Kenaikan jumlah utang pemerintah yang cukup signifikan ini telah menimbulkan kegaduhan yang cukup menyita perhatian publik. Publik mulai merasa ragu apakah besaran utang ini masih berada dalam batasan aman dan tak menimbulkan efek negatif baik jangka pendek maupun jangka panjang dalam sistem perekonomian.

 

Dalam teori ekonomi, utang bukanlah sesuatu hal yang dilarang atau diharamkan. Bahkan, dalam teori keuangan perusahaan, utang merupakan hal yang wajar dan lumrah, bahkan disarankan, sebagaimana pendapat Modigliani dan Miller (1963). Utang bisa menjadi faktor penggerak (driven factor) yang efektif dalam mengerek produktivitas perusahaan. Selain itu, dalam teori behavioral finance, utang juga bisa dijadikan sinyal dari perusahaan terhadap para investor (Myers dan Majluf, 1984). Tingkat utang suatu perusahaan akan menggambarkan tingkat optimisme dan kinerja perusahaan. Hanya perusahaan yang optimistis dan memiliki kinerja baik yang akan mendapatkan pinjaman dari para investor.

Sama halnya dengan perusahaan, tingkat utang suatu negara juga bisa menjadi sinyal optimisme dan kinerja yang baik dari suatu rezim pemerintahan. Dengan kinerja tim ekonomi pemerintah saat ini, pemerintah memiliki keyakinan bahwa di masa akan datang pemerintah mampu melunasi utang itu. Selain itu, pemerintah juga yakin bahwa pinjaman yang diperoleh dapat menjadi driven factor bagi kinerja perekonomian secara nasional.

Efek pengganda

Namun, berbeda dengan perusahaan, pembiayaan barang publik melalui utang negara sampai saat ini masih mengundang perdebatan dan kontroversi (Wagner, 2004). Hal ini disebabkan negara memiliki cara yang lebih banyak untuk membiayai pengeluarannya dibandingkan dengan perusahaan. Dalam teori public finance, setidaknya ada lima cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam membiayai pengeluarannya, yaitu melalui pungutan pajak, mencetak uang, meningkatkan penerimaan dari badan usaha milik negara (BUMN), pengalihan subsidi, dan pinjaman (utang).

Biasanya pembiayaan pengeluaran negara melalui pinjaman dijadikan alternatif terakhir. Ini karena pinjaman memiliki potensi risiko yang cukup besar.

Ketika cara-cara pembiayaan selain pinjaman sudah dirasa kurang efektif dan tidak memungkinkan, pembiayaan melalui pinjaman menjadi alternatif yang realistis dan diperbolehkan baik oleh konstitusi maupun teori ilmu ekonomi. Namun, tentunya pemerintah harus bisa memastikan bahwa anggaran yang berasal dari utang benar-benar masuk ke dalam jenis utang produktif sehingga bisa menjadi driven factor bagi pertumbuhan ekonomi nasional, berdampak positif pada kesejahteraan masyarakat luas, dan tidak mengganggu arus kas (cash flow) keuangan negara.

Pada tataran inilah seharusnya isu mengenai utang pemerintah menjadi diskursus publik. Di satu sisi, pemerintah harus terbuka mengenai penggunaan utang secara transparan, berapa proporsi utang yang digunakan untuk kegiatan yang bersifat konsumtif, dan berapa proporsi yang masuk ke dalam kategori utang produktif.

Penggunaan utang untuk pembangunan infrastruktur yang telah dilakukan oleh pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla seharusnya termasuk ke dalam jenis utang produktif walaupun dengan tingkat efek pengganda (multiplier effect) ekonomi yang berbeda-beda. Pembangunan Jalan Tol Trans-Jawa yang menghubungkan Pulau Jawa bisa menghasilkan tambahan pendapatan negara melalui pendapatan dari kinerja BUMN. Tambahan pendapatan negara ini bisa dipergunakan oleh pemerintah untuk penambahan anggaran pendidikan, kesehatan, atau subsidi bahan pokok yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas.

Namun, di sisi lain, pembangunan Jalan Tol Trans-Jawa ini bisa menambah biaya logistik sehingga menjadi hal kurang menguntungkan (disadvantage)bagi sektor industri.

Pembangunan Jalan Tol Trans-Sumatera bisa saja tidak berdampak pada pendapatan negara secara signifikan. Namun, dengan adanya Jalan Tol Trans-Sumatera yang menghubungkan Pulau Sumatera, ada kemungkinan hal itu bisa menurunkan biaya logistik yang saat ini mencapai hampir 30 persen dari total biaya produksi. Dengan menurunnya biaya logistik, sektor industri bisa lebih berdaya saing sehingga bisa meningkatkan kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Pembangunan infrastruktur di daerah-daerah perbatasan, pinggiran, dan pedalaman tidak selamanya diarahkan untuk menghasilkan keuntungan ekonomi. Pembangunan infrastruktur di daerah-daerah tersebut lebih diarahkan pada aspek "kehadiran" negara, keadilan, dan pemerataan. Penggunaan utang untuk pembangunan infrastruktur seperti ini harus jauh lebih hati-hati karena efek pengganda ekonomi terhadap produktivitas ekonomi tidak begitu besar.

Transparansi

Diskursus publik terhadap tingkat dan penggunaan utang pemerintah merupakan hal yang wajar mengingat sumber pendapatan negara saat ini masih terbatas. Selain utang, pendapatan pemerintah berasal dari dua sumber, yaitu pendapatan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (laba BUMN, pendapatan sektor sumber daya alam migas dan nonmigas, dan pendapatan badan layanan umum). Rasio pajak Indonesia sampai saat ini masih berkutat di level 11-12 persen dan level ini menjadi level terendah di antara negara-negara anggota G-20. Bahkan, rasio pajak Indonesia ini termasuk kelompok paling rendah di dunia. Hal yang sama juga terjadi pada sisi penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Selama ini, rasio PNBP Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) masih sangat rendah, hampir tak pernah mencapai 5 persen dari PDB.

Dengan melihat sumber pendapatan negara, cukup dipahami jika publik merasa khawatir terhadap tingkat dan penggunaan utang pemerintah. Jika utang pemerintah lebih banyak digunakan pada program yang sifatnya konsumtif, kondisi utang pemerintah sudah berada di zona rawan. Namun sebaliknya, jika utang pemerintah lebih banyak dipergunakan untuk program-program produktif, tingkat utang pemerintah masih berada di zona hijau. Oleh karena itu, pemerintah harus transparan dan obyektif terkait jumlah utang produktif yang dimiliki saat ini sehingga publik tidak menerka-nerka dan membuat gaduh yang berdampak pada tidak kondusifnya kondisi perekonomian nasional.