Nyawa demokrasi Indonesia menghadapi ancaman dari tiga wabah epidemik: pendangkalan penalaran, dekadensi etis, dan kekerasan ekspresi. Rongrongan dari ketiga penyakit menular itu berpotensi mematikan. Sebab, seperti diingatkan oleh Juergen Habermas (1983), kesehatan ruang publik memerlukan interaksi setimbang dari kewarasan dimensi kognitif-saintifik, praktis-moral, dan ekspresif-estetik.

Pendangkalan penalaran tecemin dari ketergesaan melakukan generalisasi dan penghakiman dengan kesembronoan logika oposisi biner (hitam-putih). Contoh dari kecenderungan itu diwakili oleh pertanyaan dalam diskusi publik, "Apakah kitab suci itu fiksi atau bukan?"

Jika kitab suci itu fiksi belaka, realitas keberadaan sosok Nabi Muhammad, Yesus Kristus, dan Sidharta Gautama, yang dikisahkan dalam kitab suci agama masing-masing, harus dipandang sebagai fiksi. Hal ini merupakan penyangkalan terhadap fakta historis eksistensi ketiga sosok agung itu. Bagaimanapun juga, sebagian besar isi kitab suci itu mengandung kisah-kisah kesejarahan berbasis realitas faktual (setidaknya menurut keyakinan pemeluknya). Selebihnya, ada pula narasi doktrinal, juga nubuat dan keyakinan eskatologis yang memiliki kedekatan dengan "fiksi". Melakukan generalisasi secara serampangan dengan menyimpulkan kitab suci sebagai fiksi mencerminkan ketidakcermatan nalar ilmiah, yang secara politik kewargaan kurang sensitif terhadap tuntutan political correctness (adab ujaran politik yang benar) dalam diskursus publik dengan ragam identitas.

Ketidakpekaan terhadap tuntutan political correctness mencerminkan peluruhan etika publik. Dalam beberapa tahun terakhir, wacana publik mengalami gelombang pasang ujaran kebencian melalui fabrikasi politik identitas yang eksklusif dan diskriminatif. Berbagai serangan verbal dan ujaran semena-mena dilontarkan tanpa sikap empati terhadap posisi dan perasaan identitas yang berbeda. Kita seakan lupa bahwa keanggotaan dalam suatu bangsa memerlukan "kebajikan kewargaan" (the virtue of civility), yakni rasa pertautan dan tenggang rasa di antara ragam perbedaan serta kesediaan untuk berbagi substansi bersama, melampaui kepentingan kelompok, untuk kemudian melunakkan dan menyerahkannya secara toleran ke tertib sipil.

Meski demikian, respons terhadap kekeliruan dalam diskursus publik sebaiknya tidak menggunakan sarana pembungkaman dengan senantiasa menyeretnya ke aparatur penegak hukum. Terlalu mudah menghukum seseorang hanya karena bait-bait puisi—yang secara teoretis memiliki kebebasan licentia poetica—atau karena kekhilafan menarik kesimpulan dalam diskursus publik bisa mengancam budaya demokrasi.

Perlu disadari bahwa demokrasi yang sehat memerlukan topangan budaya ekspresif-estetik yang kuat. Kebebasan bicara bukan saja suatu hak negatif yang harus dilindungi dari berbagai bentuk upaya pembungkaman, melainkan juga suatu hak positif yang harus terus diasah agar warga negara cakap mengekspresikan pikiran dan aspirasinya secara argumentatif dan estetik (tanpa kekerasan).

Dalam kaitan dengan demokrasi dan kebebasan, John Stuart Mill (1806-1873) melalui karyanya, On Liberty, mengingatkan tentang lonceng kematian kebebasan yang ditimbulkan oleh pemaksaan pendapat. Mill menentang keras kecenderungan khalayak untuk melarang pendapat yang tidak mereka setujui. Pembungkaman atas sebuah pendapat adalah kejahatan dengan prinsip bahwa setiap orang berhak mengemukakan pendapatnya. Kebebasan berbicara harus dilindungi karena manusia pada dasarnya tidaklah tanpa kesalahan. Karena kemungkinan kesalahan setiap manusia itulah sikap intoleran terhadap pendapat yang berbeda (bahkan yang keliru) adalah salah.

Mill tidaklah berbicara dalam konteks negara otoriter atau diktator, tetapi tentang negara demokratis. Ketika Mill menulis, di Inggris, kebebasan untuk menyatakan pendapat sudah mantap terjamin dalam hukum. Akan tetapi, justru dalam situasi ini ancaman baru muncul, yaitu ancaman dari masyarakat sendiri yang tidak toleran. Dalam negara yang demokratis, bahaya terhadap kebebasan berpikir dan berpendapat tidak lagi datang dari negara, sebagaimana terjadi pada negara-negara otoriter, tetapi dari masyarakat sendiri.

Kekhawatiran Mill tentang potensi ancaman terhadap kebebasan demokratis dari jantung masyarakat sendiri mendapatkankan relevansinya dalam konteks kemunculan fanatisme dalam ruang publik Indonesia saat ini. Fanatisme, baik bersifat sekuler maupun keagamaan, bersifat iconoclast, yakni menolak prinsip representasi (lembaga perwakilan) di politik, menolak perbedaan tafsir, dan menolak kreativitas ekspresi estetik.

Dengan klaimnya sebagai penjaga "kebenaran", kelompok-kelompok fanatik cenderung anti-kebebasan dan melancarkan aksi kekerasan dalam memperjuangkan pemahamannya. Dengan demikian, fanatisme menghadang usaha konsolidasi demokrasi yang mensyaratkan adanya sikap kewargaan yang inklusif. Suatu kesiapan untuk mentransendensikan diri dari perbedaan yang tak terelakkan demi mengutamakan substansi yang mendukung kebajikan bersama.