Walau harus berdamai dengan wabah yang merayah, tak berarti negeri ini menyerah. Kredo ini menyanggah anggapan bahwa Indonesia takluk setelah Presiden Joko Widodo menyatakan perlu "berdamai" dengan pandemi korona. Pernyataan Profesor Djoko Santoso, dokter ahli penyakit dalam, bisa memperkuat sanggahan itu: bahwa "berdamai" dengan wabah korona bukanlah sikap menyerah kalah, melainkan sikap antisipatif dengan kesadaran menerima kenyataan, dan kemauan menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah agar tetap bertahan hidup dan lanjut berkarya (Kompas, 4/6/2020).
Jadi, tegasnya, perdamaian tak menghentikan pertempuran, dan roda kehidupan pun terus berjalan. Dari sudut bahasa, konsistensi perjuangan itu terasakan dalam bermacam cogan perlawanan—sebutlah begitu—baik yang diproduksi otoritas resmi penanggulangan wabah maupun kreasi khalayak luas. Di sini "cogan" 'kata-kata semboyan' (KBBI Edisi V). Bentuk cogan perlawanan tak ubahnya seperti teks bertanda pagar yang sejak lama banyak beredar. Hanya saja, isinya dirancang khusus sebagai gerakan melawan bala.
Bahwa resistensi untuk menghadang virus korona terus bergerak, terbaca pada cogan #BersatuLawanCovid19 yang tetap berkibar di markas Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Selain itu, cogan #Indonesiamelawancovid19 telah dideklarasikan tak lama setelah invasi pasukan korona tiba. Tak berlebihan bila cogan-cogan perlawanan itu dikatakan berbobot setara dengan semboyan "merdeka atau mati" pada zaman revolusi meskipun dalam konteks yang berbeda. Bukankah serangan virus korona, dalam menjatuhkan korban jiwa, tak kalah berbahaya dengan peperangan di medan laga?
Gugus Tugas terus memproduksi cogan perlawanan, seperti #jagajarak yang menjadi salah satu kata kunci pencegah penjalaran virus ganas. Cogan ini terasa mendesak karena soal sederhana itu justru tampak sulit dilakukan orang dalam keramaian. Cogan #TidakMudik menjadi menarik karena tak langsung menyasar musuh, melainkan mengarah kepada "diri sendiri" sebagai pantangan agar tak pulang kampung demi mencegah wabah pindah. Dalam situasi kritis pandemis saat ini, cogan itu layaknya peranti untuk menguji suatu pilihan sulit: taat kepada tradisi ataukah regulasi.
Saat peringatan Hari Buruh Internasional, cogan melawan kovid bergandeng-renteng dengan perlawanan terhadap hal lain. Seruan pekerja-pendemo, #AtasiVirusCabutOmnibus, mengisyaratkan bahwa telah terjadi komplikasi dalam kemelut pagebluk yang dipicu oleh interes "politik tuna-empati"—saya kutip dari Azyumardi Azra (Kompas, 16/4). Pada cogan lain, #RakyatBantuRakyat, tersirat ada unsur "keagenan" di dalamnya: bahwa yang bisa mengentaskan rakyat dari situasi darurat pada dasarnya dan pertama-tama,ya rakyat itu sendiri. Sungguh, cogan yang membanggakan.
Dalam artian klasik cogan itu tombak (Kamus Umum Bahasa Indonesia, Badudu/Zain, 1996). Sublema "cogan alam" berarti 'tombak kerajaan yang dibawa di hadapan raja jika baginda berangkat; mata tombak itu emas dan gagangnya dihiasi dengan emas pula'. Di sini tombak lebih bermakna sebagai pusaka ketimbang senjata. Analoginya, cogan kata-kata adalah "pusaka kata-kata"—perlu untuk menggugah spirit bersama.
KASIJANTO SASTRODINOMO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar