Hingga tahun 2012, setidaknya sebanyak 350 juta orang di seluruh dunia menderita depresi dalam hidup mereka, di antaranya hanya 17 persen yang mencari bantuan profesional (Organisasi Kesehatan Dunia, 2012). Di Indonesia, banyak penderita depresi yang belum menerima bantuan karena kurangnya kesadaran (Hawari, 2011).
Hasil Riset Kesehatan Dasar menunjukkan bahwa pada tahun 2013, sebanyak 11,6 persen dari populasi orang dewasa di Indonesia mengalami gangguan mental emosional seperti kecemasan dan depresi (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, 2013).
Depresi bisa terjadi di berbagai rentang usia, dari anak-anak hingga lanjut usia. Menurut Neiger (1988), remaja adalah salah satu kelompok yang paling rentan terhadap depresi. Sayangnya, tanda-tanda depresi pada remaja sering dianggap sebagai sesuatu yang normal dalam tahap perkembangannya (Aditomo dan Retnowati, 2004). Faktanya, berbagai penelitian telah menunjukkan depresi banyak terjadi di kalangan mahasiswa (Furr, McConnel, Westefeld, dan Jenkins, 2001; Harber dan Runyon, 1984).
Menurut Asosiasi Kesehatan Mahasiswa Amerika (2015), pada mahasiswa, depresi memiliki prevalensi tertinggi kedua setelah gangguan kecemasan. Di Indonesia, Natalia (2006) menemukan bahwa dari 110 sampel mahasiswa, 61,8 persen dari mereka menunjukkan gejala depresi dengan berbagai tingkat keparahan. Oleh karena itu, depresi pada mahasiswa adalah masalah sangat penting dalam kesehatan mental dan diagnosis dini dan perawatan sangat diperlukan (Aditomo dan Retnowati, 2004).
Menurut Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental-Edisi Kelima (DSM-V), depresi adalah perubahan negatif dalam suasana hati atau perasaan dari kondisi normal seseorang yang ditandai dengan kesedihan, kekosongan, dan perubahan signifikan dalam kognisi dan afeksi (emosi) dan perubahan ini memengaruhi fungsi individu dalam berbagai aspek kehidupan (American Psychiatric Association, 2013).
Menurut DSM-V, pada umumnya orang yang depresi menunjukkan gejala kesedihan dan/atau kehilangan minat dalam kegiatan sehari-hari (APA, 2013). Secara khusus gejala depresi mungkin termasuk perubahan berat badan atau nafsu makan yang signifikan, kurang tidur, gerakan fisik melambat, kelelahan dan kehilangan energi, perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan, penurunan kemampuan untuk berkonsentrasi, dan keinginan bunuh diri (APA, 2013).
Mahasiswa menghadapi banyak perubahan dalam lingkungan sosial mereka dan inilah salah satu yang membuat mereka rentan terhadap depresi. Satu faktor yang mempengaruhi kerentanan terhadap depresi adalah keterampilan sosial (Cacioppo dan Patrick, 2008; Seepersad, 2014). Keterampilan sosial dalam Kamus Psikologi APA didefinisikan sebagai satu keterampilan yang memungkinkan individu untuk berinteraksi sesuai dengan konteks sosial (Vanden Bos, 2007). Michelson, Sugai, Wood, dan Kazdin (1983) menyebutkan bahwa keterampilan sosial melibatkan tiga aspek, yaitu keterampilan dalam respon verbal, keterampilan dalam respons nonverbal, dan proses kognitif.
Keterampilan sosial pada mahasiswa diperlukan untuk beradaptasi di lingkungan sosial, untuk membangun hubungan sosial baru, dan memelihara hubungan sosial (Chapdelaine dan Alexitch, 2004). Menurut Chapdelaine dan Alexitch (2004), keterampilan sosial yang memadai dapat mengurangi tingkat kejut budaya (culture shock) yang mungkin dialami mahasiswa karena adanya transisi sosio-budaya. Orang dengan keterampilan sosial rendah cenderung mengembangkan harga diri yang rendah, perasaan malu, ketidakbahagiaan, ketidakpuasan, dan kesepian (Ozben, 2013).
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa keterampilan sosial yang rendah berasosiasi dengan kesepian (Boivin, Hymel, dan Bukowski, 1995; Dill dan Anderson, 1999). Peplau dan Perlman (1979) mendefinisikan kesepian sebagai persepsi individual terhadap isolasi sosial atau pengalaman subyektif kesendirian. Menurut Cacioppo, Hawkley, dan Thisted (2010), persepsi individu tentang kesepian dan isolasi sosial secara longitudinal terbukti memprediksi depresi.
Boivin dan kawan-kawan (1995) menemukan, kesepian memainkan efek mediasi dalam hubungan antara sosial seseorang kondisi dan gejala depresi mereka. Demikian pula Dill dan Anderson (1999) menyebutkan bahwa hubungan negatif antara keterampilan sosial dan depresi dimediasi oleh perasaan kesepian.
Penelitian ini difokuskan pada mahasiswa di Yogyakarta karena Yogyakarta diakui sebagai kota pendidikan di Indonesia. Di sisi lain, Yogyakarta mencatat kesehatan mental yang buruk dengan jumlah terbesar gangguan mental berat di Indonesia (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, 2013).
Prevalensi gangguan mental emosional seperti depresi dan kecemasan juga sangat tinggi, yaitu 8,1 persen dari populasi Yogyakarta (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, 2013). Dengan tingginya angka gangguan mental di Yogyakarta, penelitian di area ini sangat penting dalam upaya untuk menemukan solusinya.
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah "keterampilan sosial berkontribusi negatif terhadap kecenderungan depresi dengan mediasi kesepian".
Partisipan penelitian ini adalah 645 mahasiswa berusia 18-24 tahun dari perguruan tinggi di Yogyakarta, yang terdiri atas 180 laki-laki dan 465 perempuan. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner yang didistribusikan secara daring dengan metode bola salju. Usia rata-rata peserta 21 tahun (30 persen).
Berbasis pada tahun kuliah, mahasiswa tahun pertama terdiri dari 120 responden (19 persen), mahasiswa tahun kedua terdiri dari 105 responden (16 persen), mahasiswa tahun ketiga terdiri dari 142 responden (22 persen), mahasiswa tahun keempat terdiri dari 259 responden (40 persen), serta mahasiswa tahun kelima dan setelahnya terdiri dari 19 responden (3 persen).
Penelitian ini melibatkan tiga variabel, yaitu kecenderungan depresi, keterampilan sosial, dan kesepian. Untuk mengukur kecenderungan depresi, digunakan Beck Depression Inventory-II (Beck, et al, 1996) yang diadaptasi ke bahasa Indonesia oleh Ginting, Naring, Veld, Srisayekti, dan Becker (2013). Untuk mengukur keterampilan sosial, digunakan Skala Keterampilan Sosial yang dikembangkan oleh Ramdhani (1996) dan telah dimodifikasi oleh Nugraini (2015). Untuk mengukur kesepian, digunakan Skala Kesepian UCLA versi 3 (Russell, 1996) yang diterjemahkan untuk keperluan penelitian ini.
Pengumpulan data dilakukan dengan mendistribusikan kuesioner daring yang mengandung tiga skala di atas untuk mahasiswa di Yogyakarta. Analisis data dilakukan menggunakan versi 22.0 program Paket Statistik untuk Ilmu Sosial (SPSS) program dengan tambahan makro dari Hayes (2013) yang disebut PROCESS untuk menguji mediasi. Sebagai analisis tambahan, analisis varians (Anova) juga dilakukan untuk memeriksa perbedaan dalam tiga variabel berdasarkan beberapa karakteristik demografis dari partisipan.
Hasil analisis varians yang membandingkan tiga variabel berdasarkan jenis kelamin dan tahun kuliah menunjukkan, pertama, kecenderungan depresi, keterampilan sosial, dan kesepian tidak berbeda antara laki-laki dan laki-laki perempuan. Kedua, berdasarkan tahun kuliah, terdapat perbedaan tingkat kecenderungan depresi, keterampilan sosial, serta kesepian, di mana kecenderungan depresi dan kesepian tertinggi pada mahasiswa tahun kelima. Keterampilan sosial terendah ditunjukkan oleh mahasiswa tahun kedua dan kelima. Dengan demikian, mahasiswa tahun kelima dan seterusnya menunjukkan kecenderungan depresi dan kesepian tertinggi, serta keterampilan sosial yang rendah.
Hasil analisis regresi menunjukkan keterampilan sosial dan kesepian secara signifikan berkontribusi terhadap kecenderungan depresi. Kesendirian memediasi efek keterampilan sosial terhadap depresi; hal ini ditunjukkan dengan penambahan variabel kesepian membuat peran keterampilan sosial, yang awalnya signifikan, menjadi tidak signifikan.
Dari hasil ini dapat disimpulkan, keterampilan sosial yang rendah menyebabkan peningkatan kesepian yang pada gilirannya meningkatkan kecenderungan depresi pada mahasiswa. Sebaliknya, keterampilan sosial yang tinggi dapat mengurangi kesepian sehingga mengurangi kecenderungan depresi pada mahasiswa.
Selanjutnya, kami menganalisis tingkat depresi peserta berdasarkan pada kategorisasi klinis mengacu pada skor BDI-II. Temuan mengejutkan adalah sebanyak 51 persen dari partisipan terindikasi mengalami depresi, dengan 18 persen diklasifikasikan sebagai depresi ringan, 21 persen diklasifikasikan sebagai depresi sedang, dan 12 persen diklasifikasikan sebagai depresi berat.
Penelitian ini mendukung prediksi kami bahwa keterampilan sosial memainkan peran dalam kecenderungan depresi pada mahasiswa. Penelitian ini menunjukkan bahwa penurunan keterampilan social menyumbang 21 persen peningkatan kecenderungan depresi. Pengaruh dari keterampilan sosial pada kecenderungan depresi dimediasi oleh kesepian. Temuan- ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa keterampilan sosial yang tinggi dapat menghambat individu dari kecenderungan depresi (Dill dan Anderson, 1999; Garland dan Fitzgerald, 1998; Reed, 1994; Segrin dan Rynes, 2009).
Temuan penelitian ini juga mendukung penelitian sebelumnya oleh Fiori dan Consedine (2013) bahwa kesepian–yaitu evaluasi subyektif akan kurangnya hubungan sosial individu–memediasi efek interaksi sosial dengan kesehatan mental seseorang. Hal ini mungkin terjadi karena individu dengan kemampuan sosial rendah cenderung sulit membangun hubungan sosial yang positif dan mendalam (Wittenberg dan Reis, 1986).
Dill dan Anderson (1999) juga menjelaskan, keterampilan sosial yang buruk dapat meningkatkan respons maladaptif dalam situasi sosial. Keterampilan sosial yang buruk menyebabkan individu punya perasaan negatif terhadap hubungan interpersonalnya, baik secara kuantitas–(misalnya perasaan tidak punya teman)–maupun kualitas–(merasa tidak punya hubungan dekat dengan orang lain)–sehingga membuat mereka merasa kesepian. Kurangnya hubungan sosial pada gilirannya akan membuat mahasiswa rentan terhadap perasaan kesepian yang dapat menyebabkan depresi (Kraus, et al, 2009; Segrin dan Rynes, 2009; Shiovitz-Ezra dan Leitsch, 2010).
Sebaliknya, penelitian Jose dan Lim (2014) menunjukkan bahwa jika keterhubungan sosial yang baik, hal itu dapat terjadi faktor pelindung yang dapat mencegah depresi (Jose dan Lim, 2014).
Mahasiswa pada tahun-tahun kuliah yang berbeda menunjukkan kecenderungan depresi yang berbeda, keterampilan sosial, dan kesepian. Data dari studi ini menunjukkan bahwa mahasiswa pada tahun kelima kuliah dan seterusnya menunjukkan tingkat depresi dan kesepian yang lebih tinggi dan tingkat keterampilan sosial yang lebih rendah dari kelompok lain. Temuan ini mungkin sesuai dengan penelitian Smith dan Renk (2007) yang menunjukkan bahwa tuntutan akademik tugas akhir adalah stresor yang signifikan pada tahun akhir kuliah.Untuk memahami hasil dari studi ini dalam konteks mahasiswa di Yogyakarta, kami melakukan wawancara singkat kepada dua mahasiswa tahun kelima. Keduanya menyatakan bahwa mereka merasakan tekanan besar dari lingkungan sosial karena mereka belum berhasil menyelesaikan proyek tugas akhir.
Salah satu yang diwawancarai menyebutkan bahwa pada tahun kelima ini ada perasaan tidak bahagia serta rasa bersalah karena mereka belum berhasil menyelesaikan tugas akhir, yaitu skripsi. Mahasiswa lain yang diwawancarai menyebutkan bahwa sepanjang waktu, perasaan inferior yang dia rasakan menjadi lebih besar dan keyakinannya untuk menyelesaikan tugas akhir menjadi lebih rendah karena rekan-rekannya lulus sebelum dia. Di samping itu, banyak teman mereka yang sudah lulus sehingga akses ke pertemanan tidak sebaik sebelumnya. Hal itu dapat menjadi faktor pemicu kesepian dan depresi mahasiswa tahun kelima dan setelahnya.
Kecenderungan depresi yang tinggi pada mahasiswa tahun kelima dan seterusnya menunjukkan perlunya perhatian khusus untuk kelompok mahasiswa ini. Menurut Smith dan Renk (2007), dukungan yang diberikan oleh orang-orang sekitar mahasiswa dapat mengurangi persepsi tekanan tahun akhir kuliah.Support group atau semacam konseling kelompok untuk mahasiswa tahun akhir mungkin dapat menjadi salah satu program yang efektif untuk mengurangi kecenderungan depresi (Smith dan Renk, 2007). Dengan mengikuti support group,mahasiswa tahun akhir dapat tetap memiliki jaringan sosial yang sesuai sehingga mengurangi kesepian dan menghindari depresi.
Temuan mengejutkan dari penelitian ini adalah fakta adanya indikasi depresi yang tinggi di kalangan mahasiswa di Yogyakarta. Data menunjukkan, sebanyak 51 persen dari 645 mahasiswa menunjukkan gejala depresi dengan berbagai tingkat keparahan, yaitu 18 persen dalam kategori depresi ringan, 21 persen dalam kategori depresi sedang, dan 12 persen dalam kategori depresi berat. Hal itu berarti depresi adalah masalah psikologis yang sangat umum di kalangan mahasiswa di Yogyakarta, seperti di belahan dunia lain (Harber dan Runyon, 1984; Furr, et al, 2001).
Mengingat tingginya tingkat depresi dan masalah psikologis lainnya di kalangan mahasiswa, layanan kesehatan mental siswa, seperti layanan konseling kampus, menjadi sangat penting, sebagaimana dinyatakan oleh Kitzrow (2003). Layanan konseling memainkan peran penting dalam lembaga pendidikan tinggi karena melalui layanan ini mahasiswa dapat mencari bantuan untuk memecahkan masalah mereka masalah serta untuk membantu mahasiswa menghadapi tantangan dan mencapai tujuan mereka (Kitzrow, 2003). Penelitian ini mendukung hal itu bahwa perguruan tinggi di Yogyakarta sangat membutuhkan menyediakan layanan psikologis untuk mahasiswa.
Kami juga menyarankan agar perguruan tinggi sedini mungkin mengantisipasi kecenderungan depresi mahasiswa dengan cara mengembangkan program-program untuk melatih keterampilan sosial mahasiswa dan memfasilitasi mahasiswa untuk selalu bersosialisasi, sehingga mahasiswa terhindar dari risiko keterampilan sosial yang rendah dan kesepian yang nantinya akan menyumbang pada kemunculan depresi.
Penelitian ini menunjukkan bahwa keterampilan sosial dan kesepian berkontribusi 21 persen terhadap kecenderungan depresi mahasiswa sehingga ada 79 persen varian kecenderungan tidak dijelaskan dalam studi ini. Menurut Hankin dan Abela (2005), baik faktor eksternal maupun internal seperti peristiwa kehidupan negatif yang membuat stres, faktor biologis, faktor genetik, faktor kepribadian, faktor kognitif, dan faktor interpersonal atau sosial berinteraksi untuk menimbulkan kecenderungan depresi. Penelitian lanjutan disarankan untuk mengeksplorasi faktor-faktor tersebut yang mempengaruhi depresi pada mahasiswa.
Alya Fauziyyah dan Sutarimah Ampuni
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar