Kabar buruk ini semakin mengkhawatirkan ketika usulan untuk mengakhiri produksi plastik sekali pakai sampai tahun 2025 tidak disetujui oleh Amerika Serikat karena kepentingan bisnis domestiknya.

Sebagai penghasil bahan mentah plastik sekali pakai, AS tetap ingin meningkatkan produksi plastiknya sekitar 40 persen hingga tahun 2025 (The Guardian, 26/12/2017).

Kebijakan yang mengedepankan kepentingan ekonomi ini telah mengancam manusia dan makhluk hidup lainnya, terutama hewan laut. Kematian tragis hewan laut karena sampah plastik terus saja berlangsung. Pada November 2018, nelayan di perairan Wakatobi menemukan ikan paus yang mati karena tidak bisa mencerna sampah plastik seberat 5,9 kg di dalam perutnya (Kompas, 22/11/2018).

Pada Maret 2019, ahli biologi dari Filipina mengungkapkan adanya kematian ikan paus muda yang lebih tragis. Sebanyak 40 kg sampah plastik ada di dalam perut ikan paus muda yang malang ini (The Guardian, 18/3/2019). Hewan-hewan ini tak mampu membedakan sampah kantong plastik atau biota laut yang jadi bagian dari rantai makanannya. Pada kondisi tertentu, sampah kantong plastik di laut menyerupai ubur-ubur yang begitu lezat bagi ikan paus, penyu, dan juga para hewan laut lainnya.

Sebagai penyumbang terbesar kedua sampah plastik yang dibuang ke laut (Kompas, 21/2/ 2019), Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk turut menyelesaikan masalah global ini melalui "kebijakan sosial" lingkungan. Program-program kebijakan sosial lingkungan yang berorientasi pada intervensi permintaan (demand) dan pengelolaan sampah plastik sekali pakai menjadi pilihan yang paling memungkinkan karena tertutupnya peluang intervensi pada aspek produksi.

Budaya plastik

Plastik, material yang berkembang pesat sejak 1907, telah mengubah kebudayaan manusia dan interaksinya dengan alam.  Leo Baekeland mengembangkan temuan ilmuwan-ilmuwan pendahulunya untuk memproduksi plastik sintesis pertama di dunia (Kompas, 22/3/2018). Penemuan bahan sintetis ini menjadikan plastik sebagai material dominan yang mendukung kehidupan manusia secara global. Aktivitas sehari-hari manusia tak dapat dilepaskan dari material plastik. Kebutuhan perlengkapan kebersihan di kamar mandi, alat-alat makan, pakaian, alat transportasi, alat komunikasi mengandung konten plastik dengan derajat berbeda-beda.

Selain barang-barang yang memiliki durasi fungsi yang relatif lama, plastik juga hadir dalam kehidupan manusia dalam bentuk kantong plastik sekali pakai. Kantong plastik jenis ini sangat murah dan membantu manusia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pola konsumsi dengan cara take away berkembang pesat sejalan dengan mudahnya akses terhadap kantong plastik.

Sistem transaksi di toko-toko, baik pasar modern maupun tradisional, juga sangat dimudahkan dengan adanya kantong plastik sekali pakai. Namun, kemudahan untuk melayani manusia ini menciptakan petaka bagi hewan-hewan laut. Seperti halnya air, kantong plastik sekali pakai mengalir jauh dari pabrik, distributor, toko-toko, konsumen hingga berakhir menjadi sampah di lautan.

Fenomena kantong plastik sekali pakai menggambarkan keangkuhan manusia terhadap alam. Manusia mengorbankan lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya yang bersifat sementara. Kegunaan kantong plastik sekali pakai untuk keperluan belanja atau konsumsi tak lebih dari satu hari. Namun, alam membutuhkan ratusan tahun untuk mengurai satu produk sampah kantong plastik sekali pakai. Bahkan, ada juga yang berpendapat alam tak memiliki organisme yang mampu mengurai kantong plastik sintetis (Kompas, 21/11/2018). Perbandingan antara manfaat dan dampaknya terhadap alam jelas menunjukkan arogansi manusia terhadap alam yang telah memberi penghidupan.

Komitmen formal-informal

Parker dan Haines (2018) dalam jurnalnya berjudul "An Ecological Approach to Regulatory Studies?" mengaitkan masalah global karena sampah plastik dengan fenomena monocultural. Monocultural adalah fenomena ketergantungan manusia secara global terhadap satu material tertentu seperti plastik. Dalam perspektif regulasi, fenomena monocultural akan menciptakan masalah yang kompleks terhadap manusia dan lingkungan karena overproduksi dan overkonsumsi yang tidak sejalan dengan kapasitas alam untuk mengurai sampah plastik. Oleh sebab itu, regulator harus mampu mendialogkan regulasi jangka panjang dan jangka pendek beserta komitmen informal lainnya untuk pengelolaan sampah secara berkelanjutan.

Komitmen regulasi Pemerintah Indonesia untuk menanggulangi persoalan sampah tidak diragukan lagi. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah menggambarkan bagaimana komitmen politik untuk pengelolaan sampah yang lebih baik. UU ini diterjemahkan lebih detail melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 81/2012 dan Peraturan Presiden No 97/2017. Regulasi-regulasi inilah yang menjadi dasar lahirnya peta jalan (road map) pengelolaan sampah periode 2017-2025. Berbagai program edukasi dan promosi terkait masalah sampah plastik sekali pakai telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Di samping regulasi-regulasi dan program formal tersebut, komitmen pengelolaan sampah secara berkelanjutan juga tecermin dari aktivitas Ibu Negara Iriana Joko Widodo melalui gerakan Indonesia bersih. Bersama OASE (Organisasi Aksi Solidaritas Kabinet Kerja), Ibu Iriana melakukan berbagai program untuk mendorong pengelolaan sampah berbasis masyarakat, seperti bank sampah.

Kombinasi kerja formal dan informal tersebut telah membuahkan hasil. Laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan bahwa komposisi sampah plastik tahun 2018 sebesar 15 persen. Angka ini menurun 1 persen daripada tahun sebelumnya  (Kompas, 21/2/2019). Berita baik ini perlu dilihat sebagai penyemangat untuk lebih giat berkolaborasi untuk menyatakan "perang" terhadap sampah plastik. Hal ini penting karena angka pengurangan sampah secara nasional tahun 2018 masih jauh dari target yang tercantum dalam Peraturan Presiden No 97 Tahun 2017.

Belum tercapainya target penurunan sampah secara nasional menunjukkan masih dominannya cara pandang monocultural terhadap plastik di masyarakat ataupun para pelaku bisnis.  Kerja formal melalui regulasi dan komitmen informal untuk mengedukasi dan mempromosikan "zona bebas sampah plastik" masih sangat diperlukan untuk melawan budaya plastik di Indonesia.

Kebijakan sosiallingkungan

Di samping dukungan regulasi dan komitmen informal berbagai pihak, pengelolaan sampah plastik juga membutuhkan inovasi perspektif kebijakan. Sampah plastik tidak hanya dilihat sebagai polusi lingkungan, melainkan juga sumber polusi yang menimbulkan masalah kesehatan dan masalah sosial generasi mendatang. Oleh sebab itu, perspektif baru yang melihat bahwa kebijakan lingkungan sebagai kebijakan sosial (environmental social policy) mendesak untuk dikembangkan.

Rayes (2007) menulis jurnal berjudul "Environmental Policy as Social Policy? The Impact of Childhood Lead Exposure on Crime." Jurnal ini menghubungkan antara kebijakan lingkungan Clean Air Act di AS dengan tingkat kriminalitas. Penulis jurnal ini berargumen, menurunnya tingkat kriminalitas pada dekade 1990 terkait dengan kebijakan lingkungan berupa penghapusan timbal pada bahan bakar minyak (BBM) pada akhir dekade 1970.

Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan udara bebas timbal memiliki potensi lebih rendah untuk melakukan tindak kriminalitas dibandingkan dengan anak-anak yang terpapar timbal.

Hasil penelitian di atas menarik untuk menjadi dasar melihat kebijakan lingkungan sebagai kebijakan sosial. Sampah plastik yang tidak terkendali berpotensi menciptakan masalah sosial pada masa mendatang. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan membakar sampah plastik masih banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia (Kompas, 27/3/2018). Kebiasaan ini dilakukan masyarakat untuk mengurangi tumpukan sampah di lingkungannya. Namun, membakar sampah plastik mengancam kesehatan dan lingkungan.

Pembakaran sampah plastik di masyarakat dapat dipastikan di bawah suhu 1.000 derajat. Dengan suhu di bawah 1.000 derajat, pembakaran sampah plastik  menghasilkan dioksin dan furan. Zat-zat ini sangat mengancam kesehatan manusia. Dalam jangka panjang, paparan dioksin memicu kerentanan masyarakat terhadap penyakit kanker.

Selain itu, karbon dioksida hasil pembakaran sampah plastik juga berdampak buruk terhadap lapisan ozon. Kerusakan lapisan ozon menyebabkan kenaikan radiasi terhadap Bumi yang juga memicu penyakit kanker. Dengan demikian, membakar sampah merupakan kebiasaan yang mendekatkan masyarakat ke penyakit kanker secara langsung ataupun tak langsung.

Keterkaitan antara kebiasaan pembakaran sampah plastik dan penyakit kanker perlu diwaspadai oleh pemerintah. Sebagai salah satu penyebab kematian utama di seluruh dunia, kanker sangat mengancam kehidupan generasi usia produktif. Bangsa ini akan kehilangan banyak peluang dan kesempatan apabila generasi usia produktif harus bergulat dengan penyakit yang dideritanya.

Untuk itu, kebijakan sosial lingkungan sangat dibutuhkan untuk mengelola sampah plastik di masyarakat. Gerakan Indonesia bersih melalui pengelolaan sampah berbasis masyarakat perlu dilanjutkan dan dikembangkan ke seluruh pelosok Indonesia. Namun, tidak semua sampah plastik dapat diolah kembali melalui bank-bank sampah masyarakat. Sisa-sisa sampah plastik yang tak dapat diserap oleh bank-bank sampah perlu ditangani serius oleh pemerintah untuk menghindari pembakaran dan pembuangan ke laut.

Pemerintah perlu menginisiasi adanya unit produksi yang mampu mengolah sisa-sisa sampah plastik (termasuk kantong plastik sekali pakai) menjadi barang-barang yang berguna, misalnya kursi taman atau sejenisnya. Di Australia, unit produksi ini bernama REPLAS (www.replas.com.au). Unit produksi, seperti REPLAS, ini dapat dikelola berdasarkan logika kebijakan sosial lingkungan apabila mekanisme pasar belum dapat menghidupinya.

Biaya operasional unit produksi ini ditanggung negara dalam anggaran kebijakan sosial. Biaya ini dapat dipastikan lebih ekonomis dibandingkan dengan potensi kehilangan bangsa ini karena kerusakan ekosistem laut dan penyakit yang memandulkan produktivitas generasi usia produktif.