Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 06 Oktober 2017

Normalisasi Kebijakan Moneter (J SOEDRADJAD DJIWANDONO)

Tanggal 20 September lalu, bank sentral Amerika Serikat (The Fed) dalam rapat penentuan kebijakan moneter- Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) yang diadakan delapan kali satu tahun-memutuskan untuk tidak mengubah suku bunga acuan (fed-funds rates atau prime rates) yang saat ini berkisar 1-1,25 persen.

Fed juga memutuskan untuk memulai program mengurangi besarnya portofolio sekuritas dalam neracanya pada Oktober nanti. Sejak krisis keuangan global (global financial crisis) tahun 2008, neraca Fed menggelembung menjadi 4,5 trilliun dollar AS, meningkat lebih dari empat kali dibandingkan posisi sebelum krisis. Apa arti dan implikasi tindakan tersebut buat perekonomian negara-negara yang ekonominya berkembang, termasuk Indonesia?

Membengkaknya neraca Fed

Fed dalam menjalankan tugas gandanya-menjaga kestabilan moneter dan mendorong pertumbuhan ekonomi- menghadapi tantangan berat pada waktu berkembangnya krisis keuangan global tahun 2008 yang diikuti dengan resesi berkepanjangan atau the great recession. Krisis finansial global sebagaimana diketahui berkembang dari krisis kredit hipotek bawah standar (subprime mortgage loans) untuk perumahan di AS yang menjadi sistemik menjalar ke mana-mana setelah megabank Lehman Brothers dibiarkan bangkrut September 2008.

Fed sebagai penjaga gawang moneter, selain menjalankan tugasnya menyelamatkan perbankan dan lembaga keuangan yang menghadapi kesulitan likuiditas waktu krisis, juga berupaya mendorong pertumbuhan setelah perekonomian AS mengalami resesi. Aspek kedua ini biasanya lebih merupakan tugas pemerintah untuk menghadapinya melalui stimulus fiskal.

Akan tetapi, karena pertentangan politik antara Partai Demokrat dan Partai Republik mengenai besarnya anggaran dan defisit stimulus fiskal yang ditakutkan akan membengkakkan anggaran dan defisit menjadi pertentangan politik sehingga sangat sulit direalisasikan. Stimulus fiskal hanya terlaksana pada awal masa resesi di mana Pemerintah AS menggunakan anggarannya membantu sektor keuangan dan sektor riil, termasuk industri otomotif, melalui troubled asset relief program (TARP) pada akhir tahun 2008. Melalui G-20, AS juga mendorong negaranegara lain melaksanakan langkah serupa, di mana Indonesia juga melaksanakannya waktu itu.

Menghadapi kenyataan tersebut, Fed melaksanakan kebijakan moneter yang menurut pendapat saya bersifat menggantikan tindakan fiskal yang tidak jalan karena kebuntuan politik (political gridlock). Fed melaksanakan kebijakan moneter yang sangat longgar melalui penurunan suku bunga acuan (prime rates) menjadi sangat rendah, bahkan sampai nol, dikenal sebagai kebijakannear zero rate of interest (NZIRP) danzero interest rate policy (ZIRP). Negara maju lain, Eropa dan Jepang, malah menerapkan suku bunga negatif (NIRP).

Selain itu, Fed juga melaksanakan program pembelian besar-besaran sekuritas, baik surat utang pemerintah (treasury securities) maupun yang dikeluarkan perusahaan, terutama yang dikenal sebagai mortgage-based securities (MBS). Surat utang lembaga-lembaga keuangan yang berbasis pada tagihan atas pinjaman hipotek. Kedua langkah ini, suku bunga sangat rendah dan pembelian sekuritas, dilakukan sejak tahun 2008, dikenal sebagai kebijakan moneter nonkonvensional (unconventional monetary policies).

Tidak konvensional karena suku bunga yang sangat rendah atau nol, apalagi negatif, memang bukan suatu kelaziman dalam keuangan. Adapun pembelian surat utang (MBS) pada dasarnya berarti Fed memberi pinjaman kepada perusahaan yang bergerak dalam perumahan dan properti yang bukan merupakan tugas bank sentral. Bank sentral hanya memberi pinjaman kepada bank-bank dalam fungsinya sebagailender of last resort (LOLR).

Sasaran yang diinginkan adalah menurunkan suku bunga jangka panjang untuk mendorong masyarakat melakukan investasi, menggunakan kredit perbankan yang murah. Pembelian sekuritas mempunyai sasaran serupa karena dengan pembelian sekuritas tersebut suku bunga juga akan tertekan turun. Kebijakan ini telah menyelamatkan perekonomian AS dari depresi ala tahun 1930-an. Tingkat pengangguran yang pada tahun 2008/2009 mencapai 10 persen, beberapa waktu terakhir menjadi 4,4 persen. Sementara laju inflasi yang disasarkan sekitar 2 persen, dalam realisasinya tetap di bawah tingkat itu.

Mengenai bank sentral membantu likuiditas kepada perbankan di Indonesia, banyak pihak yang berpendapat bahwa pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat krisis perbankan tahun 1997/1998 salah. Tentu saja itu adalah hak setiap orang untuk berpendapat. Akan tetapi, langkah tersebut dilaksanakan BI atas dasar tugasnya sebagai LOLR untuk menyelamatkan sistem pembayaran dan perbankan, bukan menyelamatkan pemilik bank atau bankir, apalagi sekelompok bankir tertentu. Kebijakan tersebut diterapkan secara tanpa diskriminasi (indiscriminate) kepada semua bank yang mengalami bank run(penarikan dana secara besar-besaran oleh nasabah) karena krisis. Pembelian sekuritas (MBS) oleh Fed pada waktu krisis finansial global dan resesi berkepanjangan selama bertahun-tahun pada dasarnya sama dengan fasilitas BLBI untuk penyelamatan perbankan dalam masa krisis perbankan 1997/1998.

Kembali kepada kebijakan moneter konvensional

Karena sejak dua tahun terakhir perekonomian AS menunjukkan tanda-tanda kembali secara stabil-laju pertumbuhan rendah tetapi berlanjut, tingkat pengangguran yang berada pada posisi full employment (kondisi penggunaan tenaga kerja penuh)-Fed ingin mengubah kebijakan moneternya, meninggalkan kebijakan moneter nonkonvensional (unconventional monetary policies) kembali ke kebijakan normal.

Suku bunga prime rates, acuan buat pinjaman antarbank harian, dinaikkan sejak Desember 2015. Pada tahun 2017, sudah dua kali dinaikkan dengan seperempat persen ke tingkat yang sekarang dengan rencana untuk dinaikkan sekali lagi pada akhir tahun.

Bagaimana dengan program pembelian sekuritas atau quantitative easing (QE)? Implikasi dari kebijakan moneter longgar dalam bentuk pembelian sekuritas yang juga dikenal sebagai QE adalah Fed memegang sekuritas dalam jumlah yang semakin besar dalam neracanya. Selama delapan tahunan melaksanakan QE sekuritas yang dipegang Fed menumpuk dari di bawah 1 triliun dollar AS sebelum krisis menjadi sekitar 4,5 triliun dollar AS dewasa ini. Langkah kembali kepada kebijakan moneter normal adalah dengan mengurangi timbunan sekuritas dalam neraca Fed (lihat "Mencermati Perampingan Neraca Fed", Soedradjad Djiwandono, Kompas, 14/6).

Sampai sekarang, setiap Fed menerima kembali dana karena sekuritas yang dipegangnya jatuh tempo langsung diinvestasikan kembali dengan membeli sekuritas baru sehingga tidak terjadi penarikan likuiditas dari perekonomian. Akan tetapi, mulai Oktober nanti Fed akan membuat cap dari sekuritas yang jatuh tempo, mulai dari 10 miliar dollar AS terus dinaikkan sampai 50 miliar dollar AS sehingga secara bertahap jumlah sekuritas akan menurun.

Sampai sekarang belum jelas berapa tingkat sekuritas yang dianggap normal, tetapi semua gubernur berpendapat bahwa tingkat baru nanti akan jauh lebih tinggi daripada sebelum krisis, mungkin berkisar 2 triliun dollar AS-3 triliun dollar AS. Jika itu benar, sekuritas yang akan dibiarkan jatuh tempo adalah antara 1,5 triliun dollar AS dan 2,5 triliun dollar AS. Artinya, itulah jumlah likuiditas yang akan disedot kembali dari jumlah yang sekarang beredar.

Selalu waspada

terhadap perubahan

Baik kenaikan suku bunga maupun penarikan likuiditas lewat perampingan neraca Fed akhirnya akan memengaruhi keuangan dunia. Sampai sekarang kenaikan suku bunga prime rate Fed, selain dilakukan dengan bertahap, juga belum diikuti bank sentral negara-negara maju lain. Akan tetapi, dewasa ini perekonomian di Eropa yang mulai membaik, bahkan juga di Jepang, tentu akan memengaruhi Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB), Bank Sentral Inggris (Bank of England/BoE) dan Bank Sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) untuk mulai keluar dari kebijakan moneter longgar mereka, baik NIRP maupun pembelian sekuritas seperti dilakukan Fed.

Pada waktu Fed meningkatkan prime ratebulan Maret lalu, kekhawatiran timbulnya gejolak di negara-negara berkembang Asia karena aliran balik modal keluar dari negara-negara ini ke AS seperti gejolak pasar (taper tantrum) 2013 tidak terjadi. Menurut saya, itu karena Fed sendirian melakukan hal tersebut (lihat "Saved by the Bell", Soedradjad Djiwandono, The Jakarta Post, April 2017).

Jika perkiraan saya benar bahwa tindakan Fed merampingkan neracanya akan diikuti dengan tindakan serupa oleh ECB, mungkin juga BoE dan BoJ, maka negara-negara berkembang harus bersiap diri menghadapi penciutan likuiditas yang akan mendorong aliran balik kapital dari negara-negara berembang, termasuk Indonesia kembali ke AS dan negara-negara maju lain.

Benar bahwa kondisi keuangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sudah jauh lebih solid dibandingkan masa silam-kapitalisasi bank-bank bagus, keterpaparan (exposures) dan sumber pendanaan bank-bank sehat, pengelolaan sistem nilai tukar bagus, cadangan devisa aman-sehingga gejolak seperti taper tantrum 2013 rasanya tidak akan terjadi.

Akan tetapi, itu tidak berarti kita boleh berpuas diri, apalagi lengah. Kewaspadaan dalam semangat elektisisme-selalu waspada, siap diri, fleksibel, gesit (nimble), selalu siap mengambil posisi karena tuntutan perubahan-harus tetap menjadi sikap kebijakan moneter dan para pelaku ekonomi dalam menghadapi kondisi penuh risiko dan ketidakpastian sekarang.

Bank Indonesia baru saja menurunkan lagi suku bunga referensi dengan seperempat persen setelah bulan lalu melakukan hal yang sama. Saya kira langkah itu merupakan langkah membuat ruang gerak yang lebih baik kalau nantinya harus memperketat posisi moneter karena menghadapi terjadinya arus balik kapital sebagai implikasi negara-negara maju meninggalkan kebijakan moneter nonkonvensional mereka, kembali kepada kebijakan moneter normal.

J SOEDRADJAD DJIWANDONO

Guru Besar Ekonomi Emeritus, Universitas Indonesia dan Guru Besar Ekonomi Internasional, RSIS, Nanyang Technological University (NTU) Singapore

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Oktober 2017, di halaman 6 dengan judul "Normalisasi Kebijakan Moneter".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger