JANEK SKARZYNSKI / AFP

Suasana sesi pembukaan Konferensi Para Pihak (COP) Ke-24 untuk Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB di Katowice, Polandia, Minggu (2/12/2018).

Mulai kemarin, Minggu (2/12/2018), tantangan terbesar pada kemanusiaan dan keberlanjutan planet Bumi sebagai ruang hidup semua makhluk Bumi akan dibahas dalam Konferensi Perubahan Iklim di Katowice, Polandia, sampai dengan Sabtu (15/12/2018). Konferensi kali ini menjadi amat penting menyusul hasil kajian ilmiah Panel Ahli Perubahan Iklim yang dipublikasikan Oktober lalu dalam laporan khusus tentang kenaikan 1.5 derajat celsius dari masa pra-industri.

DIDIE SW

Brigitta Isworo Laksmi,
Wartawan Senior Kompas

Dalam laporan Special Report yang berjudul lengkap Global Warming of 1.5 ºC, an IPCC Special report on the impacts of global warming of 1.5 ºC above pre-industrial levels and related global greenhouse gas emission pathways, in the context of strengthening the global response to the threat of climate change, sustainable development, and efforts to eradicate poverty itu, IPCC menunjukkan berbagai skenario peningkatan atau penurunan emisi global yang dibutuhkan jika kenaikan suhu harus ditahan 1,5 derajat celsius di atas suhu masa pra-industri.  Di sisi lain laporan tersebut juga melukiskan dampak-dampak yang diperkirakan akan terjadi menyusul kenaikan suhu tersebut.

Seakan laporan IPCC tersebut belum cukup menyadarkan situasi genting yang dihadapi dunia, pada 27 November 2018, sekitar sepekan lalu, terbit Laporan Kesenjangan Emisi (Emission Gap Report) yang dikeluarkan oleh Program Lingkungan PBB. Ini adalah sebuah laporan yang  (seharusnya) secara tajam menusuk kesadaran keterdesakan (sense of urgency) pemerintah negara-negara secara global.

Laporan itu menyebutkan komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca (NDC-nationally determined contributions)  perlu dilipatgandakan tiga kali lipat untuk menghindari kenaikan suhu bumi dua derajat celsius. Komitmen perlu digandakan lima kali lipat untuk menghindari kenaikan 1,5 derajat celsius. Laporan itu menyebutkan emisi gas rumah kaca (GRK) naik untuk pertama kalinya dalam empat tahun terakhir setelah sebelumnya terpantau stagnan.

Tantangannya jelas. Terdapat perbedaan besar (gap) antara komitmen pengurangan emisi yang dibutuhkan dunia dan komitmen kontribusi pengurangan emisi dari setiap negara. Komitmen itu tertuang dalam Kontribusi Nasional Pengurangan Emisi (Nationally Determined Contribution) yang diajukan setiap negara peratifikasi Kesepakatan Paris.

Dengan seluruh NDC yang ada saat ini, suhu global diproyeksikan naik 3 derajat celsius pada tahun 2100. Jika gap tidak segera ditutup per 2030, penurunan kenaikan hingga level 2 derajat celsius juga mustahil tercapai.

Laporan UNEP menambah potret buram kondisi perubahan iklim yang telah diungkap oleh para ahli Panel Ahli Perubahan Iklim (IPCC-Intergovernmental Panel on Climate Change) sebelumnya. Menurut IPCC, jika model pembangunan global tak berubah, tetap seperti sekarang, maka kenaikan suhu 1,5 derajat celsius akan tercapai pada tahun 2030-2052.

Kenaikan suhu tersebut membawa beragam implikasi yang berujung bencana, mulai dari naiknya permukaan air laut hingga beragam bencana hidrometeorologi. Bencana hidrometeorologi di antaranya adalah badai yang semakin sering terjadi dan semakin tinggi intensitasnya, ketidakteraturan iklim, gelombang udara panas, banjir, cuaca ekstrem yang membawa banjir bandang, badai, dan puting beliung.

REUTERS/NASA

Topan Florence bergolak di Samudra Atlantik dan bergerak menuju pantai timur Amerika Serikat, seperti terlihat dari Stasiun Ruang Angkasa Internasional (ISS), Senin (10/9/2018).

Rekor baru

Dua hari kemudian, 29 November 2018, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO-World Meteorogical Organisation) melansir laporan yang isinya menguatkan laporan IPCC sebelumnya.

Sekjen WMO Petteri Taalas mengakui bahwa kita tidak di jalur yang benar, bahwa konsentrasi GRK terus-terusan mencatat rekor. Tahun terakhir menjadi rekor baru. Menurut dia, jika tren ini terus berlanjut, suhu kemungkinan naik 3-5 derajat celsius pada akhir abad ini, terutama jika kita membongkar semua sumber daya alam kita yang ada di dalam perut bumi.

Dalam laporan WMO disebutkan, suhu rata-rata dalam 10 bulan pertama tahun ini hampir mencapai 1 derajat celsius di atas rujukan suhu pada masa pra-industri. Hasil ini didapat dari lima set data suhu global independen yang disimpan.

Dengan kenaikan suhu yang diprediksi hingga 2 derajat celsius, pada tahun 2031-2051 akan terjadi perubahan pola cuaca, di mana sebagian besar wilayah Indonesia akan mengalami penurunan hujan signifikan. Sumber: Supari dkk, 2018

Wakil Sekjen WMO Elena Manaenkova menegaskan, angka-angka derajat kenaikan suhu itu bukan sekadar angka. Setiap derajat pemanasan membuat perbedaan pada kesehatan manusia dan akses pada makanan, dan air bersih, kepada kelangkaan hewan dan tumbuhan, pada tingkat kemampuan selamat terumbu karang dan kehidupan di laut. Juga pada produktivitas ekonomi, keamanan pangan, dan pada ketahanan infrastruktur serta kota.

Kenaikan suhu juga menyebabkan semakin cepatnya es di Arktik meleleh. Hal itu akan  menaikkan permukaan air laut yang dapat mengancam masa depan masyarakat yang hidup di dataran rendah dan wilayah pesisir. Kenaikan 1,5 derajat celsius akan membunuh terumbu karang.

Penyakit tropis pun akan meluas penyebarannya ke wilayah-wilayah yang lebih tinggi. Sementara melelehnya es di kawasan Arktik, seperti dijelaskan oleh pakar kelautan Alan F Koropitan, akan mengakibatkan sirkulasi air laut terhenti karena kadar salinitas di laut berubah.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pekerja menambahkan air ke dalam ember berisi ikan di Pasar Ikan Muara Baru, Jakarta, Rabu (14/11/2018). Sektor perikanan akan turut terkena dampak jika terjadi kenaikan suhu air laut akibat perubahan iklim.

Hal itu mengakibatkan suplai ikan di daerah tertentu di lautan akan terganggu. Pada akhirnya biota laut yang hidupnya bermigrasi tergantung pada perputaran massa air laut juga akan terganggu siklusnya. "Setiap kelebihan (suhu) amat berarti," ujar Manaenkova.

Isu perubahan iklim juga menjadi perhatian negara-negara maju yang tergabung dalam G-20. Sehari sebelum konferensi iklim dimulai, pada penutupan pertemuan G-20 di Buenos Aires hanya 19 negara, karena Amerika Serikat menolak, menyatakan akan mengimplementasikan Kesepakatan Paris sesuai kondisi negara dan kapasitas masing-masing.

Presiden Donald Trump teguh menyatakan keluar dari kesepakatan tersebut. Padahal, di bawah pemerintahan Barack Obama, AS telah memasukkan NDC ke Badan Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC).

AFP/LILLIAN SUWANRUMPHA

Demonstran yang mengenakan topeng wajah Presiden AS Donald Trump ambil bagian dalam unjuk rasa di depan gedung kantor PBB di Bangkok, Thailand, 8 September 2018, tempat para ahli tengah berdiskusi untuk menyelamatkan Perjanjian Paris guna mencegah perubahan iklim. Trump menarik AS dari perjanjian tersebut.

Teramat penting

Dengan semua kondisi yang terungkap itu, jelas bahwa konferensi perubahan iklim di Katowice adalah salah satu konferensi iklim  yang amat penting. Semua temuan tersebut mengonfirmasi pentingnya menjaga komitmen dengan amat kuat sesuai tujuan Kesepakatan Paris untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2 derajat celsius dan berupaya membatasi hingga 1,5 derajat celsius.

Dalam sesi Pertemuan Para Pihak ke-24 (COP-24, Conference of the Parties), bagian dari konferensi iklim tersebut beberapa pihak (negara) akan melaporkan secara terbuka tentang aksi yang mereka lakukan pra-2020 menjelang implementasi NDC pada 2020.

Mereka bertukar pikiran dan berbagai pengalaman dan setiap pihak diminta membuat komitmen NDC yang lebih ambisius. Mereka telah mendaftarkan NDC pertama. Baru Marshall Islands yang memasukkan NDC kedua. Secara keseluruhan terdapat 181 NDC di UNFCCC.

AFP

Emisi CO2 Berdasarkan Negara dan Emisi CO2 Per Individu

Konferensi Katowice menargetkan bisa menghasilkan panduan implementasi NDC bagi para pihak sesuai dengan kondisi mereka masing-masing. Pelaporan terbuka akan dijadikan praktik untuk melakukan pengecekan terhadap aksi global bersama. Tanggung jawab penurunan emisi akan ditanggung secara adil dan pengurangannya akan diukur secara akurat.

Seperti ditegaskan Espinosa bahwa semua pihak harus fokus pada pencapaian target dan membangun ambisi untuk itu. "Kita tak dapat bilang kepada jutaan orang di dunia, siapa yang telah menderita akibat perubahan iklim dan kita tidak menolongnya," ujarnya.

"Kita adalah generasi pertama yang benar-benar memahami perubahan iklim dan (sekaligus) generasi terakhir yang mampu berbuat sesuatu (untuk mengatasinya)," ujar Taalas. Dengan kata lain, kita adalah generasi yang berutang kepada generasi mendatang. Sebaiknyalah kita mengingat itu. (*)

AFF/JOSH EDELSON