Kami tahu yang kami mau. Kami mau pemimpin alternatif dalam Pemilihan Presiden 2014. Kami ingin perubahan secepatnya. Kami sudah jemu dan muak dengan ulah ndablek segelintir elite dinasti darah, duit, dan bedil yang korup dan menzalimi rakyat negeri ini.
Demikian kira-kira suasana batin dan kata hati publik Nusantara umumnya saat ini. Suasana kegandrungan batin terhadap kandidat presiden alternatif yang mampu menggelindingkan perubahan cepat ini paling kuat terlacak di kalangan kawula muda perkotaan yang melek politik dan giat berselancar di jejaring media sosial digital. Para kawula muda ini bukan saja semakin ketar-ketir atas masa depan mereka masing-masing, melainkan juga kian risau terhadap hari depan pemerintahan negara dan bangsa.
Mereka pun kian sadar bahwa nasib pribadi mereka sangat erat terkait dengan keberesan negara dan bangsa. Mereka sesungguhnya peduli dan ingin aktif berperan dalam percaturan politik. Mereka, seperti rekan-rekan segenerasi di pemilu Malaysia bulan lalu dengan proporsi paling kurang 40 persen dari pemegang hak pilih, hampir pasti akan jadi penentu telak hasil akhir pertaruhan pemilihan umum legislatif ataupun presiden 2014.
Kebuntuan sistemik
Rangkaian gerbong sistem dan proses suksesi kepemimpinan nasional Indonesia sedang meluncur tanpa kendali ke ujung kebuntuan.
Keseluruhan proses dalam tatanan kelembagaan politik saat ini berpotensi menyuguhkan ritual lima tahunan yang rutin membosankan tanpa gereget. Publik terbelalak saat membaca berita bahwa daftar calon sementara (DCS) yang sudah diajukan sejumlah parpol untuk Pemilu Legislatif 2014 sekitar 90 persennya dipenuhi oleh wakil-wakil di Senayan yang sudah lama melupakan rakyat.
Keterkejutan publik meningkat menjadi geram karena pada saat yang hampir bersamaan disodori kandidat presidensial stok lama yang itu-itu lagi: dengan rekam jejak belang-bonteng, pernah menyakiti bahkan menzalimi rakyat serta Tanah dan Air Nusantara nan indah ini.
Penolakan publik terhadap
sistem, proses, dan figur-figur politik yang ditawarkan sejak tahun 2004 terperaga jelas pada proporsi golput, baik dalam laga presidensial maupun dalam sejumlah pilkada, yang nyaris mendekati 50 persen dari calon pemilih. Proporsi golput yang kian membengkak ini bukan tidak mungkin akan mencapai 75 persen pada 2014.
Kecenderungan itu adalah indikator paling gamblang sekaligus pahit dari kian meredupnya harapan dan kepercayaan rakyat pada sistem suksesi yang ada. Suatu sistem yang semakin berkarakter moneyctocracy: dari duit, oleh duit, dan untuk duit. Parpol dan politisi menjadi sumber dan dalang dari bencana kebuntuan politik sistemik.
Perlu terobosan
Suasana hati dan pikiran rakyat yang kian membenci parpol dan politisi dalam lima tahun terakhir jelas mustahil dapat ditenteramkan dengan guyuran janji, umbar senyum, dan lambaian tangan di sejumlah media. Harus ada langkah-langkah terobosan atasi kebuntuan ini.
Kebuntuan sistemik proses suksesi kepemimpinan nasional yang membayang-bayangi bangsa dan negara setahun ke depan ini hanya dapat diatasi dua pihak, yaitu parpol sebagai pilar utama pemegang cratos yang sah dari sistem demokrasi konstitusional di satu pihak dan demos, rakyat pemilih sebagai sumber sekaligus pemilik kedaulatan sah di pihak yang lain. Mari kita cermati bersama.
Pertama, terobosan oleh parpol. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa cerah tidaknya nasib negeri dan anak bangsa ini amat bergantung pada tingkat kepekaan mata, telinga dan nurani pimpinan parpol mendeteksi denyut suara aspirasi rakyat, khususnya kawula muda terdidik perkotaan, di luar jajaran parpol. Jika pimpinan parpol benar-benar terkoneksi dengan suara-suara semangat zaman di luar jajaran parpol, beberapa sinyal aspirasi utama langsung dapat ditangkap.
Pertama, bersihkan DCS dari nama-nama: (i) tersangka korupsi; (ii) pembonsai dan pengadang Komisi Pemberantasan Korupsi; serta (ii) pembolos dan penidur di sidang-sidang DPR/ DPRD. Nama-nama politisi yang termasuk dalam tiga kategori politisi busuk ini wajib dibersihkan dari DCS karena mereka bukan lagi aset, melainkan beban bagi parpol dan bangsa.
Langkah terobosan strategis kedua yang sudah seyogianya diambil parpol adalah mengajukan pasangan presidensial alternatif. Sejak terpilihnya Jokowi sebagai DKI 1, seharusnya semua parpol sudah sangat paham bahwa pemimpin seperti itulah yang menjadi idaman publik yang waras, khususnya para generasi muda.
Seperti dalam pilkada DKI Jakarta yang lalu, kekuatan karakter kandidatlah yang dominan menentukan elektabilitas seseorang ketimbang parpol pengusung. Parpol lebih berperan sebagai pemberi tiket masuk gelanggang Pilpres 2014 dan pemberi tenaga tambahan untuk melaju lebih cepat.
Para calon muda
Apabila partai-partai politik benar-benar tanggap ing sasmita dalam membaca semangat dan tuntutan zaman perpolitikan kontemporer saat ini dengan hanya menoleh dan memberi kesempatan kepada pasangan presidensial alternatif yang muda, bersemangat, dan mumpuni dalam kedewasaan pribadi, tegas dalam kebijakan publik dan santun dalam pelaksanaan, publik Nusantara ini dapat berharap akan masa depan yang penuh harapan.
Apalagi jika partai-partai yang ada itu berupaya keras membersihkan DCS pemilihan legislatif dari politisi-politisi yang sudah kesohor busuknya selama ini. Namun, partai-partai yang ada sekarang ini tampaknya tak ingin mengajukan pasangan presidensial alternatif ataupun membersihkan DCS dari tiga kategori politisi busuk di atas. Tak pelak, ancaman golput mencapai lebih dari 75 persen sehingga pendeligitimasian hasil pemilu akan betul-betul menjadi kenyataan pada 2014.
Semoga Tuhan menjauhkan bangsa ini dari bencana politik yang sungguh potensial mengadang itu. Amin.
Tamrin Amal Tomagola
Sosiolog
(Kompas cetak, 29 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®