Pekan lalu, ribuan perangkat desa yang tergabung dalam Persatuan Perangkat Desa Indonesia bertemu dengan Presiden di Istora Senayan. Mereka menuntut agar para perangkat desa mendapatkan penghasilan setara aparatur sipil negara golongan II-A.
Selama ini, penghasilan perangkat desa memang masih menyesuaikan dengan kemampuan daerah masing-masing. Aturan ini tertuang dalam PP No 47/2015. Penyetaraan penghasilan ini berkah bagi penguatan ekonomi desa. Namun, upaya penyetaraan tanpa diiringi dengan mekanisme dan tanggung jawab pembagian yang pas tentu akan menjadi bumerang.
Pendapatan aparat desa
Tuntutan penghasilan tetap (siltap) perangkat desa pun telah disetujui. Menteri Keuangan, Kepala Bappenas, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, serta Menteri Dalam Negeri telah menandatangani surat keputusan bersama (SKB) empat menteri pada 24 Januari 2019. Namun, untuk merealisasikannya diperlukan perubahan PP No 43/2014 dan PP No 47/2015 yang masih berlaku.
Jika sumber dana yang digunakan masih alokasi dana desa (ADD), butuh waktu merealisasikan siltap sebab ada daerah yang anggarannya terbatas. Sebagai gambaran, jika merujuk pada PP No 30/2015, gaji pokok PNS untuk golongan II-A dengan masa kerja nol tahun senilai Rp 1.926.000 per bulan. Sementara untuk menggulirkan siltap bagi kepala desa (setingkat II-A) dan sekretaris desa (90 persen dari kepala desa) di 74.957 desa (Permendagri No 137/2017) butuh lebih dari Rp 3 triliun per tahun. Belum termasuk perangkat desa lain.
Aparat desa lain yang mendapatkan siltap perlu diatur lebih lanjut karena, dalam UU No 6/2014 tentang Desa, perangkat desa terdiri dari sekretariat desa, pelaksana kewilayahan, dan pelaksana teknis.
Hasil pendataan Potensi Desa (Podes) 2018 yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) memberi gambaran, jumlah perangkat desa di Indonesia lebih dari 1,5 juta orang. Mereka terdiri dari sekretariat desa lebih dari 150.000 aparat (tidak termasuk sekretaris desa), pelaksana teknis lebih dari 272.000 aparat, dan pelaksana kewilayahan lebih dari 1 juta aparat. Hitungan ini belum melibatkan 700.000 lebih perangkat desa lainnya.
Jika yang diberi siltap 12 perangkat desa (kepala desa, sekretaris, dan 10 aparat lain), maka diperlukan kurang lebih Rp 225 juta per tahun per desa. Apabila dalam satu kabupaten ada 100 desa, tentu saja dibutuhkan lebih dari Rp 22 miliar per tahun yang disisihkan dari APBD. Hal ini tentu memberatkan daerah.
Gelontoran siltap ini juga tentu berpengaruh besar pada pola perubahan wajah desa. Terlebih bagi desa yang sama sekali belum memiliki aset dan badan usaha milik desa (BUMDes), termasuk desa yang ADD-nya kecil.
Persoalannya, sesuai aturan, perangkat desa diangkat dan diberhentikan oleh kepala desa. Terang saja, jika pemilihan 10 perangkat desa yang mendapatkan siltap oleh kepala desa menjadi potensi masalah. Pertama, bagi desa yang memiliki perangkat desa lebih dari 12 orang akan memicu kecemburuan sosial. Kedua, jika kepala desa tidak berlaku adil dalam proses penerimaan perangkat desa, tingkat kepercayaan masyarakat pada kepala desa dan aparatnya akan melemah.
Oleh karena itu, diperlukan aturan yang mengikat untuk menjembatani masalah ini. Tentu saja, selain perubahan PP No 43/2014 juga perlu ditindaklanjuti dengan penyesuaian Permendagri No 67/2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa.
Selain itu, tak dimungkiri telah ada perangkat desa yang penghasilannya melebihi ASN golongan II-A. Misalnya, desa wisata yang telah memanfaatkan aset desa untuk menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) yang melebihi ADD dan dana desa (DD). Di samping itu, telah ada desa yang mendapatkan ADD yang cukup besar dari APBD untuk membiayai pemerintahan desa.
Hasil Podes 2018 menunjukkan kepemilikan aset desa menurut jenisnya. Sebarannya, ada 52.367 desa memiliki aset berupa tanah kas desa/ulayat, 69.899 desa memiliki bangunan, 13.571 desa memiliki pasar desa, dan 30.790 desa memiliki aset lain. Selain itu, menurut catatan Kementerian Desa PDTT, kepemilikan BUMDes sudah mencapai 39.000 unit, juga menjadi sumber pemasukan bagi desa.
Jika penghasilan perangkat desa telah melebihi tuntutannya, justru pendapatannya akan turun saat SKB ini diterapkan. Untuk itu, keputusan SKB ini seyogianya tidak disamaratakan ke seluruh desa.
Dampak kebijakan
Mengingatkan kembali tren perubahan sosial di desa, perlu pengaturan mekanisme dan tanggung jawab pembagian penghasilan tetap untuk perangkat desa. Tujuannya, mengikat kembali modal sosial agar tak tergerus. Terlebih, kini warga desa semakin heterogen. Hasil Podes 2018 memberi gambaran, jika pada tahun 2014 ada 58.992 desa multietnis, kini meningkat menjadi 61.895 desa pada tahun 2018. Sementara di sisi lain, dari 44.013 desa multi- agama pada tahun 2014, kini meningkat menjadi 45.052 desa pada tahun 2018.
Desa semakin majemuk dengan berbagai suku dan agama. Diperlukan ikatan sosial baru untuk menghindari gesekan persoalan di desa. Fragmentasi masyarakat sangat mungkin terjadi ketika pemerintahan desa menjadi posisi jabatan yang menarik untuk diperebutkan.
Persoalannya, sekarang merupakan tahun politik. Jika aturan tidak dipersiapkan dengan matang, siltap yang awalnya berkah bisa menjadi bencana sosial. Sebab, uang sering kali membutakan orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar