Menarik mencermati pernyataan para pegiat filsafat (13/2/2019) tentang kondisi bangsa saat ini.
Kian kerapnya dipertontonkan kelihaian bersilat lidah di ranah publik, sekadar mengecoh lawan, disinyalir sebagai proses ke arah pembusukan filsafat.

Mengapa bisa terjadi? Apa langkah strategis agar akal sehat yang kini terserang virus sofisme (suka bermain kata-kata dan bersilat lidah tetapi mengibuli) bisa kembali pulih?

Masyarakat industrial, demikian Kuntowijoyo dalam Muslim tanpa Masjid (2001) kian terkungkung oleh rasionalisasi, komersialisasi, dan monetisasi. Akal secara menyesatkan dimanipulasi demi tujuan di luar dirinya. Otak manusia telah dijadikan instrumen positivistik menjadikannya sekadar pelayan demi memperoleh uang (monetisasi) sebanyak-banyaknya. Demi tujuan itu, apa pun dikomersialisasikan, termasuk (harga) diri manusia itu sendiri.

Inilah gejala  rasio instrumental yang diawasi oleh Adorno dan Horkhemeir, sebagaimana dikutip Hardiman, dalam Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan (1993). Rasio manusia kehilangan isi dan tujuan pada dirinya sendiri dalam memahami kenyataan.

Rasionalitas yang tercipta pun bersifat teknologis. Segala sesuatu dipandang rasional jika dapat diperalat, dimanipulasi, serta dimanfaatkan secara matematis dan ekonomis. Para pengusaha, misalnya, disebut sukses jika sanggup memobilisasi barang- barang yang diproduksi oleh industri-industri.

Demikian juga para (calon) penguasa yang ingin merebut kekuasaan. Di era pilpres dan pileg, aneka strategi diberdayakan, termasuk mengelola teknologi informasi demi meraup keuntungan sebesar-besarnya. Tentu saja yang dijual bukan informasi edukatif yang mencerahkan, melainkan permainan kata demi memanipulasi rasa.

Yang disayangkan, para pencari kekuasaan tidak menyadari betapa rumitnya proses pemulihan atas upaya pembusukan akal sehat yang disengajakan. Ia bak benang kusut yang akan sulit terurai dalam waktu singkat. Yang paling ditakutkan, karena begitu kerap terjadi pembusukan, lalu terjadi pembalikan fakta. Yang benar dianggap salah dan yang busuk dianggap harum. Apabila sampai tahapan ini, masa suram sudah pasti diwariskan untuk generasi selanjutnya.

Kondisi akal sehat yang telah tercemar tidak saja menyebarkan virus yang mengancam akal budi, tetapi juga melumpuhkan tekad membangun bangsa. Untuk itu butuh komitmen untuk menyehatkannya kembali.

Pertama, akal hanya bisa sehat ketika kegegabahan dalam menarik kesimpulan disadari. Kesadaran dimaksud, secara minimal mengetahui bahwa kesimpulan (consequence) disebut benar ketika ditarik dari premis yang (antecedence) valid.  Sebaliknya, premis yang kacau dan menjebak hanya menggiring pada kesimpulan yang salah.

Sayangnya, kemampuan menganalisis premis sebagai pijakan mengambil keputusan kian menurun di era digital ini. Begitu mudahnya melansirkan informasi tanpa seleksi, menjadikan banyak hoaks bertebaran. Sudah pasti, dalam proses ini, akal sehat yang seharusnya memungkinkan orang berpikir secara kritis tidak berperan secara optimal. Penyehatan akal sehat, karena itu, dimaknai sebagai proses mengaktifkan kembali sikap kritis dalam menanggapi informasi.

Kedua, penyehatan akal budi dapat terjadi diawali dengan pengakuan akan adanya permasalahan. John Dewey, dalam How We Think (1933), bahkan menjadikan hal ini sebagai tahap awal penalaran. Itu berarti yang jadi pijakan semestinya kesadaran akan adanya masalah. Tanpa kesadaran itu, solusi kadang bersifat imajinatif belaka oleh minimnya kesadaran sebagai pijakan dasar.

Kenyataannya, kesatuan rasa atas masalah bangsa belum dianggap serius oleh para politisi. Mereka lebih fokus menggapai kekuasaan dengan harga berapa pun. Permasalahan akut berupa dekadensi moral tidak disadari sebagai masalah mendasar.

Ketiga, penyehatan akal tentu tak berhenti pada terwujudnya kemampuan manusia untuk dapat memutuskan pengetahuan yang benar tentang realitas konkret. Ia juga tidak sekadar proses yang berlabuh pada pengakuan bahwa apa yang diyakini juga dirasakan oleh banyak orang.  Sampai di sini, akal sehat baru pada tahapan awal.

Yang semestinya jadi target bahwa akal sehat atau common sense bisa mengantar orang pada common good. Itu berarti bukan soal mempertontonkan kemampuan retoris untuk menghasilkan kebenaran hakiki, melainkan mendorong orang untuk mewujudkan konsep yang benar dalam aksi.