Seperti diberitakan laman Kompas.com (11/8), materi sadar pajak tidak akan berbentuk mata kuliah tersendiri, tetapi diselipkan dalam mata kuliah wajib umum, antara lain Pancasila dan Pendidikan Agama. Landasan kebijakan ini lebih bermuatan praktis daripada akademis. Ada tiga alasan yang menyebabkan penulis skeptis mengenai efektivitas kebijakan ini.
Pertama, kewajiban membayar pajak memiliki karakteristik yang membedakannya dengan kewajiban-kewajiban yang timbul dari pengamalan nilai-nilai agama dan Pancasila.
Kewajiban yang timbul akibat penundukan seseorang terhadap nilai-nilai agama dan Pancasila memberikan manfaat bagi diri dan kelompoknya, sedangkan kewajiban membayar pajak hanya memberikan manfaat bagi kelompok yang pemenuhannya justru mengurangi kemampuan ekonomis seseorang.
Secara akademis, sulit menyimpulkan bahwa kepatuhan membayar pajak memiliki bandingan dengan kadar religi dan patriotisme seseorang. Konkretnya, tidak ada jaminan bahwa seseorang yang taat pajak akan berakhlak mulia atau sebaliknya. Pun tidak ada janji dari pemerintah untuk membangun patung atau memberikan gelar pahlawan nasional bagi seseorang yang tak pernah menghindar atau mengelak dari kewajiban untuk membayar pajak.
Kedua, kewajiban membayar pajak bersumber dari norma hukum, terutama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ini berbeda dengan nilai-nilai agama yang bersumber dari dogma, yaitu seperangkat ajaran yang wajib diterima sebagai hal yang benar dan tidak boleh dibantah (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Kewajiban membayar pajak tidak didasarkan pada postulat bahwa membayar pajak adalah perilaku yang benar atau patriotis. Berbeda dengan itu, membayar pajak merupakan perilaku yang koheren dengan kebebasan yang dimiliki oleh masing-masing penduduk untuk mengakses sumber-sumber ekonomi yang dimiliki dan dipelihara oleh negara tempat mereka berdomisili.
Keadaan ini pula yang memberikannexus bagi pemerintah untuk memungut pajak dari orang-orang yang berada dalam yurisdiksinya.
Ketiga, norma pajak bersifat dinamis. Berbeda dengan nilainilai agama dan Pancasila yang bersifat statis, norma hukum yang mendasari kewajiban membayar pajak bersifat dinamis. Memang, peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berbentuk undang-undang belum berubah secara signifikan dalam kurun waktu satu dekade terakhir. Namun, pemenuhan kewajiban pajak sehari-sehari diatur pula pada peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis berada di bawah undang-undang.
Seseorang yang ingin memenuhi kewajiban Pajak Penghasilan (PPh)-nya dengan benar, misalnya, tak cukup hanya memahami pasal-pasal dan penjelasan pasal-pasal pada UU Pajak Penghasilan (UU PPh) dan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), tetapi juga harus memahami pasal-pasal yang terdapat pada peraturan menteri dan peraturan direktur jenderal di bawah UU PPh dan UU KUP yang tidak jarang mengalami perubahan dari tahun ke tahun.
Dua solusi
Ada dua solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan di atas dan dalam rangka mengefektifkan Gerakan Sadar Pajak.
Pertama, kewajiban membayar pajak harus secara gamblang disosialisasikan sebagai kewajiban hukum yang pelanggaran terhadapnya memiliki konsekuensi hukum administrasi dan pidana. Ketidakpatuhan membayar pajak dapat dibandingkan dengan, misalnya, perilaku korupsi, yang kecelaannya direspons oleh masyarakat dengan gerakan-gerakan antikorupsi.
Untuk hal ini, inklusi kesadaran pajak dalam pendidikan formal tidak cukup dengan materi sisipan, tetapi juga harus dengan kurikulum dan modul yang komprehensif, sesuai dengan kaidah-kaidah pedagogi yang baik. Investasi ini layak dilakukan demi merealisasikan potensi pembayar pajak yang berasal dari 50 juta orang pembelajar di berbagai jenjang pendidikan (http://pajak.go.id/content/article/inklusi-kesadaran-pajak-investasi-masa-depan, 14/8/2017).
Kedua, dalam rangka memudahkan pemahaman masyarakat terhadap isi peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, materi pendidikan yang disiapkan untuk metode pembelajaran tatap muka ataupun metode lainnya tidak boleh berbentuk pengulangan redaksi pasalpasal yang terdapat pada suatu peraturan.
Materi itu sebaiknya berbentuk infografis, yang selain meluweskan bunyi pasal-pasal yang kaku, dapat menjadi acuan praktis wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya. Penggunaan teknologi informasi juga menjadi faktor penentu keberhasilan pendidikan pajak.
Akhirnya, pendidikan pajak harus didasarkan pada suatu kejujuran mengenai karakteristik dari kewajiban membayar pajak. Ketidakpatuhan membayar pajak tidak cukup ditempatkan sebagai pelanggaran norma agama yang berakibat pada dosa, atau pelanggaran etika yang berakibat pada sanksi moral, tetapi juga sebagai pelanggaran hukum yang berakibat pada sanksi hukum.
Untuk itu, inklusi kesadaran pajak dalam pendidikan formal justru harus memaparkan berbagai prestasi DJP dalam menegakkan hukum pajak. Perlu diingat, dalam konteks internasional, kerja sama pertukaran informasi dan rangkaian kegiatan pemberantasan Base Erosion and Profits Shifting (BEPS) yang digiatkan negara-negara G-20 menempatkan pengelakan pajak sebagai perbuatan abusif yang merugikan keuangan negara dan bukan sebagai perbuatan dosa atau amoral.
ADRIANTO DWI NUGROHO
Dosen Fakultas Hukum UGM, Mahasiswa Doktoral di University of Helsinki, Finlandia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar