Namun, apabila kita mencermatinya dengan lebih saksama, apa yang juga memantik peperangan Nagorno-Karabakh adalah imajinasi ihwal sejarah yang sarat kebencian dan ketakutan. Kala bentrokan dengan orang-orang Azerbaijan terjadi dan korban banyak berjatuhan di antara etnis Armenia, mereka kontan teringat pada genosida yang pernah dialami etnisnya pada awal abad ke-20.
Ketika itu, satu setengah juta jiwa orang Armenia ditaksir meninggal ketika kekuasaan Turki Utsmani melangsungkan pembersihan sistematis terhadap etnis mereka. Sisanya terusir dan terpencar menjadi diaspora di mana-mana.
Mengingat melalui kekerasan
Perasaan trauma yang mendadak hidup kembali ini menyulut orang-orang Armenia menyerang balik orang-orang Azerbaijan dengan kekuatan penuh. Orang-orang Azerbaijan, yang sudah puluhan tahun hidup bertetangga dengan mereka, dianggap tak ada bedanya dengan orang-orang Turki pada masa silam. Keduanya sama-sama Islam. Keduanya, karena itu, sama-sama dipandang sebagai musuh ontologisnya yang meraup kepuasan dengan memunahkan mereka.
Bahkan, sebagai balasan terhadap bentrokan di Sumgait yang menorehkan korban di pihak orang-orang Armenia pada 25 Februari 1988, pada tanggal yang sama empat tahun selepas bentrokan di Sumgait, tentara Armenia membumihanguskan Desa Khojali. Sebagai balas dendam terhadap orang-orang Azerbaijan, para tentaranya membakar desa yang (ironisnya) ditinggali warga Armenia tersebut, menjarahi rumah-rumahnya, dan menembaki para warga sipil yang tak berdaya.
Kendati mungkin bukan hal yang nyaman diceritakan, konflik Nagorno-Karabakh merupakan ilustrasi yang sangat kuat perihal bagaimana kita mengingat sejarah. Ingatan adalah catatan sejarah yang rawan bias dan penyimpangan. Hal ini sudah jelas. Namun, spiral kekerasan yang menggulung orang-orang Armenia memperlihatkan kita mengingat melalui kekerasan yang kita alami.
Hal keliru mengatakan bahwa kecenderungan ini hanya tergambar di satu-dua kasus. Mitologi-mitologi kolosal, dari Iliad, Mahabharata, hingga Game of Thrones, menggambarkan sejarah bergerak dari dan atau menuju peperangan. Mengapa? Peperangan lebih mudah terpacak ke pikiran para penikmat sebagai momen puncaknya.
Hingga hari ini, Auschwitz tak pernah habis diceritakan dalam novel ataupun film. Mengapa? Kepiluan yang tergali darinya akan mengundang orang untuk terus berempati dengannya. Mengapa dari antara narasi-narasi sejarah kemerdekaan satu bangsa yang jamak diingat orang-orang adalah peperangannya? Jawabannya masih sama: drama kekerasan terhadap yang lain adalah yang paling tertancap.
Para pengkaji hubungan antara kekerasan dan ingatan, toh, membenarkan pernyataan yang suatu waktu pernah disampaikan Nietzsche. Apa yang dikatakan Nietzsche? "Hanya hal-hal yang tak henti menyakiti yang tetap berkutat dalam ingatan," ujarnya.
Kecenderungan ini, kendati demikian, membersitkan juga serenteng persoalan kontemporer. Karena itu, sejarah yang bergulir acap menjadi serangkaian balas dendam. Hal ini tak sekadar terjadi di antara orang Armenia dan orang Azerbaijan. Di banyak tempat di Indonesia sendiri, konflik etnoreligius tereskalasi karena orang- orang lebih mudah menangkap kekerasan yang dialami kelompoknya alih-alih detail peristiwa yang sebenarnya mengambil tempat.
Ketika mereka melihat orang-orang seagamanya terbunuh, mereka tak akan mengingat perebutan wilayah atau jabatan yang menjadi pemicu konflik pada permulaannya. Hal-hal paling pertama yang akan tercerap adalah simbol-simbol religiusnya yang dibakar atau diinjak-injak, identitas agama korban yang terbunuh, atau pemuka agamanya yang disiksa dan dihabisi.
Persekusi sistematis yang dilansir aparatur negara Myanmar terhadap orang- orang Rohingya? Ia pun dilazimkan dengan mengingat kekerasan yang dilakukan orang-orang Rohingya kepada warga Buddha Myanmar. Lalu, ketika mereka tak punya apa-apa untuk menunjukkan hal itu memang terjadi, bukti-bukti pun direka.
Jurnalis BBC, Jonathan Head, kala menyelidiki apa yang dialami orang-orang Rohingya berusaha diyakinkan oleh otoritas Myanmar bahwa orang-orang Rohingya-lah yang merupakan ancaman. Otoritas bersangkutan lantas menunjukkan gambar (foto-foto) bagaimana orang- orang Rohingya membakar desa-desa dan bukan pihak militer sebagaimana yang dituduhkan. Namun, dalam penyelidikan lebih jauh, Head menemukan bahwa foto tersebut ternyata rekaan.
Bagaimana mengingat sejarah?
Butir ini membawa saya ke pertanyaan pokok yang ingin saya sambangi lewat tulisan ini. Lantas, bagaimana kita harus mengingat sejarah kita?
Hari-hari ini kita dihadapkan pada tuntutan-tuntutan agar mengingat sejarah melalui film ataupun narasi yang mewajarkan dendam lama terhadap satu kelompok liyan tertentu. Bijakkah hal yang demikian? Perlukah kita melakukannya?
Percayalah, ini bukan hal yang bijak. Terlepas sejumlah pihak mengatakan mereka ingin menyadarkan khalayak akan sejarah yang sesungguhnya, sejarah yang ingin diingatkan adalah sejarah yang membenarkan dendam atau kekerasan balasannya.
"Sejarah" yang ditayangkan dalam film garapan Arifin C Noer adalah salah satunya contohnya. Eksposisinya dibatasi pada kekerasan yang diterima sosok-sosok representasi bangsa ini dari kelompok liyan bersangkutan. Belum lagi terdapat kekerasan sadistis di sana-sini yang diada-adakan tanpa pijakan sejarah.
Apakah saya ingin mengatakan kekerasan tidak pernah terjadi? Tidak! Akan tetapi, paparan sejarah yang demikian mesti kita waspadai karena ia menjadikan dendam, perisakan, diskriminasi, dan pada akhirnya spiral kekerasan terasa benar adanya dan patut dijadikan tujuan hidup. Ketika LBH dikepung massa dari berbagai ormas, saya, yang tak sengaja berada di dalamnya, menyaksikan di depan mata, massa tak henti-henti mencerca kami dengan ujaran-ujaran kebencian yang mengerikan, termasuk mengancam kami tak boleh tinggal di Indonesia dan mengganyang kami.
Apa alasan ujaran-ujaran yang sedemikian keji diumpatkan dengan sedemikian ringan kepada kami yang bahkan tak pernah mereka kenal? Tidak ada rasanya selain kebencian itu sendiri. Kebencian yang sudah tidak memiliki sasaran selain hantu-hantu yang direka. Namun, ia juga kebencian yang terus dihidupkan karena masa silam diajarkan kepada kita sebagai era kala kita menjadi korban kekerasan dan sejarah harus bergerak sebagai balas dendam yang dibayar tuntas.
Kita bisa memahaminya karena, memang, begitulah sejarah pada kebanyakan waktu diingat. Kendati demikian, kita mesti punya alasan lain untuk mengingat sejarah selain karena kemarahan dan kedengkian. Kekerasan akan menjadi spiral atau perundungan yang terus sambung- menyambung selama hanya ia yang kita ingat dari masa silam kita.
GEGER RIYANTO
ESAIS, PENELITI SOSIOLOGI; MENGAJAR FILSAFAT SOSIAL DAN KONSTRUKTIVISME DI UNIVERSITAS INDONESIA