Asian Para Games 2018 di Jakarta, 6-13 Oktober, merupakan rangkaian kegiatan olahraga terbesar di Asia setelah Asian Games.

Ini merupakan peristiwa yang sangat penting, akan membanggakan bagi Indonesia jika pelaksanaannya sukses. Sebaliknya, sangat memalukan jika tak sesuai dengan yang diharapkan, terutama bagi difabel.

Dalam sejarahnya, Asian Para Games (APG) pertama kali disertakan dalam rangkaian Asian Games (AG) tahun 2010 di Guangzhou, China, kemudian diteruskan pada 2014 di Incheon, Korea Selatan, dan tahun 2018 di Jakarta. Sebelum bernama Para Asian Games, kejuaraan olahraga kaum difabel di Asia ini punya arena tersendiri, yaitu di Far East and South Pacific Games for the Disabled (Fespic)Games yang sudah diadakan sembilan kali sejak pertama kali diadakan pada 1975 hingga yang paling akhir tahun 2006 di Kuala Lumpur.

Bergabungnya olahraga difabel dan nondifabel menjadi satu rangkaian seperti Olympic Games dan Para Olympic Games, AG dan APG, SEA Games dan Para SEA Games, tentu saja didorong semangat inklusivitas: kaum difabel adalah sama dan tak perlu dipisahkan, untuk itu haruslah diikutsertakan. Barangkali muncul pertanyaan, kenapa tidak dilebur dalam "games" yang sama dengan nondifabel? Kenapa mesti ada olahraga sendiri jika yang diinginkan adalah persamaan dan keterlibatan?

Sebagaimana kata "para" yang dalam bahasa Yunani artinya "sisi lain", berarti kegiatan lain yang merupakan serangkaian,  maka APG pada prinsipnya adalah satu sisi dari AG. Sungguh tak mungkin jika difabel dan nondifabel saling berlomba. Sebagaimana tidak masuk akal jika kuda dan kelinci harus beradu lari atau keong dan kancil harus berlomba ketangkasan. Sebab, mereka memiliki bentuk tubuh dan kemampuan sensorik yang berbeda. Prinsip dari inklusivitas selain penerimaan adalah ekuitas (equity), yang artinya memberikan porsi kepada setiap individu sesuai kebutuhannya.

Memahami difabelitas

Sebagaimana tersirat dalam gemerlap pembukaannya, AG bertujuan merayakan berbagai bentuk perbedaan. Perbedaan budaya, suku, agama, dan berbagai hal yang ada di Asia.

Meski demikian, dalam pembukaan AG, perbedaan yang sangat ditonjolkan hanyalah keragaman agama, suku, dan budaya. Difabelitas yang merupakan elemen penting masyarakat Indonesia luput dalam perayaan akbar dan gemerlap tersebut. Padahal, kaum difabel adalah bagian dari kegiatan yang tak terpisahkan itu. Agar pesan-pesan inklusivitas pada kaum difabel mengena dengan kuat, pembukaan dan penutupan AG dan APG seharusnya menjadi satu kegiatan yang tak perlu dipisah-pisah.

Mereka hanya berbeda dalam olahraga, tetapi tetap dalam satu rangkaian yang tak perlu untuk dibedakan atau dipisah. Kehadiran mereka justru jadi bagian kolaborasi pertunjukan kesenian, yang selain akan memberikan pesan inklusivitas kuat, juga memberikan perluasan makna bagi seni yang selama ini banyak "didominasi" nondifabel.

APG menjadi sedemikian penting, terutama sebagai bagian dari gerakan kesamaan hak difabel dalam masyarakat. Dengan demikian, memaknai dan mengonsepkan difabelitas dalam APG jadi sangat krusial, bagaimana melihat difabelitas akan sangat menentukan bagaimana arah APG diagendakan.

Selama berabad-abad, penyandang disabilitas telah dianggap sebagai orang sakit, orang lemah, orang tak berdaya, dan patologi sosial. Cara pandang medis begitu dominan dalam melihat difabelitas. Mereka mengonsepkan difabelitas sebagai tragedi individu yang menimpa seseorang. Alhasil, ketika seseorang menjadi difabel, itu merupakan urusan individu. Mereka adalah orang yang sedang menderita sakit atau mengalami musibah. Mereka perlu ditolong dan dikasihani karena mereka adalah orang-orang yang tidak mampu dan lemah. Tepatnya, difabelitas yang ada pada individu adalah "musibah" pada diri seseorang, tak terkait dimensi sosial.

Salah satu cara pandang lain yang amat berkembang di masyarakat dalam melihat difabel adalah bahwa difabel merupakan orang yang luar biasa. Orde Baru memberikan sekolah segregatif bagi difabel yang dikenal dengan nama sekolah luar biasa, yang tentu saja tersimpan makna di dalamnya: tidak biasa atau "tidak normal". Pandangan supercrip (luar biasa) ini sangat kuat, terutama dalam hal-hal yang berkenaan dengan karya-karya difabel seperti kesenian dan olahraga. Apa pun yang tercipta dan dilakukan difabel akan dianggap hebat dan luar biasa.

Sejak tahun 1970, aktivis gerakan difabel di dunia, terutama di Inggris, mengkritik cara pandang yang culas dan sudah terbenam lama dalam masyarakat tersebut. Mereka memperkenalkan perspektif social model, yaitu cara pandang yang melihat bahwa "kecacatan" yang melekat pada seseorang sebenarnya adalah konsekuensi dari proses yang terjadi di masyarakat. "Cacat" adalah masalah konstruksi dan penindasan yang dibangun masyarakat sehingga difabel menjadi "tercacatkan" (Oliver, 1995).

Jadi "obyek inspirasi"

APG amat penting bagi  gerakan difabel, terutama untuk memberikan warna bagi masyarakat agar menerima perbedaan. Namun, prinsip-prinsip tersebut justru berganti menjadi prinsip "meliyankan" difabel dengan menempatkan difabel sebagai "obyek inspirasi". Setidaknya itu bisa dilihat dari bagaimana pemerintah mempromosikan Asian Para Games melalui banyak media, termasuk media sosial.

Dalam sebuah video tampak Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengatakan bahwa difabel adalah inspirasi bagi masyarakat Asia. Lebih dari itu slogan yang diusung pun "The Inspiring Spirit and The Energy of Asia". Bahkan, tagar (hashtag) yang tersebar melalui akun resmi media sosial Asian Para Games 2018 adalah #parainspirasi.

Akar dari difabel sebagai inspirasi, jika dirunut, adalah pandangan difabel sebagai makhluk lemah dan memiliki ketidakmampuan. Jadi, manakala difabel melakukan hal yang biasa dilakukan nondifabel, maka akan tampak istimewa. Hal ini berujung pada banyak sekali kalimat yang sering muncul dalam masyarakat seperti: "Lihatlah dia, dengan keterbatasannya dia mampu"; "Sangat inspiratif, tidak punya kaki dia bisa berjuang menjadi juara"; dan seterusnya.

Seharusnya APG adalah ajang paling tepat untuk menyuarakan inklusivitas bagi difabel. Akan tetapi , pelaksanaan Asian Para Games 2018 di Jakarta sangat kuat aura "inspiration-porn"-nya. Baik AG  maupun APG, seharusnya jadi momen perayaan perbedaan dan literasi pentingnya inklusivitas dalam masyarakat. APG merupakan momen yang tepat mendidik masyarakat bahwa difabel adalah sama dengan yang lain, menerima mereka jadi bagian dari perbedaan yang ada, bukan melebih-lebihkan.