Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 06 Oktober 2017

Pansus dan Panggung Politik//Film G30S, Perlu dan Mendesakkah? (Surat Pembaca Kompas)

Pansus dan Panggung Politik

Kiprah Panitia Khusus Angket DPR yang digelar sekian lama ini sungguh membosankan. Sasaran bidiknya hanya terfokus pada pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi. Setiap hari diperdengarkan silat lidah berkepanjangan.

Pantaskah sepak terjang Pansus DPR itu dikategorikan munafik? Katanya akan menguatkan, kenyataannya justru terus mencari celah kelemahan KPK ke arah pembekuan dan pembubaran lembaga antikorupsi itu.

Sebagian "pendekar" angket katanya merupakan partai pendukung pemerintah, kenyataan di lapangan justru berbalik punggung, bahkan lebih getol berupaya melucuti kekuatan KPK.

Presiden Joko Widodo sangat mendukung kiprah KPK untuk memberantas korupsi. Bila begitu, timbul pertanyaan: apakah yang dilakukan anggota DPR pendukung pemerintah itu boleh dibilang bermuka dua, suatu seni bersandiwara ala politikus, ataukah tergolong man of honour yang pola hidupnya di atas nilai-nilai luhur, martabat, dan harga diri sebagai seorang manusia?

Kita sedang dilanda banyak masalah bangsa. Di antara soal itu, yang menonjol adalah krisis keteladanan, krisis moral, dan krisis keluhuran budaya. Padahal, kekuatan dan kebesaran suatu bangsa berpangkal pada kekuatan karakternya.

Panggung politik yang kita tonton sekarang mengingatkan saya pada ungkapan mahafisikawan Albert Einstein: "Try not to become a man of success, but rather try to become a man of value."

Perlukah Pansus tersebut diperpanjang? Saya pesimistis pada jawaban "ya" atas pertanyaan itu.

SETYO SOEDRADJAT

Dosen Pascasarjana Universitas Budi Luhur, Jakarta

Film G30S, Perlu dan Mendesakkah?

Kini terjadi polemik tentang penayangan kembali film Pengkhianatan G30S PKI.Sebagai menantu seorang perwira Angkatan Udara/AURI, juga mempunyai kerabat perwira AURI, saya ingat derita almarhum ayah mertua saya, juga teman-teman seangkatannya, yang bertahun-tahun sebelum 1998 menyaksikan film itu diputar.

Kesatuan mereka terpojok tanpa bisa memberi klarifikasi karena zaman belum mengizinkan. Derita itu sudah lama ditangkap slagorde AURI dan, ketika masa Reformasi 1998, sejumlah perwira tinggi AURI yang dipimpin Marsekal Saleh Basarah (KSAU 1973-1977, wafat pada 11 Februari 2010), Marsekal Wisnu Djajeng Minardo, dan lain lain memohon Departemen Penerangan cq Menpen Yunus Yosfiah agar TVRI menyetop pemutaran film itu. Sebelumnya mereka juga mohon kepada Depdikbud cq Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Yuwono Sudarsono (1998-2001).

Menpen Yunus Yosfiah sangat tanggap: selain menghentikan pemutaran film itu di TVRI, juga menyetop penayangan filmJanur Kuning dan Serangan Fajar, seperti yang terungkap di Kompas edisi 24 September 1998.

Setelah 1998 mulailah terbuka ruang untuk membuat film tentang derita para korban: Terang dalam Kelam (2006),Tumbuh dalam Badai (2007), Seni Ditating Zaman (2008), Tjidurian (2009),Plantungan--Potret Derita dan Kekuatan Perempuan yang dibuat oleh Lembaga Kreativitas Kemanusiaan.

Kemudian film dokumenter Barat sepertiThe Shadow Play (2001), Terlena--Breaking of Nation ( 2004), 40 Years Silence, An Indonesian Tragedy (2009).

Mengapa harus dibuat film-film itu? Karena Orba juga membuat film dengan versinya sendiri. Selain Pengkhianatan G30S PKI, juga beredar Janur Kuning(sutradara Alam Surawidjaja, 1979),Serangan Fajar (Arifin C Noer, 1981),Penumpasan Sisa-Sisa PKI Blitar Selatan(1986), Operasi X (Misbach Jusa Biran 1968), Djakarta 1966, dan Gema Kampus 66 (Asrul Sani, 1988 ).

Tempo secara periodik membuka peristiwa-peristiwa di balik G30S. Di sana Ariel Heryanto, mahaguru Australian National University, menulis dengan gamblang yang judulnya "Film, Teror Negara, dan Luka Bangsa". Kesimpulan majalah itu: ajaran komunisme sudah bangkrut, tak laku lagi. Di Rusia hancur, di RRC malah sudah berubah ke arah kapitalisme. Yang dipercaya sekarang hanyalah stigmatisasi (Tempo, 1-7 Oktober 2012).

Saya setuju dengan pendapat Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu bahwa memutar film itu hanya akan menimbulkan keributan. Masih banyak PR yang harus dikerjakan, seperti radikalisme yang nyata di depan mata dan terang-terangan sudah mengancam keutuhan bangsa dan negara. Saya sekadar mengemban amanat para orang tua.

IGN SUNITO

Bintaro, Tangsel, Banten

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Oktober 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger