Pada poin ini, peringatan keras dikemukakan Roben Hodess (2004), bahwa politik uang sangat berbahaya karena pejabat publik yang melakukan akan sangat berpotensi mengembalikan modal, tampaknya cukup beralasan. Basis argumentasinya bahwa feedback ekonomi politik dengan penggunaan sumber daya kekuasaan akan menjadi praktik yang tak terelakkan.
Dampaknya, anggaran pembangunan yang seharusnya jadi nisbah masyarakat akan terkorupsi melalui berbagai modus aneka rupa yang sejak awal telah dikondisikan dalam pembahasan anggaran atau kebijakan. Dalam konteks inilah korupsi dan pembangunan menemukan irisan serta titik temu yang marak dijumpai di lapangan.
Karena itu, satu gagasan yang tampaknya layak untuk terus didorong adalah memasukkan praktik politik uang dalam kampanye sebagai kejahatan dan masuk ranah tindak pidana korupsi. Sanksinya bukan saja pembatalan sebagai pejabat publik, melainkan juga pidana sesuai dengan UU Tindak Pidana Korupsi.
Tentu hal itu butuh kajian lebih komprehensif. Namun, prinsipnya bahwa terobosan sanksi hukum penting diambil karena daya rusak politik uang bukan saja terletak pada nilai transaksionalnya yang mencederai demokrasi, memiskinkan masyarakat, merobek kohesivitas sosial masyarakat, melainkan juga dampak masif dan sistemik yang timbul.
Dampak sistemik itu berupa pengakumulasian kekuasaan serta kekayaan dalam bentuk memperdagangkan pengaruh dan pemberian fasilitas dalam kontrak-kontrak pemerintah. Inilah yang kemudian disebut korupsi politik yang pada akhirnya akan melahirkan sebuah jalinan dan reproduksi korupsi yang saling berkait-kelindan.
Daya rusak politik uang yang sesungguhnya juga amat berbahaya adalah praktik ini akan merusak mental masyarakat ke arah hedonis-materialistik. Narasi yang kemudian terbangun di masyarakat adalah bahwa urusan pemilu seolah-olah urusan transaksional uang. Praktik politik uang ini semakin tumbuh subur dalam masyarakat yang tidak memiliki prinsip ataupun ideologi yang dicita-citakan bersama.
Pasar bebas
Celakanya, praktik ini hampir menjadi semacam "kebenaran" umum. Setiap antitesis yang mencoba melawan narasi ini akan menghadapi penolakan di masyarakat dengan nada nyinyir. Maka, muncullah istilah- istilah yang bernada sumir: "caleg enggak modal", "caleg kere", caleg kok tidak ninggalin apa-apa", "konsolidasi tanpa serangan fajar bak menggantang asap", serta ungkapan-ungkapan nyinyir lain bernada miring jika tanpa melibatkan uang.
Akibatnya, pemilu benar-benar menjadi pasar bebas dan bertuhankan uang. Kerja-kerja konsolidasi dan advokasi masyarakat memang masih berjalan, tetapi di ujungnya hampir semua—untuk tak mengatakan tidak ada sama sekali—dieksekusi dengan politik uang.
Politik uang dalam hal ini merujuk pada praktik distribusi uang dari kandidat kepada pemilih. Parahnya, para kandidat pun akhirnya mengikuti langgam irama ini.
Dampak lain yang sangat berbahaya, dengan politik uang masyarakat akhirnya merasa tidak memiliki ikatan dengan partai politik atau caleg selain ikut memberikan suara pada hari pencoblosan. Demikian juga caleg merasa tidak memiliki ikatan dengan masyarakat karena merasa telah membeli suara masyarakat. Inilah awal mula munculnya diskoneksi wakil rakyat dengan konstituennya.
Nyaris tidak ada teladan baik dalam sistem politik dan pemerintahan yang fondasinya dibangun di atas praktik-praktik politik uang. Operasi tangkap tangan (OTT) ratusan kepala serta anggota DPR dan DPRD dalam kasus korupsi jika ditelisik lebih dalam selalu berhulu dari satu hal: politik uang dalam kontestasi yang melatarinya. Tak bisa dibantah bahwa reproduksi korupsi juga bersumber dari praktik-praktik politik uang semacam ini.
Selain dampak positif, harus diakui bahwa salah satu dampak negatif sistem proporsional terbuka adalah pemilu telah mendorong liberalisasi suara. Akibatnya, ideologi partai menjadi pudar, tidak dianggap penting, dan cenderung dikalahkan kepentingan pemenangan setiap caleg. Segala cara akan dilakukan caleg, termasuk menggunakan politik uang.
Hal ini pada gilirannya akan berdampak pada sikap permisif masyarakat dan menyebabkan hilangnya ketulusan masyarakat dalam berpolitik. Masyarakat akhirnya menjadi selalu berpamrih dalam setiap proses politik. Hukum pasar pun berlaku: ada uang ada suara.
Fenomena politik uang ini sesungguhnya hampir menjadi soal klasik sehingga sebagian orang mungkin enggan membahasnya atau dalam benak mereka hal tersebut telah menjadi semacam kewajaran. Cara berpikir demikian amat berbahaya karena hal itu justru akan melegitimasi praktik yang keliru menjadi sesuatu yang kemudian dianggap benar dan wajar.
Solusi memangkas
Karena dampak destruktifnya yang luar biasa itulah, penting dicari solusi untuk memangkas praktik politik uang ini. Pertama, penting melakukan kembali pendidikan politik masyarakat yang melibatkan semua pemangku kepentingan: negara, partai politik, dan masyarakat madani (civil society).
Kedua, negara dalam hal ini harus tegas memberikan sanksi pidana. Upaya memasukkan politik uang sebagai tindak pidana korupsi tampaknya perlu didorong masuk dalam ranah hukum UU Tipikor.
Ketiga, partai politik perlu melakukan kaderisasi yang benar dengan konsep yang matang dan harus mulai mencari sumber-sumber dana yang tidak sekadar berburu anggaran negara dalam bentuk proyek.
Perbincangan saya dengan banyak petahana ataupun calon yang baru maju dalam kontestasi Pemilu 2019, pusat dan daerah, menunjukkan bahwa tidak ada satu pun yang tak membahas politik uang dalam bentuk "serangan fajar". Artinya, yang ada dalam pola pikir para caleg ini bahwa persoalan pemilu adalah persoalan siapa habis berapa dan kapan waktu eksekusinya.
Perbincangan gagasan ideal tentang visi, misalnya, ia hanya akan tergeletak di sudut-sudut pertemuan dan diskusi di hotel-hotel mewah.
Pasar bebas pemilu yang melahirkan praktik politik uang yang brutal ini tampaknya sudah sampai pada fase yang sangat mengkhawatirkan. Pada titik ini layak menengok apa yang dikatakan Michael Saward (2005) bahwa demokrasi seharusnya memang bukan sekadar hitungan kepala.
Lebih dari itu, demokrasi harus melibatkan perbincangan yang berbasis pada persamaan dan inklusivitas, adanya kesadaran mengenai kepentingan orang lain, serta kesempatan untuk bisa berperan aktif pada ranah-ranah publik. Mewujudkan gagasan ini hanya bisa melalui satu hal: menolak banalitas politik uang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar