Dalam sejarah peradilan Indonesia, operasi penangkapan oleh KPK kali ini begitu paripurna. Semua unsur penegak hukum ada. Hakim, advokat, dan panitera. Itulah segitiga aktor yang paling berperan dalam sistem peradilan kita. Kita apresiasi KPK, yang tetap berupaya membersihkan Indonesia dari praktik korupsi.
Dua hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Iswahyudi Widodo dan Irwan; panitera pengganti PN Jakarta Selatan, Muhammad Ramadhan; serta advokat Arif Fitrawan dan Martin Silitonga ditangkap terpisah. Kedua hakim itu dituduh menerima suap Rp 150 juta dan 47.000 dollar Singapura secara bertahap untuk menangani perkara perdata.
Dalam tiga tahun terakhir, 14 hakim di bawah Mahkamah Agung terjerat korupsi di KPK. Berdasarkan data di KPK, pada 2004-2018, ada 20 hakim dan 11 pengacara ditangkap KPK.
Penangkapan itu membuat wajah peradilan kita kian gelap. Penangkapan hakim, advokat, dan panitera memperteguh tulisan Prof Gary Goodpaster dalam buku Law Reform in Developing and Transitional States, tahun 2007. Goodpaster menulis, "Sistem hukum Indonesia tidak bisa dipercaya, sungguh, tidak bisa digunakan untuk dapat memberi keputusan jujur — tetapi boleh jadi bisa dipercaya untuk melindungi kegiatan-kegiatan korup."
Indeks negara hukum Indonesia terpuruk. Dalam Rule of Law Index 2015 terbitan World Justice Project, penegakan hukum Indonesia menempati peringkat rendah, ke-52 dari 102 negara dunia. Indonesia di peringkat ke-10 dari 15 negara Asia Pasifik.
Situasi di Indonesia, khususnya korupsi di dunia peradilan, sungguh memprihatinkan. Atas nama kekuasaan kehakiman yang merdeka—dan selalu diperjuangkan korps hakim—lembaga peradilan seperti menjadi kekuasaan yang tak pernah bisa disentuh. Segala bentuk pengawasan eksternal selalu dinegasikan dan dilawan secara politik ataupun hukum. Kritik dan pengawasan Komisi Yudisial mendapat perlawanan, bahkan dilaporkan ke polisi sebagai bentuk pencemaran nama baik.
Juru Bicara MA Suhadi berkomentar normatif, akan menindak tegas aparatnya yang berstatus tersangka (Kompas, 29/11/2018). Mekanisme pencegahan sudah coba dilakukan oleh MA, tetapi peristiwa suap di peradilan masih saja terjadi.
Lemahnya pengawasan internal ataupun eksternal terhadap lembaga peradilan diyakini kian memperparah praktik jual beli keadilan di lingkup peradilan. Padahal, dalam irah-irah putusan pengadilan, hakim selalu mendahului dengan frase, "demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Namun, dengan kian terbongkarnya praktik suap-menyuap di lingkungan PN Jakarta Selatan, irah-irah putusan telah berubah menjadi, "demi keadilan berdasarkan keuangan yang mahakuasa."
Keadilan ditentukan dengan kekuatan kapital. Jika gejala itu tidak segera dihentikan, inilah awal kehancuran bangsa. Ketika keadilan ditentukan oleh kekuatan kapital, pencari keadilan akan mencari jalannya sendiri. Kajian ilmu hukum di universitas pun tak punya manfaat karena keadilan ditentukan oleh kapital!
Kompas, 30 November 2018
#kompascetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar