Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 29 September 2017

RUU Pertanahan dan UUPA (MARIA SW SUMARDJONO)

Rancangan Undang-Undang Pertanahan inisiatif DPR tahun 2013 yang dimaksudkan untuk melengkapi UU Pokok Agraria tidak tuntas dibahas sampai berakhirnya masa bakti DPR periode 2009-2014. Sampai saat ini pun belum ada isyarat kapan RUU tersebut akan dibahas. Bagaimana sikap pemerintah terhadap RUU ini?

Menarik mencermati sikap pemerintah yang dapat dilihat dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) versi 17 Juli 2017. Di sana terbaca sikap mendua pemerintah, yakni antara mempertahankan dan mengganti UU Pokok Agraria (UUPA). Tampaknya sejak awal ada sikap gamang ketika RUU Pertanahan (RUUP) disusun untuk melengkapi ketentuan UUPA dan mengaturnya secara lebih rinci agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, selaras perkembangan zaman. Di satu sisi, pemerintah-dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional semasa Joyo Winoto-terikat komitmen dengan Komisi II DPR untuk tidak mengubah UUPA, tetapi cukup menyiapkan RUUP (RDPU, 29 Januari 2007). Di sisi lain, muncul berbagai permasalahan pertanahan yang belum dapat dipecahkan melalui peraturan yang ada; atau sudah dicoba diatasi melalui berbagai kebijakan tetapi ternyata kontraproduktif atau tidak memberikan solusi. Oleh karena itu, tampak ada dorongan kuat bagi pemerintah untuk mencoba memecahkan permasalahan itu melalui RUUP.

Perubahan yang diusulkan umumnya didasarkan pada alasan pragmatis, yakni memberikan akses kepada masyarakat, menarik investor, menyelesaikan konflik, utamanya okupasi masyarakat di atas tanah hak guna usaha (HGU) aset BUMN, dan lain-lain. Tanpa didahului kajian yang mendalam dan komprehensif, perubahan- perubahan ini dapat memunculkan permasalahan baru.

Namun, beberapa hal positif dapat dicatat, misalnya penghapusan aturan konversi karena memang sudah tak diperlukan lagi. Juga dimuat keterbukaan informasi publik dan upaya ke arah sistem publikasi positif di bidang pendaftaran tanah. Pengaturan tentang pengadilan pertanahan yang "salah tempat" dalam RUUP dirumuskan kembali sebagai Badan Peradilan Khusus Pertanahan. Rincian tentang luas maksimum HGU, HGB, dan hak pakai (HP) dalam RUUP dihapus untuk diatur dalam peraturan pelaksanaan. Ditegaskan juga bahwa untuk pemanfaatan ruang di bawah tanah dapat diberikan dengan suatu hak atas tanah.

Problematik

Melanjutkan "salah kaprah" tentang hak pengelolaan (HPL) sebagai "fungsi" publik dan menetapkannya sebagai "hak" yang berciri keperdataan itu merupakan langkah yang berisiko. Pertama, menciptakan konstruksi hukum baru bahwa HPL dapat diterbitkan "di bawah" HGU atau bersamaan dengan pemberian HGU. Walaupun tujuannya antara lain untuk menyelesaikan masalah okupasi tanah HGU aset BUMN, hal itu melanggar konsep "pelepasan hak" yang dibangun berdasarkan asas hak menguasai dari negara menurut Pasal 2 UUPA dan penjelasannya. Belum jelas bagaimana konstruksi hukumnya jika ada sebagian bidang tanah yang berstatus ganda tersebut akan diberikan kepada pihak ketiga. Dari segi aset, bagaimana pencatatannya jika pada sebidang tanah terdapat dua macam hak atas tanah yang dipunyai oleh satu pemegang hak?

Kedua, dalam DIM disebutkan, HGU dapat terjadi di atas tanah negara, tanah HPL, dan tanah hak milik (HM). Hal ini jelas melanggar Pasal 28 UUPA yang menyebutkan bahwa HGU hanya dapat terjadi di atas tanah negara. Secara yuridis-konseptual tanah negara, tanah HPL dan tanah HM itu berbeda dalam sifat dan isi kewenangannya masing-masing.

Ketiga, terdapat inkonsistensi pengaturan tentang status tanah setelah dilepaskan dari kawasan hutan. Dalam satu ketentuan disebutkan, kawasan hutan yang dilepaskan itu menjadi HPL yang dapat diberikan kepada pemerintah (pusat), pemda, atau badan pengelola bank tanah. HGU diberikan setelah ada persetujuan tertulis dari pemegang HPL. Sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, jika pemegang HPL adalah pemerintah/pemda, HPL itu merupakan barang milik negara (BMN) atau barang milik daerah (BMD). Pertanyaannya, apakah pemberian HGU di atas HPL aset pemerintah/pemda itu termasuk dalam ketentuan tentang pemanfaatan BMN/BMD sesuai dengan UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan PP No 27/2014 tentang Pengelolaan BMN/BMD serta peraturan-peraturan pelaksanaannya?

Di bagian lain DIM disebutkan kawasan hutan negara yang telah dilepaskan itu menjadi tanah negara yang dikelola Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR). Hal ini sesuai ketentuan yang berlaku, dan bahwa semua hak atas tanah dapat diberikan di atas tanah negara sesuai rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan peraturan lain yang relevan. Khusus untuk program reforma agraria (RA), di atas tanah negara bekas kawasan hutan itu dapat diredistribusikan kepada penerima program yang memenuhi syarat. Kiranya perlu diberikan penjelasan tentang asal muasal terciptanya konstruksi hukum bahwa kawasan hutan yang dilepaskan itu menjadi HPL dengan sejumlah implikasi hukumnya.

Keempat, terkait ketentuan dalam DIM bahwa HPL dapat diberikan kepada masyarakat hukum adat (MHA). Syarat bagi setiap pemegang HPL adalah kewajiban menyusun rencana peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah untuk mendukung tugas dan fungsinya yang ditegaskan dalam SK pemberian HPL. Pertanyaannya, apakah MHA sebagai suatu entitas itu punya tugas dan fungsi seperti pemerintah/pemda, BUMN/BUMD, sehingga memenuhi persyaratan untuk dapat diberikan SK HPL? Di samping itu, dalam RUUP disebutkan, dengan persetujuan tertulis MHA sesuai dengan tata cara tertentu, di atas tanah ulayat MHA dapat diberikan suatu hak atas tanah kepada pihak ketiga tanpa harus melalui pelepasan tanah ulayat menjadi tanah negara. Jika hal itu kemudian diperkuat dengan skema kerja sama yang adil dan bermanfaat antara MHA dan pemegang hak atas tanah, tentu alternatif kedua yang lebih masuk akal.

Dalam DIM diperkenalkan acara perubahan hak secara serta merta atau otomatis jika pemegang hak tidak memenuhi syarat sebagai akibat dari peralihan hak karena jual-beli, tukar-menukar, hibah dan sebagainya. Disebutkan, dalam waktu satu tahun pihak yang bersangkutan harus melepaskan hak atas tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat atau haknya berubah jadi suatu hak yang sesuai bagi yang bersangkutan. Gagasan ini jelas melanggar ketentuan UUPA yang menyatakan jika dalam waktu satu tahun pihak yang bersangkutan tidak melepaskan hak atas tanahnya, maka perbuatan hukumnya batal demi hukum dan tanahnya jadi tanah negara. Ketentuan ini seharusnya dipahami sebagai sanksi atas suatu pelanggaran; jika ingin melakukan perubahan, yang dapat dilakukan adalah penyederhanaan dalam proses pelayanan perubahan hak dan bukan dengan melanggar prinsip yang berlaku.

Di masa lalu pernah ada perubahan hak dari HP menjadi HM, khusus untuk tanah transmigran. Melalui Keputusan Kepala BPN No 21/1989, perubahan hak tersebut dilakukan secara massal, tanpa permohonan, melalui penelitian yang dilakukan oleh suatu tim. Perubahan HP jadi HM dinyatakan dengan membubuhkan keterangan dalam buku tanah dan sertifikat yang bersangkutan. Hal ini dapat dipahami sebagai suatu tindakan untuk memberikan apresiasi kepada para transmigran atas pemanfaatan tanah yang dinilai positif.

Dalam DIM dibuka peluang memberikan penambahan jangka waktu hak atas tanah oleh menteri berdasarkan pertimbangan tertentu. Hal ini jelas bertentangan dengan Putusan MK No 21-22/PUU-V/ 2007. Di samping itu, adanya gagasan untuk menambah luas maksimum hak atas tanah juga berpotensi menimbulkan moral hazard. Sebaliknya, ketentuan tentang luas minimum tanah yang diatur dalam Pasal 17 Ayat 1 UUPA dan RUUP justru ditiadakan dalam DIM.

Ketentuan yang kontradiktif dapat dilihat juga pada akibat hukum penelantaran tanah. Dari sisi pengendalian, disebutkan, setelah diterbitkannya peringatan selama tiga kali berturut-turut, masing- masing selama tiga bulan, maka tanah tersebut wajib dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Sebaliknya, dari sisi penertiban, dinyatakan, setelah tiga kali peringatan berturut-turut, tanah tersebut ditetapkan sebagai tanah telantar dan tanahnya menjadi tanah negara yang didayagunakan untuk program RA, tanah cadangan negara, dan program strategis lainnya. Akibat hukum dari pengaturan yang kontradiktif ini jelas bertentangan dengan asas kepastian hukum.

Pengaturan tentang akibat hapusnya HGU dalam DIM juga kontradiktif. Terhadap HGU skala besar, disebutkan pemerintah berwenang menentukan peruntukannya atau melakukan pelelangan terbuka untuk menentukan pihak yang layak menggunakan tanah tersebut. Dalam pasal yang lain disebutkan, HGU yang haknya hapus itu tanahnya jadi tanah negara yang merupakan obyek RA untuk diredistribusikan kepada penerima RA. Pertanyaannya, kapan tanah eks HGU menjadi obyek RA dan kapan menjadi obyek lelang terbuka?

Dalam DIM juga disebutkan hal baru, seperti bank tanah, pajak progresif, dan aset persediaan. Sebelum hal-hal itu dipahami secara matang dan komprehensif, seyogianya pengaturannya dalam RUUP dipertimbangkan kembali.

UUPA masih perlu?

Dalam DIM secara tegas dicabut 17 pasal dari UUPA. Di luar lima pasal ketentuan konversi, secara implisit ada delapan pasal dari UUPA yang tak diberlakukan lagi. Ketika RUUP disusun untuk melengkapi UUPA, sedangkan dalam DIM dapat dibaca arah perubahan UUPA, maka agar hal ini tidak menimbulkan salah tafsir diperlukan sikap tegas pemerintah. Jika RUUP memang dimaksudkan untuk melengkapi UUPA, apakah tidak lebih bermanfaat untuk, misalnya mempertimbangkan kembali penyederhanaan jenis hak atas tanah menjadi dua macam hak, yakni HM dan HP?

Di samping kuat landasan konseptualnya, yakni sesuai konsepsi hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional yang mengenal HM dan HP saja, hal ini dapat mencegah cara-cara berputar untuk menyelesaikan permasalahan. Misalnya, ketika ada kegamangan untuk mengatur tentang pemilikan satuan rumah susun bagi orang asing yang umumnya berdiri di atas tanah bersama yang berstatus HGB, yang ditempuh justru menerbitkan peraturan yang diskriminatif dan menabrak konsep dasar tentang rumah susun.

Penyederhanaan hak atas tanah pasti perlu persiapan menyeluruh secara cermat dan matang, di samping juga kesediaan mengubah pola pikir yang sudah mengakar selama ini. Sudah saatnya juga meninjau ulang kedudukan hukum HPL dan bukan justru menjadikannya sebagai hak yang bersifat "sapu jagad".

Dalam jangka panjang, jika UUPA dalam kedudukannya sebagai lex specialis, dikehendaki untuk diubah, perlu dipersiapkan strategi tertentu. Mengingat posisi UUPA yang strategis sebagai landasan hukum untuk mewujudkan kebutuhan dasar setiap orang atas tanah yang bersifat terbatas itu, dan fungsi tanah sebagai pendukung sejumlah kepentingan yang tidak selalu selaras satu sama lain, perlu dibentuk suatu panitia di tingkat nasional yang ditugasi untuk menyiapkan cetak biru kebijakan pertanahan nasional, disertai pengawalan publik melalui konsultasi publik yang ekstensif. Tanpa cetak biru yang komprehensif, perubahan-perubahan UUPA secara parsial justru akan kontraproduktif dan berpotensi menimbulkan permasalahan baru yang lebih kompleks.

MARIA SW SUMARDJONO

Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum UGM, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 September 2017, di halaman 6 dengan judul "RUU Pertanahan dan UUPA".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger