Pandemi Covid-19 telah meluluhlantakkan pasar finansial negara-negara di dunia. Pasar modal global remuk karena investor berbondong-bondong menjual saham yang mereka miliki seiring melesunya perekonomian yang berimbas pada kinerja-kinerja korporasi.
Pasar uang dan nilai tukar di negara-negara berkembang hancur gara-gara ditinggal investor-investor portofolio asing yang kemudian meminta imbal hasil surat utang yang lebih tinggi sebagai syarat untuk mereka masuk lagi ke negara tersebut.
Pandemi Covid-19 juga memaksa tiap-tiap negara meningkatkan anggaran belanjanya secara drastis untuk penanganan kesehatan, perlindungan sosial, dan pemulihan ekonomi. Untuk memenuhinya, tiap-tiap negara pun berutang besar-besaran, baik dari kreditor di dalam negeri maupun di luar negeri.
Intermediasi perbankan pun macet akibat pandemi Covid-19. Bank tidak bisa optimal menjalankan bisnisnya karena dunia usaha kolaps seiring menyusutnya aktivitas ekonomi. Debitor kesulitan mengembalikan kredit beserta bunganya ke perbankan. Di sisi lain, bank tetap membutuhkan likuiditas atau dana untuk memenuhi kewajibannya kepada kreditor atau nasabah penabung.
Pendek kata, pandemi Covid-19 telah membuat likuiditas pasar finansial di tiap-tiap negara bergejolak. Kebutuhan fiskal yang besar bertabrakan dengan macetnya transmisi dan menyusutnya likuiditas. Kondisi ini jelas membuat pusing otoritas-otoritas moneter di setiap negara.
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter di Indonesia tentu tak lepas dari kepusingan itu. Perbankan nasional dihadapkan pada risiko likuiditas seiring aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang memberikan relaksasi kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan pinjaman di bawah Rp 10 miliar yang terdampak pandemi Covid-19 berupa penundaan pembayaran pokok dan bunga maksimal selama setahun.
Korporasi-korporasi besar yang terdampak Covid-19 juga bisa meminta restrukturisasi yang berpotensi mengurangi likuiditas bank dalam jangka pendek.
Berdasarkan data OJK per 4 Mei 26 2020, relaksasi tersebut telah diberikan oleh 74 bank kepada 1,02 juta debitor dengan nilai kredit Rp 207,2 triliun. Jumlah ini akan terus bertambah seiring makin banyaknya debitor yang terdampak pandemi.
Semakin banyak kredit yang direstrukturisasi, semakin besar pula potensi likuiditas yang tak diterima perbankan. Likuiditas yang batal diterima bank dari para debitornya ini tentu harus dipenuhi dari sumber lain agar risiko likuiditas tetap terjaga. Bagaimana memenuhi likuiditas perbankan tentu menjadi tugas BI.
Di sisi lain, pemerintah akan mengucurkan stimulus senilai Rp 436,1 triliun untuk mempercepat penanganan pandemi Covid-19. Dampaknya, defisit anggaran melebar menjadi Rp 852,9 triliun atau 5,07 persen PDB. Untuk menutup defisit, pemerintah berencana menambah utang baru Rp 1.006,4 triliun pada 2020.
Dari total utang baru itu, sekitar Rp 856 triliun akan diupayakan melalui penerbitan surat berharga negara (SBN), sementara sisanya berupa pinjaman dari lembaga-lembaga internasional.
Selanjutnya, dari total SBN tersebut, sekitar Rp 132 triliun akan diterbitkan dalam valuta asing, yang berarti akan dibeli oleh investor dan lembaga keuangan asing. Adapun sebagian besar SBN, yakni sekitar Rp 724 triliun, akan diterbitkan dalam denominasi rupiah. Pembelinya bisa domestik, bisa juga asing.
Nah, persoalannya, apakah likuiditas di pasar cukup untuk menyerap SBN tersebut, terutama yang berdenominasi rupiah. Sebab, pada tahun-tahun sebelumnya, pemerintah tak pernah menerbitkan SBN rupiah sebesar itu. Pada 2019, misalnya, SBN rupiah neto yang diterbitkan Rp 359,66 triliun. Pada 2018, lebih rendah lagi, senilai Rp 260,53 triliun.
Jadi, daya serap pasar terhadap SBN rupiah berkisar hanya Rp 200 triliun-Rp 400 triliun per tahun. Lalu, bagaimana pasar menyerap SBN rupiah sebesar Rp 724 triliun pada 2020, yang besarnya dua kali lipat lebih dari rata-rata tahun sebelumnya? Inilah juga yang menjadi tugas BI sebagai otoritas moneter.
"Quantitative easing"
Untuk memenuhi likuiditas di bank sekaligus meningkatkan daya serap pasar domestik terhadap SBN yang akan diterbitkan pemerintah, BI pun melakukan serangkaian kebijakan yang disebut quantitative easing atau memompa likuiditas ke pasar.
Menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, sejak awal tahun hingga kini, BI telah menginjeksi likuiditas ke perbankan dan pasar sekitar Rp 503 triliun. Selama periode Januari-April 2020, injeksi likuiditas mencapai Rp 386 triliun, yang bersumber dari pembelian SBN di pasar sekunder dari investor asing sebesar Rp 166,2 triliun, term repo perbankan Rp 137,1 triliun, swapvaluta asing Rp 29,7 triliun, dan penurunan giro wajib minimum (GWM) rupiah pada Januari dan April 2020 sebesar Rp 53 triliun.
Semenntara pada periode Mei 2020, injeksi likuiditas mencapai Rp 117,8 triliun, yang bersumber dari penurunan GWM rupiah menjadi 3,5 persen sebesar Rp 102 triliun dan tidak mewajibkan tambahan giro untuk pemenuhan rasio intermediasi makroprudensial (RIM) sebesar Rp 15,8 triliun.
Dengan injeksi tersebut, perbankan pun memiliki likuiditas yang lebih dari cukup meski ada debitor yang menunda pembayaran pokok dan bunganya.
Pada saat bersamaan, kebijakan QE yang dilakukan BI tersebut memberikan kemampuan pada perbankan dan pasar untuk menyerap SBN yang diterbitkan pemerintah. Untuk mendorong likuiditas perbankan masuk ke SBN, BI pun menaikkan rasio penyangga likuiditas makroprudensial (PLM) sebesar 200 basis poins (bps) untuk bank umum konvensional menjadi 6 persen dan 50 bps untuk bank umum syariah/unit usaha syariah menjadi 4,5 persen.
Kenaikan PLM tersebut wajib dipenuhi melalui pembelian SBN yang diterbitkan oleh pemerintah di pasar perdana. SBN yang dibeli perbankan tersebut kemudian bisa direpokan ke BI jika bank memerlukan likuiditas.
Likuditas yang dipompa BI ke perbankan dan pasar tersebut tentu tidak cukup untuk menyerap seluruh SBN yang akan diterbitkan pemerintah sepanjang tahun ini.
Karena itu, strategi berikutnya adalah BI membeli SBN di pasar perdana sebagai pembeli nonkompetitif (noncompetitive bidding). Sebelum ada pandemi Covid-19, kebijakan ini dilarang karena tak sesuai dengan best practice pengelolaan moneter di dunia.
Namun, sekarang diperbolehkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 yang diterbitkan 31 Maret 2020.
Selanjutnya, berdasarkan nota kesepahaman antara BI dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), pembelian SBN di pasar perdana oleh BI ditetapkan maksimal 25 persen dari target maksimal lelang. Adapun untuk surat berharga syariah negara, BI bisa membeli maksimal 30 persen.
Karena BI bisa mencicil membeli SBN pada setiap lelang perdana, makapandemic bond tidak lagi dibutuhkan. Pada skenario awal, pemerintah akan menerbitkan obligasi khusus untuk penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi yang dinamakan pandemic bond. Obligasi ini, berdasarkan skenario tersebut, sebagian besar akan diserap BI.
Dari seluruh SBN rupiah yang akan diterbitkan pemerintah tahun ini, BI kemungkinan akan membeli sekitar Rp 125 triliun. Ini akan membuat surat utang yang dipegang BI kian menggunung.
Per 6 Mei 2020 saja, berdasarkan data Kemenkeu, SBN yang dipegang BI mencapai Rp 440,54 triliun, meningkat 61 persen dibandingkan posisi awal tahun yang sebesar Rp 273,21. Lonjakan terjadi karena pada periode Maret 2020, BI harus membeli SBN yang dilepas asing sebesar Rp 166,2 triliun.
Hingga kini, BI juga telah beberapa kali membeli SBN di pasar perdana. Pada lelang SBN 28 April 2020, misalnya, BI memenangi sekitar Rp 2,3 triliun dari total Rp 16,6 triliun yang diambil pemerintah.
Uang beredar meningkat
QE dan pembelian SBN di pasar perdana oleh BI memang akan membuat likuiditas pasar dan perbankan menjadi cukup, baik untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah maupun untuk menyerap SBN yang diterbitkan pemerintah.
Namun, di sisi lain, hal ini akan membuat jumlah uang beredar meningkat drastis. Penambahan uang beredar yang cukup besar berasal dari ekspansi keuangan pemerintah dan ekspansi moneter berupa penciptaan uang yang dilakukan BI untuk membeli SBN di pasar perdana.
Lonjakan uang beredar uang ini akan menimbulkan ekses likuiditas atau likuiditas berlebih jika kondisi perekonomian telah kembali pulih. Jika ekses likuiditas ini tak diserap, akan berisiko meningkatkan inflasi dan memperlemah nilai tukar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar