Ataukah para pengelola ekonomi negara menginginkan "nunut-manut" John Maynard Keynes pada periode Depresi Besar yang percaya bahwa pasar tidak memiliki mekanisme yang memadai untuk mengatur dan mencapai efisiensi maksimal dengan sendirinya. Dibutuhkan intervensi dari pihak lain, seperti pemerintah dan bank sentral, dalam bentuk kebijakan fiskal ataupun moneter.
Seiring zaman, ekonomi global telah melalui berbagai macam guncangan, memberikan kesempatan kepada para ekonom untuk mempelajari lebih lanjut mekanisme ekonomi dalam berbagai skala. Ekonomi global tidak bekerja hanya dalam satu sistem yang ekstrem; hampir seluruh tata kelola ekonomi menerapkan beberapa karakteristik dari setiap sistem ke dalam mekanismenya.
Indeks kebebasan ekonomi
Melihat indeks kebebasan ekonomi (Economic Freedom of the World 2016, Fraser Institute) yang diukur melalui lima kriteria umum, Indonesia menempati posisi ke-79, perbatasan antara kuartil kedua dan ketiga. Hal ini dapat diartikan bahwa tingkat kebebasan ekonomi Indonesia saat ini berada di posisi tengah dibandingkan dengan negara lainnya yang terhitung dalam indeks ini.
Pola menarik yang dapat dilihat, mayoritas negara yang berada di kuartil teratas merupakan negara-negara maju, yang berada di kuartil pertengahan adalah negara berkembang, sedangkan mayoritas penghuni kuartil terbawah adalah negara-negara terbelakang. Hal ini tidak mengejutkan karena salah satu tolok ukur yang memengaruhi indeks ini adalah stabilitas. Akses, maupun hak masyarakat, negara-negara berkembang ataupun terbelakang, memang umumnya tertinggal dibandingkan negara-negara maju dalam hal-hal ini.
Meski demikian, bukan berarti Indonesia harus memberikan kebebasan penuh bagi pergerakan pasar. Masalah utama perekonomian Indonesia pada umumnya bukan terletak pada kebijakan itu sendiri, melainkan pada penerapannya yang sering tidak efisien. Infrastruktur yang tidak mendukung, struktur legal yang tidak jelas, ataupun faktor-faktor seperti korupsi yang menyebabkan alokasi dana pengeluaran pemerintah tidak maksimal, merupakan tantangan lebih besar.
Globalisasi ekonomi, yang mendorong semakin terintegrasinya perekonomian dunia, telah menimbulkan dampak baik positif maupun negatif. Keuntungan yang diperoleh dari globalisasi secara umum berasal dari keterbukaan perdagangan dan investasi. Secara lebih luas keterbukaan informasi akan perkembangan produk. Keterbukaan perdagangan juga akan mendorong harga barang ke tingkat yang lebih menguntungkan konsumen. Sementara keterbukaan investasi memicu adanya arus modal dan mobilitas tenaga kerja antarnegara.
Dampak yang sulit diprediksi dari globalisasi adalah timbulnya jebakan, khususnya bagi pola konsumsi masyarakat. Deras dan terbukanya informasi produk akan memengaruhi secara langsung dan keras pola konsumsi masyarakat. Informasi bisa mendorong pola hidup yang konsumtif, yang jika dilengkapi dengan sifat feodal akan menghidupkan gaya hidup yang hedonis.
Konsumtivisme atau pola hidup konsumtif sudah sering terdengar. Tidak sulit untuk mengartikannya, tetapi sangat sulit untuk dapat mengendalikannya dalam kehidupan nyata. Apalagi jika lingkungan semesta mendorong untuk melakukannya. Ini merupakan suatu fenomena, di mana biaya gaya hidup (lifestyle cost) bisa jauh lebih mahal dibandingkan dengan biaya hidup yang sebenarnya (living cost).
Konsumtivisme pada tingkat lebih parah atau tak terkendalikan sering mengarah pada pola gaya hidup yang hedonis. Hedonisme merupakan sebuah filosofi di mana penganutnya percaya kenikmatan dan kebahagiaan adalah hal dan tujuan terpenting dalam hidup manusia. Tujuan seorang hedonis adalah memaksimalkan kenikmatan dan meminimalkan kesulitan atau penderitaan dalam hidup.
Konsep dan istilah "hedonisme" baru benar-benar muncul dan dikembangkan oleh peradaban Yunani kuno. Istilah "hedonisme" sendiri diambil dari bahasa Yunani untuk kesenangan (delight) atau kenikmatan (pleasure), hedone. Filosofi yang pertama kali dikembangkan Aristippus (salah satu murid Socrates).
Semakin cepat dan terbukanya arus informasi, membesarnya tekanan sosial untuk selalu mengikuti tren dan perkembangan zaman, serta pola pikir yang semakin liberal membuat semakin banyak masyarakat dari berbagai usia dan status sosial terjerumus dalam gaya hidup hedonis. Gaya hidup hedonis pada umumnya identik dengan perilaku konsumtif dan gaya hidup bebas.
Gaya hidup ini mudah terpengaruh oleh tren-tren domestik maupun internasional yang dapat dilihat melalui berbagai macam media, banyak orang mengadopsi gaya hidup yang sebenarnya tidak mampu mereka pertahankan bahkan jauh dari kemampuan mereka. Hal ini, selain membahayakan secara finansial, juga berpengaruh buruk secara fisik maupun emosi diri dan bahkan dapat merugikan orang lain.
Dalam konsep ekonomi publik, dampak hedonisme ini dapat berujung pada Tragedy of the Commons — Tragedi Kepemilikan Bersama muncul saat setiap orang berusaha mengambil kekayaan alam yang menjadi milik bersama untuk kepentingan pribadinya sehingga merugikan makhluk hidup lain.
Mencari tata kelola ekonomi yang tepat
Adakah negara di dunia ini yang benar-benar bisa terbebas dari pola konsumerisme, hedonisme, dan feodalisme? Sepertinya dalam kasus ekstrem sulit ditemukan karena pada prinsipnya negara terdiri atas sekelompok orang dalam jumlah besar yang di dalamnya juga terdapat individu-individu homo economicus — pelaku-pelaku ekonomi individual berperilaku dengan dipengaruhi oleh kepentingan diri sendiri (self-interest), materialistis, rakus, dan oportunis, tidak dapat dipercaya dan menyalahgunakan kepercayaan, tidak memiliki komitmen, dan selalu tidak mau berkorban untuk kepentingan pihak lain.
Pada situasi demikian, negara diharapkan hadir untuk mengatur keseimbangan pola laku warga negaranya. Lalu teori ekonomi seperti apa yang diperlukan? Negara tentu tidak dapat bergantung pada kekuatan yang memberikan kepercayaan yang berlebihan pada superioritas mekanisme pasar. Mekanisme pasar selalu menekankan bahwa perekonomian akan berjalan secara efisien jika dibiarkan berjalan sendiri.
Namun juga tidak dapat sepenuhnya berharap campur tangan pemerintah karena setiap usaha pemerintah untuk melakukan intervensi pasar dengan basis tujuan-tujuan normatif masyarakat terkadang justru membawa pada distorsi dan inefisiensi, apalagi jika pemerintahannya sendiri masih kental dengan pola-pola feodalisme.
Jika negara tidak hadir untuk mengatasi masalah kegagalan pasar, tidak tertutup kemungkinan negara itu akan menjadi negara gagal.
Sejauh ini, mungkin perlu menilik kembali ke masa saat dasar negara Pancasila diciptakan oleh para pendiri bangsa yang bermakna begitu dalam, yaitu berisikan konsep pemikiran socio-nationalism (kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan), socio-democratie (demokrasi dengan kesejahteraan), dan ketuhanan (menghormati sesama).
Pertanyaan mendasar, apakah republik ini sudah mempunyai tata kelola ekonomi yang benar-benar memaksimalkan keunggulan kompetitif yang dimiliki? Atau jangan-jangan Indonesia perlu memikirkan suatu teori ekonomi baru, teori ekonomi yang tidak dikuasai konsumtivisme, feodalisme, dan hedonisme!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar