosial, dan prasangka keagamaan.
Tanpa banyak disadari, intrik politik hanya mendorong proses pelapukan, yang dapat memperlemah sendi kekuatan Indonesia sebagai bangsa dalam menghadapi tekanan persaingan ketat dengan bangsa lain. Perlu dikemukakan pula, sejumlah negara di Afrika dan Timur Tengah terperangkap krisis hebat oleh ulah para politisi yang hidup dari oportunitas harian, tanpa memedulikan nasib rakyat, dan mempertaruhkan masa depan bangsa-negara. Kondisi buruk itu membuka pintu lebar bagi campur tangan asing, yang menambah runyam keadaan.
Dengan memperhatikan pergolakan di panggung dunia, Indonesia seyogianya sebagai bangsa yang sedang menghadapi masa pancaroba perlu berhati-hati. Para politisi dan elite diharapkan tetap menjaga kearifan, tidak melakukan provokasi untuk kepentingan sesaat, yang bisa mencelakakan eksistensi bangsa. Tuntutan sikap hati-hati semakin diperlukan, lebih-lebih karena sedang terjadi pergeseran dan perubahan hebat di tingkat global.
Sendi-sendi perekonomian Eropa dan Amerika Serikat tampak kedodoran sebagai dampak paham kapitalisme liberal yang menggebu-gebu, tanpa diimbangi praktik keadilan sosial. Sementara proses globalisasi mengalami kekusutan oleh krisis keuangan dan ekonomi yang melanda dunia dalam tahun-tahun terakhir ini. Ketimpangan ekonomi yang menciptakan frustrasi, kekecewaan, dan rasa putus asa menjadi pencetus munculnya radikalisme dan fundamentalisme di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali di AS yang dipandang sebagai kampiun demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia.
Pada lapisan yang lebih dalam, terus berlangsung ketimpangan ekonomi, yang tidak menempatkan prinsip keadilan sosial di atas segala kekuatan yang bersifat hegemonik dan dominasi. Fenomena ketidakadilan berlangsung pada tataran global antara negara kaya dan miskin. Tidak kalah mengerikan ketimpangan sosial juga terjadi di dalam setiap negara dan komunitas. Kemewahan segelintir orang berarti penderitaan bagi banyak orang akibat distribusi kekayaan negara yang timpang, antara lain karena salah urus atau praktik korupsi yang merajalela.
Tantangan yang dihadapi dunia di masa-masa mendatang tampaknya tidak semakin berkurang, tetapi justru bertambah. Masyarakat dunia tidak hanya direpotkan oleh kecenderungan pelemahan pertumbuhan ekonomi dan pergolakan politik ataupun radikalisme dan terorisme, tetapi juga oleh tsunami perubahan yang digerakkan oleh perkembangan teknologi digital. Perlu diakui, kemajuan digital merupakan pencapaian luar biasa yang telah membawa banyak manfaat dan keuntungan, tetapi sekaligus membawa dampak gangguan yang tidak kecil pula.
Gangguan digital, digital disruption, antara lain menghancurkan sistem nilai, pola komunikasi personal dan gagasan. Semakin sulit dibedakan antara asli dan palsu, benar dan salah, baik dan buruk. Melalui media sosial, yang salah bisa dibenarkan dan yang benar bisa disalahkan. Upaya mencari kebenaran,searching the truth, tampak sulit di media sosial karena cenderung mengutamakan adu kuat, adu lantang, dan adu cepat. Suara, voice, dilawan dengan kegaduhan, noice. Begitu banyak orang yang berceloteh, tetapi sedikit yang mendengarkan, termasuk terhadap suara nuraninya sendiri. Kebencian dan dengki diobral.
Kondisi kaotis ini diperkirakan akan terus memasuki tahun 2017 dan seterusnya. Faktor ketidakpastian tentang apa yang bakal terjadi telah menimbulkan ketakutan dan kecemasan. Senantiasa terjadi, setiap pergantian waktu, tahun dan zaman, selalu muncul kegamangan, kegalauan, dan ketidakpastian. Itulah yang menyiksa pikiran manusia sepanjang zaman dengan segala referensi keagamaan, mitos, dan legenda. Pertanyaannya, bukan hanya soal waktu yang baru akan lebih baik atau tidak, melainkan juga apakah waktu masih berlanjut atau berhenti, kiamat.
Namun, tidak dapat dimungkiri juga, pemahaman manusia tentang ruang dan waktu sudah berubah banyak. Sekadar disinggung kembali, masyarakat Barat semula khawatir siklus waktu satu milenium (1.000 tahun) akan memuncak menjadi akhir zaman. Sekalipun penanggalan 1.000 tahun sudah berlalu, kecemasan tetap ada karena waktu memang sarat misteri ketidakpastian.
Tidak kalah mengesankan pemahaman tentang waktu di dunia Timur, khususnya China Kuno, yang beranggapan mesin waktu bergerak dalam siklus 60 tahun. Siklus itu terus berulang-ulang sampai mencapai total waktu 3.000 tahun ketika manusia akhirnya menemukan keheningan dan perdamaian dalam sepi. Seluruh keinginan berhenti. Meski kurun 3.000 tahun sudah berlalu, kekhawatiran tentang berakhirnya waktu tidak juga hilang.
Ekspresi ketakutan, kecemasan, dan horor juga menghinggapi masyarakat Inca dan Aztec di Benua Amerika, yang berkeyakinan siklus waktu 52 tahun. Sebelum kolonial Spanyol datang tahun 1500-an, masyarakat Inca dan Aztec berkeyakinan matahari akan padam, bintang berjatuhan, dan bumi terlepas dari tambatannya jika dewa-dewi murka. Agar dewa-dewi tidak murka, sesajen berupa darah, hati, dan jantung manusia diberikan. Ribuan orang pun dikorbankan di altar batu setiap tahun. Itulah apa yang disebut horor atas nama agama, horor suci, holy horror, dalam buku James Haught terbitan 1990.
Namun, siklus waktu tidak hanya menciptakan horor dan kepanikan, tetapi juga kegembiraan dan dapat mengubah manusia menuju perubahan, karena seperti kata orang Romawi, tempora mutantur, et nos mutamur in illis (waktu berubah dan kita berubah di dalamnya). Tahun 2017 diharapkan akan mengubah bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik lagi. Selamat Tahun Baru 2017!