Bagi masyarakat awam, banyaknya lembaga yang berwenang menyidik kasus korupsi seolah-olah menunjukkan keseriusan negara dalam membasmi kejahatan tersebut. Namun, bagi mereka yang memahami sistem peradilan pidana secara utuh, banyaknya lembaga yang berwenang menyidik kasus korupsi memberi dampak tidak adanya perlindungan hukum terhadap individu dari kesewenang-wenangan negara.
Secara teoretik, konsep perlindungan hukum dalam konteks hukum pidana dapat dilihat secara in abstracto dan in concreto. Perlindungan in abstracto mengandung makna bahwa substansi suatu kaedah hukum haruslah memberikan perlindungan. Sementara perlindungan hukum in concreto mengandung arti bahwa praktik penegakan hukum harus memberikan perlindungan.
Dua parameter
Paling tidak ada dua parameter yang dapat dijadikan ukuran untuk menyatakan apakah perlindungan hukum in abstracto dikandung oleh suatu norma hukum. Pertama, apakah suatu norma menjamin kepastian hukum. Kedua, apakah suatu norma bersifat diskriminatif.
Kedua parameter tersebut bersifat kumulatif. Artinya, jika salah satu saja parameter tidak terpenuhi, dapat dikatakan bahwa norma hukum tersebut tidak memberikan perlindungan secara in abstracto. Dalam konteks pemberantasan korupsi, kewenangan penyidikan lebih dari satu lembaga cenderung bersifat diskriminasi, tidak adanya kepastian hukum, dan melanggar hak asasi manusia.
Hal ini karena tidak ada kesamaan standar dalam memproses perkara korupsi oleh ketiga lembaga tersebut sehingga melanggar prinsip-prinsip due process of law.
Jika kasus korupsi disidik Polri, di sini berlaku asas diferensiasi fungsional. Artinya, Polri hanya melaksanakan fungsi penyidikan, sedangkan penuntutan dilakukan kejaksaan. Apabila tidak cukup bukti, Polri dapat menghentikan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP).
Secara teoretik, asas diferensiasi fungsional mengandung makna bahwa dalam sistem peradilan pidana, masing-masing lembaga memiliki tugas dan fungsinya secara terpisah. Polri melakukan fungsi penyidikan, kejaksaan melaksanakan tugas penuntutan, dan hakim memegang kewenangan mengadili. Jika kasus korupsi disidik kejaksaan, tidak berlaku asas diferensiasi fungsional sebab jaksa memegang fungsi penyidikan sekaligus penuntutan. Sama dengan Polri, jika tidak terdapat cukup bukti, penyidikan bisa dihentikan.
Lain halnya apabila kasus korupsi ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain tidak berlaku asas diferensiasi fungsional seperti Kejaksaan, KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan atas kasus dimaksud. Artinya, seseorang yang disidik KPK dalam kasus korupsi, dipastikan akan duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa di pengadilan tindak pidana korupsi.
Tidak ada parameter yang jelas, mana kasus korupsi yang harus ditangani Polri, mana yang harus ditangani Kejaksaan, dan mana yang harus ditangani KPK. Pasal 11 Undang-Undang tentang KPK memang memberi batasan perkara korupsi yang dapat ditanganinya, yaitu korupsi yang melibatkan penyelenggara negara dan/atau aparat penegak hukum, korupsi yang mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat atau korupsi yang nilainya di atas satu miliar rupiah.
Akan tetapi, batasan itu tidak menutup kemungkinan Polri dan kejaksaan untuk menangani kasus yang demikian. Konsekuensi lebih lanjut yang terjadi adalah kompetisi tidak sehat antarlembaga, tidak menjamin kepastian hukum dan melanggar hak asasi manusia.
Salah satu contoh adalah kasus Hotasi Nababan, terpidana kasus korupsi penyewaan pesawat Boeing. Kasus a quo dihentikan penyidikannya oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, demikian pula KPK melalui Direktur Pengaduan Masyarakat dengan alasan tidak cukup bukti. Namun, Bidang Pidana Khusus Kejaksaan Agung berpendapat bahwa sudah cukup bukti adanya korupsi. Anehnya, Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung memenangkan gugatan perdata di Pengadilan Washington DC, Amerika Serikat, dalam kasus yang sama.
Artinya, dalam Kejaksaan Agung sendiri terdapat silang pendapat. Ada yang menyatakan kasus a quo adalah korupsi dan ada yang menyatakan kasus a quo adalah perdata. Jika menggunakan standar pembuktian yang sama, seharusnya jika satu lembaga menyatakan tidak cukup bukti, maka lembaga yang lain pun demikian.
Selain itu, potensi kriminalisasi terhadap seseorang sangat rentan. Sebab jika seseorang dilaporkan dengan dugaan korupsi kepada satu lembaga dan menurut lembaga tersebut tidak cukup bukti, maka masih ada kemungkinan orang tersebut dalam kasus yang sama dilaporkan ke lembaga lain.
Hal ini menunjukkan tugas KPK untuk melakukan koordinasi dan supervisi terhadap Polri dan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang KPK tidak berjalan efektif karena ego sektoral masing-masing lembaga.
Sebaiknya satu lembaga
Dalam konteks seperti yang dipaparkan itu, apakah penyidikan kasus korupsi yang kewenangannya diserahkan kepada lebih dari satu lembaga masih tetap ingin dipertahankan? Padahal, konvensi anti-korupsi yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 bertujuan untuk membasmi korupsi secara efisien dan efektif dengan tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip due proses of law.
Saya berpendapat, sudah selayaknya penyidikan terhadap kasus korupsi hanya dilakukan satu lembaga. Dalam pandangan saya, lembaga tersebut adalah KPK. Ada beberapa argumentasi untuk menjadikan KPK sebagai penyidik tunggal kasus korupsi.
Pertama, korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Salah satu kriteria extraordinary crime dari tujuh kriteria adalah adanya lembaga khusus yang menangani kejahatan tersebut dengan kewenangan yang luas. Undang-Undang KPK yang ada sudah memberi legitimasi akan hal ini. Kedua, berdasarkan Pasal 6 konvensi anti-korupsi diperlukan badan khusus untuk menangani kasus korupsi secara efektif. Badan khusus tersebut dalam konteks Indonesia adalah KPK.
Ketiga, struktur organisasi KPK cukup lengkap tidak hanya penindakan, tetapi juga pencegahan kasus korupsi. Keempat, lembaga asing yang kredibel, seperti Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) memberi gelar best practices kepada KPK dalam pemberantasan korupsi. Kelima, fakta empiris menunjukkan semua kasus korupsi yang ditangani KPK 100 persen terbukti di persidangan pengadilan.
Apabila KPK sebagai penyidik tunggal kasus korupsi, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, harus dibentuk perwakilan KPK di daerah. Pada kesempatan pertama paling tidak ada tujuh perwakilan KPK di daerah berdasarkan zona, masing-masing Sumatera bagian utara, Sumatera bagian selatan, Jawa bagian timur dan tengah, Sulawesi, Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara, serta Maluku dan Papua.
Kedua, harus ada perekrutan pegawai yang cukup signifikan selain mereka yang berasal dari Polri dan kejaksaan. Ketiga, selain penindakan, fungsi pencegahan harus lebih diefektifkan dengan pendampingan terhadap lembaga-lembaga negara dan proyek-proyek yang rentan untuk terjadinya korupsi.
Model KPK
Selanjutnya, terkait model KPK sebagai penyidik tunggal kasus korupsi. Paling tidak ada dua model yang dapat dijadikan alternatif pilihan. Model pertama, seperti saat ini yang mana KPK memegang fungsi penyidikan dan penuntutan. Model ini bukan tanpa argumentasi teoretik.
Feeney dalam Managing of Criminal Justice menyatakan bahwa profesionalisme aparat penegak hukum tidak hanya berdasarkan pengetahuan teoretik, tetapi juga berdasarkan pengalaman dan kinerjanya dalam menangani suatu perkara. Sebab pada hakikatnya dalam sistem peradilan pidana kerja aparat penegak hukum yang satu akan memberi dampak dan beban kepada aparat penegak hukum yang lain. Kerja penyidik memberi dampak dan beban kepada penuntut umum, oleh karena itu perlu dipikirkan fungsi penyidikan dan penuntutan pada satu lembaga. Ia menegaskan, Feeney ingin mengatakan bahwa untuk menangani suatu perkara secara efisien dan efektif, fungsi penyidikan dan penuntutan diserahkan kepada satu lembaga.
Dalam konteks pemberantasan korupsi, apa yang dikemukakan Feeney terdapat dalam kinerja KPK yang memegang fungsi penyidikan dan penuntutan kasus korupsi. Apabila model ini yang dipilih, KPK harus diberi kewenangan untuk menghentikan penyidikan. Hal ini agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia dalam sistem penanganan perkara. Dalam kasus RJ Lino, Taufiequrachman Ruki bersama-sama komisioner KPK lainnya pada saat masa tugasnya akan berakhir menetapkan Lino sebagai tersangka.
Lebih dari empat tahun kasus tersebut tidak ada juntrungannya, sementara komisioner KPK yang ada sekarang tinggal setahun lagi melaksanakan tugasnya. Di satu sisi, Lino dalam waktu yang lama mendapatkan stigma sebagai tersangka, tetapi di sisi lain seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka harus segera diproses untuk memperoleh kepastian hukum, apakah yang bersangkutan bersalah ataukah tidak.
Demikian pula Emirsyah Satar, mantan Direktur Garuda Indonesia yang telah lama ditetapkan sebagai tersangka, tetapi sampai saat ini belum disidangkan. Alasan klasik KPK adalah kekurangan tenaga penyidik.
Kalau memang demikian, seharusnya pola kerja KPK dibalik. Seseorang dinyatakan sebagai tersangka apabila 60 sampai 70 persen pemberkasan telah selesai. Hal ini agar orang yang ditetapkan sebagai tersangka sesegera mungkin disidangkan untuk memperoleh kepastian hukum.
Instrumen penghentian penyidikan ini juga dibutuhkan sebagai langkah koreksi internal jika dalam penyidikan lebih lanjut tidak terdapat cukup bukti atau ada kesalahan dalam penyidikan. Sebab bagaimanapun yang bekerja di KPK adalah manusia yang menurut kodratnya tidak terlepas dari salah dan dosa.
Model kedua, KPK adalah penyidik tunggal kasus korupsi, sedangkan penuntutan diserahkan kepada kejaksaan sebagai dominus litis atau pemilik perkara. Dominus litis bertujuan melindungi tersangka sehingga statusnya tidak berlarut-larut yang bersumber dari asas opportuniteit untuk menentukan apakah suatu perkara akan diteruskan ataukah tidak ke pengadilan.
Doktrin dominus litis berlaku universal dalam berbagai sistem peradilan pidana di dunia yang mengenal jaksa sebagai lembaga tunggal penuntutan (single prosecution system). Jika model ini dipilih, perbaikan mendasar justru harus dilakukan terhadap kejaksaan, terutama pada mental dan perilaku oknum-oknum jaksa yang terjerembab dalam mafia peradilan. Bahkan, perubahan juga dilakukan sampai pada pucuk pimpinan kejaksaan.
Agar sepadan dengan Kepala Polri yang adalah jenderal polisi aktif dan ketua Mahkamah Agung yang adalah hakim agung aktif, perlu dipikirkan Jaksa Agung juga berasal dari jaksa aktif. Kalaupun bukan jaksa aktif, harus dipastikan minimal dalam lima tahun terakhir tidak berafiliasi dengan partai politik sehingga ada independensi dalam penanganan perkara. Terlebih, korupsi selalu berkaitan dengan politik dan kekuasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar