Pada 2014 pertumbuhan sektor tersebut masih 4,24 persen dan menurun menjadi 4,02 persen di 2015. Pada 2016 terjadi pelambatan pertumbuhan yang tajam di seluruh triwulan (I hingga III) jika dibandingkan 2015 (y-on-y). Pada triwulan I pertumbuhan menurun dari 4,01 menjadi 1,77 persen, triwulan II dari 6,86 menjadi 3,35 persen, dan triwulan III dari 3,34 menjadi 2,81 persen. Sektor pertanian mengalami pelambatan laju pertumbuhan selama dua tahun terakhir ini.
Ekspor komoditas pertanian pada Januari hingga Oktober 2016 menurun cukup tajam dari 3,1 miliar dollar AS di 2015 menjadi 2,7 miliar dollar AS atau penurunan sebesar 13,8 persen. Adapun ekspor lemak dan minyak hewan/nabati yang didominasi produk kelapa sawit juga menurun dari 15,6 miliar dollar AS menjadi 13,9 miliar dollar AS atau 11,1 persen (BPS, November 2016). Nilai ekspor kelapa sawit, karet, dan teh terus menurun dari tahun 2014 hingga saat ini. Sementara ekspor kopi, kakao, dan lada meningkat di tahun 2015 dibandingkan 2014 dan kemudian menurun tajam di tahun 2016.
Sebaliknya impor komoditas pertanian masih sulit untuk ditekan. Total impor biji-bijian (serelia), di antaranya gandum, jagung, dan beras, pada periode Januari-Oktober 2016 justru meningkat dari 2,48 miliar dollar AS di 2015 menjadi 2,75 miliar dollar AS atau meningkat 10,75 persen. Khusus untuk impor beras terus terjadi peningkatan tiga tahun terakhir, dari 472.000 ton di 2013 menjadi 844.000 ton (2014), 862.000 ton (2015), dan 1.163 ton (hingga Oktober 2016) (BPS, November 2016). Impor kelompok sayuran juga meningkat dari 466 juta dollar AS menjadi 567 juta dollar AS atau meningkat sebesar 21,69 persen. Sementara impor biji-bijian berminyak, terutama kedelai, sedikit menurun dari 1,08 miliar dollar AS menjadi 1,02 miliar dollar AS.
Harga pangan dan kesejahteraan petani
Harga beras pada 2016 relatif stabil dengan fluktuasi rendah yang menunjukkan produksi dan stok yang memadai di tahun ini. Perbedaan harga terendah dan tertinggi untuk beras medium rata-rata nasional hanya Rp 355 per kilogram dibandingkan Rp 1.027 per kilogram di 2015. Rata-rata harga beras medium nasional naik 5,4 persen dari Rp 10.153 di 2015 menjadi Rp 10.705 di 2016, jauh lebih rendah dibandingkan kenaikan di 2015 sebesar 13,5 persen (Kemendag, 2015-2016).
Produk dengan persentase impor sangat tinggi yaitu gandum dan kedelai, harganya di pasar domestik menurun karena turunnya harga kedua komoditas ini di pasar dunia. Untuk jagung dan gula yang persentase impornya juga cukup tinggi harganya di 2016 ini meningkat justru ketika harga di pasar internasional menurun. Hal ini tak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah yang membatasi impor jagung dan kesalahan prediksi produksi gula nasional sehingga impor terlambat dilakukan. Harga bawang merah juga meningkat tajam di tahun ini karena kebijakan pembatasan impor. Harga daging sapi masih sangat tinggi mendekati Rp 115.000 per kilogram, tetapi fluktuasi dan kenaikan harganya relatif rendah dibandingkan tahun 2015. Sumber protein lain, yaitu daging dan telur ayam ras, mengikuti pola fluktuasi tahunan dengan harga rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan tahun 2015.
Hal penting lain adalah kesejahteraan petani. Salah satu indikator kesejahteraan petani adalah nilai tukar petani (NTP). Meskipun NTP Gabungan Nasional masih berada di atas 100, nilai tersebut mengalami penurunan dari 102,03 (2014) menjadi 101,61 (2015) dan 101,67 (hingga November 2016). NTP tanaman pangan mengalami peningkatan dari 98,88 di 2014 menjadi 100,35 di 2015. Peningkatan NTP disebabkan harga beras yang melonjak tinggi di tahun tersebut. Pada 2016 NTP tanaman pangan terus menurun dari 103,94 di bulan Januari 2016 menjadi 98,17 di bulan November 2016.
Rekomendasi
Meskipun upaya keras membangun sektor pertanian masih menghadapi berbagai tantangan, sektor tersebut sangat penting bagi Indonesia dan masih menjadi penyumbang produk domestik bruto (PDB, menurut lapangan usaha) terbesar kedua setelah industri pengolahan. Hingga triwulan III-2016, PDB dari sektor ini sudah Rp 463,2 triliun. Distribusi sektor ini terhadap PDB menurut lapangan usaha juga terus meningkat dari tahun ke tahun, yaitu 13,34 persen di 2014 menjadi 13,52 persen di 2015 dan di atas 14,0 persen di 2016 (BPS, November 2016).
Sektor pertanian juga tetap penyumbang lapangan pekerjaan terbesar dengan jumlah pekerja di Agustus 2016 mencapai 37,77 juta orang meskipun sudah menurun lebih dari 1 juta orang dibandingkan Agustus 2014 (38,97 juta orang). Jumlah ini jauh melampaui sektor perdagangan (26,69 juta orang), jasa (19,46 juta orang), dan industri (15,54 juta orang).
Mengarusutamakan pembangunan sektor pertanian dan pangan memiliki dampak yang strategis bagi keberlanjutan pembangunan, termasuk pembangunan sumber daya manusia di Indonesia. Apalagi dari hasil kajian Indeks Kelaparan Global (IKG) 2016 dari International Food Policy Research Institute (IFPRI), posisi Indonesia masih terpuruk (IFPRI, Oktober 2016). Skor IKG Indonesia di tahun 2016 sebesar 21,9 yang menurun dari 28,6 di tahun 2008. Skor tersebut masih masuk dalam kategori "skala kelaparan serius" (skala 20,0-34,9). Di antara para tetangga di Asia, Indonesia berada di bawah Tiongkok (7,7), Malaysia (9,7), Thailand (11,8), Vietnam (14,5), Filipina (19,9), dan Kamboja (21,7), tetapi lebih baik daripada Myanmar (22,0) dan Sri Lanka (25,5).
Terdapat tiga dimensi IKG, yaitu persentase ketidakcukupan pasokan pangan, persentase anak kekurangan gizi, dan persentase kematian anak di bawah lima tahun. Pembangunan pertanian sangat terkait dengan pemenuhan kebutuhan kalori dan gizi masyarakat sehingga dapat menurunkan skala ketiga dimensi IKG tersebut.
Pemusatan perhatian yang terlalu berlebih pada program Pajale (Padi, Jagung, dan Kedelai) selama dua tahun terakhir ini mendistorsi pembangunan di subsektor lain yang penting dalam peningkatan devisa dan ekspor. Pemerintah perlu mulai memperhatikan sektor lain, terutama perkebunan rakyat yang NTP-nya terus menurun dan untuk tahun ini hanya berada di kisaran 96,14 (terendah) dan 98,91 (tertinggi). Pada kondisi saat ini, program pertanian tanpa reforma agraria adalah upaya "menjaring angin". Semua upaya peningkatan produksi hanya akan berada di atas kertas belaka dan defisit pangan dan impor pangan akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Redistribusi lahan untuk petani kecil sebagaimana yang diamanatkan dalam Nawacita harus benar-benar serius dilakukan.
Tata kelola pangan sangat terkait dengan ketersediaan data yang akurat terutama data produksi dan stok. Ketidakakuratan data menyebabkan kebijakan pangan bermasalah dan menimbulkan fluktuasi harga yang merugikan petani dan konsumen. Gejolak harga di tahun 2015 seharusnya menyadarkan kita bersama bahwa ada masalah serius terkait data.
Terakhir, peningkatan kesejahteraan petani harus menjadi fokus utama pembangunan pertanian. Kebijakan tata kelola pangan yang selama ini fokus ke kepentingan konsumen perlu diubah menjadi fokus ke kepentingan petani dengan menjamin harga yang menguntungkan di tingkat usaha tani. Pola subsidi (benih dan pupuk) dan berbagai bantuan yang selama ini terbukti tidak efektif perlu diubah menjadi pembayaran langsung dan subsidi output. Diharapkan melalui perubahan kebijakan yang mendasar terjadi peningkatan kesejahteraan petani dan meningkatkan ketertarikan generasi muda di bidang pertanian. Peningkatan produksi hanyalah buah dari upaya keras meningkatkan kesejahteraan petani dan bukan sebaliknya.
DWI ANDREAS SANTOSA
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia/AB2TI, dan Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Catatan Akhir Tahun Pertanian".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar