Pertama, hasil pemilu yang sudah bisa diprediksi jauh sebelum penyelenggaraan pemilu dilaksanakan. Golkar sudah bisa dipastikan akan menjadi pemenang, lalu calon anggota legislatif (caleg)—baik di tingkat pusat maupun daerah—juga bisa direkayasa siapa yang akan menjadi pemenang. Tentu saja yang dianggap dapat "bekerja sama" dengan pemerintah Orde Baru dalam berbagai penyimpangan konstitusionalnya.
Kedua, pelanggaran (baca: kecurangan) hanya dilakukan secara vertikal, yaitu atas kehendak atau paling tidak restu dari pemerintah pusat. Hampir tidak ada lembaga negara lain yang dapat menjadi penyeimbang pemerintah untuk menjadi pengontrol. Apalagi secara kelembagaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat itu tidaklah independen, tetapi berada di bawah pemerintah pusat.
Dua realitas di atas dapat dipastikan tidak akan terjadi lagi pada pemilu pasca-Reformasi hari ini. Tidak ada yang dapat memprediksi dengan pasti siapa yang akan menjadi pemenang pemilu mendatang,
dalam artian semua bergantung pada bagaimana strategi partai politik dan calon yang diusungnya untuk tidak hanya mengenalkan diri, tetapi juga menarik hati para pemilih.
Berbagai survei memang sudah ada dan menggambarkan bagaimana kecenderungan pilihan para pemilih. Namun, selain tidak merupakan kepastian, keberadaan hasil survei juga merupakan murni berkat usaha para calon, bukan hasil rekayasa seperti halnya pada masa orde yang lalu.
Di samping itu, praktik pelanggaran atau kecurangan pemilu tidak lagi hanya dimonopoli oleh pemerintah pusat pada level eksekutif, melainkan sudah menyebar ke lembaga lain secara horizontal. Misalnya, hari ini kecurangan sangat mungkin dilakukan oleh pihak penyelenggara pemilu, partai politik, dan antarkontestan pemilu. Tentu kita tidak membutuhkan "catatan kaki" untuk menggambarkan berbagai bentuk kecurangan yang dapat dilakukan oleh penyelenggara pemilu, partai politik, dan kontestan pemilu karena hal itu sudah begitu akrab dengan keseharian kita.
Meski potensi kecurangan masih ada dan mungkin semakin besar karena tersebar secara horizontal ke beberapa pihak, saat ini sudah tersedia mekanisme hukum yang dapat ditempuh jika terjadi kecurangan, baik oleh penyelenggara pemilu, partai politik, maupun antarkontestan pemilu.
Jika sengketa terjadi dalam proses penyelenggaraan pemilu, selain Bawaslu ada pengadilan tata usaha negara (PTUN) yang juga berwenang mengadili sengketa tersebut. Adapun jika sengketa terjadi pasca-pemilu, baik terjadi karena kecurangan, kesalahan, kelalaian, maupun alasan lain, juga ada Mahkamah Konstitusi yang berwenang mengadili sengketa hasil pemilu.
Setidaknya ada dua catatan positif penyelenggaraan pemilu pasca-Reformasi ini. Pertama, adalah mustahil pemilu dapat dikendalikan atau direkayasa oleh lembaga eksekutif seperti masa lalu. Sebab, penyelenggara pemilu—Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)—berdiri independen dari kepentingan pihak mana pun. Kedua, sekalipun terjadi kecurangan dalam
pemilu, telah tersedia mekanisme sengketa hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi.
Meski demikian, sebaik apa pun mekanisme dan sistem pemilu dibuat, tetap membutuhkan peran serta dari masyarakat dan civil society untuk menjadi pengontrol langsung penyelenggaraan pemilu. Masyarakat dan civil society adalah komponen terpenting bagi terwujudnya pemilu yang langsung, umum, bersih, rahasia, jujur, dan adil. Tidak hanya sebagai pemilih cerdas, tetapi juga sebagai aktor pengawas. Terlebih, keberadaan Mahkamah Agung dan MK sebagai penyelesai sengketa proses dan hasil pemilu sendiri bukanlah tanpa
cacat sama sekali. Dua hakim MK saat ini sudah mendekam di bui karena kasus korupsi, termasuk korupsi (baca: suap) dalam sengketa hasil pemilu yang bahkan dalam nominal sangat mengejutkan. Oleh karena itu, peran civil society untuk menutup rapat potensi itu adalah keniscayaan.
Despan Heryansyah Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) dan Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII, Yogyakarta
Kompas, 9 Februari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar