Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 05 Juli 2023

Kesinambungan Pembangunan (Yanuar Nugroho)

 Oleh YANUAR NUGROHOIlustrasi HERYUNANTO

Ilustrasi

Tanggal 15 Juni 2023, Presiden Joko Widodo menyerahkan cikal-bakal warisan terpentingnya: rancangan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045.

Disiapkan oleh Bappenas, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) ini akan menjadi acuan mewujudkan visi ”Indonesia Emas 2045”: negara maju dengan ekonomi keempat atau kelima dunia. September 2023 nanti, RPJPN 2025-2045 disahkan sebagai undang-undang dan menjadi referensi bagi para capres-cawapres menyusun visi-misi mereka.

Ini mendasar karena tanpa rujukan jangka panjang, rencana pembangunan antarpemerintahan berisiko tak berkesinambungan. Akibatnya, pembangunan jalan di tempat meski rasanya maju dan banyak yang dikerjakan. Menilik beberapa dekade ke belakang, kekhawatiran ini amat beralasan. Satu yang paling jelas: kita tak kunjung keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle-income trap).

Keluar dari jebakan

Tahun 1993, Indonesia resmi tak miskin lagi. Ia menjadi negara berpenghasilan menengah. Namun, krisis ekonomi 1997-1998 membuatnya terpuruk sebelum bangkit lagi di 2002. Tahun 2019 kita bangga karena ”naik kelas” menjadi negara berpendapatan menengah atas (upper middle-income). Sayangnya tak lama. Covid-19 mengempaskannya kembali ke status lower middle-income di 2020 dan baru kini pulih. Namun, artinya 30 tahun kita terjebak dalam middle-income trap.

Untuk keluar dari jebakan ini, RPJPN 2025-2045 menegaskan ekonomi mesti tumbuh 6-7 persen. Mengapa? Singapura, Hong Kong, dan Korsel—seperti kita—terjebak cukup lama di awal 1970-an: 20, 19, dan 18 tahun. Namun, selama itu, mereka tumbuh rata-rata 8,3, 8,2, dan 8,9 persen. Di awal 1990, mereka semua jadi negara maju. Sementara pascareformasi ekonomi kita hanya tumbuh sekitar 5 persen, kecuali 2007 (6,3 persen) dan 2010 (6,2 persen). Kita malah ambruk di minus 2,07 persen saat pandemi.

Bagaimana agar bisa tumbuh 6-7 persen? Ekonomi kita mesti berbasis pengetahuan dan inovasi dan mewujud sebagai ekonomi ”hijau” dan ”biru”. Artinya, selain berorientasi pada hilirisasi riset dan inovasi, ekonomi mesti tumbuh untuk meningkatkan kesejahteraan sosial sembari melindungi lingkungan dan memanfaatkan sumber daya laut dan pesisir secara berkelanjutan.

Ekonomi semacam ini harus adil, efisien, sekaligus cerdas: menumbuhkan sektor produktif—barang ataupun jasa modern—yang kompetitif dengan ”kue ekonomi” yang bisa dinikmati semua warga secara berkelanjutan. Dengan sendirinya, daya saing akan tumbuh dan menguat, di tingkat regional dan global.

Tentu ini bukan pekerjaan mudah. Untuk mewujudkan ”ekonomi hijau dan biru, berbasis pengetahuan dan inovasi”, ada banyak soal mendasar yang harus ditangani. Mulai dari peningkatan kualitas SDM, perbaikan dan perluasan layanan publik berkualitas bagi semua, penegakan dan kepastian hukum, pemberantasan korupsi dan pemajuan demokrasi, hingga penanganan krisis iklim dan pengembangan riset dan teknologi. Dan masih banyak lagi.

Untuk itu, kita bekerja keras. Dua dekade terakhir, Indonesia cukup maju membangun berbagai bidang meski dunia bergejolak. Pertumbuhan pendapatan per kapita mencapai 488,73 persen di 2019. Walau ekonomi tumbuh hanya sekitar 5 persen, inflasi stabil di rentang 3-4 persen. Kemiskinan turun hingga 9,57 persen, pengangguran terbuka 5,86 persen, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) naik 0,77 persen, dan manusia Indonesia hidup lebih lama hingga 73,5 tahun. Cakupan kepesertaan BPJS Kesehatan mencapai 89,5 persen penduduk, emisi gas rumah kaca kumulatif turun 5,65 GtCO2eq (27,1 persen).

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa memberikan sambutan di acara di Hotel Santika Hayam Wuruk, Jakarta Barat, Senin (29/5/2023). Bappenas bersama harian <i>Kompas </i>mengadakan Forum Group Discussion (FGD) dengan tema Visi Indonesia 2045 dan Harapan Mewujudkan Negara Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan.
FAKHRI FADLURROHMAN

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa memberikan sambutan di acara di Hotel Santika Hayam Wuruk, Jakarta Barat, Senin (29/5/2023). Bappenas bersama harian Kompas mengadakan Forum Group Discussion (FGD) dengan tema Visi Indonesia 2045 dan Harapan Mewujudkan Negara Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan.

Namun, memang masih banyak tantangan pembangunan ke depan. Tak optimalnya tata kelola hukum dan regulasi, rendahnya kapasitas negara dan institusi publik, masifnya perubahan demografi dan dinamika preferensi sosial-budaya, rendahnya kapasitas SDM, dan pemanfaatan sumber daya alam, maritim, dan lingkungan yang tidak berkelanjutan.

Di sisi lain, meski tumbuh, struktur ekonomi dan tata kelola perdagangan tidak efektif dengan kapasitas fiskal yang rendah. Infrastruktur wilayah dan konektivitas belum merata, penggunaan riset, ilmu pengetahuan, dan inovasi rendah, serta transformasi digital belum terkelola optimal (Bappenas, 2023).

Artinya, memang kita sudah bekerja keras, tetapi belum mampu membawa negeri ini maju—apalagi menjadi pemimpin dunia. Maka reformasi saja tak cukup. Mesti transformasi. Dalam hal apa? Cara kita membangun bangsa.

Tentang cara membangun

Einstein pernah bilang kira-kira begini: ”Orang yang—maaf—gila adalah orang yang melakukan hal yang sama berulang-ulang, tetapi mengharapkan hasil yang berbeda.” Mari kita lihat cara membangun negeri—katakanlah sejak reformasi 25 tahun silam hingga kini.

Adakah perbedaan mendasar cara kita membangun? Misalnya: cara merencanakan dan menjalankan pembangunan, membenahi birokrasi dan institusi publik, mengelola SDA, mengembangkan riset dan inovasi, bahkan cara mendidik di sekolah, hingga berdemokrasi dan memberantas korupsi, menegakkan hukum?

Benar, ada perubahan dan ada perbaikan. IPM, skor PISA, indeks persepsi korupsi, bahkan tengkes semua membaik. Tetapi cukupkah? Puaskah kita? Kalau ”iya”, artinya kita memang tak mau keluar dari jebakan middle-income ini.

Benar, ada perubahan dan ada perbaikan. IPM, skor PISA, indeks persepsi korupsi, bahkan tengkes semua membaik. Tetapi cukupkah?

Ada tiga yang perlu dibenahi. Pertama, cara merencanakan pembangunan. Pembangunan selama ini direncanakan secara teknokratis bottom-up lewat musyawarah perencanaan pembangunan yang mengandalkan proyeksi, prediksi, dan perkiraan untuk mewujudkan visi nasional. Visi diturunkan jadi prioritas nasional, diturunkan lagi dalam program prioritas, kegiatan prioritas, hingga major projects untuk menghasilkan rincian output. Sangat teknikal, ketat, dan terstruktur, bahkan cenderung birokratis.

Kekuatan perencanaan semacam ini adalah kendali teknokratisnya. Namun, ini sekaligus kelemahannya: tak fleksibel menghadapi faktor-faktor nonteknokratis seperti gejolak politik pembangunan. Kerumitan birokrasi perencanaan membuatnya juga gampang dituduh jadi tempat bersembunyi dan cuci tangan jika ada kegagalan capaian pembangunan. Boros, karena sumber daya habis untuk proses dan fungsi, bukan program dan hasil.

Cara merencanakan seperti ini tak salah, tetapi tak cukup progresif untuk maju. Perencanaan teknokratis seperti ini semestinya dilengkapi dengan tinjauan masa depan (foresight) karena masa depan yang diinginkan itu harus dibentuk, bukan diproyeksikan, diperkirakan atau diramalkan. Visi nasional harus divalidasi lewat identifikasi sejumlah tantangan pembangunan melalui pemetaan berbagai kejadian dan kecenderungan penting (horizon scanning).

Dari situ akan ditemukan disrupsi (discontinuities), penanda perubahan (weak signals), dan perlunya kewaspadaan akan kejadian yang kemungkinannya kecil tapi amat berdampak (wild cards).

Dari peta ini, bisa diidentifikasi sejumlah penggerak utama (main driver) sebagai dasar pengembangan beberapa skenario masa depan (plausible scenarios)—bukan hanya proyeksi. Dengan dasar skenario ini, perencanaan strategis dan peta jalan (strategic roadmapping) dirumuskan. Jadi fokusnya program dan hasil. Proses dan fungsi hanya mengikuti.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/VpZSypcqLzbg5xwtQnyzZDr_56Q=/1024x491/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F08%2F2a84abe1-73f3-4a3e-89b0-ba82478017e7_jpg.jpg

Perencanaan pembangunan menggunakan pendekatan foresight memang masih terbatas di Indonesia meski sudah jamak digunakan berbagai negara (Nugroho dan Saritas, 2009), termasuk Singapura dan Malaysia. Foresight memastikan perencanaan pembangunan kuat secara teknokratis, sekaligus antisipatif, progresif, dan kokoh visi masa depannya.

Foresight secara terbatas juga sebenarnya sudah mewarnai penyusunan rancangan RPJPN 2025-2045 hingga melahirkan rumusan visi, 5 sasaran, 8 agenda, 17 tujuan, dan 45 indikator kunci untuk memastikan terjadinya transformasi ekonomi, sosial, dan tata kelola beserta landasan dan kerangka implementasinya (Bappenas, 2023). Ini langkah progresif merumuskan rencana jangka panjang sebuah bangsa. Berikutnya, dipastikan agar turunannya, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional lima tahunan dan Rencana Kerja Pemerintah tahunan, disusun serupa.

Kedua, cara mengelola pembangunan. Membangun dengan benar intinya memastikan tata kelola agar sumber daya pembangunan digunakan efektif, efisien, bebas konflik kepentingan. Akar seluruh kemacetan pembangunan selama ini adalah buruknya tata kelola. Membenahi tak gampang dan sederhana. Namun, setidaknya ada tiga fokus utama: reformasi birokrasi; integrasi perencanaan dan penganggaran; pengendalian pembangunan.

Satu, reformasi birokrasi adalah kunci membangun Indonesia masa depan. Indonesia 2045 butuh birokrat kelas dunia. Fondasinya formasi dan rekrutmen berdasar kompetensi dan karakter, remunerasinya layak, adil berdasar kinerja, dan tunggal, dengan jenjang karier jelas untuk menarik talenta unggul. Ini mesti terwujud satu dasawarsa ke depan agar ada critical mass birokrasi berkualitas untuk mewujudkan Indonesia Emas.

Perencanaan teknokratis seperti ini semestinya dilengkapi dengan tinjauan masa depan ( foresight) karena masa depan yang diinginkan itu harus dibentuk, bukan diproyeksikan, diperkirakan atau diramalkan.

Dua, sudah terlalu lama integrasi perencanaan dan penganggaran sekadar jadi wacana. Kabinet mendatang mesti mewujudkannya. Ditjen Anggaran mesti menyatu dengan Bappenas memastikan apa yang direncanakan teranggarkan dan alokasi anggaran sesuai kebutuhan pembangunan. Tak ada negara maju yang perencanaan dan penganggarannya tidak terintegrasi atau pembangunan pusat dan daerahnya tidak terorkestrasi.

Tiga, perlu pengendalian pembangunan karena tantangannya makin kompleks dan lintas sektor, sementara kementerian dan lembaga bekerja terkotak-kotak di sektor masing-masing. Mesti ada institusi yang menjembatani dan mengoordinasikan kabinet—yang tak bisa ditangani menteri koordinator. Ini bisa seperti Sesdalopbang (Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan) era Soeharto, UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) era SBY, KSP (Kantor Staf Presiden) era Jokowi, atau sekaligus saja ditangani Bappenas—sebagai Badan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Nasional—yang melekat pada Presiden.

Memastikan kesinambungan

Ini soal yang selalu mendera saat pergantian pemegang kuasa, mulai dari kepala negara, menteri, bupati, bahkan kepala desa. Para perencana dan pelaku pembangunan selalu waswas penguasa baru membawa agenda baru yang diwujudkan dalam kebijakan dan program baru yang tak selalu sejalan—bahkan bertentangan—dengan kebijakan dan program pendahulunya. Bahkan jika sejalan pun, sering dibubarkan dulu sebelum dibuat yang baru dengan substansi sama, hanya karena ”bukan saya yang memulainya”. Ini sudah jadi budaya: cancel culture namanya. Akibatnya, pembangunan jadi mirip tari poco-poco: maju dua langkah, mundur selangkah. Lambat, jika malah tak jalan di tempat.

Kekhawatiran ini sedang kita hadapi. Hingga kini, kontestasi capres-cawapres masih berkutat pada nama, citra, dan karisma sebagai penggaet suara, bukan substansi. Apalagi bagaimana memastikan keberlanjutan pembangunan saat berkuasa nanti. Ini bukan hanya soal ide besar seperti pemindahan ibu kota negara, pembangunan jaringan kereta api cepat, atau penutupan tambang batubara untuk mengejar net zero.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/NFLPCPqyfmfMSTZQtwth_WACwhw=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F05%2F5a2d0b2a-3830-4dd0-b125-ee5f962e2658_jpg.jpg

Namun, justru yang menentukan mati hidupnya warga seperti kebijakan kesehatan, kurikulum pendidikan, skema perlindungan sosial, dan dukungan UMKM. Juga perkara yang mengganggu sekaligus membelenggu pemerintahan, seperti reformasi birokrasi, penegakan hukum, penyelesaian pelanggaran HAM berat, dan pemberantasan korupsi.

Meski bisa dipahami jika kini masih bicara elektabilitas, salah jika tak ada—atau sedikit sekali—ruang tersisa untuk bicara rencana pembangunan dan kesinambungannya. Karena itu, semua capres-cawapres mesti didorong, didesak, bahkan kalau perlu diikat agar visi pembangunan yang mereka usung melekat, sejalan, dan searah dengan RPJPN 2025-2045. Selain menjadikannya UU, perlu terobosan baru: dipaksa oleh KPU dan para pemilih. Untuk itu, KPU mesti memastikan kampanye dan debat lebih substantif. Saya usulkan dua hal.

Satu, kampanye tematik mengundang warga terdampak. Misalnya kampanye tentang lingkungan, mengundang petani, nelayan, aktivis, dan pebisnis; kampanye tentang kaum muda, mengundang berbagai organisasi dan wadah pemuda; kampanye reformasi birokrasi mengundang para PNS—dan banyak lagi.

Dua, reformulasi substansi debat. Fokusnya bukan pada apa yang dijanjikan, karena mudah dilupakan/dibelokkan. Juga bukan pada mengapa, karena kita punya Pancasila dan UUD 1945. Ini mencegah kekhawatiran pembelahan. Substansi debat mesti fokus pada bagaimana menjalankan pembangunan: mulai cara memilih menteri, mengendalikan pembangunan, hingga transformasi ekonomi. Dari situ akan terlihat apakah hanya berwacana atau bisa mewujudkan. Lebih penting lagi: apa mereka mampu memastikan kesinambungan pembangunan yang sudah dimulai pendahulunya.

Kesinambungan pembangunan mesti dijaga meski ego ”aku, partaiku, kelompokku” selalu menggoda. Itu syarat mutlak keluar dari jebakan middle-income dan batu ujian apakah negeri ini sungguh pantas jadi panutan di masa depan.

Yanuar Nugroho Foresighter, Dosen STF Driyarkara Jakarta, Visiting Senior Fellow ISEAS Singapura

Sumber:  https://www.kompas.id/baca/opini/2023/07/04/kesinambungan-pembangunan

Jumat, 16 Juni 2023

Lanjut Usia - Mewujudkan Lansia yang Berkualitas dan Bahagia (GEA PANDHITA S)

Dengan upaya yang tepat, menjadi tua diharapkan dapat menjadi perjalanan yang membahagiakan, berkualitas, dan menjadikan warga lansia tetap bermanfaat sebagai agen transfer pengetahuan kepada generasi berikutnya.

Oleh GEA PANDHITA S
https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/VV9tAmqD9L8jI81WwLcm_5k2zoo=/1024x575/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F14%2Ff858641e-e32c-49e5-ad1e-b4b4ac442fcf_jpg.jpg

Indonesia diprediksi menjadi salah satu negara yang mengalami lonjakan populasi penduduk lanjut usia cukup tinggi. Wan He, dkk (2016) memperkirakan persentase peningkatan jumlah penduduk lansia di Indonesia pada 2010-2030 sebesar 107,1 persen. Angka ini setara dengan negara-negara berpenduduk terbanyak di dunia, seperti China (persentase peningkatan sebesar 107,7 persen), India (105,9 persen), dan Amerika Serikat (79,8 persen).

Proporsi populasi warga lansia di Indonesia semakin besar. Kementerian Kesehatan menyampaikan bahwa proporsi populasi lansia pada 2015 sebesar 8,1 persen dari total jumlah penduduk. Proporsi populasi lansia ini terus meningkat menjadi 9,03 persen (2017), 10,7 persen (2020), serta diperkirakan mencapai 12,5 persen pada 2025, dan 14,6 persen pada 2030.

Meski demikian, warga lansia di Indonesia masih lebih sering dipandang sebagai beban ekonomi dibandingkan dengan sebagai sumber daya. Laporan survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai rasio ketergantungan lansia (old dependency ratio/ODR) pada 2021 sebesar 16,76. Hal ini mengindikasikan setiap 100 orang penduduk usia produktif (15-59 tahun) harus menanggung setidaknya 17 penduduk lansia. Angka ini perlu mendapatkan perhatian khusus karena mencerminkan beban ekonomi yang harus ditanggung, dengan asumsi warga lansia secara ekonomi bukan sebagai individu yang produktif.

Kondisi kesehatan lansia di Indonesia juga belum menggembirakan. BPS (2021) mengemukakan, angka kesakitan warga lansia masih sekitar 20,71 persen. Hal ini berarti bahwa sekitar satu dari lima orang lansia pernah sakit dalam satu bulan terakhir. Kondisi ini akan sangat mengganggu warga lansia dalam menjalani kesehariannya.

Untuk mengantisipasi berbagai konsekuensi tersebut, penting sekali dilakukan upaya prediktif dan preventif. Upaya-upaya itu diharapkan akan membuat warga lansia di Indonesia dapat menjalani hidup lebih berbahagia, berkualitas, dan peran utama warga lansia sebagai agen transfer pengetahuan antargenerasi dapat berjalan lebih optimal.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/U5nks3nqMTnCQHqN3R01J4TqGe8=/1024x1363/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F02%2F26%2Fa7eccff4-c895-4c3f-9252-123e8cc0061a_png.png

Proses menua

Definisi lansia secara umum adalah orang yang berusia 60 atau 65 tahun ke atas. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2007 membagi usia populasi menjadi usia pertengahan (middle age; usia 45-59 tahun), lanjut usia (elderly; 60-74 tahun), lanjut usia tua (old; 75-90 tahun), dan usia sangat tua (very old; di atas 90 tahun). Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia mendefinisikan lansia adalah penduduk yang berumur 60 tahun ke atas.

Setiap warga lansia akan mengalami proses penuaan. Proses penuaan adalah suatu proses kemunduran, terutama dari aspek organobiologis dan psikologik. Proses penuaan seseorang ditentukan secara genetik dan dipengaruhi oleh gaya hidup ketika muda. Kondisi kesehatan seseorang ketika lansia merupakan hasil dari proses akumulasi sejak dalam kandungan, anak-anak, dewasa, dan menjelang lansia.

Proses penuaan seseorang ditentukan secara genetik dan dipengaruhi oleh gaya hidup ketika muda.

Kelompok lansia yang telah membiasakan pola hidup sehat sejak muda akan memiliki kondisi kesehatan yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang masa lalunya tidak berperilaku hidup sehat. Meski demikian, potensi untuk menjadi warga lansia yang sehat dan aktif akan berhadapan dengan meningkatnya risiko berbagai macam penyakit, khususnya penyakit terkait proses penuaan.

Upaya mandiri

Aktivitas fisik secara teratur sejak usia muda dapat meningkatkan kesehatan fisik dan mental secara bermakna sampai saat lansia. Hasil penelitian National Institute on Aging (2021) menunjukkan bahwa aktivitas fisik mulai dari yang ringan, seperti berjalan atau berkebun, apabila dilakukan secara teratur, sudah dapat memberikan manfaat yang cukup besar. Manfaat tersebut antara lain mengurangi risiko penyakit jantung dan pembuluh darah, meningkatkan suasana hati bahagia dan semangat, serta dapat meningkatkan daya ingat dan fungsi kognitif otak lainnya.

Aktivitas fisik aerobik ringan sampai sedang, minimal sekitar 150 menit seminggu, sangat dianjurkan. Aktivitas fisik yang direkomendasikan antara lain berjalan, berenang, dan bersepeda statis. Aktivitas tersebut ditujukan untuk latihan jantung, latihan kekuatan otot rangka, latihan keseimbangan, dan latihan fleksibilitas. Kombinasi ini dapat memberikan manfaat kesehatan yang paling komprehensif, membantu meningkatkan kekuatan tubuh menjaga keseimbangan, mengurangi risiko jatuh, dan meningkatkan mobilitas secara keseluruhan. Namun, aktivitas fisik yang dilakukan tersebut harus memperhatikan kondisi masing-masing warga lansia.

Para lansia melakukan olahraga jalan pagi dengan memutari Taman Suropati dan Taman Lembang, Jakarta Pusat, Jumat (13/5/2011). Mereka rutin melakukan itu untuk menjaga kesehatan dan bersosialisasi dengan para pejalan kaki lainnya.
KOMPAS/ TOTOK WIJAYANTO

Para lansia melakukan olahraga jalan pagi dengan memutari Taman Suropati dan Taman Lembang, Jakarta Pusat, Jumat (13/5/2011). Mereka rutin melakukan itu untuk menjaga kesehatan dan bersosialisasi dengan para pejalan kaki lainnya.

Hal penting berikutnya untuk mempertahankan kualitas hidup warga lansia adalah nutrisi yang tepat. Diet seimbang, kaya buah-buahan, sayuran, protein tanpa lemak, dan lemak sehat dapat mengurangi risiko banyak penyakit kronis. ”Diet Mediterania” yang menekankan komponen-komponen tersebut telah terbukti dalam banyak penelitian dapat meningkatkan kesehatan jantung dan menjaga fungsi kognitif otak. Selain pola makan tersebut, memastikan kecukupan kebutuhan cairan dan membatasi asupan natrium dan gula, juga sangat diperlukan untuk meningkatkan kesehatan kelompok lansia secara keseluruhan.

Lansia sering mengalami rasa ketersendirian dan merasa terisolasi, padahal kesehatan mental dan sosial adalah komponen kualitas hidup yang penting bagi warga lansia. Mereka yang tetap aktif secara sosial dan terstimulasi secara mental dapat mengusir rasa kesepian, depresi, dan penurunan fungsi kognitif. Bersosialisasi dengan teman dan keluarga, terlibat dalam hobi atau keseminatan, serta berpartisipasi dalam kegiatan sosial keagamaan di masyarakat semuanya berperan penting dalam menjaga kebahagiaan dan kesehatan mental kelompok lansia.

Aktivitas kognitif, seperti membaca, belajar bahasa yang berbeda, mengisi teka-teki silang atau permainan latihan otak yang lain, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman kepada generasi yang lebih muda, juga sangat membantu mempertahankan fungsi kognitif kelompok lansia. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran seumur hidup dapat menunda penurunan fungsi kognitif dan membantu mencegah timbulnya demensia (kepikunan), termasuk penyakit Alzheimer.

Aksesibilitas lingkungan sekitar yang aman dan ramah bagi warga lansia juga penting untuk memastikan kesejahteraan mereka. Kejadian jatuh pada kelompok lansia merupakan penyebab utama cedera. Oleh karena itu, upaya meningkatkan keamanan di rumah untuk mengurangi risiko jatuh pada warga lansia merupakan faktor penting dalam meningkatkan kualitas hidup mereka.

Memodifikasi berbagai peralatan dan perabotan di rumah supaya tidak tersandung, memasang pegangan di kamar mandi, memastikan pencahayaan ruangan yang memadai, merupakan beberapa upaya yang dapat membantu mencegah jatuh pada lansia. Teknologi juga dapat membantu meningkatkan aksesibilitas dan keamanan. Perangkat seperti sistem peringatan dan monitor yang dapat mendeteksi lansia jatuh bisa membantu menjaga lansia lebih aman dan terlindungi.

Pemeriksaan kesehatan fisik dan mental secara rutin dapat sangat membantu menjaga kesehatan lansia. Melalui pemeriksaan kesehatan rutin, kemungkinan adanya gangguan kesehatan fisik dan mental dapat dideteksi lebih awal sehingga diharapkan dapat dilakukan intervensi yang lebih optimal. Pemeriksaan kesehatan rutin tersebut antara lain berupa pemeriksaan fungsi penglihatan dan pendengaran, pemeriksaan densitas tulang, pemeriksaan penyakit kronis, seperti gangguan jantung, hipertensi, dan diabetes, serta pemeriksaan daya ingat dan fungsi kognitif lainnya.

Perawat menunjukkan cara kerja alat perimeter <i>humphrey</i> di Klinik Mataraja, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (25/10/2022). Gangguan penglihatan banyak terjadi pada kelompok lanjut usia.
FAKHRI FADLURROHMAN

Perawat menunjukkan cara kerja alat perimeter humphrey di Klinik Mataraja, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (25/10/2022). Gangguan penglihatan banyak terjadi pada kelompok lanjut usia.

Pelayanan kesehatan

Salah satu langkah utama yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan kualitas sistem pelayanan kesehatan. Upaya tersebut terutama terkait aksesibilitas warga lansia terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas, khususnya layanan preventif dan layanan geriatri.

Hal yang dapat dilakukan antara lain memperbaiki sistem jaminan kesehatan dengan meningkatkan besaran anggaran layanan kesehatan terkait kelompok lansia dan mengurangi biaya pribadi yang harus mereka keluarkan. Selain itu, perlu juga dilakukan perbaikan sistem pendaftaran dan antrean pasien secara daring (online) di puskesmas atau rumah sakit supaya menjadi lebih ramah bagi kelompok lansia, serta memisahkan layanan geriatri dengan layanan kesehatan lain supaya alokasi waktu layanan dapat lebih memadai.

Investasi pemerintah dan masyarakat dalam program sosial juga dapat meningkatkan kualitas hidup warga lansia. Program yang dapat dilakukan antara lain menyediakan layanan makanan dan transportasi umum bersubsidi, perpustakaan khusus lansia, pusat-pusat kegiatan lansia, serta melibatkan lansia dalam berbagai kegiatan sosial yang memungkinkan. Selain itu, juga dapat dikembangkan pusat layanan warga lansia secara virtual menggunakan teknologi informasi.

Sistem pensiun yang kuat dapat memberikan dukungan keuangan kepada warga lansia untuk mempertahankan standar hidup yang layak dan mengakses layanan yang diperlukan.

Upaya-upaya tersebut dapat membantu warga lansia menjaga kemandirian dan interaksi sosial. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut dapat mengurangi rasa kesepian dan meningkatkan kesehatan mental kelompok lansia secara keseluruhan.

Pemerintah juga dapat membuat kebijakan terkait perumahan untuk mengakomodasi kebutuhan warga lansia. Kebijakan yang dapat dilakukan misalnya penyediaan dana untuk modifikasi rumah sebagai upaya mengurangi risiko jatuh pada lansia, serta mengembangkan perumahan ramah kelompok lansia yang terjangkau dan lebih mudah diakses.

Sistem pensiun yang baik merupakan langkah penting yang juga dapat diselenggarakan pemerintah. Sistem pensiun yang kuat dapat memberikan dukungan keuangan kepada warga lansia untuk mempertahankan standar hidup yang layak dan mengakses layanan yang diperlukan.

Optimalisasi promosi kesehatan masyarakat terkait lansia aktif juga merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan. Kegiatan tersebut dapat berupa olahraga dan pelatihan diet khusus kelompok lansia yang dapat membantu mereka menjadi tetap aktif secara fisik dan sosial. Selain itu, kegiatan-kegiatan tersebut juga dapat menciptakan peluang pengembangan berbagai program untuk belajar seumur hidup, dan meningkatkan keterlibatan masyarakat.

Hal yang juga harus menjadi perhatian pemerintah adalah adanya kasus-kasus penelantaran dan penistaan terhadap kelompok lansia. Pemerintah harus menyusun suatu peraturan perundangan dan menegakkan hukum untuk melindungi mereka dari pelecehan fisik, emosional dan keuangan, serta menciptakan layanan dukungan bagi warga lansia yang menjadi korban.

Kelompok lansia dengan proses penuaannya merupakan bagian kehidupan yang tidak terhindarkan bagi individu yang mendapatkan karunia umur panjang. Meski demikian, dengan upaya yang tepat diharapkan bagian kehidupan itu dapat menjadi perjalanan yang membahagiakan, berkualitas, dan menjadikan lansia tetap bermanfaat sebagai agen transfer pengetahuan kepada generasi berikutnya.

Terdapat banyak upaya, baik secara mandiri maupun sebagai program pemerintah dan masyarakat, yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup lansia. Dengan mempertimbangkan kebutuhan dan tantangan terkait bonus demografis tersebut, kita dapat bersama-sama menciptakan masyarakat yang menghargai dan mendukung warga lansia kita.

Gea Pandhita S, Dokter Spesialis Neurologi dan Clinical Epidemiologist dan Kepala Laboratorium Neurosains di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) Jakarta; Anggota Kelompok Studi Neurogeriatri Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi)

 

Sumber:  https://www.kompas.id/baca/opini/2023/06/14/mewujudkan-lansia-yang-berkualitas-dan-bahagia

Diplomasi RI-Belanda - Dekolonialisasi Vs Antikolonialisme (AMARULLA OCTAVIAN)

Perdana Menteri Belanda Mark Rutte memberi pernyataan pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Belanda masih menggunakan paradigma dekolonialisasi dalam pernyataan pengakuan kemerdekaan RI.

Oleh AMARULLA OCTAVIAN
https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/n5zrcBlwgtqfDj_gU97RYIruDcM=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F15%2F52e3b301-1d3c-4bc2-9457-cd412f231923_jpg.jpg

Pada 14 Juni 2023, saat berlangsung ”Diskusi Dekolonialisasi” dengan parlemen, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte memberi pernyataan pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pada tanggal 17 Agustus 1945.

Pengakuan tersebut dapat dipandang sebagai kelanjutan pengakuan sebelumnya ketika Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Bot menghadiri upacara proklamasi kemerdekaan RI pada tahun 2005.

Kita paham bahwa sebelumnya Belanda bersikeras bahwa proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal tersebut tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum. Belanda berpendapat kemerdekaan RI diberikan melalui penyerahan kedaulatan dalam Perjanjian Meja Bundar pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag.

Sejarah mencatat, Perjanjian Meja Bundar itu mengakhiri perjuangan diplomasi mulai dari Perjanjian Linggarjati tahun 1947, Perjanjian Renville tahun 1948, hingga Perjanjian Roem-Royen tahun 1949.

Bagi TNI, Perjanjian Meja Bundar tahun 1949 merupakan wujud kemenangan dalam perang mempertahankan kemerdekaan sepanjang tahun 1945-1949. Indonesia berhasil mengalahkan negara-negara pemenang Perang Dunia II.

Perdana Menteri Mark Rutte sebagai kepala pemerintahan memberi pernyataan atas pengakuan RI tahun 1945 bersandar pada kenyataan bahwa Raja Belanda (sebagai kepala negara) selalu memberikan ucapan selamat hari ulang tahun kemerdekaan RI setiap tahun.

Artinya, pengakuan Belanda tersebut tidak mencerminkan kesadaran politik bahwa pengakuan kedaulatan suatu negara harus didasarkan pada pernyataan negara itu sendiri sesuai rezim hubungan internasional.

Pernyataan Profesor Henk Schulte Nordholt dari Leiden University bahwa pengakuan PM Rutte hanya sebatas pernyataan politik dan tidak diiringi dengan konsekuensi hukum adalah sangat keliru. Secara ilmiah, kemerdekaan RI adalah sah dan memiliki kekuatan hukum yang final.

Kita dapat membandingkan dengan kemerdekaan Amerika Serikat dari penjajahan Inggris. Deklarasi Kemerdekaan AS pada tanggal 4 Juli 1776 dilanjutkan dengan perang revolusi selama tujuh tahun.

Sama seperti pengalaman RI, AS sebelumnya juga mengalami perang mempertahankan kemerdekaan hingga kekuatan militer Inggris meninggalkan Amerika. Inggris mengakui kemerdekaan Amerika melalui Perjanjian Paris tanggal 3 September 1783.

Hingga kini seluruh negara di dunia mengakui kemerdekaan Amerika Serikat berdasarkan tanggal deklarasi pada 4 Juli 1776, bukan tanggal 3 September 1783.

Soekarno berdoa menjelang dibacakannya proklamasi kemerdekaan Indonesia.
IPPHOS

Soekarno berdoa menjelang dibacakannya proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Dunia internasional mengakui kemerdekaan AS berdasarkan versi AS, bukan versi Inggris. Oleh karena itu, kemerdekaan RI juga harus berdasarkan versi RI, bukan versi Belanda. Bukan berdasarkan pernyataan PM Belanda dan bukan dari ucapan selamat dari Raja Belanda.

Paradigma dekolonialisasi

Sangat penting dicermati bahwa Belanda masih menggunakan paradigma dekolonialisasi di dalam pernyataan pengakuan kemerdekaan RI beberapa hari yang lalu.

Dekolonialisasi sangat berbeda dengan antikolonialisme. Paradigma dekolonialisasi berarti proses kemerdekaan suatu negara melalui mekanisme keinginan negara penjajah, sementara paradigma antikolonialisme mengacu pada proses kemerdekaan suatu negara atas perjuangan negara itu sendiri.

Dekolonialisasi dinilai sebagai bentuk hadiah kemerdekaan dari negara penjajah, sedangkan antikolonialisme dinilai sebagai perjuangan merebut kemerdekaan. RI berjuang merebut kemerdekaan dari penjajahan Jepang, dan selanjutnya mempertahankan kemerdekaan dari Belanda yang berupaya menjajah kembali.

Meski demikian, pernyataan pengakuan Belanda atas kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan penegasan bahwa wilayah Papua sejatinya juga ikut merdeka bersama wilayah RI yang lain.

Meski demikian, pernyataan pengakuan Belanda atas kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan penegasan bahwa wilayah Papua sejatinya juga ikut merdeka bersama wilayah RI yang lain. Pejuang Frans Kaisiepo dari Biak ikut bertempur habis-habisan melawan Belanda selama perang kemerdekaan.

Frans ikut serta memimpin prosesi pengibaran bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu kebangsaan ”Indonesia Raya” di Papua. Papua menjadi wilayah NKRI sejak 1945, yang kemudian dikukuhkan melalui Resolusi PBB Nomor 2504 Tahun 1969.

Amarulla Octavian, Rektor Universitas Pertahanan RI

 https://www.kompas.id/baca/opini/2023/06/15/dekolonialisasi-vs-antikolonialisme

Senin, 12 Juni 2023

Gaya Hidup - Pamer Harta (Yongky Karman)

 Situasi pemberantasan korupsi kita sekarang terpuruk. Bertahun-tahun kerja keras pemberantasan korupsi hanya membuat indeks persepsi korupsi Indonesia merambat naik, tetapi hanya dalam satu tahun skor itu terjerembap.

Oleh YONKY KARMAN
Ilustrasi HERYUNANTO

Ilustrasi

Mengapa pamer harta dipersoalkan sementara pamer gelar kesarjanaan tak dipersoalkan? Apakah karena masyarakat kita tidak menghargai pendidikan?

Jangan-jangan karena kedua pamer itu sebenarnya tak perlu serius dipersoalkan. Wajar terlihat. Harta memang tidak untuk ditimbun atau dikubur. Ketika dulu kekayaan masih dalam bentuk ladang atau ternak, semuanya terekspos tak bisa ditutupi. Wajar pula pengakuan orang lain untuk itu, yang kini amat dipermudah dengan fasilitas media sosial.

Agama tidak anti-orang kaya, malah membenarkan harta yang diperoleh dari kerja keras dan kerajinan. Penilaian negatif diberikan kepada orang yang kaya dengan menghalalkan segala cara. Pesan agama jelas bahwa harta yang didapat di dunia tipu-tipu akan cepat hilang, malah mencelakakan pemiliknya. Pamer harta wujud kesombongan dan keduniawian.

Modus eksistensi

Secara kultural, pamer harta adalah soal gaya hidup, termasuk modus eksistensi seseorang. Psikolog sosial Erich Fromm menaruh minat pada kesehatan sosial masyarakat (The Sane Society, 1955). Salah satu gejala sosial yang tidak sehat adalah ketika orang didominasi modus memiliki daripada modus menjadi (To Have or to Be?, 1976).

Orang yang hidupnya dikuasai modus eksistensi memiliki, terpenjara dalam ego terisolasi (asosial). Kekayaan dimilikinya hanya sebagai penanda status sosial. Alam bawah sadarnya mendorongnya untuk menjadi sosialita. Alih-alih memperkaya hidupnya sendiri dan hidup orang lain, kekayaan itu memiskinkan spiritualitas dan kepekaan sosial sang sosialita.

Modus eksistensi memiliki, tidak memperkaya hidup dengan berbagai kebajikan.

Sebenarnya, dengan mayoritas penduduk kita yang beragama samawi (berorientasi surga) mestinya cukup kuat modal sosial kita untuk melakoni gaya hidup sederhana.

Anomali sosial ini bisa dijelaskan oleh Fromm yang membedakan antara agama formal di permukaan (official religion) dan agama di bawah permukaan yang langsung memengaruhi perilaku (secret religion). Ternyata, perilaku sebagian OKB (orang kaya baru) dipengaruhi pandangan hidup yang menjadikan kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama (hedonisme).

Jika agama formal masuk di hati, tentu orang menyadari kekayaannya hanya sebagai titipan Yang Maha Kuasa, potensi untuk hidup dalam kebajikan.

Dengan semakin kaya, tanggung jawabnya sebagai penatalayan semakin besar di tengah ketimpangan sosial dan kemiskinan yang merajalela.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/ZxW6qLQkyqwTSbPQj6Ghr1IBT2c=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F04%2F08%2F7f4c4a76-66a4-47d0-bcbb-d616cd7ff911_jpg.jpg

Kontraproduktif

Negara kita mengatur soal pamer harta dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Etika bermasyarakat abdi negara adalah ”mewujudkan pola hidup sederhana” dan ”berpenampilan sederhana” (Pasal 10, 11). Untuk pelanggaran kode etik ini berlaku sanksi moral secara tertulis atau sanksi administratif atau hukuman disiplin (Pasal 15, 16).

Namun, kedua pasal sanksi itu bagai mati suri karena memang bertentangan dengan akal sehat dan salah kaprah. Imbauan pola hidup sederhana yang kita dengar di lingkungan pemerintah sudah lama tiada maknanya, bukan karena orang tak tahu arti sederhana, melainkan pemerintah sendiri mengacaukan semantik mewah.

Setiap kali kita membeli mobil, misalnya, harga jual sudah termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah meski mobil itu bukan konsumsi orang kaya. Jika tujuan utamanya adalah menambah pendapatan negara dari pajak, kenakan saja pajak tinggi, tetapi jangan dikaitkan dengan kemewahan.

Sementara mobil yang bisa dikategorikan mewah berdasarkan besarnya cc, justru dipakai para pejabat. Bukan hanya mobil-mobil besar itu menyedot pemakaian uang negara, itu juga memberi kontribusi pencemaran udara dan kemacetan di jalan pada jam sibuk. Mobil mewah itu dipakai untuk keperluan pribadi dan keluarganya. Masyarakat pun mafhum. Dari pamer harta dengan fasilitas publik sudah tak jauh ke pamer harta pribadi pejabat.

Larangan pamer harta pada dasarnya memiliki nilai moralitas publik yang rendah, bahkan kontraprodukif dengan tata kelola pemerintahan dalam dua aspek berikut. Pertama, larangan itu menutupi lemahnya pengawasan melekat dalam penyelenggaraan negara.

Imbauan pola hidup sederhana yang kita dengar di lingkungan pemerintah sudah lama tiada maknanya, bukan karena orang tak tahu arti sederhana, melainkan pemerintah sendiri mengacaukan semantik mewah.

Ada laporan harta kekayaan aparat negara sipil (LHKASN) dan penyelenggara negara (LHKPN) yang jumlahnya tak masuk akal atau bertahun-tahun sama saja, tetapi itu dibiarkan saja tanpa tindakan korektif.

Penindakan di lingkungan internal yang sedang gencar hanya mengikuti tekanan publik di media sosial dan bersifat reaktif. Hangat-hangat tahi ayam. Kebiasaan lama pamer harta akan kembali normal sebab memang itu bukan domain urusan negara. Biarkan agama dengan berbagai cara menanamkan religiositas hidup sederhana.

Propaganda negara terkait hidup sederhana malah memelihara kecemburuan sosial dan sentimen anti orang kaya. Padahal, kaya miskin adalah realitas sosial yang tak terhindari. Keberadaan orang kaya karena kerja keras seyogianya menjadi inspirasi untuk kerja keras dan prinsip-prinsip yang sudah teruji di dunia bisnis.

Negara maju umumnya tidak memiliki kode etik seperti itu karena sistem perpajakannya sudah berjalan baik. Yang pamer harta sudah menunaikan kewajibannya dengan bayar pajak besar. Pajak didistribusikan untuk membiayai penyelenggaraan negara termasuk fungsi-fungsi sosialnya.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/WcUF4v4lWwls6Z78WEIZiIfqz3k=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F05%2F7b60e3fb-0f7d-47f4-bd35-948cf9f9a4f3_jpg.jpg

Ilustrasi

Penghindaran pajak memang masih ada, tetapi ada di mana pun tetapi sanksinya berat sekali dan menimbulkan efek jera. Bercermin dari banyaknya kasus motor gede atau mobil mewah bodong kita, jelas sanksi pajak kita terlalu ringan, bahkan pelakunya orang pajak dan oknum penegak hukum.

Kontraproduktif kedua dari larangan pamer harta adalah menutup pintu masuk dugaan gratifikasi dan korupsi. Yang membedakan fenomena korupsi kita dengan yang di negara maju adalah koruptor kita cenderung pamer harta atau memiliki rekening gendut.

Di negara maju, koruptor menyembunyikan hasil korupsinya rapat-rapat, sulit melacaknya. Pamer harta justru sebuah pintu masuk investigatif untuk menelusuri kewajaran laporan harta kekayaan, untuk memastikan tidak ada gratifikasi atau penerimaan dari sumber-sumber usaha yang sarat konflik kepentingan.

Situasi pemberantasan korupsi kita sekarang adalah terpuruk. Bertahun-tahun kerja keras pemberantasan korupsi hanya membuat indeks persepsi korupsi Indonesia merambat naik, tetapi hanya dalam satu tahun skor itu terjerembap empat poin menjadi 34 (dalam skala 0 berarti sangat bersih dan 100 sangat bersih).

Becermin dari banyaknya kasus motor gede atau mobil mewah bodong kita, jelas sanksi pajak kita terlalu ringan, bahkan pelakunya orang pajak dan oknum penegak hukum.

Orang asing melihat Indonesia masih sebagai negara yang lemah dan inkonsisten dalam pemberantasan korupsi.

Rancangan undang-undang perampasan aset sudah sejak 2012, baru akhir-akhir ini menemui titik terang untuk disahkan, tetapi tak kunjung disahkan. Setelah disahkan pun, tidak langsung efektif karena menunggu peraturan pemerintah terkait pelaksanaannya.

Enam dekade lalu, Syed Hussein Alatas, sosiolog korupsi, menyebut korupsi di Indonesia ”betul-betul terpelihara dan diam-diam dilindungi oleh yang berkuasa” (The Sociology of Corruption, 1968).

Itu masih terjadi sampai sekarang jika melihat laku elite politik kita dan penegakan hukum yang tidak memperlakukan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Larangan pamer harta menambah sulit pemberantasan korupsi.

Yonky Karman,Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta

Link:  https://www.kompas.id/baca/opini/2023/06/11/pamer-harta

 

Jumat, 09 Juni 2023

Ibadah Haji 2023 - Haji, Status, dan Pesan Kemanusiaan

 Haji di kalangan masyarakat Muslim juga dipahami sebagai media ”pembuktian” atas amal baik dan buruk sebelumnya. Sebagai ritus kehidupan Muslim Indonesia, ibadah haji juga identik dengan fase transisi menuju fase baru.

OlehM ZAINUDDIN
 
Ilustrasi HERYUNANTO

Ilustrasi

Indonesia menjadi negara yang memiliki kuota haji terbanyak pada 2023 dengan 221.000 anggota jemaah.

Jumlah ini terdiri dari 203.320 anggota jemaah reguler dan 17.680 anggota jemaah khusus. Secara bertahap, mereka akan diberangkatkan ke Jeddah mulai 8 Juni 2023/19 Zulkaidah 1444.

Wukuf di Arafah diperkirakan bertepatan dengan hari Selasa, 27 Juni 2023. Mereka akan dipulangkan ke Tanah Air secara bertahap mulai 4 Juli 2023.

Geliat ibadah haji bagi Muslim Indonesia tak pernah surut meski ongkos naik haji (ONH) terus melonjak. Ini bisa kita lihat dari besarnya minat masyarakat untuk melaksanakan ibadah haji, yang angkanya terus meningkat setiap tahun.

Fenomena lain yang juga menarik, ibadah haji dilakukan berulang kali oleh kebanyakan mereka yang mampu. Adakah doktrin yang membentuk pola pikir mereka? Ataukah karena haji secara sosiologis telah dipandang sebagai ibadah yang sarat dengan atribut sosial?

Tulisan ini membahas makna simbol dalam ibadah haji di kalangan masyarakat Muslim dalam perspektif sosio-antropologis. Vredenbregt (1991: 45) menganggap ibadah haji sebagai ritus kehidupan Muslim Indonesia yang identik dengan fase transisi menuju fase baru.

Mengikuti tipologi Clifford Geertz, Vredenbergt membagi ritus kehidupan haji dalam tiga kategori: kategori anak muda, kategori usia lanjut, dan kategori pegawai negeri pensiunan.

Pertama, bagi anak muda, ibadah haji menjadi penutup ideal setelah pendidikan di pesantren dan sekaligus akhir masa remaja. Jika seorang remaja sudah berhaji, berarti ia telah memasuki status baru, dan dipertegas dengan nama baru yang diperoleh dari Tanah Suci, plus segala atribut yang disandangnya.

Kedua, haji bagi usia lanjut. Bagi usia lanjut, ibadah haji dianggap sebagai akhir dari perjalanan hidup untuk mengabdikan diri pada kehidupan beragama dan menutup fase baru.

Ketiga, haji pensiunan, yaitu melaksanakan ibadah haji setelah pensiun. Bagi mereka, ibadah haji dianggap sebagai akhir suatu fase kehidupan baru.

Kelompok terbang pertama calon jemaah haji embarkasi Lombok, naik ke pesawat yang akan menerbangkan mereka ke Tanah Suci, Rabu (7/6/2023).
DOKUMENTASI BANDARA LOMBOK

Kelompok terbang pertama calon jemaah haji embarkasi Lombok, naik ke pesawat yang akan menerbangkan mereka ke Tanah Suci, Rabu (7/6/2023).

Status sosial baru

Di kalangan masyarakat Muslim Indonesia—khususnya Madura dan Jawa—ada tradisi bagi jemaah haji untuk mengganti nama lama menjadi nama baru, yang diberikan oleh seorang syeikh di Mekkah.

Penggantian nama ini bagi masyarakat perdesaan seolah merupakan keharusan. Dianggap sesuatu yang tidak lazim dan tidak etis apabila setelah itu masih ada orang yang memanggil dengan nama dan panggilan lama, kecuali bagi orang yang tak tahu atau belum mengenalnya. Oleh sebab itu, atribut haji (seperti songkok putih, sorban, dan lain-lain) harus dipakai.

Selain itu, mulai dari keberangkatan hingga kepulangan, juga dilakukan seremonial yang meriah. Mulai dari selamatan, menyediakan oleh-oleh untuk tetangga dan tamu, hingga acara ritual-seremonial lain.

Penghormatan untuk jemaah haji diselenggarakan melalui upacara walimat al-safar. Upacara penuh nuansa ritus dan sakral ini biasanya dilakukan tujuh hari sebelum calon haji memasuki asrama haji, dipimpin seorang ulama lokal (kiai).

Upacara yang diisi dengan ceramah agama berisi nasihat dan pesan-pesan haji itu juga dijadikan momentum permintaan maaf calon haji kepada sanak keluarga dan para tamu, karena keberangkatan haji juga dipahami sebagai ibadah yang mempertaruhkan jiwa dan raga. Pasrah untuk dipanggil oleh Allah SWT di Tanah Suci.

Bahkan, sebagian dari mereka, khususnya kalangan orang tua, ingin meninggal di sana karena meyakini meninggal di Tanah Suci lebih mulia dan dijamin masuk surga (Farida, 1999: 34).

Mekkah diasumsikan sebagai ”miniatur akhirat” karena di situ ditunjukkan azab dan ganjaran.

Haji di kalangan masyarakat Muslim juga dipahami sebagai media ”pembuktian” atas amal baik dan buruk sebelumnya. Ada kepercayaan, mereka yang sebelumnya berperilaku kurang terpuji, selama prosesi ibadah haji berlangsung, akan mengalami kesulitan. Misalnya, kehilangan barang, kesasar, diinjak-injak, dipukuli, dan sebagainya.

Sebaliknya, jika seseorang banyak memperoleh pertolongan dan kemudahan selama berhaji, serta-merta itu diklaim sebagai ganjaran atas perbuatan kebajikan sebelumnya. Mekkah diasumsikan sebagai ”miniatur akhirat” karena di situ ditunjukkan azab dan ganjaran.

Gap misi dan simbol

​Ibadah haji dibawa oleh Nabi Ibrahim AS sekitar 3.600 tahun lalu, dan kemudian dilanjutkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Salah satu bukti jelas simbol humanisme ibadah haji adalah adanya ajaran tentang egalitarianisme, melarang berkata-kata jorok (rafats), berbuat maksiat (fusuq), dan berseteru satu sama lain (jidal).

Dalam khotbah perpisahan (wada’), Nabi menekankan pentingnya makna persamaan, keharusan memelihara jiwa, harta, dan kehormatan orang lain, larangan melakukan penistaan pada kaum lemah, baik dalam bidang ekonomi maupun bidang lainnya.

Pesan Nabi itu menjadi bukti sejarah bahwa ada relasi signifikan antara ibadah haji dan nilai-nilai kemanusiaan universal (humanisme). ​Di balik doktrin-doktrin itu, ibadah haji juga membawa pengalaman kemanusiaan yang konkret.

Hal ini dapat dilihat dalam ritusnya, seperti ditanggalkannya pakaian keseharian dan menggantikannya dengan pakaian putih yang suci (ihram). Juga dilarang berulah, merusak lingkungan, serta menyakiti binatang, tanaman, dan terlebih lagi terhadap sesama manusia.

Calon jemaah haji asal Jawa Timur saat mengikuti manasik di Surabaya, Jumat (5/5/2023).
HUMAS PROVINSI JATIM

Calon jemaah haji asal Jawa Timur saat mengikuti manasik di Surabaya, Jumat (5/5/2023).

Penanggalan pakaian itu secara tak langsung menafikan sekat antara si kaya dan si miskin dan mengeliminasi perbedaan status sosial. Itulah harapan ideal ajaran ibadah haji yang merupakan simbol egalitarianisme. Semua manusia bergerak seirama dan senada dalam posisi kemanusiaan yang sama.

Tak ada yang lebih mulia ataupun yang hina. Namun, sayang, tradisi yang berkembang di masyarakat dalam memahami pesan ibadah haji tersebut telah mengubah substansi makna dan pesan ibadah itu sendiri.

Pesan berihram dan larangan perbuatan rafats, fusuq, dan jidal tak dipahami secara kontekstual dan berkelanjutan, padahal seharusnya terbawa hingga kembali ke Tanah Air.

Penelitian penulis (2002) juga menunjukkan hal serupa. Ibadah haji di kalangan masyarakat petani santri dipahami sebagai ibadah yang sangat simbolistik dan verbal.

Ada persepsi umum di kalangan mereka, ”haji membuat orang menjadi kaya dan harta yang digunakan untuk berhaji tak akan pernah habis”.

Persepsi demikian ternyata tak dijumpai pada aktivitas ibadah yang lain, misalnya pada zakat, bahwa ”harta atau uang tidak akan pernah habis untuk dikeluarkan zakatnya”, atau untuk biaya pendidikan dan seterusnya. Bahkan, menurut mereka, menjadi sopir dan tidak tamat sekolah tidak menjadi masalah asal mereka sudah melaksanakan haji.

M Zainuddin,Profesor Sosiologi Agama, Rektor UIN Maliki, Malang

 

Powered By Blogger