Sejak pertengahan Januari, nuansa dan pernak-pernik Imlek sudah muncul di mana-mana, khususnya di mal. Imlek kembali tiba pada Selasa, 5 Februari 2019 kalender Masehi. Tahun (Imlek)-nya menunjukkan angka 2570, yang disebut Tahun Babi Tanah.
Jika dibandingkan tahun baru lain, Imlek memang satu-satunya tahun baru paling unik dan inklusif. Selain dirayakan selama 15 hari, Imlek juga dirayakan semua warga Tionghoa atau China dari segala lapisan.
Awalnya, Imlek atau Sin Tjia merupakan perayaan para petani yang biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama awal tahun baru. Perayaan itu juga berkaitan dengan pesta menyambut musim semi, yang dimulai tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir tanggal 15 bulan pertama. Karena berasal dari kebudayaan petani, pernak-pernik Imlek juga banyak dari lingkup pertanian, semisal buah jeruk dan kue keranjang.
Bukan perayaan keagamaan
Jadi, Imlek pertama-tama bukan perayaan keagamaan tertentu, melainkan perayaan menyongsong musim semi di kalangan petani China kuno. Namun, mengingat di China kuno banyak penganut Tao, Khonghucu, dan Buddha, Imlek kemudian diberi sentuhan keagamaan.
Bagi umat Khonghucu, misalnya, secara khusus Imlek merupakan peringatan tahun kelahiran atau Confucius atau Kongzi, tokoh yang sarat dengan pesan moral.
Adapun pengaitan Imlek dengan agama Buddha dimulai setelah agama Buddha menyebar di China, pada era Dinasti Han (202 SM-221 M), di bawah Raja Han Ming Ti. Pada awalnya, agama Buddha hanya dianut kalangan istana, lalu menyebar ke masyarakat.
Rakyat yang sudah menganut agama Buddha masih tetap mempertahankan budaya tradisionalnya, bahkan kadang tercampur kepercayaan kuno, seperti Taoisme dan Konfusianisme. Bagi Tionghoa Kristen atau Muslim, Imlek jelas bukan merupakan hari keagamaan.
Dengan demikian, Imlek jelas bukan merupakan hari yang eksklusif atau menjadi milik satu agama atau golongan tertentu. Imlek menjadi hari raya kebersamaan bagi etnis Tionghoa, bahkan bagi siapa saja yang mau berperan serta.
Semangat membuka diri bagi semua ini persis dengan filosofi yang ada di kelenteng-kelenteng di Tanah Air, di antaranya kelenteng Kwan Sing Bio di Tuban. Siapa pun yang hendak masuk atau menginap diterima dengan tangan terbuka.
Bahkan, saking terbuka terhadap lingkungannya, dalam kelenteng-klenteng itu sering terdapat patung-patung setempat, yang sama sekali tidak terdapat dalam tradisi China. C Salmon dan Lombard sudah menyelidiki 115 dewa yang ada di klenteng-klenteng di Jawa, paling sedikit 23 dewa berasal dari peradaban Jawa atau Sunda.
Itu semua boleh jadi selaras prinsip "Yin-Yang", agar harmoni dengan semua pihak bisa senantiasa dijaga. Harmoni bukan berarti hendak menghapus perbedaan, melainkan justru dijaga agar perbedaan itu bisa dikelola, kalau perlu dirayakan.
Banyak bukti di Tanah Air, sebelum 1965, berbagai perayaan Imlek selalu melibatkan berbagai suku di negeri ini. Di Jakarta, Singkawang, Pontianak, Surabaya, Malang, dan sebagainya anak-anak bangsa bersatu bergembira dalam perayaan Imlek. Imlek jadi perayaan kebersamaan.
Meski begitu, kebersamaan itu tidak pernah akan terjadi jika tak ada kebebasan, termasuk kebebasan dalam merayakan Imlek. Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, kebebasan merayakan Imlek nyaris tak pernah ada.
Orba telah melakukan pembunuhan kultural terhadap etnis Tionghoa. Ini yang perlu diketahui generasi milenial: jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Semoga era kegelapan semacam itu terus jadi bagian dari masa lalu. Semasa jadi presiden, Habibie telah merintis masa depan bagi etnis Tionghoa sebagai bagian integral Indonesia dengan mengeluarkan Inpres No 26/1998 untuk menghapus istilah "pribumi" dan "nonpribumi".
KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur saat jadi presiden mengeluarkan Inpres No 6/2000 yang mencabut Inpres No 14/1967 yang dibuat Soeharto yang melarang apa pun yang berbau China untuk dirayakan di depan umum seperti agama, kepercayaan, dan adat istiadat China, termasuk Imlek. Lalu, Megawati mengeluarkan Keppres No 19/2002 yang menyatakan Imlek sebagai Hari Libur Nasional mulai 2003.
Keselamatan bangsa
Namun, hari-hari ini muncul lagi kecemasan, seiring memanasnya suhu politik di Tanah Air. Sejuk air hujan seolah tak mampu mendinginkan keadaan. Pilpres yang kini tengah memasuki masa kampanye sesungguhnya merupakan pesta demokrasi. Namun, bukan aroma pesta yang gembira yang kita rasakan. Masa kampanye pilpres ini seolah telah menjebak kita dalam kecemasan.
Simak saja cara-cara yang tidak bermartabat justru dilakukan. Caci maki, hujatan, dan saling sebar hoaks seolah hal yang wajar. Bahkan agama yang seharusnya dimuliakan telah didegradasi menjadi alat politik.
Siapa capres yang kita dukung menjadi ukuran utama. Kalau ternyata berbeda pilihan, kita langsung dirasuki kebencian pada orang yang berbeda pilihan. Ternyata kita belum bisa dewasa dalam berdemokrasi.
Amarah dan ujaran kebencian berseliweran, khususnya di media sosial. Tampaknya ada upaya memenangi pilpres pada 17 April 2019 dengan segala cara tidak beretika.
Mari ingat lagi, dahulu para pendiri bangsa serta para pahlawan bersusah payah berjuang mendirikan negeri ini dengan peluh, darah, dan nyawa. Mereka ingin kita yang beragam suku dan agama ini sungguh rukun, damai, hidup bahagia sebagai saudara di rumah NKRI.
Tak ada, dari semula, rencana para pendiri bangsa untuk menganaktirikan suatu kelompok atau etnis tertentu.
Tidak heran sejak Sumpah Pemuda 1928, sejak kemerdekaan 1945, selalu ada keterlibatan etnis Tionghoa.
Bahkan akhirnya lewat pengesahan UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan, etnis Tionghoa secara resmi dinyatakan bagian integral dari bangsa ini. Jadi, munculnya sentimen anti-Tionghoa belakangan ini seolah upaya membalik arah jarum jam.
Tentu kita prihatin, mengapa jelang Pilpres 2019 menguat lagi politik identitas yang bernuasa SARA (suku, agama, ras dan antar-golongan). Semoga Imlek kali ini bisa menjadi momentum bagi kita semua untuk menyegarkan ingatan kita akan sejarah harmoni yang pernah terjadi.
Mari kita singkirkan segala prasangka dan sengketa serta berdoa bagi keselamatan bangsa. Semoga Imlek kali ini mampu memunculkan lagi spirit dan energi positif untuk menghindarkan rumah Indonesia dari ancaman kehancuran.
Pileg atau pilpres hanya mekanisme untuk memilih pemimpin. Maka, mekanisme berdemokrasi ini tak boleh merusak apa yang baik yang sudah kita raih bersama sebagai bangsa, apalagi sampai merobohkan bangunan NKRI, rumah bersama kita.
Tom Saptaatmaja Alumnus STF Teologi Widya Sasana Malang dan Seminari St Vincent de Paul
Kompas, 4 Februari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar