Membeli data raksasa pengguna digital dari penyedia platform, memilah profilnya sesuai target, lalu memengaruhi preferensi pemilih melalui media sosial.
Itulah strategi kampanye pemilihan umum di era digital. Pada pemilu Amerika Serikat, dari Presiden Barack Obama dan terakhir Presiden Donald Trump, strategi itu masif dilakukan dan kemudian banyak ditiru.
Menghadapi pemilu serentak, 17 April 2019, sejumlah partai politik, calon anggota legislatif, ataupun tim kampanye calon presiden dan calon wakil presiden pun gencar melakukannya. Kita sadari atau tidak, mereka terus membanjiri target dengan konten kampanye, baik terang-terangan maupun terselubung, melalui Youtube, Facebook, Whatsapp, Instagram, hingga pesan singkat (SMS).
Belum ada penelitian yang memastikan seberapa efektif kampanye di media sosial. Namun, melihat penetrasi internet dan pengguna media sosial di negeri ini yang besar, sangat naif apabila menganggap ini tidak strategis.
Pengguna internet di Indonesia tahun 2018, mengacu data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, mencapai 143,26 juta atau 54,68 persen dari total penduduk. Sebanyak 130 juta di antaranya aktif di media sosial. Penetrasinya pun ke banyak lapisan usia: 13-18 tahun (16,68 persen), 19-34 tahun (49,52 persen), 35-54 tahun (29,55 persen), dan di atas 54 tahun (4,24 persen). Demi merebut hati 192,8 juta pemilih, semua upaya bisa dilakukan.
Sayangnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum mengatur ketat hal itu. Buktinya, Peraturan KPU Nomor 33/ 2018, yang mengatur Kampanye Pemilu, dalam Pasal 25 Ayat (4) hanya membatasi penayangan iklan kampanye selama 21 hari terkait media cetak, media elektronik, dan media dalam jaringan. Penayangan iklan kampanye melalui media sosial belum diatur.
Pengawasan kualitas isi kampanye di media sosial masih terus kebobolan pula. Pengaduan atas berita bohong dan berita palsu terkait politik masih bermunculan bak jamur. Konten berisi penghinaan, penghasutan, penistaan, dan penyebaran kebencian pun tidak terhindarkan. Sementara auktor intelektualisnya belum banyak diungkap, termasuk penyedia dana dan platform. Padahal, sudah bukan rahasia lagi bahwa itu tidak terjadi alamiah, tetapi diorganisasi sistematik.
Di banyak negara maju, kondisi itu yang menurunkan tingkat kepercayaan publik pada media sosial. Mereka sadar, media sosial yang semula dapat merajut kehidupan sosial malah mengoyak hubungan sosial. Penelitian Syno International Omnibus Research tahun 2018, tingkat kepercayaan pengguna media sosial di Korea Selatan sudah merah, -30, sementara di Indonesia masih biru dan tinggi, yaitu +40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar