Atmosfer budaya politik di tengah naiknya suhu politik negara-bangsa kita saat ini—sebagaimana terlihat di media sosial dan media massa, baik cetak maupun elektronik—cenderung kurang menuju budaya politik berkeadaban dan berperadaban.
Adanya kecenderungan budaya politik ini tidak saja terbaca melalui wacana verbal kebahasaan, tetapi juga visual foto-foto yang beredar.
Namun, di balik itu, kita juga perlu mempertanyakan soal kebenarannya. Apakah budaya politik itu memang sesuai dengan realitas politik atau hanya sekadar sensasi semata untuk menciptakan keriuhan dan kegaduhan kondisi politik jelang pemilu? Seperti apakah sesungguhnya persepsi masyarakat tentang politik yang mentradisi dalam negara bangsa kita?
Pemikir yang pertama kali mendiskursuskan perihal politik adalah filsuf Sokrates yang kemudian dialog-dialognya dihimpun dalam buku Republic oleh filsuf Plato. Pada awal kemunculannya, kata politik tidaklah dimaknakan dengan intensitas makna seburuk sekarang ini. Pada awalnya, justru politik dimaknakan sangatlah mulia, lekat dengan makna-makna "seni (art) mengelola negara-bangsa", "untuk kepentingan dan kebaikan bersama" (public good). Namun, entah mengapa, kata ini lambat laun hingga saat ini mengalami peyorasi (pergeseran makna ke arah yang kurang baik) di negara-bangsa kita.
Menuju demokrasi substantif
Apabila sekarang kita mendengar kata politik, pastilah dengan serta-merta persepsi akan lekat dengan makna-makna: 'siasat', 'rekayasa', 'tipu muslihat', 'kecerdikan', 'kelicikan', 'kambing hitam', 'dagang sapi', 'pengultusindividuan', 'pertarungan', 'caci maki', 'fitnah', dan berbagai makna serupa lainnya yang berkonotasi negatif. Akankah kata politik ke masa depan terus-menerus dipersepsi seperti itu? Akankah tindakan dan perilaku politik para elite dan politikus selamanya akan menyertai dampak persepsi yang seperti itu? Tidakkah akan ada upaya mengembalikan makna kata politik pada fitrah makna pada awalnya yang berkonotasi positif?
Pertanyaan itu penting karena negara-bangsa kita membutuhkannya. Butuh agar para elite dan politisi memaknai kata politik tidak berkonotasi buruk. Untuk selanjutnya, dengan persepsi yang baik, tentunya akan berimplikasi pula pada tindakan dan perilaku politik para elite dan politisi yang akan menjadi baik. Bukankah kemajuan politik kita dapat diukur dari arah politiknya?
Mengarah pada politik yang berkeadaban dan berperadaban yang terepresentasikan melalui pikir (niat), tutur kata (wacana), dan tindakan (perilaku) politiknya. Inilah barangkali budaya politik yang sangat kita harapkan mewarnai realitas politik dalam negara-bangsa kita menuju demokrasi yang substantif.
Dengan pemenuhan politik semacam itu, otomatis akan terjadi supremasi politik. Sebab, politik, dalam rumah negara-bangsa, harus disangga dengan persepsi politik yang benar dan kesadaran politik tinggi. Oleh karena arah makna kata politik untuk kebaikan bersama (public good), semua warga negara-bangsa tentu juga wajib sadar politik, seperti halnya mereka juga wajib sadar hukum.
Implikasinya, persepsi elite dan politisi yang hanya memaknai kata politik sebatas tujuan meraih kekuasaan (kemenangan) tentu tidaklah cukup. Apalagi dengan menghalalkan segala cara, siasat, dan taktik yang tidak berlandas-tumpu pada kebenaran, fakta, dan data. Persepsi yang seperti ini cenderung akan merusak tatanan sosial dan budaya politik yang sudah berangsur terbangun baik, dan mengakibatkan kerugian pada negara-bangsa.
Mengapa demikian? Oleh karena, dalam negara-bangsa yang menganut demokrasi substantif, kekuasaan sebenarnya bukanlah menjadi tujuan utama.
Kekuasaan hanyalah baru sebagai wahana atau sebuah kesempatan! Wahana atau kesempatan bagi siapa saja yang berkuasa untuk menyejahterakan rakyatnya. Jadi, menyejahterakan seluruh rakyat itulah tujuan utama dalam demokrasi substantif.
Untuk itu, diperlukan kecakapan, keikhlasan, dan ketulusan dalam mengelola negara-bangsa. Terkait dengan hal ini, filsuf Hegel dalam The Historical Philosophy melontarkan pemikiran budaya politik dalam pengelolaan negara-bangsa yang baik: kebijakan pemerintah yang berkuasa, harus sejalan dengan keinginan masyarakatnya.
Dengan demikian, dalam rangka kesinambungan negara-bangsa demokrasi, suksesi (pemilu) hanyalah siklus yang memang mesti ada dan diadakan. Pergantian, penyegaran, dan penguatan negara-bangsa demokrasi mesti dilakukan secara periodik dan kontinu.
Dengan demikian, pemilu mesti kita pahami sebagai siklus, pergantian rutin, regulasi, dan pesta demokrasi. Bukan sebaliknya, pertarungan atau bahkan perang antarkubu yang diikuti oleh para pendukungnya.
Itu sangat berbahaya, sebab dengan pemahaman seperti itu, negara-bangsa akan jadi terbelah dan terpecah, saling bermusuhan, dan saling memosisikan diri sebagai lawan. Ini tentu masih termasuk sikap feodal dalam dunia politik yang sudah menuju politik modern. Jadi, sekali lagi, pemilu harus kita pahami dalam pemikiran lebih maju sebagai regulasi yang rutin dan biasa. Maka, siapa pun yang kapabel menjadi pemimpin negara-bangsa patut kita dukung sepenuh hati, agar negara-bangsa kian maju dan kuat.
Jika pemilu kita pahami sebagai regulasi (siklus), niscaya pada pra-pemilu orang mesti berkontestasi; pada pasca-pemilu harus pula dapat berkolaborasi. Sikap inilah yang belum membudaya dalam realitas perpolitikan kita. Yang masih terjadi adalah jika pra-pemilu orang berkontestasi, sampai pada pasca-pemilu pun masih tetap terbelah menjadi kubu-kubu, seperti musuh bebuyutan.
Padahal, pada pasca-pemilu seharusnya bisa berkolaborasi secara dinamis, dengan melibatkan siapa pun dalam mengelola negara, sepanjang potensi dan sumber daya manusianya memang dibutuhkan untuk membangun dan memajukan -bangsa. Kapankah sikap bijak elite dan politisi kita akan ikhlas menyemaikan kemauan berkolaborasi seperti itu dalam dunia politik kita?
Kontestasi untuk kebaikan
Dalam pemilu, para elite dan politikus seharusnya bukan berkontestasi saling menjatuhkan, tetapi berkontestasi kebaikan dan keunggulan. Bukan menakut-nakuti (seperti genderuwo) dan bukan pula menebar hoaks. Akan tetapi, berikhtiar untuk menabur kebaikan dan keunggulan visi, misi, dan program kerja, jika nantinya terpilih.
Patut dicermati juga, visi, misi, dan program yang dikampanyekan bukanlah yang utopia (di awang-awang), melainkan yang efektif, realistis, dan implementatif dapat dilaksanakan dan bermanfaat bagi rakyat. Visi, misi, dan program itu mesti didukung juga dengan rekam jejak kinerja para kontestan, kontestan memiliki prestasi apa. Ini penting agar kampanye tidak lagi sebatas untuk memengaruhi (menyugesti) pemilih, bukan sekadar janji-janji suci; melainkan janji-janji suci yang memang dapat dibuktikan kesuciannya saat jadi pemenang dan berkuasa.
Dalam demokrasi yang makin dewasa dan berkualitas, tentu perlu memperlihatkan kemampuan para kontestan pemilu dalam berpolitik yang beretika, atau yang dilandasi etika berpolitik. Kemampuan kontestan itu salah satunya dapat dilihat pada kesantunan berkomunikasi, sikap politik, sehingga rakyat merasa teduh dalam rumah bersama negara-bangsa. Namun juga kesantunan komunikasi ini tidaklah harus dipahami selalu bersikap lembut, karena setiap kontestan tentu memiliki gaya berkomunikasi sendiri.
Dalam berdemokrasi, berbeda pilihan itu merupakan karakteristik demokrasi yang sehat. Berbeda pilihan sama sekali tidak berarti menjadi tidak bersaudara lagi, tetapi tetap memiliki hubungan baik dan dapat bekerja sama. Bersama-sama tetap menjaga kesatuan dan persatuan bangsa, atas dasar kesadaran inklusif kita sebagai satu warga negara-bangsa.
Sekali lagi, dalam berpolitik, kita menuju demokrasi substantif: pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat; hijrah dari demokrasi yang prosedural ke demokrasi yang menyejahterakan rakyat.
Dengan demikian, menuju budaya politik berkeadaban dan berperadaban berarti mau dan mampu menjalankan politik bersih dan bukan politik kotor (keruh). Dalam budaya politik ini, berpolitik tidaklah cenderung memolitisasi perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), memolitisasi kemiskinan, dan berbagai tindakan memolitisasi lainnya yang tidak berdasar.
Budaya politik ini juga harus berkomitmen mengurangi beban negara bangsa, terutama intoleransi dan korupsi. Budaya politik ini pada dasarnya lebih merupakan politik transformasional ketimbang politik transaksional, mentransformasi semua bidang ke arah yang lebih baik dan maju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar