Ketidakakuratan data pangan menjadi persoalan serius di Indonesia. Tata kelola pangan yang didasari data yang tidak akurat menyebabkan distorsi kebijakan yang merugikan banyak pihak, baik petani, industri, perdagangan, maupun konsumen.
Pemerintah juga dirugikan, baik dari sisi fiskal maupun penurunan kepercayaan publik. Bagi masyarakat awam, data menjadi penuh misteri karena sering kali tak ada korelasi antara data dan kebijakan yang diambil pemerintah. Berdasarkan hasil citra satelit luas panen padi selama 17 tahun terakhir, deviasi produksi padi yang resmi dilaporkan dengan hasil citra satelit semakin lebar. Luas panen padi merupakan data terpenting untuk menghitung produksi melalui perkaliannya dengan produktivitas (kuintal/hektar). Luas panen selama ini dihitung petugas Kementerian Pertanian dan jajarannya.
Pada 2001 luas panen padi yang resmi dilaporkan 11,50 juta hektar dengan produksi 50,46 juta ton gabah kering giling (GKG) per hektar (BPS 2001-2015). Citra satelit menghasilkan data luas panen yang lebih rendah, yaitu 11,15 juta hektar dengan produksi 48,92 juta ton GKG atau deviasi 3,15 persen. Pada masa peralihan pemerintahan dari Megawati Soekarnoputri ke Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), selisih antara data produksi hasil citra satelit dan versi pemerintah meningkat menjadi 5,81 persen. Selama era Yudhoyono penurunan (2005) ataupun kenaikan produksi (2006-2010) berkorelasi dengan data hasil citra satelit. Pada tahun 2006 deviasi yang terjadi sebesar 12,29 persen dan pada tahun 2010 turun menjadi 10,61 persen.
Deviasi data mulai melebar sejak 2011. Kenaikan produksi tahun 2008 hingga 2010 disebabkan iklim kemarau basah sehingga luas pertanaman padi dan produksi terus mengalami peningkatan pada periode itu. Penanaman padi terus-menerus menyebabkan ledakan populasi organisme pengganggu tanaman (OPT), terutama wereng. Serangan wereng menghebat pada 2011. Pemerintah dengan jujur menyatakan terjadi penurunan produksi dari 66,47 juta ton GKG pada 2010 menjadi 65,76 juta ton GKG pada 2011. Berdasarkan hasil citra satelit, produksi padi juga menunjukkan penurunan, tetapi dengan angka yang lebih besar sehingga menghasilkan perbedaan dengan data resmi pemerintah sebesar 22,23 persen atau dua kali lipat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Mulai tahun tersebut, perbedaan data resmi dengan kenyataan yang terjadi di lapang semakin sulit disembuhkan karena sudah telanjur terlalu lebar. Di sisi lain, Kementerian Pertanian menghadapi dilema besar karena perbaikan data produksi akan berujung ke banyak hal yang terkait dengan kebijakan dan pertanggungjawaban anggaran, program, sekaligus penilaian kinerja kementerian yang bersangkutan.
Anomali data dan kebijakan
Dalam empat tahun terakhir ini, selisih data menjadi sangat lebar. Data produksi padi dinyatakan naik terus, yaitu dari 70,85 juta ton pada tahun 2014 menjadi berturut-turut 75,40 juta ton, 79,36 juta ton, 81,38 juta ton, dan 83,03 juta ton GKG pada tahun 2015, 2016, 2017, dan 2018.
Kenaikan produksi padi selama empat tahun berturut-turut menghasilkan surplus produksi yang sangat besar dan tidak masuk akal karena kalau ditotal mencapai 67,0 juta ton beras. Dengan surplus yang sedemikian besar, beras seharusnya menjadi tidak ada harganya dan menempatkan Indonesia menjadi eksportir beras terbesar di dunia. Kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Harga beras medium rata-rata bulan Oktober 2014 sebesar Rp 8.934 per kilogram (kg) kemudian melonjak menjadi Rp 10.414 pada Oktober 2015 (Kemendag 2014-2015) dan menjadi Rp 11.679 pada 2018 (PIHPS 2018) atau kenaikan sebesar 30,72 persen selama empat tahun terakhir ini.
Selain anomali antara klaim surplus dan kenaikan harga, anomali yang lain terjadi antara surplus dan impor beras. Rata-rata impor beras pada pemerintah sebelumnya sebesar 0,920 juta ton per tahun. Pada pemerintah saat ini (2015-2018) rata-rata impor beras meningkat menjadi 1,138 juta ton per tahun yang sekaligus mematahkan klaim swasembada beras.
Anomali peningkatan produksi yang diikuti peningkatan harga dan impor beras menyebabkan munculnya sebuah asumsi bahwa penyebab semuanya adalah kartel, permainan mafia, dan panjangnya rantai distribusi beras. Kebijakan yang diambil adalah pembentukan Satgas Pangan dan penetapan harga eceran tertinggi (HET).
Sayangnya, penetapan kebijakan ini tak memperhatikan data lainnya, yaitu margin perdagangan dan pengangkutan (MPP) yang merupakan hasil survei BPS. MPP komoditas beras rata-rata hanya 10,47 persen sepanjang 2014-2016 dan menjadikan Indonesia salah satu pasar beras terbaik di dunia. Kondisi pasar beras yang sudah sangat baik ini dihancurkan melalui Satgas Pangan dan kebijakan HET sehingga MPP bukannya menurun, melainkan meningkat 2,5 kali lipat menjadi 26,12 persen pada 2017 (BPS 2018). Banyak usaha penggilingan padi kecil dan badan usaha milik petani bangkrut akibat kebijakan tersebut dan lonjakan MPP hanya dinikmati penggilingan dan pengusaha besar.
Dengan demikian, persoalan sesungguhnya bukan masalah kartel, mafia, atau rantai distribusi yang terlalu panjang, melainkan data produksi yang tak akurat. Pada 2015, AB2TI melakukan kajian di 61 kabupaten dan menyimpulkan produksi padi 2015 lebih rendah dibandingkan 2014. Kajian sama dilakukan lagi pada 2017 dan 2018 dengan kesimpulan sama: produksi padi lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya dan berkebalikan dengan klaim pemerintah.
Hasil kajian AB2TI mirip dengan perhitungan produksi berbasis citra satelit. Produksi menurun dari 56,27 juta ton GKG (2014) menjadi 56,07 juta ton GKG pada 2015 dan dari 61.46 juta ton GKG (2016) menjadi 58,34 juta ton GKG pada 2017. Deviasi data produksi resmi dari pemerintah dengan hasil citra satelit membengkak sangat besar, yaitu berturut- turut 34,47 persen, 29,12 persen, dan 39,49 persen pada tahun 2015, 2016, dan 2017.
Mulai 2016, BPS tak mengeluarkan data produksi padi dan bersama-sama empat lembaga lainnya mengembangkan metode kerangka sampel area (KSA) untuk menghitung produksi padi nasional. Metode tersebut diterapkan pada 2018 dengan hasil yang mementahkan semua data produksi, surplus, dan klaim yang ada selama ini. Data potensi produksi yang dirilis Kementerian Pertanian mencapai angka 46,85 persen lebih tinggi dibandingkan hasil perhitungan BPS melalui metode KSA (BPS 2018). Perbedaan hasil untuk tahun 2018 semakin melebar dibandingkan dengan hasil perhitungan penulis untuk produksi 2017 yang menghasilkan deviasi 39,49 persen dibandingkan data yang dikeluarkan Kementerian Pertanian.
Selain produksi, luas lahan baku sawah juga dihitung ulang yang menghasilkan penurunan tajam dari 7,751 juta hektar (2013) menjadi 7,105 juta hektar (2018). Luas lahan baku sawah sementara ini digunakan untuk perhitungan anggaran pertanian, subsidi, dan perencanaan program. Angka yang sering digunakan sebesar 8,1 juta hektar dan 7,7 juta hektar. Penurunan luas baku sawah yang begitu besar (646.000 hektar) memunculkan berbagai pertanyaan terkait dengan program percetakan sawah dan luas tambah tanam yang sering dilaporkan.
Masa depan tata kelola pangan
Data BPS juga menyajikan potensi surplus tahun 2018 sebesar 2,85 juta ton beras (BPS 2018). Potensi surplus tersebut kemungkinan besar akan menjadi ending stock kurang dari 2 juta ton. Dengan impor beras yang sudah dilakukan dan stok awal 2018, stok beras pada awal 2019 akan berkisar di angka 4 juta ton. Konsumsi Januari-Februari 2019 diperkirakan 5 juta ton sehingga masih ada defisit pada awal tahun.
Meskipun demikian, penulis berpendapat stok masih terbilang aman meskipun harus diwaspadai pergerakan harga beras, terutama mulai Desember 2018. Harga gabah kering panen (GKP) di tingkat usaha tani mulai Juni sudah mulai bergerak naik dan kian tajam akhir-akhir ini. Rata-rata harga GKP pada Oktober 2018 sudah mencapai Rp 5.020 per kg dan lebih tinggi dibandingkan Oktober 2017 sebesar Rp 4.908 per kg (survei AB2TI di 46 kabupaten sentra produksi 2017-2018).
Data produksi pangan lainnya yang perlu dapat perhatian serius adalah jagung. Kebijakan pembatasan impor jagung sejak 2016 dengan menurunkan impor dari 3,50 juta ton menjadi 1,33 juta ton menyebabkan melonjaknya impor komoditas substitusinya, yaitu gandum untuk pakan (wheat feed) dan tepung gandum (milling wheat) dari rata-rata tahunan sekitar 260.000 ton menjadi di atas 3 juta ton (USDA 2017-2018). Celakanya, gandum tak bisa ditanam di Indonesia dan harganya lebih mahal dibandingkan jagung. Sebagaimana beras, klaim surplus jagung pada 2018 sebesar 12,98 juta ton juga berbenturan dengan kenyataan kenaikan harga jagung. Harga jagung lokal melonjak dari kisaran Rp 3.600 pipilan kering per kg pada Februari 2018 menjadi Rp 5.400 pada November 2018. Di beberapa tempat saat ini bahkan lebih dari Rp 6.000 per kg. Harga jagung diperkirakan belum turun karena masa paceklik produksi hingga Februari 2019.
Pada 2018, harga pakan telah naik tiga kali dan akumulasi kenaikan harga pakan sejak kebijakan pembatasan impor jagung dilakukan sebesar Rp 1.200 per kg. Kenaikan harga pakan dan harga jagung lokal ini sangat memberatkan peternak kecil. Diperkirakan kerugian ekonomi yang muncul akibat pembatasan impor jagung pada periode 2016-2018 baik akibat substitusi jagung ke gandum serta kenaikan harga pakan mencapai Rp 52,16 triliun (Pataka, 8/11/2018). Penulis memperkirakan selisih produksi jagung antara kenyataan dan yang dilaporkan dapat melebihi 100 persen. Selisih data yang sedemikian besar ini telah menyulut banyak kontroversi terkait impor komoditas pangan. Kontroversi yang memunculkan banyak avonturir politik yang kian mendistorsi logika berpikir dan menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat.
Apresiasi tinggi kepada pemerintah saat ini melalui Badan Pusat Statistik (BPS) yang berani merevolusi dan membuka tabir misteri data pertanian sehingga bisa menjadi pijakan bersama, baik bagi pemerintah sendiri dalam menetapkan kebijakan, program, dan anggaran bagi petani, akademisi, dunia usaha, maupun masyarakat pada umumnya.
Keputusan untuk memulai perhitungan produksi jagung pada 2019 oleh BPS merupakan langkah selanjutnya yang sangat ditunggu semua pihak. Diharapkan untuk tahun-tahun berikutnya hanya BPS yang melakukan perhitungan produksi untuk komoditas sensitif, yaitu padi, jagung, gula, ternak, garam, serta komoditas lain yang dipandang perlu melalui peningkatan anggaran dan kapasitas. Diharapkan data yang dihasilkan semakin terbebas dari kepentingan sektoral yang akan membawa dampak positif bagi tata kelola pangan yang lebih baik yang berujung pada peningkatan kesejahteraan, terutama bagi petani kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar