Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 31 Maret 2017

”Gross Split” sebagai Alternatif (JUNAIDI ALBAB SETIAWAN)

Pola cost recovery (pengembalian biaya operasi) kepada investor dalam kontrak pertambangan kembali mengemuka di tengah situasi kesulitan pendanaan pembangunan yang sedang dihadapi negara. Untuk menghemat pengeluaran, pemerintah tak ingin lagi mengobral cost recovery, tetapi tetap berharap investasi di bidang minyak bumi terus meningkat. Salah satu cara, menawarkan kontrak bagi hasil gross split melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 8 Tahun 2017 yang dinilai tidak merepotkan dan membebani negara.

Di atas kertas, cost recovery yang tinggi akan berakibat pada berkurangnya pendapatan negara seiring dengan berkurangnya bagian negara. Sebaliknya, semakin kecil cost recovery ,semakin besar bagian negara. Namun, hukum sebab-akibat itu ternyata tidak serta-merta berlaku, menekan cost recovery di tengah situasi ketidakpastian harga minyak dunia justru membuat investor semakin tidak tertarik berinvestasi dan produksi minyak tetap menurun.

Dalam situasi sekarang, pemerintah harus berhati-hati mengambil jalan tengah kepentingan negara sebagai penguasa migas berhadapan dengan kepentingan investor. Tentu saja dengan tetap memperhitungkan sifat bisnis minyak yang unik karena mahal, rumit, dan berjangka waktu lama. Semangatnya bukan semata-mata memperkecil atau bahkan menghilangkan cost recovery,melainkan harus lebih fokus pada pengendalian, efisiensi, dan pengawasan.

Operasi perminyakan Indonesia saat ini lebih banyak memilih model hubungan kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC). PSC adalah model kerja sama buah pemikiran bangsa Indonesia. Dulu, PSC secara tegas dipilih sebagai pilihan model hubungan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina dan selanjutnya diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1994.

PSC diatur dalam Pasal 6 Ayat 1 UU No 22/2001 tentang Migas. Pasal ini mengatur bisnis hulu migas dilaksanakan dan dikendalikan melalui kontrak bagi hasil atau kontrak lain yang paling menguntungkan negara. Saat ini PSC masih dinilai sebagai model yang paling menguntungkan karena negara terbebas dari risiko rugi di tahap eksplorasi dan eksploitasi. Modal yang ditanggung oleh kontraktor dihitung sebagai biaya operasi yang hanya dikembalikan jika kegiatan usaha hulu menghasilkan produksi komersial.

Migas adalah kekayaan alam yang langsung "dikuasai" oleh negara. Hak menguasai negara ini selanjutnya diimplementasikan melalui mekanisme "kuasa pertambangan", di mana pemerintahlah yang bertindak sebagai wakil negara. Dengan demikian, kontrak bagi hasil sejatinya adalah pertemuan antara negara yang diwakili pemerintah berhadapan dengan perusahaan (kontraktor kontrak kerja sama/K3S). Perusahaan hanyalah kontraktor negara yang bekerja untuk negara.

Kontraktor wajib membawa modal dan teknologi serta menanggung risiko operasi perminyakan dalam suatu wilayah kerja. Biaya operasi yang digantikan termasuk biaya-biaya dalam kegiatan eksplorasi dan kegiatan produksi. Biaya operasi minyak inilah yang menjadi salah satu komponen yang akan menentukan besaran bagi hasil yang menjadi bagian negara dan kontraktor. Artinya, "pendapatan kotor" kontraktor minyak berasal dari bagian bagi hasil yang diterima setiap pihak, ditambah biaya operasi sehingga cost recovery merupakan konsekuensi logis sebagai kompensasi yang adil bagi kontraktor karena telah mengambil risiko rugi di depan.

Kendalikan dan awasi

Cost recovery selama ini cenderung membengkak, contohnya cost recovery kepada K3S tahun 2015 yang justru melebihi penerimaan negara, mencapai 13,9 miliar dollar AS atau lebih tinggi dibandingkan dengan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) migas tahun sebelumnya yang 12,86 miliar dollar AS.

Selain itu, temuan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan sumber kecurangancost recovery terutama menyangkutinvestment cost recovery dan interest cost recovery yang tak sesuai dengan persetujuan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) serta biaya tunjangan ekspatriasi untuk tenaga kerja asing. Kontraktor berkecenderungan ingin mengklaim semua pengeluaran sebagai cost recovery, padahal tak semuaitem biaya bisa dimasukkan dalam kategori yang boleh diganti. Selain itu, BPK menemukan adanya penggelembungan (mark-up) klaim cost recovery yang ditagihkan ke negara.

Penggelembungan cost recovery tahunan ini menjadi modus sejak lama dan belakangan justru mengalami kenaikan sejak 2014. Sebelum periode tersebut, penggelembungan klaim cost recoveryberada di bawah Rp 1 triliun, sebagaimana dilaporkan Indonesia Corruption Watch (ICW). ICW mengungkap indikasi penyimpangan penerimaan minyak dalam negeri pada 2000-2007 mencapai Rp 40 triliun daricost recovery (Kompas, 19/6/2008).

Pada tahun fiskal 2011 angka penggelembungan klaim mencapai Rp 0,28 triliun, kemudian pada 2012 dan 2013 melonjak menjadi Rp 0,86 triliun dan Rp 0,99 triliun. Bahkan, pada 2014 menembus Rp 5,14 triliun dan pada tahun fiskal 2015 tercatat Rp 3,89 triliun (Kompas, 12/5/2016).

Kontrak bagi hasil model cost recoveryhanya perlu diawasi agar tidak bocor. Mengingat dalam sistem ini K3S hanyalah kontraktor, maka jika terdapat kebocoran, yang harus diawasi semestinya bukan hanya K3S, melainkan juga pengawasnya, yakni SKK Migas dan Kementerian ESDM sebagai pemegang otoritas serta DPR terkait fungsi dalam penganggaran, juga kemungkinan adanya intervensi.

Mengapa demikian? Pemerintah melalui Peraturan Presiden No 9/2013 membentuk SKK Migas yang bertanggung jawab langsung kepada presiden untuk menyelenggarakan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak. Cost recovery hanya dapat dikembalikan kepada K3S setelah dapat persetujuan SKK Migas yang memiliki otoritas untuk menilainya, sedangkan SKK Migas adalah satuan khusus di bawah Kementerian ESDM. Sementara DPR bertanggung jawab berkaitan dengan fungsi penganggaran(budgeting) dan pengawasan yang disandangnya. DPR harus ketat mengawasi cost recovery agar tak mengganggu anggaran. Untuk itu perlu kejelian, ketelitian, dan kejujuran dari pemegang otoritas dalam bisnis hulu migas.

Alternatif "gross split"

Untuk mengatasi permasalahan seputarcost recovery, pemerintah menerbitkan Permen ESDM No 8/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Dalam sistem ini pembagian produksi gross(kotor) dilakukan tanpa mekanisme pengembalian biaya operasi. Dengan sistem ini, risiko produksi ditanggung sepenuhnya oleh kontraktor sehingga pemerintah tidak perlu repot-repot dan tidak perlu membayar cost recovery. Pilihan itu dianggap oleh pemerintah lebih praktis dan efisien. Keterlibatan pemerintah jauh berkurang, efisien, serta mengurangi kerumitan audit, birokrasi, dan "lobi-lobi".

Namun, selain aspek praktis di atas, perlu dipertimbangkan bahwa sistem ini akan berakibat pada kontrol negara terhadap produksi minyak dan kontrol negara atas pengelolaan reservoir jadi berkurang. Efisiensi yang diusung pemerintah akan berakibat rencana meningkatkan kegiatan eksplorasi tiga kali lipat dalam waktu lima tahun ke depan terabaikan karena kontraktor lebih fokus memperbesar produksi untuk penerimaan daripada berisiko mengeluarkan biaya untuk eksplorasi.

Selain itu, EOR (enhance recovery) dan lapangan marginal akan sulit dikembangkan karena membutuhkan biaya besar, sedangkan tingkat keuntungan dari investasi (internal rate of return/IRR)-nya kecil sehingga bertolak belakang dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang menginginkan peningkatan produksi. Ditambah pengembangan SDM lokal akan terhambat, transfer teknologi dan tingkat pemakaian komponen dalam negeri (TKDN) akan sulit diimplementasikan (Andang Bachtiar, 2016).

Potensi terjadinya kebocoran juga cukup tinggi, mengingat besaran bagi hasil antara bagian negara dan bagian kontraktor tidak sama pada setiap wilayah kerja. Besaran bagi hasil ini bergantung pada negosiasi yang mempertimbangkan komponen variabel berupa besarnya cadangan migas, lokasi, kondisi dan kriteria, tingkat kesulitannya, serta jenis lapangan migas apakah konvensional atau non-konvensional, dan komponen progresif yang terdiri dari produksi dan harga minyak bumi. Besaran bagi hasil yang tertulis dalam Permen No 8/2017—untuk minyak bagian negara 53 persen, kontraktor 47 persen, untuk gas bagian negara 58 persen, kontraktor 42 persen—hanyalah patokan. Dalam proses negosiasilah kemungkinan intervensi dan penyalahgunaan kewenangan akan terjadi dan dampaknya berlangsung puluhan tahun sesuai dengan jangka waktu kontrak. Selain itu, sistem ini tentu tak stabil karena mengikuti fluktuasi harga dan besaran produksi.

K3S adalah badan usaha yang pada umumnya berpikir praktis ekonomis untuk mengejar keuntungan. Badan usaha rela menanggung semua risiko produksi serta tak mendapatkan cost recovery, tentu dengan syarat bebas dari pengekangan berupa rumitnya persyaratan yang menghambat produksi. Maka, mengubah sistem di tengah UU Migas Tahun 2001 sebagai aturan utama yang masih labil dan situasi ketidakpastian harga minyak dunia adalah ide pragmatis yang emosional. Kebocoran cost recovery bukanlah soal lemahnya sistem, melainkan lebih disebabkan lemahnya pengawasan dan integritas oknum pelaksananya.

Kedaulatan energi

Mengingat begitu eratnya hubungan antara besaran cost recovery dan APBN, maka menjaga komitmen moral para petugas pengendali dan pengawas menjadi sangat menentukan. Temuan dan hasil audit BPK ataupun BPKP mengindikasikan penyimpangan, penyalahgunaan, dan lemahnya pengawasan. Maka, perbaikan semestinya lebih fokus pada pengendalian, pengawasan, dan mendorong efisiensi. Namun, efisiensi harus tetap berlandaskan tujuan dan kepentingan negara yang sudah diagendakan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Problem cost recovery adalah urusan praktis yang bisa diatasi dengan jalan praktis pula. Jika angka-angka yang ditagihkan adalah semestinya sesuai aturan, maka cost recovery akan berlaku wajar. Adapun sistem gross split bisa saja ditawarkan sebagai alternatif, tetapi tidak untuk dipaksakan karena tak ada jaminangross split lebih menguntungkan ketimbang cost recovery. Kebijakan ini tak akan bisa dirasakan dalam waktu dekat karena bisnis migas bukan kegiatan instan. Revisi harus dilakukan secara berhati-hati dan terutama untuk memelihara iklim investasi bisnis hulu minyak yang adil bagi semua pihak. Selain pemerintah memperoleh hasil yang maksimal, di saat yang sama industri migas harus tetap berlangsung baik dan memperoleh hasil dari jerih payah yang menjadi haknya.

JUNAIDI ALBAB SETIAWAN, ADVOKAT DAN PENGAMAT HUKUM MIGAS

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2017, di halaman 6 dengan judul ""Gross Split" sebagai Alternatif".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Pemimpin Keteladanan (ASEP SALAHUDIN)

Defisit keteladanan, inilah yang sering terjadi dalam politik kepemimpinan kita. Keteladanan acap kali absen dalam diri sang pemimpin sehingga nyaris ritus demokrasi lima tahunan hanya menghasilkan kaum penguasa, bukan negarawan. Hanya melahirkan mental menak, bukan para pemimpinyang siap berkhidmat untuk masyarakat.

Peristiwa bancakan anggaran KTP elektronik (KTP-el) yang dilakukankebanyakan anggota Dewan semakin memastikan bagaimana kaum pemimpin yang seharusnya memberikan contoh baik justru memanggungkan perilaku jahiliah. Padahal, harkatseorang pemimpin itu bukan diletakkan pada hebatnya retorika dan manisnya kata-kata, bukan pada rautmurah senyum, melainkan justru pada keteladanan itu sendiri, pada satunya kata dengan perbuatan.

Benar yang dibilang WS Rendra, "perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata". Perjuangan adalah bagaimana sumpah itu tak menjadi sampah, janjidapat terbukti, visi dan misi mampu diaksentuasikan menjadi bagian dari pengalaman politik harian kebangsaan yang mempercepat terwujudnya negara kesejahteraan. Kata Kong Fu Tse, "Ciri-ciri orang yang berjiwa besar ialah menjadi teladan dan kemudian ia minta agar orang-orang lain mengikutinya."

Tidak ada yang lebih cepat menular daripada teladan perbuatan baik diikuti oleh perbuatan baik, sebagaimana perbuatan buruk beranak pinak menjadi perbuatan buruk pula (Francois de La Rochefoucauld). Teladan itu merembes ke bawah bukan merangkak ke atas (George Rona);tak ada yang begitu cepatberjangkit seperti teladan (Charles Kingsley), dalam kata-kata Nabi Muhammad SAW, "Lihatlah apa yang diperbuatnya bukan apa yang dikatakannya" karena "keteladanan lebih mujarab ketimbang perkataan" (Imam Ali).

Di sinilah penting menyimak terus riwayat manusia pergerakan. Bagaimana mereka diterima khalayak dan akhirnya jadi pemimpin bangsa karena mereka dengan riil memberi teladan tentang hidup sederhana, kejujuran yang dijadikanhaluan utama kehidupannya, keteguhan dalam memegang prinsip, selarasnya apa yang digelorakan dengan perilaku keseharian.

Tak sekadar lambang

Bahwa proklamasi yang dibacakanSoekarno-Hatta bukan sekadar lambang bangsa ini keluar dari sekapan kaum penjajah, melainkan juga melambangkan sebuah tindakan dari serangkaian wacana yang telah dimatangkan pada masa sebelumnya. Atas nama keteladanan,mereka tak hanya berani mengorbankan benda, tetapi juga siap mempertaruhkan nyawanya.

Ini juga kunci utama keberhasilan perubahan sosial yang dilakukan para pemimpin besar dan para nabi. Model kepemimpinan yang dikembangkan sangat sederhana, tetapi memiliki daya jelajah perubahandahsyat: model keteladanan menjadi suluh, menjadi obor yang menerangi semesta.

Nabi Isa tak saja menyerukan risalah cinta damai, tetapi tubuhnya sendiri juga menyimbolkan diri yang intim menyatu dengan kesantunan. NabiMusa bukan hanya mempromosikan keberanian mengukuhi prinsip kebenaran, melainkan dirinya yang memimpin langsung merobohkan penguasa tiran Firaun. Nabi Muhammad SAW bukan hanya berkhotbah di masjid tentang kesederhanaan, beliau sendiri yang mengambil pilihan rumahnya menyatu dengan masjid, menjahit sendiri pakaiannya, banyak berpuasa, dan tidak pernah berdusta. Demikian juga Sidarta Gautama yang dengan heroik melepaskan seluruh takhta kekuasaan demi menyambut terang di bawah pohon bodis dan setelah wahyu itu diturunkan dengan lantang diserukannya keniscayaan kekuasaan dikelola lewat cara yang benar dan menjunjung tinggi akal sehat.

Dalam sebuah narasi teologis terungkap bahwa salah satu yang menjadi penyebab kehancuran Bani Israel sehingga negaranya ditimpa petakaadalah karena mereka terlampau banyak "cakap" tetapi lupa bertindak, terlalu banyak berdiskusi, tetapi alpa menajamkan kepekaan nurani.

Melampaui khotbah

Khotbah keagamaan dan pidato kebangsaan memang penting, tetapi yang lebih penting bagaimana khotbah itu menginjeksikan kesadaran kepada seseorang, baik dalam konteks keumatan maupun kebangsaan, untuk melakukan transformasi sosial menuju karya dan tindakanbermakna. Dari ortodoksi ke ortopraksi.

Seluruhnya memang bermula dari kata, tetapi kata-kata itu agar memiliki "rajah" harus mempunyai kaki tangan berupa kerja, karya, dan kenyataan. Betul apa yang dibilang Hannah Arendt bahwa hakikat manusia adalah kerja. Seluruh kegiatan, termasuk kegiatan politik, sosial,dan kebudayaan, adalah rangkaian kehidupan manusia yang berhubungan denganpraksis.

Menurut Arendt, vita activa terdiri atas tiga elemen dasar: kerja (labor), karya (work), dan tindakan (action).Kerja (labor) adalah cara kita melakukan aktivitas setiap hari agar hidup seperti makan dan minum. Kerja merupakan aktivitas untuk memenuhi hajat biologis. Karya (work) adalah aktivitas produktif sebagai satu proses mencapai tujuan material.

Karya, kata Arendt, menciptakan dunia di sekitar kita. Karya (work) dapat selalu dibedakan dengan kerja (labor). Tindakan (action) adalah juga aktivitas produktif, tetapi tidak menyangkut benda, dalam pengertian material. Tindakan adalah apa yang dilakukan manusia ketika mereka berkomunikasi satu sama lain, memperlakukan orang lain dengan bijaksana termasuk kesediaan masuk dalam pengalamanpluralitas, memandang kemajemukan sebagai undangan eksistensial agar manusia satu sama lain bisa bertindak secara bijak, rasional, dan memahami filosofi dari kemajemukan. Manusia harus mengorganisasidiri mereka sendiri dalam tindakan, terutama menyangkut politikyang notabene berhubungan dengan orang banyak (Benyamin Molan, 2009).

Jika Decartes menyebut berpikir sebagai modus eksistensial manusia, dalam konteks negara, bukan hanya berhenti sebatas berpikir, melainkan juga bekerja, "aku bekerja, maka aku ada". Bekerja menjadialasan utama di balik kehadiran manusia. Wilfred Cantwell Smith menulis,"Keyakinan eksistensial merupakan kesanggupan untuk hidup pada suatu level yang melampaui godaan materi dan kesenangan duniawi, kemampuan masuk dalam aras transenden. Ucapan, perbuatan, dan tindakan mencerminkan saluran suci epifani ilahi."

Pemimpin dan atau calon pemimpin berhentilah bicara dan berwacana.Istirahatkan kata-kata, simpan kalimat rayuan gombal, bekerjalah dengan intim dan sepenuh jiwa.Tegas dan bertindaklah sesuai kapasitas. Berikan rakyat keteladanan. Saatnya keteladanan berbicara dan menjadi pandu yang tampil di muka.

Kita tidak membutuhkan sama sekali kerumunan pemimpin berwajah dasamuka, memburu citra, dan hanya cakap mengobral kata-kata yang dianggit dari kitab partisan yang sarat kepentingan kelompok. Pemimpin harus memastikan kehadirannya dengan bekerja. Bekerja benar, ikhlas, jujur, rasional, dan tidak korup. Setelah itu, tanpa diminta, segenap warga akan memberikan dukungan sepenuh jiwa.

ASEP SALAHUDIN, WAKIL REKTOR I IAILM PESANTREN SURYALAYA; KETUA LAKPESDAM PWNU JAWA BARAT

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2017, di halaman 7 dengan judul "Pemimpin Keteladanan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Membangun Desa secara Inklusif (BAMBANG ISMAWAN)

Permasalahan perdesaan lambat laun kian kompleks dan berlapis-lapis. Kemiskinan, ketergantungan, ketertinggalan, sempitnya lahan pertanian, rendahnya produktivitas, rendahnya kualitas sumber daya manusia, dan pengangguran tak kentara kiranya sudah menjadi masalah khas perdesaan.

Permasalahan itu kemudian berkembang lagi dengan ketunakismaan (landlessness), menajamnya ketimpangan, melemahnya kohesi sosial, dan eskalasi ancaman bencana lingkungan. Bakal bertambah runyam jika, misalnya, korupsi ikut merambah daerah perdesaan bersamaan dengan mengalirnya sejumlah besar dana ke desa-desa.

Kemiskinan perdesaan itu sendiri tidaklah sesederhana ungkapannya karena di dalamnya bisa tercakup gizi buruk; rumah tak layak huni; kurangnya akses terhadap layanan pendidikan, kesehatan, air bersih, dan sanitasi lingkungan.

Kompleksitas permasalahan perdesaan menjadikan tidak ada satu pun pendekatan tunggal yang dapat diklaim sebagai solusi paling mujarab. Kehadiran Dana Desa tak serta-merta mampu mengatasi berbagai permasalahan perdesaan yang cenderung akumulatif, berkarat, dan telah berpuluh-puluh tahun lamanya.

Pendekatan inklusif

Boleh jadi dibutuhkan waktu cukup panjang dan berbagai pendekatan untuk diintegrasikan dan disinergikan guna mengatasi masalah perdesaan dan mereformasi desa-desa kita. Salah satunya adalah pendekatan inklusif. Pendekatan ini dapat dilaksanakan secara simultan dengan pendekatan-pendekatan lainnya, termasuk di antaranya pendekatan teknologi dan pendekatan kewirausahaan sosial.

Melalui pendekatan inklusif, seluruh anggota komunitas desa, baik petani, nelayan, buruh tani, perajin, kaya, miskin, bahkan kelompok difabel, terlebih kaum perempuan, diberikan peluang yang sama untuk terlibat dan berpartisipasi dalam membangun desa, termasuk dalam pembangunan sosial dan pemberdayaan kelompok rentan, melalui suatu proses yang transparan, partisipatif, dan demokratis.

Proses itu dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dikenal sebagai musyawarah desa. Para warga desa secara kolaboratif dan kolektif menentukan nilai-nilai dan kebutuhan mereka sendiri serta mengartikulasikan tujuan dari program-program yang dikehendaki beserta cara-cara mencapainya.

Dengan pendekatan dan proses seperti itu, para warga dari kelompok rentan, yang selain miskin mungkin juga kurang berpendidikan serta kaum perempuan desa, akan merasa lebih "dimanusiakan" dan dihargai sebagai sesama warga desa yang ikut menentukan nasib desanya sendiri.

Partisipasi seluruh warga desa dengan didampingi dan difasilitasi oleh para ahli dan pemerintah desa, serta pemerintahan pada level di atasnya, akan mengawalisuatu proses pembangunan desa secara inklusif.

Pendekatan tersebut hendaknya juga diutamakan dalam pengelolaan Dana Desa untuk pembangunan desa yang sesuai dengan kebutuhan warga, pemberdayaan masyarakat, penerapan teknologi tepat guna, upaya konservasi lingkungan, mitigasi bencana lingkungan, dan pengembangan pranata sosial-ekonomi desa, khususnya badan usaha milik desa (BUMDesa) dan koperasi berbasis warga perdesaan serta kelompok-kelompok swadaya masyarakat.

UU No 6/2014 telah memberikan solusi bahwa desa bisa mendirikan BUMDesa cukup melalui musyawarah dan dikukuhkan dengan peraturan desa.

BUMDesa dan koperasi

Kelompok rentan perdesaan, khususnya petani kecil dan buruh tani, sangat mungkin tidak memiliki akses untuk memberikan kontribusi signifikan dalam penyertaan modal BUMDesa, sebagaimana kelompok elite desa dan pemerintah desa.

Akan tetapi, setidaknya mereka akan dapat menerima manfaat dalam bentuk harga produk dan rantai pasok yang lebih adil, biaya input dan biaya pemasaran yang lebih ekonomis, serta program-program bantuan sosial tertentu, bahkan tersedianya lapangan pekerjaan sejalan dengan berkembangnya BUMDesa tersebut.

UU No 6/2014 secara implisit menghendaki BUMDesa hadir sebagai lembaga kewirausahaan sosial perdesaan.

Selain itu, kelompok rentan perdesaan juga dapat membangun wahana pemberdayaan dengan membentuk koperasi berbasis kelompok-kelompok swadaya. Sebagai catatan, tentu saja koperasi ini tidak menafikan penyertaan modal dari kelompok elite desa ataupun pemerintah desa.

Koperasi ini dapat menggarap bidang-bidang usaha penyediaan bahan-bahan pokok dan layanan keuangan mikro, sedangkan BUMDesa mengelola sumber daya alam, layanan umum, dan penyediaan sarana produksi pertanian, serta penyaluran program-program bantuan dari pemerintah pusat, provinsi, atau kabupaten.

Bukan itu saja, kelompok rentan perdesaan, tak terkecuali perempuan, memiliki peluang untuk memperoleh pekerjaan dan meningkatkan pendapatan dari proyek-proyek infrastruktur fisik perdesaan yang dilaksanakan setiap tahun secara swakelola dan gotong royong.

Dengan demikian, akanterbangun suatu pola alokasi sumber daya dan distribusi pendapatan yang adil, ketika kelompok elite desa akan memperoleh tambahan pendapatan dari hasil "urun" modalnya di BUMDesa, sementara kelompok-kelompok rentan diberdayakan melalui koperasi, peluang pekerjaan dari berkembangnya BUMDesa, dan dari pelaksanaan proyek-proyek pembangunan infrastruktur fisik perdesaan.

Masih ada lagi manfaat lainnya, yakni terbukanya peluang-peluang usaha dengan dana bergulir dan layanan keuangan mikro serta program-program pemberdayaan masyarakat.

Sinergi antara BUMDesa yang berkarakter wirausaha sosial dan koperasi berbasis warga desayang berkarakter wirausaha kolektif, bersamaan dengan pemanfaatan Dana Desa secara efektif baik untuk pembangunan desa maupun pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan inklusif, dan disokong oleh pemerintahan desa dengan tata kelola yang baik, akan memberikan jaminan terbebasnya desa-desa dari keterbelakangan dan kemiskinan serta terbangunnya desa-desa yang maju, mandiri, dan sejahtera.

Semoga.

BAMBANG ISMAWAN, PENDIRI DAN KETUA DEWAN PEMBINA YAYASAN BINA SWADAYA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2017, di halaman 6 dengan judul "Membangun Desa secara Inklusif".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Penguatan Indonesia-Perancis (Kompas)

Kunjungan Presiden Perancis Francois Hollande ke Indonesia bersejarah. Sebab, presiden Perancis terakhir yang datang ke Indonesia terjadi tahun 1986.

Saat itu Perancis dipimpin Presiden Francois Mitterrand.

Kunjungan kali ini terjadi di saat Uni Eropa berusia 60 tahun dan memulai sejarah baru pasca Brexit dan di saat Perancis akan melaksanakan pemilu pada April. Ini akan menjadi bulan-bulan terakhir pemerintahan Hollande karena ia tidak mencalonkan diri lagi.

Indonesia dan Perancis memiliki sejumlah kemiripan, antara lain penduduknya yang multikultur. Negara yang mayoritas warganya beragama Katolik Roma ini memiliki sekitar 5-10 persen warga Muslim. Sementara Indonesia, selain menjadi negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia juga menjadi rumah bagi agama Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.

Kesamaan lainnya, Indonesia dan Perancis pernah menjadi korban serangan terorisme yang masif. Perancis merupakan negara di Eropa yang bertubi-tubi mengalami serangan teror sepanjang 2015-2016. Terkait itu, Indonesia dan Perancis bersepakat menjalin kerja sama untuk memerangi terorisme dan ekstremisme global. Terlebih saat ini terorisme memasuki wilayah digital, metode yang terus berkembang dan jenis serangan yang makin bervariasi.

Aksi-aksi terorisme secara tak langsung telah menumbuhkan semangat xenofobia yang anti Islam dan anti migran, bukan saja di Perancis, melainkan juga di negara-negara Eropa lainnya. Bahkan, kandidat presiden Perancis dari partai ekstrem kanan, Marine Le Pen, saat ini menjadi kandidat yang paling populer menurut berbagai jajak pendapat.

Bangkitnya gelombang populisme menimbulkan keprihatinan dan kekhawatiran bukan saja di Eropa, melainkan juga di negara-negara lainnya, khususnya yang mayoritas berpenduduk Muslim seperti Indonesia. Perancis tentunya ingin melihat bagaimana semangat toleransi bisa berjalan di Indonesia yang multi-agama dan multi-etnis serta bersama-sama menggalang kekuatan untuk menekan semangat xenofobia.

Bagi Indonesia, kunjungan semacam ini kembali menunjukkan betapa kemampuan Indonesia untuk merawat keragaman menjadi harta yang luar biasa berharga. Di mata dunia, Indonesia tak ubahnya "laboratorium" yang selalu menjadi sumber inspirasi tentang demokrasi dan toleransi.

Selama hampir 72 tahun merdeka, bangsa ini telah berhasil melewati beragam ujian yang berat karena keyakinannya untuk mempertahankan fondasi NKRI, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, jangan sampai perselisihan politik ataupun ambisi kekuasaan menggoyang fondasi keutuhan bangsa ini.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2017, di halaman 6 dengan judul "Penguatan Indonesia-Perancis".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Keniscayaan Asian Games (Kompas)

Janji Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa peraturan presiden terkait penyelenggaraan Asian Games selesai pekan depan membuat lega semua pihak.
TOTO S

Paling tidak dalam dua bulan terakhir Panitia Penyelenggara Asian Games Indonesia (Inasgoc) menunggu keluarnya peraturan presiden (perpres) tentang pengadaan barang dan jasa Asian Games 2018.

Dengan perpres itu, Inasgoc dapat mencari sponsor, mengelola anggaran, dan mengerjakan persiapan Asian Games yang tinggal 17 bulan lagi, termasuk mencairkan dana Rp 500 miliar dari APBN 2017.

Wapres Jusuf Kalla selaku Ketua Tim Pengarah Panitia Penyelenggara Asian Games 2018 menyatakan, rancangan perpres tengah difinalisasi di tingkat eselon I lintas kementerian dan dipastikan minggu depan selesai.

Wakil Presiden Inasgoc Muddai Madang mengklaim setidaknya ada 11 pihak yang bersedia menjadi sponsor dan sudah bekerja sama dengan Dewan Olimpiade Asia (OCA). Namun, Inasgoc dan pemerintah masih akan menegosiasikan pembagian dana hasil sponsor.

OCA meminta 50 persen, padahal Komite Olimpiade Internasional (IOC) hanya meminta 10 persen dari dana hasil sponsor Olimpiade. Itulah antara lain yang akan dibicarakan Inasgoc dengan Presiden OCA Sheikh Ahmed al-Fahad al-Sabah saat berkunjung ke Indonesia, 17-18 April. Inasgoc sendiri tidak lagi punya banyak waktu untuk mempersiapkan penyelenggaraan Asian Games yang menurut rencana dibuka pada 18 Agustus 2018 itu.

Apalagi, pemerintah minta Inasgoc mengurangi biaya penyelenggaraan dari Rp 8 triliun menjadi Rp 4 triliun sehingga pada 2017 Kemenpora hanya menganggarkan dana Asian Games Rp 500 miliar. Pemerintah minta Inasgoc mengurangi dari 42 cabang olahraga yang dipertandingkan menjadi hanya 36 cabang.

Inasgoc memperkirakan biaya penyelenggaraan tidak mungkin kurang dari Rp 6 triliun. Sebesar Rp 1,5 triliun diperoleh dari sponsor, sisanya dari APBN. Namun, target itu terlalu ambisius mengingat pada Asian Games 2014 di Incheon, Korea Selatan, yang menelan biaya sekitar Rp 21,7 triliun, dana dari sponsor swasta hanya 2 persen.

Soal pembiayaan memang dilematis. Di tengah ketidakpastian ekonomi global, amnesti pajak yang tak sesuai harapan, dan besarnya pembangunan infrastruktur, dana Rp 4,5 triliun tidaklah kecil. Keinginan Wapres Jusuf Kalla memimpin rapat pencarian sponsor sudah tepat, mengingat Asian Games ditonton sekitar 2 miliar orang Asia.

Tinggal kebersamaan seluruh bangsa untuk mengemas Asian Games jadi tontonan menarik agar bisa dijual. Dan, itu sesuatu yang niscaya kita lakukan seperti pada SEA Games 2011 di Jakarta dan Palembang.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2017, di halaman 6 dengan judul "Keniscayaan Asian Games".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Mengungkap "Mark Up"//Jangan Revisi//Pencabutan Subsidi (Surat Pembaca Kompas)

Mengungkap "Mark Up"

Sungguh luar biasa dan gila-gilaan tindakan para pejabat dan elite politik di negeri ini. Bersama-sama mereka menggelembungkan harga (mark up) sebuah KTP elektronik sampai lebih dari 300 persen dengan menjual nama penduduk dewasa Indonesia lalu mereka saling berbagi menikmati uang jarahannya.

Dana yang dianggarkan, lebih dari Rp 5 triliun, hanya 49 persen yang digunakan untuk 165 juta penduduk dewasa Indonesia. Sisanya 51 persen itulah yang mereka bagi-bagi dengan kroninya. Marah rasanya mengetahui semua itu.

Sebagian besar penduduk, apalagi warga Jakarta, pasti tahu harga sebuah kartu elektronik. Paling mahal Rp 10.000. Buktinya, kartu elektronik berlangganancommuter line dari PT KAI untuk kereta api commuter line bisa dikembalikan dengan harga Rp 10.000. Menurut Boyamin, seorang aktivis, modal atau biaya kartu elektronik hanya Rp 7.000. Apalagi jika dipesan dalam jumlah banyak, bisa lebih murah lagi.

Jika mengikuti harga mark up para pencuri uang rakyat itu, berarti Rp 5 triliun dibagi jumlah penduduk dewasa 165 juta jiwa, hasilnya adalah Rp 30.300 per KTP. Bayangkan berapa uang negara yang mereka selewengkan untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya.

Sungguh rakyat berharap kepada KPK agar dapat mengusut, menuntaskan, sekaligus menghukum orang-orang jahat ini. Kami ingin keadilan. Gubernur-gubernur kami di Sumatera ada yang menggelembungkan harga helikopter, ada yang menggelembungkan harga mobil pemadam kebakaran. Mereka didenda dan dipenjarakan.

Pemerintah tidak boleh membedakan orang Jakarta dengan orang Sumatera. Biar tahu rasa!

PANDU SYAIFUL, PENSIUNAN GURU CENDANA, RIAU

Jangan Revisi

Dengan surat ini, saya ingin berbagi unek-unek dengan para pembaca lain. Sebagaimana yang saya baca pada media akhir-akhir ini, ada rencana untuk merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Saya berpendapat bahwa sebagaimana konsistensi pemerintah yang terus menolak membahas rancangan Undang-Undang Pertembakauan, maka pemerintah juga harus berani memberhentikan wacana revisi Undang-Undang No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Mengapa? UU Nomor 30/2002 tentang KPK itu sebetulnya sudah baik. Hanya perlu dalam pengaplikasiannya.

Yang mesti didorong adalah penindaklanjutan kasus dugaan korupsi proyek-proyek besar, misalnya proyek KTP-el atau yang lainnya. Jangan sampai kasus ini mengalami "cacat proses" atau berlanjut dengan terbata-bata karena jika demikian berarti ada rekayasa yang menyasar para pemimpin KPK jilid 4.

Semoga hal-hal yang tidak diinginkan ini tidak terjadi, seperti penonaktifan pemimpin KPK jilid 4 dengan berbagai kasus rekayasa yang menjerat. Kita sudah melihat contoh-contohnya, dari Antasari sampai Abraham Samad. Oleh karena itu, mari kita dukung para pemimpin KPK agar tetap punya keberanian untuk mengusut dana korupsi "megaproyek" dengan nama-nama para pejabat di Indonesia.

MUH GALANG PRATAMA, JALAN DAHLIA, KELURAHAN BATANGKALUKU, KABUPATEN GOWA 92111

Pencabutan Subsidi

Saya pensiunan BUMN dengan uang pensiun seperempat dari UMR di DKI dan daya listrik di rumah 900 VA. Pada tanggal 22 Februari 2017 saya membayar tagihan listrik di kantor pos terdekat. Ternyata di tagihan ada kenaikan 30 persen dari bulan-bulan sebelumnya.

Merasa sebagai warga tidak mampu, maka sesuai edaran Kementerian ESDM, saya mengadukan kenaikan tagihan listrik tersebut ke kelurahan setempat dan diberi surat untuk mengurus keringanan pembayaran listrik dimaksud.

Berbekal surat keterangan itu, saya ke kantor PLN setempat dan mendapat penjelasan bahwa subsidi listrik di rumah saya sudah dicabut dan PLN tidak berwenang memberi keringanan tagihan listrik. Yang berwenang adalah kelurahan karena data-data semua ada di kelurahan.

Akhirnya saya kembali lagi ke kelurahan. Di sini pun petugas kelurahan tidak tahu instansi atau pejabat yang memutuskan pencabutan subsidi listrik di rumah saya tersebut.

Atas kasus tersebut, mohon kiranya Kementerian ESDM memberikan penjelasan dan solusi yang konkret.

CHUSAINI, JL KERJA BAKTI IV, KELURAHAN MAKASAR, JAKARTA TIMUR 13570

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Energi Politik KPK (HALILI)

Pengungkapan kasus megakorupsi KTP-el yang diduga melibatkan nama-nama besar politisi, pejabat negara, dan mantan pejabat telah dibuka oleh KPK. Lembaga anti rasuah kini berutang kepada publik ihwal penuntasannya.
TOTO S

Melihat begitu banyaknya politisi yang diduga terlibat dalam kasus KTP-el, penulis menduga, bukan perkara mudah bagi KPK untuk membongkar kasus ini hingga ke akar-akarnya dan menyeret semua pelakunya ke kursi panas pengadilan tindak pidana korupsi.

KPK membutuhkan suplemen energi politik dalam menuntaskan kasus korupsi yang melibatkan nama-nama kakap dari kelompok pelaku "paus".

Politik kekuasaan

KPK harus belajar dari kegagalan penuntasan kasus korupsi oleh kepolisian pada kasus mafia hukum dan korupsi pajak pada tahun 2010 dengan aktor sentral Gayus Tambunan. Pengungkapan kasus Gayus tidak betul-betul tuntas dan hingga kini menyisakan berbagai tanda tanya yang tidak dapat dijawab.

Mengapa Gayus hanya dijerat dengan kasus PT SAT dengan kerugian negara "hanya" Rp 571 juta, padahal pangkal kasus ini adalah kepemilikan rekening Rp 28 miliar dan deposito Rp 75 miliar oleh Gayus yang tidak sesuai dengan profil pendapatannya sebagai PNS golongan III dan diduga berasal dari korupsi pajak? Mengapa penegak hukum tidak menjerat Gayus dengan penggelapan pajak yang melibatkan tiga perusahaan besar yang dalam kesaksian Gayus di persidangan diakui sebagai sumber dari kepemilikan rekening Rp 28 miliar tersebut? Mengapa sebagian besar nama-nama kakap penegak hukum hanya diproses melalui mekanisme administratif, padahal mereka nyata-nyata disebut Gayus menjadi bagian dari tindak pidana korupsi dan mafia hukum di mana dia menjadi salah satu simpul di dalamnya?

Jawaban kuncinya, sebab kasus Gayus bersilang-sengkarut dengan politik kekuasaan saat itu. Pada akhirnya, kepolisian dan kejaksaan "tunduk" pada kekuatan-kekuatan besar politik.

Selain itu, pimpinan dan penyidik KPK saat ini juga harus mengambil pelajaran dari pengungkapan kasus Hambalang oleh KPK era kepemimpinan sebelumnya. Korupsi yang menurut data BPK merugikan negara Rp 706 miliar tersebut telah menyeret para politisi kunci bahkan menteri dari partai penguasa saat itu, yaitu Partai Demokrat.

Meski demikian, penetapan tersangka Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai katup penutup kasus Hambalang diwarnai kegaduhan politik. Bermula dari rilis hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (3/2/2013) yang menempatkan elektabilitas Partai Demokrat di angka 8,3 persen, para politisi senior Demokrat di Kabinet Indonesia Bersatu jilid II "mengadu" kepada Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI sekaligus Ketua Dewan Pembina dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat.

Dari Jeddah, Presiden kemudian secara khusus meminta KPK untuk segera menyelesaikan kasus Hambalang yang menyeret kader-kader Partai Demokrat, termasuk Anas (Kompas, 23/2/2013).

Tensi politik "kasus Anas" menguat setelah SBY mengambil alih kewenangan Anas sebagai Ketua Umum Demokrat. Melalui tangan Majelis Tinggi, SBY mendahului "takdir" penetapan tersangka oleh KPK. Pada konferensi pers tanggal 8 Februari 2013, SBY mengindikasikan bahwa tidak lama lagi Anas akan ditetapkan sebagai tersangka.

Kuatnya energi politik "kasus Anas" kemudian terjustifikasi dengan peristiwa sangat tidak biasa di KPK, yaitu bocornya draf surat perintah penyidikan (sprindik) yang menyebut status Anas sebagai tersangka.

Kegaduhan pemberantasan kasus korupsi proyek Hambalang memakan "korban" politik pada Pemilu 2014. Demokrat meluncur menjadi partai medioker dengan perolehan suara 10,19 persen, dari sebelumnya 20,85 persen suara dan memenangi Pemilu 2009.

Energi politik

Terdapat dua pelajaran penting dari kasus Gayus dan Hambalang. Pertama, politik kekuasaan tidak pernah secara tulus memberikan energi positif bagi pemberantasan korupsi.

Kedua, kegaduhan penuntasan kasus korupsi akan memberikan referensi valid bagi rakyat untuk menghukum parpol yang terlibat dalam penggarongan kekayaan negara.

Dalam konteks itu, KPK mestinya tidak surut selangkah pun dengan kekuasaan politik dalam penuntasan megakorupsi KTP-el. Betul, "ancaman" untuk merevisi UU KPK mengindikasikan kuatnya energi politik kontra KPK.

Namun, dukungan publik akan selalu menjadi anti tesis bagi politik kekuasaan yang menghambat pemberantasan korupsi. Pada kasus Cicak versus Buaya I dan II terlihat nyata betapa energi politik rakyat kepada KPK bak samudra yang tak pernah mengering.

Energi politik pemberantasan korupsi bagi KPK sejatinya selalu bersumber dari rakyat, bukan dari politik kekuasaan. Jadi, KPK tidak perlu berkecil hati meskipun silaturahim politik Presiden Joko Widodo dengan presiden periode 2004-2014 SBY tidak menjadikan megakorupsi KTP sebagai isu aktual yang penting untuk dibicarakan. Begitu pula ketika tidak tampak dukungan politik nyata bagi penuntasan kasus korupsi "berjemaah" KTP-el dari pertemuan pimpinan lembaga-lembaga negara di istana.

Sejarah perjalanan institusi anti korupsi sebelum KPK mengajarkan bahwa politik kekuasaan rezim memang tidak pernah memberikan dukungan sejati bagi lembaga pemberantas korupsi. Yang terjadi justru sebaliknya, berupaya melemahkan dan membubarkannya.

HALILI, PENGAJAR ILMU POLITIK DI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA; PENELITI DI SETARA INSTITUTE FOR DEMOCRACY AND PEACE

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2017, di halaman 7 dengan judul "Energi Politik KPK".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Kamis, 30 Maret 2017

Kebijakan Baru Pertanahan (BAMBANG KESOWO)

Pemerintah dan DPR saat ini sedang bersiap membahas Rancangan Undang-Undang Pertanahan. Artinya, sedang dipersiapkan kebijakan baru di bidang pertanahan.

Siapa yang berprakarsa, tidak lagi penting. Kabarnya, selain keinginan "menyempurnakan" Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), beberapa konsepsi baru tampaknya dimasukkan ke dalamnya. Latar belakang dan tujuannya sudah barang tentu baik. Secara akademik pasti sudah melalui kajian mendalam. Oleh karena itu, kita mesti berprasangka ada "gereget" yang positif di belakang itu semua. Bagian mana yang memerlukan perhatian?

Substansi dan arah kebijakan

Aspek teknik dan perumusan RUU pastilah ada. Begitu pula aspek ideologi, politik, dan pemerintahan yang terkait di dalamnya. Kalaupun jadi bahan perdebatan, mudah-mudahan tak sampai menjadi gegeran. Namun, aspek-aspek itu bukan obyek utama tulisan ini. Justru kewaspadaan terhadap kemungkinan timbulnya masalah yang menyertai beberapa substansi dan arah kebijakan baru di dalamnyalah yang akan dibahas dalam tulisan ini. Semua itu karena lingkup dan dampaknya yang pasti akan memberikan pengaruh, yang tidak akan sederhana terhadap penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan pembangunan.

Satu di antara beberapa substansi dan arah kebijakan baru itu rasa-rasanya malah akan menguji aspek yang lebih luas: cita berkehidupan berbangsa dan bernegara. Substansi dan arah kebijakan baru apa atau yang mana sajakah yang perlu kita cermati?

Pertama, perubahan jenis hak atas tanah. Semula dalam UU tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) 1960, dikenal beberapa jenis hak, seperti hak milik, hak pakai, hak guna bangunan (HGB), dan hak guna usaha (HGU). Dalam konsepsi baru ini, jenis hak itu disederhanakan menjadi hanya terdiri dari hak milik dan hak pakai. Idenya, HGB dan HGU akan menjadi hak pakai untuk bangunan dan hak pakai untuk usaha.

Kedua, introduksi (mungkin tepatnya formalisasi pengakuan) masyarakat (hukum) adat dan penguasaannya atas tanah ulayat. Sebagai pelaksana hak menguasai tanah negara, pemerintah dapat menetapkan berdasarkan syarat tertentu, keberadaan masyarakat (hukum) adat tertentu, di wilayah tertentu, dan menetapkan bidang tanah tertentu sebagai hak adat (ulayat) yang dikuasai masyarakat hukum adat dimaksud.

Ketiga, pencabutan (bagian) hak atas tanah yang dinyatakan sebagai "telantar", yang oleh pemerintah akan disediakan antara lain sebagai (dijadikan) obyek kebijakan reforma agraria (dalam RUU didefinisikan sebagai penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, atau pemanfaatan tanah yang berkeadilan disertai penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Singkatnya: dibagikan kepada rakyat).

Ketiga contoh tadi pastilah menggambarkan tekad politik pertanahan yang baru. Selain keinginan untuk lebih menampilkan cita kesejahteraan dan menyederhanakan administrasi pertanahan, introduksinya agaknya juga dimaksudkan untuk merefleksikan keinginan mewujudkan pengaturan yang berbasis tatanan sosial yang dahulu dikenal dalam masyarakat adat. Namun, sebaik-baik konsepsi dan tujuannya, yang tidak kalah penting adalah kesiapan elaborasi kebijakan baru tersebut, pranata dan implementasinya. Yang banyak diharapkan tentunya pelaksanaan yang mulus dan sejauh mungkin tidak menimbulkan persoalan baru, tidak menyebabkan kegaduhan, bahkan tidak menimbulkan kesulitan baru utamanya bagi rakyat dan dunia usaha.

Justru di tiga bagian itulah diperlukan kewaspadaan! Salah satu sebabnya sejauh ini memang belum jelas benar bagaimana kira-kira elaborasi konsepsi tadi, berikut operasionalisasinya. Ambil contoh soal penyederhanaan jenis hak atas tanah. Demi kepastian hukum, pastilah akan diperlukan yang namanya penyesuaian atau proses perubahan atau transformasi dari HGU dan HGB menjadi hak pakai tadi. Bukan saja diperlukan perlakuan dan jangka waktu transisi, melainkan juga proses administrasi yang akan berlangsung.

Berapa banyak HGU dan HGB yang harus dikonversi berikut penyelesaian sertifikat haknya? Kesiapan aspek administrasi ini sebaiknya tidak dipandang enteng, apalagi disepelekan. Bukankah masih begitu banyak bukti penguasaan atau pemilikan tanah yang sampai sekarang pun masih sangat banyak yang belum terselesaikan proses dan sertifikasinya?

Bagi dunia usaha yang berbasis pemanfaatan lahan, masalah itu menjadi sangat penting. Bagi kalangan dunia usaha, proses penyelesaian hak atas tanah untuk usaha yang ada saat ini pun masih banyak yang belum tuntas meski sudah bertahun-tahun diurus. Bagi dunia usaha, soal penyesuaian/ transformasi kebijakan baru tersebut akan menjadi proses baru yang tidak mudah, baik dari sisi waktu, tenaga, maupun biaya.

Bilamana di kalangan pelaku usaha yang sudah ada saja dirasakan tidak sederhananya menyelesaikan permasalahan pertanahan ini, bagaimana pemerintah akan berhasil meyakinkan calon investor yang demikian dielu-elu untuk masuk ke Indonesia? Masalah dana dan teknologi bisa diupayakan. Namun, jika menyangkut persoalan yang erat kaitannya dengan aspek kepastian, termasuk hak atas tanah/lahan, bisa-bisa mereka berpikir ulang dua kali atau lebih.

Adalah biasa dalam pelaksanaan perubahan jenis hak tadi diakomodasi teknik lama yang plastis sifatnya, baik secara hukum maupun politik. Bentuknya biasanya berupa sisipan ketentuan bahwa HGU atau HGB yang selama ini sudah ada akan tetap diakui. Namun, cara pandang ini membawa konsekuensi hadirnya duplikasi dan kondisi ini jelas tak baik dalam pembangunan sebuah sistem. Atau mungkin juga diberi transisi bagi penyesuaiannya, katakanlah tiga tahun atau lima tahun atau lebih. Dari segi teknis perundang-undangan, yang terakhir ini tampak seperti jalan keluar. Namun, bagi negara, pendekatan ini akan sangat menuntut kerja keras aparat pertanahan nasional. Mereka harus menyelesaikan penyesuaian ini di tengah masih menumpuknya kerja penyertifikatan tanah yang telah ada selama ini.

Berlarut-larutnya penyelesaian persoalan ini secara politis juga tak akan menguntungkan bagi pemenuhan janji politik untuk melakukan redistribusi tanah ataupun akomodasi kepada masyarakat (hukum) adat pada umumnya. Situasi yang ditimbulkan pun pasti akan menghadirkan kesan negatif di kalangan calon investor yang kini justru sangat diharapkan.

Beberapa ketidakjelasan

Dalam kaitannya dengan janji politik redistribusi tanah, kebijakan yang baru itu pun belum pula memberikan kejelasan setidaknya dua hal. Pertama, bagaimana syarat dan kondisi rakyat yang berhak menerima "pembagian" tanah. Kedua, tanah mana yang akan dibagikan dan bagaimana memperolehnya. Reforma agraria memang baru sebatas arah pokok. Keberhasilannya akan sangat ditentukan ketepatan konsep dan kehati-hatian tindak dalam mengelolanya. Tak terwujudnya program redistribusi tanah yang semasa UUPA dulu dibungkus dengan istilah land reform menunjukkan betapa isu redistribusi tanah berkaitan erat dengan aspek sosial, budaya, dan politik.

Bagi masyarakat Indonesia yang sedari awal hidup dengan corak agraris, tanah adalah soal sedumuk bathuk, senyari bumi…. Soal tanah sangat lekat dalam kehidupan mereka. Karena itu, tidaklah berlebihan menyatakan, sekali lagi, bahwa kesiapan konsepsi dan elaborasinya serta tersosialisasinya dengan baik di kalangan rakyat akan menentukan keberhasilan kebijakan. Sangat penting dihindarkan kesan bahwa redistribusi tanah yang dijanjikan semasa pemilihan presiden sekadar soal teknis bagi-bagi tanah.

Di tengah belum terselesaikannya perbedaan di antara kementerian tentang batas peta tanah yang mereka kuasai/kelola, perlu diwaspadai munculnya persoalan yang berawal dari keresahan dunia usaha tadi. Terutama mereka yang berusaha dengan basis pemanfaatan lahan. Saat ini berkembang kekhawatiran bahwa ujung-ujungnya pemerintah akan mengambil jalan paling mudah, yaitu "berburu" tanah di lahan yang sudah diberikan dengan hak pengusahaan. Kekhawatiran mereka bagai kian tersulut ketika dalam kebijakan baru tersebut juga diintroduksi lembaga pencabutan hak atas tanah yang dinilai "telantar".

Berkembang dugaan akan berlangsungnya mekanisme penilaian terhadap lahan usaha hutan tanaman industri atau perkebunan yang karena tahapan usahanya belum sampai pada jadwal pemanfaatan bagian lahan atau karena sesuatu kondisi tertentu (penyerobotan atau belum terselesaikannya penetapan tanda batas/peta dan karena itu belum dapat diselesaikannya sertifikat hak atas tanah), lantas dinyatakan "menelantarkan" lahan. Hal ini dinilai merisaukan. Dunia usaha menggambarkannya sebagai sesuatu yang akan mengganggu strategi/rencana usaha dan dalam jangka panjang kepastian usaha.

Masih dalam kaitannya dengan kekhawatiran tadi, adalah perwujudan janji penghormatan terhadap nilai-nilai adat yang akan dikukuhkan sebagai mendasari hukum pertanahan nasional. Introduksi kebijakan penyerahan pengelolaan tanah ulayat atau penyerahan tanah "untuk dikelola sebagai tanah ulayat" kepada masyarakat (hukum) adat dengan cepat menyulut kekhawatiran tersebut. Idealisme yang diusung dan tujuannya, sekali lagi, jelas baik. Namun, dalam kaitannya dengan semua kekhawatiran tadi layak juga ditimbang bahwa apabila pemerintah tidak akan mudah memperoleh lahan yang saat ini dikuasai/dikelola (dan masih dipertikaikan) berbagai kementerian untuk diberikan sebagai tanah ulayat, pemerintah juga akan mengambil cara pintas.

Membagikan bidang tanah tertentu (termasuk hutan) kepada rakyat atau diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat (hukum) adat pastilah tidak menjadi masalah jika itu berlangsung atas tanah yang masih dikuasai negara. Namun, pasti lain lagi soalnya jika tanah yang akan menjadi obyek redistribusi ataupun dijadikan tanah ulayat adalah bagian tanah negara yang sudah "dialokasikan sebagai/ bagi kegiatan usaha dan sudah diserahkan konsesinya" kepada badan usaha. Apa pun situasi dan alasannya, jika di kemudian hari ada penilaian bahwa bagian tertentu dari tanah tersebut "telah tidak dimanfaatkan dengan semestinya atau secara sepantasnya" dan dengan demikian diklasifikasi sebagai telantar atau telah ditelantarkan, maka bagian tanah itulah yang ditebak akan dijadikan obyek bagi pelaksanaan janji politik tadi. Dari sinilah awal berkembangnya kekhawatiran pelaku usaha.

Kewaspadaan terhadap situasi yang tak menguntungkan ini sebaiknya ditimbang dengan matang dan tak disepelekan, mengingat kementerian yang membidangi masalah kehutanan sendiri juga belum memiliki peta hutan yang sahih. Belum lagi benturannya dengan peta yang dimiliki instansi lain. Pada saat yang sama, kondisi tadi juga memerlukan perhatian ketika Badan Restorasi Gambut cepat atau lambat juga akan melakukan kerja berdasarkan peta gambut yang diklaimnya, terutama di daerah Kalimantan.

Tak kalah penting antisipasi filosofis, ideologi, dan politik terhadap kehadiran kebijakan berkenaan dengan introduksi masyarakat (hukum) adat meski di dalamnya juga disertakan niat "tetap dan sejauh masih seiring dengan semangat NKRI". Di satu sisi, penyelenggaraan negara RI memang mesti berlangsung dengan selalu menghormati tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada sebelum terbentuknya negara RI, dengan keaslian susunannya, termasuk segala aturan tak tertulis yang berlaku dan melandasi kehidupan mereka. Sebagai nilai, hal itu harus dihormati dan sejauh mungkin bahkan dicerminkan atau dijelmakan dalam segala pranata baru bagi negara. Namun, di pihak lain juga perlu dicermati berkembangnya anggapan, di tengah cita dan upaya mewujudkan sebuah negara modern, berlangsung pula "tarikan mundur" karena kita sendiri sekarang ini memunculkan kembali masyarakat (hukum) adat sebagai entitas baru.

Perlu kearifan dan antisipasi cermat untuk terlaksana dan terwujudnya kebijakan baru itu. Sebaliknya, ketidaksiapan dalam mengelaborasi dan menindaklanjuti bisa membuat kebijakan teronggok atau tersendat atau malah tidak dapat dilaksanakan. Di depan mata bangsa ini terpampang jelas tantangan kesenjangan, kemiskinan, dan penyediaan kesempatan kerja yang tidak ringan. Ketika tekad dan segala kemampuan yang dimiliki sedang difokuskan untuk membuat program guna mengatasi, termasuk meningkatkan sumber daya pembiayaan pembangunan, akan menjadi sangat repot jika kita masih harus berkutat dengan kebijakan baru yang tidak dapat berjalan atau bahkan menjadi jerat yang mengikat kaki dan tangan kita dalam gerak perekonomian nasional. Bahkan, memunculkan masalah baru di bidang administrasi pertanahan, sosial, budaya, politik, bahkan dalam bidang keamanan dan ketertiban.

BAMBANG KESOWO, PENGAJAR SEKOLAH PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UGM

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Maret 2017, di halaman 6 dengan judul "Kebijakan Baru Pertanahan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger