Banyak kalangan berharap debat pemilihan presiden kedua mewacanakan gagasan besar yang akan dilaksanakan lima tahun pemerintahan ke depan, terutama berfokus pada penataan manajemen kekuasaan negara agar dapat membentuk pemerintahan efektif, akuntabel, dan demokratis. Agenda urgensi ini sangat dirasakan mendesak oleh masyarakat, terutama elite politik yang paham isu-isu tersebut.
Mereka, para calon anggota legislatif, sejak Pemilu 2014 telah merasakan betapa pedih, perih, dan kerasnya medan pertarungan politik akibat regulasi pemilu yang acakadut sehingga sesama kader partai tega saling bantai memperebutkan kursi di lembaga perwakilan rakyat.
Namun, harapan itu masih memerlukan perjuangan semua komponen masyarakat, terutama para pemutus politik, karena semakin dekat hari pemungutan suara, semangat kontestasi politik semakin mencapai titik didih.
Gejalanya, media sosial masih diserbu dengan tuturan yang mengeksploitasi kebencian dan kedengkian primordialistik disertai kosakata yang menggiring publik menjadi pesimistis, kecewa, marah, takut, sedih, dan frustrasi.
Kalah dalam pemilihan presiden (pilpres) seakan-akan dunia politik akan kiamat, negara porak poranda dan dikhawatirkan akan didominasi kelompok tertentu, sementara kelompok lain akan menjadi paria.
Mobilisasi hasutan akan lebih berbahaya karena kecemasan dikemas dengan nuansa primordialistik sehingga amat mudah menyulut kemarahan kolektif masyarakat. Pertarungan politik telah menyakralkan kebutuhan, kepentingan, hasrat, dan nafsu berkuasa.
Para kandidat sangat diharapkan membangun optimisme serta meyakinkan masyarakat Indonesia akan menjadi negara yang besar, maju, dan rakyatnya sejahtera.
Semangat tersebut sangat diperlukan mengingat kekusutan negara sangat kompleks dan karena itu diperlukan kecerdasan, terobosan, kerja keras, serta kecermatan melakukan perbaikan. Kompleksitas tersebut tidak mungkin dijelaskan dalam suasana skeptikal berlebihan yang justru dapat memorakporandakan kewarasan publik.
Tantangan menjadi semakin serius karena gelombang populisme dan politik pascakebenaran mengakibatkan opini publik diombang-ambingkan produksi masif kebohongan yang dengan sadar dan sengaja dipabrikasi secara canggih sebagai strategi memenangi pertarungan politik.
Fenomena politik menuju masa depan persaingan geopolitik baru yang mendorong kompetisi menjadi perang politik (political war).
Pertarungan kekuasaan akan menggunakan kecanggihan digital sebagai "alutsista" (alat utama sistem persenjataan) menghadapi lawan politik.
Kebohongan serta eksploitasi rasa benci dan dengki karena alasan ekonomi dan ikatan primordial akan dikemas dengan canggih melalui proses digitalisasi sebagai strategi melakukan ekspansi hegemoni negara (The Future of Political Warfare: Russia, the West, and the Coming Age of Global Digital Competition; Alina Polyakova dan Spencer P Boyer, Maret 2018).
Oleh sebab itu, laga kata jilid dua harus dialektis. Para kandidat diharapkan bersedia mengakui sisi kebenaran lawan bicaranya sehingga akan ditemukan sintesis yang merupakan kristalisasi dari perbedaan pendapat yang sehat dan memuliakan rakyat. Debat juga bukan asal menang karena akan berujung pada upaya mendapatkan pemimpin yang mau berjuang untuk kepentingan publik.
Meminjam kata-kata Al Gore, Wakil Presiden Amerika Serikat zaman Bill Clinton dan pernah mengikuti ajang pilpres, "Kepresidenan bukan sekadar urusan debat publik atau talk show, melainkan juga bagaimana berjuang untuk menyejahterakan rakyat (The presidency is not a matter of talk show or public debate, but it's a matter about how to fight for the people)."
Debat kedua juga harus cerdas. Melayani lawan debat yang mau menang sendiri dan meyakini kebohongan yang diucapkannya akan menjadi bumerang bagi kandidat yang berpikiran waras. Metafora "kerajaan binatang" yang dipimpin oleh singa sebagai raja memperjelas narasi tersebut.
Kisahnya, perdebatan keledai yang ngotot bertahan dengan pendapatnya bahwa warna rumput itu biru. Macan, yang jadi lawan bicaranya, berkukuh juga bahwa rumput itu hijau. Masing-masing yakin dengan pendapatnya sendiri.
Akhirnya, keledai menghadap singa sang raja dan melaporkan si macan yang tetap keras hati berpendapat bahwa rumput berwarna hijau. Singkat cerita, sang raja menghukum macan lima tahun penjara. Sebelum masuk penjara, macan bertanya mengapa sang raja menghukumnya.
Singa berkata, macan dihukum bukan karena dia berpendapat rumput itu hijau, melainkan karena macan ngotot berdebat dengan keledai yang tolol. Moral cerita, jangan berdebat kepada siapa pun yang hanya yakin dengan kebohongan.
Sementara itu, media arus utama dan media sosial diharapkan mendorong publik terangsang mencerna gagasan dan strategi para kandidat dalam memajukan negara.
Optimisme dapat menstimulasi potensi golongan putih (golput) untuk aktif memilih karena menawarkan harapan. Sikap golput merupakan penghinaan terhadap demokrasi yang salah satu persyaratannya adalah partisipasi aktif rakyatnya.
Tanpa itu, rakyat bukan lagi pemegang kedaulatan karena pasti akan dibajak elite politik yang mengatasnamakan rakyat. Risikonya, oligarki elite justru dapat menindas rakyat.
Perlu diingat bahwa penetrasi kekuasaan negara meliputi semua aspek kehidupan warga negara, mulai dari kebijakan membuat rakyat makmur dan mendapatkan keadilan sampai urusan sangat pribadi soal ihwal "tidur satu kasur" pun memerlukan legalitas dari negara.
J Kristiadi Peneliti Senior CSIS
Kompas, 7 Februari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar