Pemimpin dan pendiri Kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), Abu Bakar al-Baghdadi, tewas dalam penyerbuan pasukan komando AS, Sabtu (26/10/2019) dini hari, di Desa Barisha, Provinsi Idlib, wilayah barat laut Suriah.
Opini yang berkembang di media Timur Tengah, baik yang dilontarkan pengamat, pejabat, maupun publik, adalah bagaimana masa depan NIIS pasca-tewasnya Baghdadi.
Hampir semua sepakat, NIIS tidak akan mati atau tidak terpengaruh oleh kematian Baghdadi. NIIS sesungguhnya jauh lebih besar dari sekadar seorang Baghdadi. NIIS bukan perkara ketokohan seorang pemimpin, melainkan lebih pada persoalan ideologi atau NIIS itu sendiri sudah menjelma menjadi ideologi.
Tentang Baghdadi sendiri sesungguhnya sudah tidak punya pengaruh besar di lapangan, khususnya setelah kekalahan NIIS di Irak dan Suriah dalam dua tahun terakhir ini.
Baghdadi dalam beberapa waktu terakhir praktis hanya menjadi seorang buronan yang telah kehilangan komunikasi dengan banyak pengikut dan pembantu dekatnya. Oleh karena itu, kematian Baghdadi tidak membawa dampak besar kepada NIIS.
Kesibukan Baghdadi terakhir adalah bukan berusaha menggerakkan kembali NIIS, melainkan hanya mencari tempat persembunyian. Ia akhirnya ditemukan di tempat persembunyian terakhirnya, yaitu di Desa Barisha.
Kekuatan NIIS juga bukan terletak pada organisasi yang memiliki struktur mulai dari pemimpin, wakil pemimpin, bendahara hingga juru bicara, tetapi berada pada kekuatan ideologinya.
Baghdadi boleh tewas atau bahkan organisasi NIIS ambruk, tetapi NIIS secara ideologi tetap eksis selama lingkungan sosio-politik di Timur Tengah yang mendorong tetap bertahannya NIIS itu masih bersemai.
Oleh karena itu, selama faktor-faktor yang melahirkan ideologi NIIS masih subur di Timur Tengah atau di belahan bumi lainnya, NIIS akan tetap eksis dan pengikut atau simpatisannya masih bertebaran di mana-mana.
Banyak artikel dan buku selama ini menelaah dan menganalisis NIIS dengan metodologi historis yang menceritakan perjalanan NIIS dari lahir, berkembang, kemudian ambruknya. Bahkan, sering pula NIIS diidentikkan dengan Baghdadi.
Akan tetapi, tidak banyak artikel yang menganalisis NIIS dengan metodologi tinjauan sosiokultural dan geopolitik yang tercipta di bumi Timur Tengah, menyusul era sistem negara bangsa (nation state) pada abad ke-20. NIIS sesungguhnya adalah produk negara gagal di dunia Arab yang mengusung sistem negara bangsa hasil warisan dari pemerintah kolonial pada abad ke-19 dan ke-20.
Jika sistem negara bangsa di Eropa melahirkan kultur demokrasi, sebaliknya di dunia Arab menciptakan kultur diktator
Tradisi kudeta militer di dunia Arab yang dimulai dari Mesir pada 1952 menjadi awal proses penguburan benih-benih kultur demokrasi di kawasan itu. Kudeta militer di Mesir 1952 segera disusul kudeta militer di negara Arab lain, seperti kudeta militer di Irak tahun 1958, di Aljazair tahun 1965, di Suriah tahun 1969, di Sudan tahun 1969, dan di Libya tahun 1969.
Rezim militer, sebagai penguasa baru di dunia Arab pasca-era kolonial, segera menerapkan sistem monolitik yang sama sekali tidak memberikan ruang adanya keberagaman pendapat atau ideologi dalam rumah negara bangsa itu. Akibatnya, rezim militer di dunia Arab segera mendapat perlawanan sengit dari gerakan Islam politik yang merupakan kekuatan politik dominan di dunia Arab.
Di Mesir, Ikhwanul Muslimin (IM) yang merupakan gerakan Islam politik di negara itu segera pecah kongsi dengan rezim militer, menyusul rezim militer yang dipimpin Gamal Abdel Nasser cenderung memonopoli kekuasaan dengan menerapkan sistem diktator. Sebelumnya, militer dan IM bermitra dalam menumbangkan sistem monarki di Mesir pada 1952.
Upaya pembunuhan yang gagal terhadap Gamal Abdel Nasser di kota Alexandria pada 1954 oleh aktivis IM menjadi puncak perseteruan IM dan militer. Rezim militer segera melancarkan tindakan represif dengan memburu dan memenjarakan para pimpinan dan aktivis IM.
Tindakan represif militer terhadap IM pada dekade 1950-an dan 1960-an disebut merupakan cikal bakal lahirnya gerakan radikal di dunia Arab. Ironisnya, rezim militer berkuasa sangat lama di dunia Arab serta gagal membangun negara modern yang membawa kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.
Mesir dikontrol militer dari tahun 1952 sampai saat ini. Aljazair dipegang militer sejak 1965 sampai sekarang. Libya dan Suriah terlibat perang saudara dari tahun 2011 sampai sekarang karena rezim militer di dua negara tersebut menolak melepaskan kekuasaan. Di Sudan, militer masih bercokol lewat kesepakatan kongsi dengan sipil untuk memimpin masa transisi di negara itu setelah dilanda aksi unjuk rasa rakyat yang menjatuhkan rezim militer Presiden Omar Hassan al-Bashir pada 11 April lalu.
Ideologi sosialis yang diadopsi rezim militer disebut menjadi salah satu faktor utama yang menciptakan negara gagal di dunia Arab. Hal itu seperti halnya ideologi sosialis yang gagal membawa kemajuan di negara-negara Eropa Timur sehingga menyebabkan ambruknya Uni Soviet dan negara Eropa timur lainnya pada dekade 1990-an. Ditambah pula gagalnya negara-negara Arab melawan Israel yang mengalami kekalahan dalam perang Arab-Israel tahun 1967.
Gagalnya ideologi sosialis dan kegagalan dalam perang melawan Israel berandil besar rakyat di negara-negara Arab yang dikuasai rezim militer mencari identitas ideologi baru sebagai alternatif dari ideologi sosialis itu. Latar belakang itulah yang mengantarkan munculnya jargon kembali kepada Islam sejak 1970-an sampai saat ini sebagai jalan menyelamatkan dunia Arab.
Latar belakang itu pula yang melahirkan gelombang "Musim Semi Arab" untuk menjatuhkan rezim diktator, mulai dari Tunisia akhir 2010, kemudian menjalar ke Mesir, Libya, Suriah, Yaman tahun 2011, dan terus berlanjut sampai sekarang di Aljazair, Sudan, Irak, dan Lebanon.
Lahir dan kejayaan NIIS yang disimbolkan oleh pidato Baghdadi di mimbar Masjid Nuri di Mosul, Irak, pada Juni 2014, tidak lepas dari latar belakang makro dunia Arab yang gagal membangun negara modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar