Mereka bertempur bersama kelompok bersenjata yang berafiliasi pada Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Kekhawatiran ini beralasan karena pekan lalu warga Tunisia, Anis Amri, melakukan aksi teror di Berlin, dengan menyerudukkan truk ke bazar Natal di pusat kota, yang menyebabkan 12 orang tewas dan puluhan luka-luka.
Sehari sebelum aksi teror itu terjadi, Pemerintah Tunisia menahan keponakan Amri, yang merupakan anggota sel teroris di Tunisia. Meskipun kejadiannya tidak saling terkait, sang keponakan ini berhubungan dekat dengan Amri, bahkan ia mengenal Amri sebagai pemimpin Brigade Abu al-Walaa yang berafiliasi dengan NIIS.
Dengan semakin terdesaknya posisi NIIS di berbagai front peperangan, khususnya di Suriah, kemungkinan mereka pulang ke negaranya untuk menyusun strategi baru sangat besar. Apalagi, Menteri Dalam Negeri Tunisia sebelumnya mengatakan kepada parlemen bahwa saat ini sudah 800 militan Tunisia yang kembali pulang.
Meskipun Pemerintah Tunisia berjanji akan mengawasi pergerakan orang-orang ini, kenyataan itu memunculkan ketakutan rakyat. Pihak keamanan Tunisia segera mengeluarkan pernyataan yang mendesak pemerintah Beji Caid Essebsi melarang militan pulang dan mencabut kewarganegaraan mereka.
Tunisia menjadi perhatian internasional setelah revolusi 2011 yang menggulingkan diktator Presiden Zine al-Abidine Ben Ali dan menyulut apa yang disebut Musim Semi Arab.
Pemerintahan baru Presiden Essebsi dan PM Youssef Chahed kemudian bertekad membawa negara ini di jalur demokrasi. Namun, kesulitan ekonomi yang dihadapi Tunisia membuat tingkat pengangguran tinggi, meskipun satu di antara tiga penganggur dipastikan adalah warga terdidik.
Pemerintahan Ben Ali yang koruptif, serta kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN), juga mewariskan kesenjangan ekonomi yang sangat lebar antara kelompok kecil kroni presiden dan warga kebanyakan. Oleh karena itu, akhir November lalu, Tunisia mengundang negara-negara di dunia untuk menanam investasi di Tunisia. Kuwait, Arab Saudi, Perancis, dan negara lainnya sudah menyatakan niat mereka untuk berinvestasi, sementara AS bersedia melatih pasukan lokal untuk melawan terorisme.
Kini, Presiden Essebsi menghadapi persoalan pelik. Di satu sisi dia tidak bisa melarang para militan pulang ke negerinya karena bertentangan dengan undang-undang, di sisi lain dia didesak memilih jalan yang bisa merawat stabilitas politik dalam negeri dan pemulihan ekonomi Tunisia.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Ancaman untuk Tunisia".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar