"Jangan pernah berhenti dan malas belajar," kata Mahatma Gandhi. Kalimat itu masih relevan saat ini, apalagi di tengah-tengah keprihatinan ekonomi yang sedang membayangi. Untuk itu, mari kita belajar dari krisis demi krisis yang pernah terjadi.
Mari kita bandingkan karakteristik negara-negara yang terdampak krisis dan negara yang tahan guncangan krisis. Contoh pertama, perbandingan antara Argentina dan Brasil. Argentina defisit fiskalnya hanya sekitar 5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), sedangkan Brasil 9 persen.
Utang publik Argentina 50 persen terhadap PDB, Brasil mencapai 90 persen. Dilihat dari indikator ini, seharusnya Brasil lebih rentan terhadap krisis dibandingkan Argentina. Kenyataannya yang dihantam badai krisis ekonomi adalah Argentina.
Sejak awal 2018 hingga hari ini, peso Argentina mengalami depresiasi lebih dari 60 persen. Argentina kehabisan cadangan devisa. Tingkat bunga kebijakannya oleh bank sentralnya telah dinaikkan hingga 40 persen. Sekarang Argentina menjadi pasien baru Dana Moneter Internasional (IMF), mendapatkan talangan (bailout) 50 miliar dollar AS. Namun, para investor di pasar keuangan Argentina masih belum dapat ditenangkan oleh masuknya IMF dalam perekonomian Argentina.
Berbeda dengan Brasil. Memang betul real Brasil sedikit mengalami pelemahan terutama karena ketidakpastian hasil pilpres pada Oktober 2017. Namun, tak ada tanda-tanda Brasil tertempa krisis finansial. Kata bijak yang membedakan Argentina dan Brasil adalah perbedaan posisi neraca transaksi berjalannya.
Pada akhir 2017 Argentina mengalami defisit neraca transaksi berjalan sebesar 5 persen terhadap PDB. Adapun Brasil posisi neraca transaksi berjalannya seimbang.
Artinya, ekspor barang dan jasa serta pembayaran bunga pinjamannya sama dengan impor barang dan jasanya. Alias, Brasil tak punya risiko utang terhadap entitas asing.
Beda dengan Argentina yang ekonominya selama ini didanai kapital asing yang kebanyakan berbentuk investasi portofolio. Meski dilanda kasus politik domestik, Brasil tidak dalam posisi dihantam badai krisis seperti Argentina.
Karena Argentina mengalami defisit transaksi berjalan akut, maka untuk menyeimbangkan posisi neraca transaksi berjalan, Argentina harus mengerem laju impornya dan mendorong laju ekspornya dalam tempo yang begitu singkat.
Karena dana asing pada keluar dari Argentina, konsekuensi utama dari suatu negara yang besar pasak daripada tiang seperti Argentina adalah depresiasi masif mata uangnya.
Akhirnya Argentina lempar handuk,megap-megap kehabisan daya dan upaya, dan datanglah IMF untuk "membantunya". Berarti Argentina mengalami krisis lagi, tak pernah belajar dari krisis sebelumnya, selalu berdalih bahwa "kondisi sekarang berbeda dengan kondisi krisis terdahulu".
Namun, itu bukan akhir dari cerita sedih Argentina. Neraca transaksi berjalan adalah sama persis dengan perbedaan tabungan dan investasi suatu negara.
Defisit neraca transaksi berjalan Argentina sebesar 5 persen menandakan bahwa Argentina mengalami defisit tabungan terhadap investasinya sebesar itu. Argentina hanya menabung 14 persen dari PDB-nya, sedangkan pengeluaran untuk investasinya melebih 19 persen terhadap PDB.
Berbeda dengan Brasil. Posisi neraca transaksi berjalan seimbang, sedangkan defisit fiskalnya 9 persen, berarti rakyat Brasil mengalami surplus dana 9 persen terhadap PDB, dan rakyat Brasil lebih suka menaruh dananya untuk membeli obligasi negaranya sendiri. Jadi, pinjaman Pemerintah Brasil dibiayai oleh tabungan rakyatnya sendiri.
Ini mirip Jepang, walaupun rasio utang terhadap PDB publiknya lebih besar dari 150 persen, Jepang tidak kena krisis karena yang membeli obligasi pemerintahnya adalah rakyat Jepang sendiri.
Dan Brasil mempertahankan investasi sesuai dengan kemampuan ekonominya, yaitu 15 persen terhadap PDB, suatu rasio yang relatif kecil dibandingkan Chile yang investasinya 23 persen, serta India dan China yang 33 persen dan 44 persen terhadap PDB-nya.
Kasus Turki
Contoh kedua adalah krisis yang sedang melanda ekonomi Turki. Sepanjang 2018, Turki telah mengalami turbulensi ekonomi yang sangat menegangkan. Mata uang lira telah anjlok lebih dari 40 persen terhadap dollar AS sepanjang tahun ini. Pada satu hari saja, yaitu 10 Oktober, lira anjlok hingga hampir 8 persen.
Investor merespons anjloknya lira dengan melepas secara masif saham-saham dan surat utang Pemerintah Turki. Akibatnya, indeks harga saham-saham utama Turki anjlok hingga 5 persen dalam sehari saja, di pekan pertama Agustus 2018. Imbal hasil surat utang pemerintah dengan tenor dua tahun meroket sampai 94 basis poin ke level 25,74 persen, tertinggi sejak krisis keuangan global 2008.
Struktur perekonomian Turki yang tak sehat, ditandai dengan defisit neraca transaksi berjalan yang akut, ketergantungan yang kian membesar terhadap investor asing, dan menguatnya pengejawantahan Trumponomics serta sentimen politik, merupakan fenomena utama yang dapat menjelaskan turbulensi ekonomi yang sedang dialami Turki.
Defisit neraca transaksi berjalan Turki yang "berkeabadian", yang rata-rata per tahun melebihi 5 persen terhadap PDB, menjadi titik sentral kelemahan ekonomi Turki. Sejak 2000 hingga 2017 saja, total defisit neraca transaksi berjalan mencapai 555,37 miliar dollar AS. Kalau waktunya diperpanjang mulai 1992, total defisit neraca transaksi berjalan menembus 566,53 miliar dollar AS.
Yang lebih parah adalah defisit transaksi perdagangannya. Sejak 2000 hingga 2017 total defisitnya 768,17 miliar dollar AS. Kalau rentang tahunnya sejak 1992, maka total defisitnya menembus 856,55 miliar dollar AS. Dan sepanjang tahun tersebut tidak ada transaksi perdagangannya yang positif.
Berarti untuk membiayai defisit neraca transaksi berjalan terus-menerus ini, Turki butuh sumber pembiayaan atau pinjaman asing yang kian membesar. Ini jadi titik lemah kedua setelah defisit transaksi berjalannya yang akut tersebut, yang menandakan secara ekonomi, Turki sudah tidak merdeka lagi, alias Turki telah tergadai, sehingga volatilitas ekonominya sangat bergantung pada mood pendana asing.
Secara kasar, sejak 1992 hingga kini, minimal Turki punya utang terhadap orang asing senilai total defisit neraca transaksi berjalannya, yaitu 566,53 miliar dollar AS. Bagi perekonomian sebesar Turki yang PDB-nya tahun 2017 masih 852 miliar dollar AS, posisi utang yang bersumber dari dana asing ini sangat membebani.
Titik lemah ketiga adalah struktur sumber dana asing yang digunakan untuk membiayai defisit neraca transaksi berjalannya, yaitu didominasi oleh dana panas berupa investasi portofolio (PI) baik untuk saham maupun obligasi pemerintah. Dana asing yang segera dapat kembali tatkala ada sentimen negatif terhadap isu Turki.
Sejak kebijakan moneter nonkonvensional The Fed diberlakukan, yaitu dari 2009 sampai dengan taper tantrum tahun 2013, dana berupa arus investasi langsung (FDI) neto yang masuk ke Turki sekitar 61,18 miliar dollar AS, tetapi dana berupa portofolio hampir dua kalinya, yaitu 121,96 miliar dollar AS.
Mayoritas dana panas itu hampir 80 persen ditanam dalam obligasi pemerintah yang notabene digunakan untuk pembiayaan operasional Pemerintah Turki untuk menutup defisit fiskalnya. Berarti struktur ekonomi Turki selalu diwarnai defisit ganda, yaitu defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal yang persisten, akut. Ciri suatu struktur ekonomi yang tidak sehat.
Masalahnya kian sulit tatkala defisit neraca transaksi berjalannya terus membesar, dan aliran dana panas mulai keluar dari Turki. Kalau rata-rata per kuartal dari 2016 hingga awal 2018 arus PI neto yang masuk ke Turki sekitar 5,41 miliar dollar AS, maka pada kuartal II-2018 yang keluar dari Turki neto telah mencapai 2,7 miliar dollar AS. Eksodus PI ini masih berlanjut hingga batas waktu yang belum jelas, sampai terjadi kepanikan pasar uang berikutnya setelah kepanikan terakhir pada 10 Agustus 2018.
Bom waktu dan arah arus modal
Sebenarnya kekhawatiran pasar bahwa Turki akan menghadapi krisis sudah muncul sejak musim panas 2013. Saat itu pasar mulai takut normalisasi kebijakan moneter dan berakhirnya pelonggaran kuantitas moneter bank sentral AS akan berdampak buruk terhadap ekonomi emerging markets (EM), akhirnya krisis sampai juga, dan penduduk Turki akan menanggung bebannya. Dipastikan Turki akan melakukan pengetatan kebijakan moneternya, mengelola pinjaman luar negerinya semakin hati-hati, dan bersiaga menghadapi resesi ekonomi.
Faktor non-ekonomi yang memberatkan posisi ekonomi Turki adalah nuansa permusuhan presiden Turki dengan pemerintahan Donald Trump terkait penahanan pastor AS dan pembelian sistem pertahanan misil S-400 dari Rusia.
Ini langkah riskan bagi Turki, khususnya tatkala AS sedang mengimplementasikan kebijakan fiskal ekspansif ala Ronald Reagan sehingga telah mendorong bank sentral AS, The Fed, menaikkan tingkat bunga acuan (FFR) lebih cepat dari perkiraan.
Akibatnya, likuiditas global kian mengetat, dan sumber pembiayaan eksternal makin susah. Ini akan memaksa kebijakan Presiden Recep Tayyip Erdogan semakin akomodatif dengan negara-negara yang akan jadi sumber pendanaan ekonominya. Selain itu, Turki diperkirakan akan kembali pada kebijakan moneter konvensional serta mengubah kerangka kerja kebijakan fiskalnya. Untung Turki punya Qatar.
Dengan bantuan Qatar 50 miliar dollar AS, Turki tak perlu di-bailout oleh IMF. Penguatan Turki juga didukung oleh Rusia dan China sehingga Turki untuk sementara waktu dapat bernapas agak lega.
Arus modal global sedang berbalik arah, yaitu keluar dari EM, menuju pasar AS. Penyebab utamanya adalah perbedaan imbal hasil yang signifikan antara pasar AS dan pasar di EM apabila depresiasi mata uang EM diperhitungkan dalam kalkulasi investasi. Peningkatan imbal hasil investasi di AS didorong oleh kenaikan tingkat suku bunga di AS.
Tingkat bunga jangka pendek kebijakan The Fed kini 1,75 persen; berarti tingkat bunga riilnya masih negatif jika diperhitungkan dengan inflasi di AS yang mencapai 2,9 persen. Komite Pasar Terbuka (OMC) The Fed telah memproyeksikan FFR akan naik menjadi 2,4 persen akhir 2018, 3,1 persen akhir 2019, dan 3,4 persen di akhir 2020.
Berdasarkan data empiris, risiko arus balik modal asing ke AS akan kian menguat jika kenaikan tingkat bunga jangka panjang yang akan datang semakin tinggi. Tingkat bunga treasury bonds berjangka 10 tahun kini telah menyentuh 2,9 persen, yang berarti tingkat bunga riilnya hanya nol persen jika dihitung dengan tingkat inflasi saat ini.
Berdasarkan nilai historisnya, tingkat bunga riil treasury bonds berjangka 10 tahun ada di kisaran 2 persen, yang berarti seharusnya tingkat bunga jangka panjang ada di kisaran 5 persen.
Terdapat tiga faktor yang akan berkontribusi signifikan terhadap peningkatan tingkat bunga jangka panjang. Proyeksi The Fed terhadap tingkat bunga jangka pendek akan menekan tingkat bunga jangka panjangnya. Dengan tingkat pengangguran di kisaran 3,9 persen dan kemungkinan terus mengecil, maka tingkat inflasi akan terus meningkat.
Bahkan kalau The Fed tidak meningkatkan suku bunga federal funds rate pada tingkat seharusnya, inflasi yang semakin tinggi akan memaksa investor meminta tingkat bunga jangka panjang yang lebih tinggi untuk mengompensasi penurunan nilai riil aset.
Namun, penyebab utama kenaikan bunga jangka panjang adalah defisit fiskal yang masif. Pemerintahan Trump merencanakan meminjam lebih dari 1 triliun dollar AS pada tahun 2019, begitu pula dengan tahun-tahun sesudahnya.
Biro Anggaran Kongres (The Congressional Budget Office) memproyeksikan bahwa utang pemerintah pusat AS akan tumbuh dari 78 persen terhadap PDB saat ini, menjadi 100 persen pada satu dekade mendatang.
Walaupun asing sekarang memegang utang Pemerintah AS sebesar 50 persen, laporan terbaru mengindikasikan bahwa investor asing masih berada di pinggiran dan investor domestik memborong semua surat utang Pemerintah AS yang baru diterbitkan. Ketika jumlah utang meningkat, investor akan meminta tingkat bunga yang lebih tinggi bagi pembelian surat utang yang baru.
Karena itu, tingkat bunga jangka panjang akan meningkat di AS didorong oleh kenaikan tingkat bunga jangka pendek karena normalisasi kebijakan moneter The Fed, inflasi yang semakin tinggi karena pasar tenaga kerja dan barang yang semakin mengetat dan ledakan pinjaman pemerintah federal AS guna pembiayaan peningkatan defisit fiskalnya.
Dengan demikian, arus modal asing akan mengalir deras masuk ke pasar uang AS dan keluar dari EM sehingga bayang-bayang krisis bagi EM akan semakin nyata. Karena itu perlu dilakukan langkah nyata dan signifikan untuk memitigasi krisis ini.
Langkah riil memitigasi krisis
Mengingat risiko ke depan yang membahayakan, perlu dirumuskan dan diimplementasikan suatu kebijakan yang mangkus untuk meminimalkan kemungkinan krisis. Pertama, kita harus menyadari bahwa selama ini kita lebih besar pasak daripada tiang. Kita menjadi bangsa yang tidak kompetitif sehingga menjadi bangsa konsumen, tidak pandai memproduksi.
Kita boros dan bangga dengan produk-produk impor. Ada semacam ketidakpercayaan terhadap produk dalam negeri. Bahkan tong plastik saja diimpor. Padahal, bahan dasarnya melimpah di negeri ini, yaitu pohon karet petani.
Karena itu paradigmanya harus diubah, kita harus memproduksi sendiri kebutuhan pokok, kita harus pandai berproduksi sebagian untuk kita ekspor. Dengan demikian, neraca transaksi berjalan kita menjadi positif setidak-tidaknya dapat seimbang.
Kedua, kita harus hemat devisa. Artinya, masih terkait dengan yang pertama, kita harus menekan impor dan memperbesar ekspor baik barang maupun jasa. Kalau tidak perlu, tidak usah melancong ke luar negeri. Kalau tidak penting, tidak usah konsumsi barang asing. Devisa hanya digunakan untuk kepentingan pembayaran kapital yang tidak dan belum mampu kita produksi dalam negeri.
Ketiga, kita harus sadar bahwa kondisi saat ini pada hakikatnya mirip dengan kondisi tatkala ekonomi lagi tertekan. Karena itu dibutuhkan semua pihak untuk peka terhadap kondisi yang sedang berlangsung.
Keempat, kita butuh teman. Teman yang dapat membantu tatkala susah. Ingat pesan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), satu musuh terlalu banyak, tetapi sejuta teman masih kurang. Kita harus memperbanyak teman untuk saling mendukung kita. seperti Turki punya teman seperti Qatar, Rusia, dan China.
Kelima, belajar dari Brasil. Kita harus mengutamakan sumber pendanaan untuk menutup defisit fiskal yang bersumber dari dalam negeri. Harus ada kemandirian pendanaan pembangunan. Untuk itu, pasar keuangan domestik harus diperdalam sehingga dana dalam negeri dapat digunakan sebagai sumber pendanaan investasi pemerintah.
Keenam, untuk penguatan suplai mata uang asing, defisit pendanaan investasi untuk sementara diupayakan bersumber dari luar negeri. Dengan demikian, terjadi tambahan suplai dollar yang akan menambah cadangan devisa guna untuk memperkuat intervensi penstabilan nilai tukar mata uang.
Terakhir, perlu dan segera dilakukan kebijakan yang tidak biasa (yang tidak konvensional) dalam menangani krisis ini, karena Presiden Trump sedang menggunakan senjata ekonomi yang tidak konvensional. Kita harus melupakan buku teks ekonomi yang konvensional. Kita harus lebih kreatif dan berani. Tidak usah takut dan malu dibilang tidak "good boy" oleh siapa saja, yang penting negara kita selamat, rakyat makmur, dan Indonesia Jaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar