Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 30 September 2017

Sejarah dan Kebencian (GEGER RIYANTO)

Ketika konflik Nagorno-Karabakh-yang menorehkan tak kurang dari 25.000 korban jiwa-pecah, orang-orang mengingatnya sebagai ekses dari melemahnya Uni Soviet. Kelompok-kelompok yang ada di bawah kekuasaan Soviet mulai berani menuntut wilayahnya sendiri. Otoritas keamanan Soviet lambat dalam merespons instabilitas politik yang mengiringinya. Ujungnya, konflik dengan etnis-etnis lain pun tak tercegah.

Namun, apabila kita mencermatinya dengan lebih saksama, apa yang juga memantik peperangan Nagorno-Karabakh adalah imajinasi ihwal sejarah yang sarat kebencian dan ketakutan. Kala bentrokan dengan orang-orang Azerbaijan terjadi dan korban banyak berjatuhan di antara etnis Armenia, mereka kontan teringat pada genosida yang pernah dialami etnisnya pada awal abad ke-20.

Ketika itu, satu setengah juta jiwa orang Armenia ditaksir meninggal ketika kekuasaan Turki Utsmani melangsungkan pembersihan sistematis terhadap etnis mereka. Sisanya terusir dan terpencar menjadi diaspora di mana-mana.

Mengingat melalui kekerasan

Perasaan trauma yang mendadak hidup kembali ini menyulut orang-orang Armenia menyerang balik orang-orang Azerbaijan dengan kekuatan penuh. Orang-orang Azerbaijan, yang sudah puluhan tahun hidup bertetangga dengan mereka, dianggap tak ada bedanya dengan orang-orang Turki pada masa silam. Keduanya sama-sama Islam. Keduanya, karena itu, sama-sama dipandang sebagai musuh ontologisnya yang meraup kepuasan dengan memunahkan mereka.

Bahkan, sebagai balasan terhadap bentrokan di Sumgait yang menorehkan korban di pihak orang-orang Armenia pada 25 Februari 1988, pada tanggal yang sama empat tahun selepas bentrokan di Sumgait, tentara Armenia membumihanguskan Desa Khojali. Sebagai balas dendam terhadap orang-orang Azerbaijan, para tentaranya membakar desa yang (ironisnya) ditinggali warga Armenia tersebut, menjarahi rumah-rumahnya, dan menembaki para warga sipil yang tak berdaya.

Kendati mungkin bukan hal yang nyaman diceritakan, konflik Nagorno-Karabakh merupakan ilustrasi yang sangat kuat perihal bagaimana kita mengingat sejarah. Ingatan adalah catatan sejarah yang rawan bias dan penyimpangan. Hal ini sudah jelas. Namun, spiral kekerasan yang menggulung orang-orang Armenia memperlihatkan kita mengingat melalui kekerasan yang kita alami.

Hal keliru mengatakan bahwa kecenderungan ini hanya tergambar di satu-dua kasus. Mitologi-mitologi kolosal, dari IliadMahabharata, hingga Game of Thrones, menggambarkan sejarah bergerak dari dan atau menuju peperangan. Mengapa? Peperangan lebih mudah terpacak ke pikiran para penikmat sebagai momen puncaknya.

Hingga hari ini, Auschwitz tak pernah habis diceritakan dalam novel ataupun film. Mengapa? Kepiluan yang tergali darinya akan mengundang orang untuk terus berempati dengannya. Mengapa dari antara narasi-narasi sejarah kemerdekaan satu bangsa yang jamak diingat orang-orang adalah peperangannya? Jawabannya masih sama: drama kekerasan terhadap yang lain adalah yang paling tertancap.

Para pengkaji hubungan antara kekerasan dan ingatan, toh, membenarkan pernyataan yang suatu waktu pernah disampaikan Nietzsche. Apa yang dikatakan Nietzsche? "Hanya hal-hal yang tak henti menyakiti yang tetap berkutat dalam ingatan," ujarnya.

Kecenderungan ini, kendati demikian, membersitkan juga serenteng persoalan kontemporer. Karena itu, sejarah yang bergulir acap menjadi serangkaian balas dendam. Hal ini tak sekadar terjadi di antara orang Armenia dan orang Azerbaijan. Di banyak tempat di Indonesia sendiri, konflik etnoreligius tereskalasi karena orang- orang lebih mudah menangkap kekerasan yang dialami kelompoknya alih-alih detail peristiwa yang sebenarnya mengambil tempat.

Ketika mereka melihat orang-orang seagamanya terbunuh, mereka tak akan mengingat perebutan wilayah atau jabatan yang menjadi pemicu konflik pada permulaannya. Hal-hal paling pertama yang akan tercerap adalah simbol-simbol religiusnya yang dibakar atau diinjak-injak, identitas agama korban yang terbunuh, atau pemuka agamanya yang disiksa dan dihabisi.

Persekusi sistematis yang dilansir aparatur negara Myanmar terhadap orang- orang Rohingya? Ia pun dilazimkan dengan mengingat kekerasan yang dilakukan orang-orang Rohingya kepada warga Buddha Myanmar. Lalu, ketika mereka tak punya apa-apa untuk menunjukkan hal itu memang terjadi, bukti-bukti pun direka.

Jurnalis BBC, Jonathan Head, kala menyelidiki apa yang dialami orang-orang Rohingya berusaha diyakinkan oleh otoritas Myanmar bahwa orang-orang Rohingya-lah yang merupakan ancaman. Otoritas bersangkutan lantas menunjukkan gambar (foto-foto) bagaimana orang- orang Rohingya membakar desa-desa dan bukan pihak militer sebagaimana yang dituduhkan. Namun, dalam penyelidikan lebih jauh, Head menemukan bahwa foto tersebut ternyata rekaan.

Bagaimana mengingat sejarah?

Butir ini membawa saya ke pertanyaan pokok yang ingin saya sambangi lewat tulisan ini. Lantas, bagaimana kita harus mengingat sejarah kita?

Hari-hari ini kita dihadapkan pada tuntutan-tuntutan agar mengingat sejarah melalui film ataupun narasi yang mewajarkan dendam lama terhadap satu kelompok liyan tertentu. Bijakkah hal yang demikian? Perlukah kita melakukannya?

Percayalah, ini bukan hal yang bijak. Terlepas sejumlah pihak mengatakan mereka ingin menyadarkan khalayak akan sejarah yang sesungguhnya, sejarah yang ingin diingatkan adalah sejarah yang membenarkan dendam atau kekerasan balasannya.

"Sejarah" yang ditayangkan dalam film garapan Arifin C Noer adalah salah satunya contohnya. Eksposisinya dibatasi pada kekerasan yang diterima sosok-sosok representasi bangsa ini dari kelompok liyan bersangkutan. Belum lagi terdapat kekerasan sadistis di sana-sini yang diada-adakan tanpa pijakan sejarah.

Apakah saya ingin mengatakan kekerasan tidak pernah terjadi? Tidak! Akan tetapi, paparan sejarah yang demikian mesti kita waspadai karena ia menjadikan dendam, perisakan, diskriminasi, dan pada akhirnya spiral kekerasan terasa benar adanya dan patut dijadikan tujuan hidup. Ketika LBH dikepung massa dari berbagai ormas, saya, yang tak sengaja berada di dalamnya, menyaksikan di depan mata, massa tak henti-henti mencerca kami dengan ujaran-ujaran kebencian yang mengerikan, termasuk mengancam kami tak boleh tinggal di Indonesia dan mengganyang kami.

Apa alasan ujaran-ujaran yang sedemikian keji diumpatkan dengan sedemikian ringan kepada kami yang bahkan tak pernah mereka kenal? Tidak ada rasanya selain kebencian itu sendiri. Kebencian yang sudah tidak memiliki sasaran selain hantu-hantu yang direka. Namun, ia juga kebencian yang terus dihidupkan karena masa silam diajarkan kepada kita sebagai era kala kita menjadi korban kekerasan dan sejarah harus bergerak sebagai balas dendam yang dibayar tuntas.

Kita bisa memahaminya karena, memang, begitulah sejarah pada kebanyakan waktu diingat. Kendati demikian, kita mesti punya alasan lain untuk mengingat sejarah selain karena kemarahan dan kedengkian. Kekerasan akan menjadi spiral atau perundungan yang terus sambung- menyambung selama hanya ia yang kita ingat dari masa silam kita.

GEGER RIYANTO

ESAIS, PENELITI SOSIOLOGI; MENGAJAR FILSAFAT SOSIAL DAN KONSTRUKTIVISME DI UNIVERSITAS INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Sejarah dan Kebencian".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Diplomasi Siber Indonesia (LINARDI UTAMA)

Diplomasi, menurut kamus Oxford, berarti profesi, aktivitas, atau keterampilan mengelola hubungan internasional, biasanya oleh perwakilan negara di luar negeri.

Ada beberapa kegiatan  terkait fungsi diplomasi, misalnya fungsi perwakilan, promosi, negosiasi, proteksi, dan reportase. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) secara tradisional sudah melaksanakan kegiatan diplomasi ini.

Diplomasi Indonesia saat ini berada di lingkungan perkembangan teknologi informasi yang pesat, teknologi yang telah menciptakan dunia barucyberspace. Lingkungan yang suka atau tidak suka harus diperhitungkan keberadaannya mengingat Kemlu dengan dunia diplomasinya tidak lepas dari pengaruh siber.

Dunia digital

Dampak implementasi dunia siber dapat bersifat disruptive bagi sistem dan mekanisme konvensional yang selama ini ada.  Layanan jasa transportasi daring, media belanja daring, cryptocurrencyadalah contoh dari penerapan teknologi informasi (siber) yang berimplikasidisruptive karena menimbulkan dampak terancamnya eksistensi layanan berbasis konvensional.

Namun, dampak dunia siber tidak selaludisruptive. Pemanfaatan teknologi yang sesuai  justru dapat meningkatkan kinerja dan produktivitas.

Dunia diplomasi juga tidak lepas dari pengaruh perkembangan teknologi informasi. Dampak perubahan itu tidak hanya mencakup perubahan cara berdiplomasi, tetapi juga berpengaruh terhadap meningkatnya isu-isu diplomasi khusus bidang siber.

Perubahan cara berdiplomasi adalah bagaimana diplomasi memanfaatkan teknologi dalam menjalankan fungsi-fungsinya.

Membangun sistem komunikasi yang cepat, tepat, aman, dan tangguh selaras dengan rencana strategis Kemlu merupakan bentuk konkret menerapkan dunia digital dalam berdiplomasi. Pemanfaatan teknologi ini juga memperkuat eksistensi Kemlu  dalam menjalankan fungsi-fungsi diplomasi, khususnya di wilayah-wilayah di mana secara fisik Kemlu memiliki keterbatasan.

Representasi kehadiran negara di wilayah rangkapan, promosi citra positif, proteksi, dan komunikasi kepada audiens  yang terjauh dapat diperkuat dengan kehadiran situs web Kemlu dalam bentuk kehadiran KBRI virtual di negara akreditasi.

Informasi merupakan currency dari proses diplomasi (Hassan Wirajuda). Maka, pengetahuan dan data yang dikelola dengan baik adalah bak amunisi bagi para pemangku kepentingan pelaksana diplomasi dalam menjalankan fungsi negosiasi pada event perundingan bilateral ataupun multilateral  dalam penanganan isu-isu internasional. Sistem komunikasi yang andal di sisi kecepatan, ketepatan, dan keamanan akan membawa kemudahan dan meningkatkan mobilitas bagi pelaksana diplomasi dalam menyampaikan laporan dan media konsultasi tanpa harus khawatir dengan ancaman-ancaman terhadap kerahasiaan dan keakuratan informasi  serta availability yang tinggi.Real time diplomacy (Retno Marsudi) untuk Kemlu bukan sekadar jargon.

Pemanfaatan media sosial sebagai media penyebaran informasi dan promosi mendukung pelaksanaan softpower  diplomasi di area diplomasi publik.

Diplomasi siber

Cyberspace saat ini dianggap sebagai domain ke-5, selain daratan, laut, udara, dan ruang angkasa. Perlu kualitas diplomasi yang sama untuk memperjuangkan kepentingan di wilayah ini.

Cyber security menjadi isu paling dinamis dan merupakan isu yang harus dipandang sama seperti halnya isu terorisme, senjata pemusnah massal, hak asasi manusia, perubahan iklim, dan isu-isu internasional lainnya. Hal ini mengingat ancaman terhadap keamanan siber juga berdampak fatal, kritikal,  danmassive.

Terganggunya koneksitas internet, pengambilalihan kendali perangkat nuklir, gangguan di dunia transportasi, ancaman di bidang keuangan dan perbankan, serta gangguan terhadap unsur pendukung vital kehidupan masyarakat lainnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk tidak melepaskan perhatiannya pada keamanan siber.

Karena potensi ancaman bersifat global dan tanpa batas wilayah, perlu pembicaraan secara politis terhadap isu-isu ini. Diplomasi tentunya harus mulai terlibat dalam penyelesaian isu-isu siber dan penguatan posisi negara dalam tatanan tata kelola internet dunia.

Adapun negara-negara berkembang lain masih sibuk mendigitalisasi negaranya, setidaknya Indonesia bisa selangkah lebih maju dengan memikirkan isu-isu siber dalam komponen politik dan hubungan luar negerinya. 

Komitmen dari pimpinan Kemlu masuk ke dalam dunia siber untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia di tingkat internasional akan memudahkan diplomasi Indonesia masuk wilayah diplomasi digital.

 LINARDI UTAMA

Kabid Perencanaan dan Tata Kelola TIK Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Kementerian dan Perwakilan Kementerian Luar Negeri

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Diplomasi Siber Indonesia".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Revisi UU Ketenagakerjaan (SURYA TJANDRA)

Beberapa kalangan di lingkungan hubungan industrial (Kemnaker, Bappenas, Apindo, serikat buruh, dan ILO) sedang mendiskusikan peluang dan tantangan dari rencana revisi UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Kemnaker, Bappenas, dan Apindo tampaknya cukup semangat mendorong revisi meski harus mendapat persetujuan dulu dari DPR untuk bisa masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas pada 2018. Meski ada tantangan dari sebagian serikat buruh, sebagian serikat buruh yang lain justru mendukungnya.

Pemerintah menilai revisi diperlukan karena sudah banyaknya ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan (UUK) yang dipangkas dan diubah oleh putusan Mahkamah Konstitusi (17 kali). Apindo mendukung rencana revisi dengan harapan bisa mengubah beberapa ketentuan kontroversial, seperti pesangon yang dinilai terlalu besar, penetapan upah minimum yang menimbulkan konflik, dan ketentuan terkait hubungan kerja yang dinilai masih terlalu kaku.

Serikat buruh yang mendukung revisi punya argumen senada dengan pemerintah dan berharap bisa memperkuat UUK, khususnya dari sisi pengawasan. Sementara serikat buruh yang menolak menyatakan bahwa UUK "sudah baik", masalahnya ada pada penegakannya.

Keseimbangan

Hukum perburuhan adalah sebuah disiplin dalam ilmu hukum yang berdiri sendiri dengan beberapa karakteristik. Ia lebih merupakan hukum bersifat kolektif dengan memberikan perlindungan bagi pihak yang lebih lemah. Juga merupakan sebuah bentuk kompensasi dari ketidaksetaraan yang mengintegrasikan hukum privat dan publik. Selain itu, juga memiliki sistem khusus terkait penegakan hukumnya.

Dengan karakteristik demikian, hukum perburuhan selalu ingin mencari keseimbangan di antara pihak dalam hubungan perburuhan. Ketika kekuasaan pemberi kerja berlebih, hukum perburuhan akan menurunkannya dengan memberikan perlindungan lebih kepada buruh. Sebaliknya, ketika kekuasaan buruh yang berlebih, hukum perburuhan juga akan menurunkannya dengan memberikan perlindungan lebih kepada pengusaha.

Hukum perburuhan tidak berguna kalau ia "terlalu buruk" karena tidak memberikan perlindungan yang cukup bagi buruh, tetapi juga tidak bermanfaat kalau ia "terlalu bagus" karena tidak bisa dilaksanakan secara efektif. Selain yang bersifat publik dan wajib (disebut hukum perburuhan heteronom), hukum perburuhan juga memberikan ruang perdata (hukum perburuhan otonom) untuk para pihak menemukan kesepakatan terbaik yang bisa dicapai melalui negosiasi atau disebut "dialog sosial" dalam terminologi hukum perburuhan.

Keseimbangan serta dinamika antara hukum perburuhan heteronom dan hukum perburuhan otonom ini menentukan jenis hukum perburuhan yang ada di satu negara.  Indonesia mewarisi apa yang disebut UU perburuhan protektif, yang disahkan segera setelah kemerdekaan hingga awal 1960-an. Dalam situasi demikian, buruh (dan serikat buruh) cenderung menggantungkan diri kepada negara, melalui UU, untuk memberinya perlindungan. Sering kali juga hal-hal yang seharusnya bisa dicari solusinya lewat dialog sosial.

Akibatnya, perundingan kolektif menjadi tidak berkembang sehingga beberapa isu yang bisa menjadi obyek perundingan kolektif pun diserahkan kepada negara, seperti upah. Tak heran jika kemudian tekanan besar diberikan pada penetapan upah minimum, yang terus jadi tantangan dan sumber konflik setiap tahun di banyak daerah di negeri ini.

 Tantangannya, apa yang terjadi sejak reformasi (dan kebebasan untuk membentuk serikat buruh) tidak secara otomatis mendorong penguatan serikat buruh. Malah yang terjadi serikat buruh makin terfragmentasi: makin banyak jumlahnya, tetapi keanggotaan serikat buruh justru terus menurun dan maraknya aksi buruh justru mendorong makin berkurangnya keanggotaan serikat buruh.

Revisi UUK

Dalam situasi demikian, dan revisi UUK jadi dilaksanakan dengan segala kontroversinya, apa yang perlu dipertimbangkan? Saya mengusulkan beberapa hal.

Pertama, revisi UUK perlu fokus pada bagaimana membuat UUK jadi lebih efektif dan bisa dilaksanakan guna mendorong kepastian hukum. Untuk itu revisi UUK tidak bisa menjadikannya "terlalu buruk", dalam arti mengurangi begitu banyak perlindungan terhadap buruh sehingga jadi tidak berguna lagi. Akan tetapi, revisi UUK juga tak bisa membuatnya "terlalu bagus", yang akan menimbulkan masalah di dalam pelaksanaannya nanti. Pertanyaannya, di mana titik keseimbangan bisa dicapai antara "terlalu buruk" dan "terlalu bagus" tersebut?

Kedua, agar hal pertama di atas bisa terwujud, revisi UUK perlu pertama-tama menjamin penguatan dan perlindungan bagi serikat buruh, khususnya untuk melaksanakan perundingan kolektif dan pada saat sama juga memungkinkan perusahaan berusaha serta mencari keuntungan secara wajar.  Ini bisa dilakukan dengan memberikan kewajiban kepada perusahaan melaksanakan perundingan kolektif dengan serikat buruh, yang mana kegagalan pelaksanaannya bisa mengakibatkan sanksi pada perusahaan. Salah satu konsekuensi dari ketentuan seperti ini adalah makin diakuinya "konflik" serikat buruh dengan pemberi kerja, tetapi pada saat sama menganalisisnya melalui "dialog sosial" lewat perundingan kolektif.

Ketiga, untuk mengurangi ekses yang tidak diinginkan dari perundingan kolektif ini dalam kegiatan sehari-hari di perusahaan, bisa dipertimbangkan untuk mewajibkannya dilaksanakan di luar perusahaan. Seperti mendorong perundingan kolektif dilaksanakan oleh serikat buruh sektoral/regional dengan organisasi pengusaha sektoral/regional, bukan perundingan kolektif di perusahaan.

Konsekuensi dari pilihan kebijakan seperti ini, penguatan serikat buruh dan organisasi pengusaha difokuskan pada sektor atau pada wilayah, yang kemudian bertugas menjalankan fungsi perundingan kolektif dan membentuk hukum perburuhan otonom yang berlaku di seluruh perusahaan di sektor atau wilayah tersebut. Ini bisa menjadi bahan diskusi lanjutan soal apakah secara otomatis berlaku untuk semua atau sebagian, tetapi intinya adalah dialog sosial dilaksanakan secara lebih efektif.

 Keempat, hubungan buruh dan pemberi kerja di perusahaan perlu diperkuat melalui keterwakilan dan kerja sama antara buruh dan pemberi kerja di perusahaan melalui penguatan lembaga kerja sama bipartit atau semacam "dewan pekerja" (works council), dengan menerapkan prinsip ko-determinasi, yaitu keterlibatan buruh di dalam sebagian pengambilan kebijakan manajerial di tingkat perusahaan.

 Kelima, ada beberapa keuntungan dari model ini, antara lain: ruang dialog sosial lebih terbuka dan mendorong menguatnya hukum perburuhan otonom; adanya pembagian kerja antara pembuat dan pelaksana dari hukum otonom, serta buruh dan serikat buruh sebagai aktor utama dalam penegakan hukum itu sendiri.

Negara pun bisa berfungsi secara lebih khusus pada pengawasan hak-hak normatif, jaminan terhadap kebebasan berserikat, dan sebagainya; sementara banyak persoalan hubungan perburuhan bisa diselesaikan sendiri melalui dialog sosial di tingkat perusahaan.

Sejumlah tantangan

Keenam, meski saya merasa gagasan di atas cukup meyakinkan dalam menjawab problem yang kita hadapi hari ini, ada beberapa tantangan nyata yang sudah langsung harus dihadapi. Di antaranya seberapa jauh gagasan dan kompromi ini bisa dilakukan dalam situasi politik hari ini dan bagaimana rencana revisi UUK bisa menemukan kompromi terbaik bagi semua pihak.

Bagaimana mengubah perilaku sebagian pengusaha yang memang menikmati situasi fragmentasi serikat buruh ini dan tidak tertarik untuk memperkuat dialog sosial di tingkat perusahaan. Bagaimana mengatasi perilaku sebagian serikat buruh yang cenderung menolak apa pun inisiatif seperti ini, dengan ketakutan justru makin dilemahkannya posisi mereka jika kebijakan seperti ini betul diterapkan di revisi UUK.

 Tentunya tantangan-tantangan di atas perlu diperhatikan, tapi keputusan dan pilihan tetap harus diambil. Serumit apa pun pengambilan keputusan tersebut harus senantiasa dikembalikan kepada tujuan utamanya, dengan mempertimbangkan berbagai unsur terkait dan prioritas-prioritas yang perlu diambil.

Prioritas-prioritas tersebut bisa distrukturkan dengan mempertimbangkan aspek strategis, taktis, dan operasionalnya. Dalam hal terakhir ini, paradigma dan analisis BOCR (benefit, opportunity, cost, and risk-keuntungan, kesempatan, biaya, dan risiko) bisa digunakan.

Saya berharap beberapa butir pandangan di atas dapat menjadi pengantar untuk sebuah diskusi, debat, dan tukar gagasan yang lebih mendalam serta fokus khususnya pada solusi-solusi dan kompromi-kompromi yang bisa dan perlu dilakukan untuk kebaikan lebih banyak orang. Inilah sesuatu yang sedang kita butuhkan hari-hari ini.

SURYA TJANDRA

DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIKA ATMA JAYA, JAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Revisi UU Ketenagakerjaan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Jalan Panjang Rakyat Kurdistan (Kompas)

Referendum di Kurdistan sudah dilaksanakan. Sebanyak 93 per- sen pemilih mendukung pemi- sahan dari Baghdad. Namun, tidak mudah mewujudkan itu.

Pemerintah Baghdad pasti, seperti sudah diduga sejak semula, tidak akan membiarkan Kurdistan, daerah di Irak bagian utara yang kaya minyak itu, merdeka. Karena itu, pertama-tama Baghdad tidak mengakui referendum dan tentu tidak mengakui hasil referendum.

Setelah tidak mengakui referendum dan hasilnya, Pemerintah Baghdad mengancam akan mengisolasi Kurdistan. Kemarin, Otoritas Penerbangan Sipil Irak mengeluarkan surat yang ditujukan kepada maskapai penerbangan asing yang menjelaskan bahwa penerbangan internasional ke Erbil dan Sulaimaniyah (dua kota di Kurdistan) akan dibekukan.

Selama ini, Erbil dan Sulaimaniyah merupakan pintu gerbang masuk ke Kurdistan. Bahkan, Kurdistan yang memperoleh otonomi dari Baghdad memiliki kebijakan sendiri dalam hal visa dan keimigrasian. Akan tetapi, dengan keluarnya keputusan tersebut, akan tertutuplah Kurdistan dari dunia luar.

Itulah akibat pertama yang akan segera dirasakan rakyat Kurdistan setelah menggelar referendum untuk memisahkan diri dari Baghdad. Padahal, untuk mewujudkan hasil referendum tersebut, pertama-tama harus memperoleh pengakuan dan persetujuan dari Baghdad. Tanpa pengakuan dan persetujuan tersebut, hasil referendum itu tidak akan ada artinya dan kemerdekaan Kurdistan tetap akan merupakan mimpi.

Nasib Kurdistan sama seperti Kosovo yang ingin memisahkan diri dari Beograd (Serbia). Tidak hanya Beograd yang tidak mengakui pemisahan dan kemerdekaan Kosovo, tetapi bahkan PBB juga tidak mengakui. Nasib Kosovo berbeda dengan, misalnya, Montenegro yang mendapat pengakuan internasional, bahkan menjadi anggota terbaru Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Atau Timor Leste yang setelah referendum menikmati kemerdekaan lepas dari Indonesia dan diakui dunia internasional.

Memperhatikan keputusan Baghdad tersebut, terbayang sudah bahwa perjuangan rakyat Kurdistan untuk mewujudkan mimpi mereka memiliki negara yang bebas, merdeka, dan berdaulat akan berjalan panjang. Apakah yang akan dilakukan oleh Kurdistan menanggapi keputusan Baghdad itu? Jalan mana yang akan mereka tempuh. Kalau mereka mengambil jalan Kosovo, dengan mengangkat senjata, kiranya jalan tersebut justru akan semakin menjauhkan cita-cita mereka.

Kiranya, para pemimpin Kurdistan lebih bijaksana kalau mereka menempuh jalan damai: berunding dengan Baghdad untuk memperoleh pengakuan. Pengakuan dari Baghdad akan menjadi tiket bagi pengakuan dunia internasional meski jalan tersebut juga tidak mudah.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Jalan Panjang Rakyat Kurdistan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Harapan ICW Sudah Benar//Jalan Bergelombang Merajalela di Yogya//Pembangunan Jalan Beton di Bogor//Tagihan Obat yang Berlipat (Surat Pembaca Kompas)

Harapan ICW Sudah Benar

Dalam Kompas edisi 19 September lalu, halaman 4, diberitakan bahwa Panitia Angket Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi ingin bertemu dengan Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan hasil temuannya. Koordinator Indonesia Corruption Watch atau ICW berharap Presiden tidak memenuhi permintaan Panitia Angket tersebut.

Dalam berita itu, Koordinator ICW Topan Husodo mengatakan bahwa keinginan Panitia Angket untuk bertemu Presiden adalah untuk memperoleh dukungan politik Presiden setelah Presiden Joko Widodo dengan tegas menyebutkan bahwa tidak boleh ada yang melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Saya membenarkan sikap ICW sebab, pertama, Presiden Joko Widodo sudah mengatakan tidak mau intervensi; kedua, banyak ilmuwan yang tidak mendukung angket oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan ilmiah.

Apabila Presiden Joko Widodo memenuhi permintaan Panitia Angket untuk bertemu dengannya, saya khawatir beliau dianggap tidak menghargai pendapat para ilmuwan. Hasil temuan angket, pada hemat saya, sudah sangat cukup bila disampaikan hanya pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat.

Wibawa Presiden Joko Widodo harus kita hormati.

TITI SUPRATIGNYO

Pondok Kacang Barat, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten

Jalan Bergelombang Merajalela di Yogya

Jalan bergelombang kita jumpai di banyak lokasi di Kota Yogyakarta akhir-akhir ini. Salah satu yang konkret ialah di utara Rumah Sakit Panti Rapih, tepatnya di tikungan ketika kita hendak menuju arah selatan.

Di sana jalan bergelombang bekas tambalan akibat jalan berlubang sebelumnya. Jalan bergelombang bekas tambalan jalan berlubang itu sangat meresahkan pengguna jalan, khususnya pengendara bermotor.

Contoh lain kita jumpai di sebelah barat Mirota Kampus, Jalan C Simanjuntak. Terdapat beberapa tambalan jalan di sana yang membuat jalan bergelombang. Hal ini tentu membuat pengendara roda dua dan roda empat tidak nyaman.

Pemerintah seharusnya memperhatikan kondisi jalan seperti ini, lalu segera memperbaikinya, dan membuat aspal baru.

Jalan yang rata nantinya akan dapat meningkatkan kenyamanan penggunan jalan dan mengurangi angka kecelakaan lalu lintas di Kota Yogya. Bukankah itu yang diharapkan semua kawula?

RIZKY W PUTRI

Mahasiswa Prodi PR ASMI Santa Maria, Yogyakarta

Pembangunan Jalan Beton di Bogor

Pada Selasa, 12 September malam lalu, di Jalan Kantor Batu (Ring 1-Istana Bogor) dilakukan pembangunan jalan beton. Pembangunan jalan beton dengan tebal 30 cm itu bikin posisi jalan lebih tinggi dari halaman rumah. Pengerjaan dilakukan tanpa sosialisasi beberapa hari sebelumnya dan tanpa persetujuan warga, terutama untuk penutupan serta pembangunan jalan.

Tidak ada solusi terkait drainase sehingga saat hujan air mengalir masuk ke rumah warga dan menciptakan genangan di depan rumah. Bogor adalah kota hujan. Perlu diingat, posisi Jalan Kantor Batu lebih rendah daripada Jalan Juanda sehingga saat hujan lebat jalan tersebut menjadi jalur air dan sampah daun dari arah Kebun Raya. Resapan air di sana pun masih buruk.

Kondisi jalan sebelumnya di sana baik-baik saja. Menggunakan aspal, jalan tidak dalam kondisi rusak. Kami bingung kenapa aspal diubah jadi beton. Jalan beton membuat panas dan berdebu.

SABRINA SALSALINA

Jl Kantor Batu 33, Bogor, Jawa Barat

Tagihan Obat yang Berlipat

Saya adalah pengguna jasa Rumah Sakit Jakarta dan saya sangat nyaman dengan kualitas pelayanan yang diberikan.

Namun, pada 24 September 2017 malam saya sangat terkejut menghadapi kelalaian petugas rumah sakit. Setelah melihat kembali cetakan tagihan pembayaran obat-obat rumah sakit dengan teliti, saya menemukan ada pembelian satu jenis obat sirup anak menjadi 10 botol dari yang semestinya hanya satu botol.

Alhasil, biaya yang seharusnya saya bayar Rp 59.000 membengkak menjadi Rp 590.000 untuk pembelian 10 botol. Total pengeluaran saya sekitar Rp 1 juta.

Setelah komplain keras ke kasir, akhirnya mereka memperbaiki lembar tagihan dan berjanji tidak akan melakukan kesalahan fatal seperti itu lagi.

Apa jadinya bila pasien dan keluarganya tidak mengecek lagi lembar tagihan yang diterima dan percaya begitu saja, berapa pun angka yang tertulis di lembar tagihan?

H HENDRIK MITEDEDE

Jalan Pariaman Dalam, Pasar Manggis, Setiabudi, Jakarta Selatan

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Komunikasi Antarmenteri (Kompas)

Komunikasi antarelite negeri, khususnya di kalangan menteri, ikut berkontribusi pada terjadinya kegaduhan di negeri ini. Situasi ini tidak produktif.

Di media sosial, publik menyaksikan bagaimana silang pendapat di kalangan petinggi negeri dikapitalisasi untuk berbagai kepentingan. Diawali dengan kontroversi ajakan menonton bareng filmPenumpasan Pengkhianatan G30S/PKIdan polemik soal adanya laporan intelijen tentang 5.000 senjata yang dikatakan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.

Gatot bercerita soal laporan intelijen terkait senjata itu dalam forum tertutup dengan sejumlah purnawirawan TNI. Substansinya bukan untuk publik. Namun, realitasnya, rekaman audio suara Panglima TNI itu beredar di sejumlah media sosial. Silang pendapat pun terjadi. Ada pendapat berbeda dari Menteri Pertahanan Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu, ada klarifikasi dari Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Jenderal (Purn) Wiranto. Presiden Joko Widodo memanggil Panglima TNI dan Menko Polhukam. Isu itu pun dinyatakan selesai. Lalu, apa yang didapat rakyat dari kontroversi itu? Kebingungan.

Menyusul kemudian "bocornya" surat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kepada Menteri BUMN Rini Soemarno dan Dirut PLN. Surat yang berisi soal kondisi keuangan PLN itu beredar di sejumlah media sosial. Muncul berbagai tafsir soal surat tersebut. Kontroversi kembali terjadi. Polemik kembali terjadi. Apa yang didapat rakyat soal kontroversi surat Menkeu itu? Hampir tidak ada selain kebingungan dan bertanya tentang apa yang terjadi dalam tubuh pemerintah.

 
KOMPASKomunikasi antarelite negeri, khususnya di kalangan menteri, ikut berkontribusi pada terjadinya kegaduhan di negeri ini. Situasi ini tidak produktif.

Komunikasi dalam kabinet tampaknya masalah mendasar pada pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. Masalah itu bukan kali ini saja terjadi, melainkan sudah beberapa kali. Apakah tidak mungkin berbagai permasalahan itu diselesaikan dalam lingkungan kabinet. Apakah isu-isu tersebut tak bisa diselesaikan di level Menko Polhukam atau Menko Perekonomian atau malah ditarik ke atas pada level Presiden Jokowi sendiri.

Presiden Jokowi beberapa kali mengatakan, tak ada visi dan misi menteri, yang ada adalah visi dan misi Presiden. Presiden adalah penanggung jawab pemerintahan. Semua menteri adalah pembantu Presiden dan seharusnya loyal sepenuhnya pada keputusan Presiden. Dalam militer, Presiden juga memegang kekuasaan tertinggi dalam TNI.

Pembenahan mendasar perlu dilakukan di dalam tubuh pemerintahan agar kegaduhan tidak terjadi. Sayangnya, kegaduhan justru muncul dari tubuh pemerintah sendiri. Kehadiran juru bicara pemerintah yang kredibel dan dipercaya publik diharapkan bisa meluruskan kembali narasi yang mungkin masih bengkok.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Komunikasi Antarmenteri".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Dilema Angela Merkel (A AGUS SRIYONO)

Seperti telah diperkirakan, Pemilu Federal di Jerman pada 24 September 2017 dimenangi Uni Demokratik Kristen (CDU)/Uni Sosial Kristen (CSU) dengan raihan 33 persen suara. Partai Sosial Demokrat (SPD) di urutan kedua dengan 20,5 persen suara.

Untuk pertama kali setelah 60 tahun, Partai Alternatif untuk Jerman (AfD) yang berorientasi ultrakanan menduduki parlemen dengan 12,6 persen suara. Sistem pemilu di Jerman mensyaratkan, antara lain, untuk meraih kursi di parlemen diperlukan minimal 5 persen suara nasional.

Dengan hasil tersebut, Angela Merkel dipastikan menjabat kanselir Jerman untuk keempat kali apabila CDU/CSU berhasil membentuk koalisi guna meraih dukungan mayoritas absolut di parlemen (Bundestag). Mengingat untuk mencapai mayoritas absolut dibutuhkan 300+ kursi, ke depan pemerintahan Merkel harus berkoalisi dengan beberapa partai politik lain. Dalam pemerintahan sebelumnya, CDU/CSU berkoalisi dengan SPD dan mengantongi 502 kursi dari 598 kursi di parlemen.

Meski CDU/CSU kali ini menang, dibandingkan Pemilu 2013 suara CDU/CSU turun sekitar 8 persen. Hal ini mengindikasikan popularitas Merkel meredup, sedangkan perolehan suara AfD meningkat signifikan dari 4,7 persen (2013) menjadi 13 persen tahun ini. Komposisi kursi parlemen pasca-Pemilu 2017 diproyeksikan CDU/CSU (246), SPD (153), AfD (94), Partai Kebebasan Demokrasi (FDP; 80), Partai Kiri (69), dan Partai Hijau (67).

Atas dasar hasil pemilu di atas, muncul pertanyaan: bagaimana format koalisi pemerintahan ke depan; langkah apa yang akan diambil pemerintah baru menghadapi Partai AfD yang ultranasionalis; serta masa depan hubungan Jerman dengan UE dan AS. Tampaknya, mencari mitra koalisi tidak mudah. Situasi dilematis akan dihadapi pemerintahan baru sehubungan dengan banjirnya pendatang serta konsolidasi dengan UE dan AS akan menjadi tantangan tersendiri.

Koalisi

Dalam tataran ideal, koalisi CDU/CSU dan SPD merupakan pilihan terbaik. Sejauh ini, koalisi dua partai ini mampu menciptakan stabilitas politik, sosial, dan ekonomi. Selama ini, pemerintahan Merkel berhasil menekan pengangguran, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan menjaga soliditas UE. Namun, pernyataan Martin Schulz, Ketua SPD, yang menolak berkoalisi dengan CDU/CSU, memudarkan harapan Merkel melanjutkan program-program pemerintah sebelumnya. SPD memilih beroposisi sebagai langkah konsolidasi menuju Pemilu 2021.

Secara teoretis terdapat tiga opsi koalisi. Pertama, koalisi CDU/CSU degan SPD (399 kursi); kedua, CDU/CSU bermitra dengan FDP (berpandangan liberal) dan Partai Hijau (393 kursi); atau ketiga, koalisi CDU/CSU dengan FDP (326 kursi). Apabila opsi pertama tidak memungkinkan, sementara opsi ketiga terlalu riskan dari segi politik, opsi kedua menjadi pilihan terbaik dari yang tersedia. Koalisi CDU/CSU- FDP-Partai Hijau (dikenal sebagai Koalisi Jamaika karena warna bendera partai) memungkinkan terciptanya kekuatan yang stabil di parlemen.

Hanya perlu dicatat, koalisi CDU/CSU-FDP-Partai Hijau bisa terwujud jika Merkel bersedia berkompromi dengan FDP yang propasar bebas, probisnis, dan proprivatisasi. Dalam hal ini, benturan nilai-nilai dan moralitas Kristiani dengan liberalisme dan individualisme tampaknya akan sulit dihindari. Sementara dengan Partai Hijau, Merkel harus ada kesepakatan mengenai berbagai isu yang terkait dengan ekologi.

Isu pendatang

Berkembangnya kelompok ultrakanan akhir-akhir ini gejala umum di Eropa. Jargon yang diusung partai-partai ultrakanan umumnya anti-Islam, antipendatang, antikemapanan, dan anti-UE. Belakangan, jumlah partai ultrakanan di Eropa terus bertambah. Meningkatnya perolehan suara Partai Kebebasan di Austria dan Belanda serta Partai Front Nasional di Perancis dalam pemilu membuktikan hal ini.

Tampilnya AfD dalam panggung politik Jerman saat ini perlu ditanggapi hati-hati oleh pemerintah baru. Satu hal yang sudah pasti, partai-partai politik di Jerman sama sekali tidak ada hasrat untuk berkoalisi dengan AfD karena orientasi politik AfD dinilai bertentangan dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi rakyat Jerman. Nilai dimaksud seperti penghargaan terhadap demokrasi, pluralisme, toleransi, dan politik yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Partai AfD yang didirikan pada 2013 mengusung gerakan anti-Islam dan antipendatang. Kebijakan Merkel pada 2015 yang menerima sekitar 1.000 migran ditentang AfD. Alasannya, nilai-nilai budaya yang dibawa kaum migran tak kompatibel dengan nilai-nilai bangsa Jerman. Sebagai contoh, kaum pendatang mewajibkan penggunaan burka ketika berenang di pantai, sedangkan rakyat Jerman biasa memakai bikini. Di samping itu, menurut Partai AfD, dari segi prosedur hukum masuknya kaum migran juga harus atas persetujuan Parlemen.

Milihat perbedaan yang mencolok antara kebijakan Merkel dan AfD, tampaknya perdebatan soal kaum pendatang akan berlangsung hangat. Menghadapi kemungkinan ini, semestinya Merkel bersedia mendengarkan suara AfD guna menyusun kebijakan yang rekonsiliatif demi kepentingan bangsa Jerman tanpa menggerus prinsip-prinsip yang disepakati dalam koalisi.

UE dan AS

Harus diakui, dengan hendak keluarnya Inggris dari UE, Jerman dan Perancis akan jadi pilar utama bagi kemajuan UE. Walaupun Jerman merupakan negara terkuat di UE-baik secara militer maupun ekonomi-negara ini tak mungkin menyelesaikan masalah UE sendirian. Satu hal yang pasti, Eropa tak mungkin stabil dan aman tanpa kerja sama yang baik antara Jerman-Perancis serta didukung negara-negara anggota UE.

Di bidang militer, peran Jerman mendatang perlu ditingkatkan di tengah memudarnya kepemimpinan AS di Eropa. Dalam hal ini, anggaran militer Jerman yang tahun ini meningkat 8 persen menjadi 12 triliun dollar AS merupakan salah satu modal bagi Jerman untuk lebih berperan di bidang keamanan.

Sementara itu, hubungan bilateral Jerman-AS perlu diperbaiki, khususnya setelah Presiden Donald Trump menilai seolah Jerman "menumpang" AS sebagai penjamin keamanannya. Memang harus diakui, selama ini Jerman cenderung berlindung di bawah payung keamanan AS dan membangun ekonominya di atas sistem ekonomi global yang dimotori AS. Kini saatnya Jerman perlu menunjukkan kemandiriannya, baik secara militer maupun ekonomi.

Di tengah dilema yang mungkin akan dihadapi pemerintahan baru di bawah Merkel, mereka yang berpandangan optimistis yakin Merkel mampu mengatasi berbagai persoalan. Hal ini karena Merkel memiliki pengalaman cukup panjang sebagai kepala pemerintahan, bahkan sejak jadi menteri pada usia 36 tahun.

A AGUS SRIYONO

DIPLOMAT; PEMERHATI MASALAH-MASALAH INTERNASIONAL

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Dilema Angela Merkel".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Jumat, 29 September 2017

TAJUK RENCANA: Selamatkan Anak-anak Kita (Kompas)

Fakta memprihatinkan kembali memapar publik: semakin banyak anak di bawah umur yang terlibat penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya.

Mereka yang terlibat dalam peredaran narkoba adalah para kriminal yang layak dihukum seberat-beratnya. Tidak hanya karena membuat beban dan biaya kesehatan membengkak, tetapi terutama adalah mereka merusak masa depan anak dan generasi bangsa.

Pada Executive Summary Hasil Survei Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba pada Kelompok Pelajar dan Mahasiswa di 18 Provinsi Tahun 2016, yang dilakukan Badan Narkotika Nasional bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, diketahui, rata-rata mereka pertama kali pakai narkoba usia 16 tahun dengan usia termuda 10 tahun dan tertinggi 27 tahun.

Ironisnya, anak-anak di bawah umur ini tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga pengedar. Temuan ini sejalan dengan fakta yang diungkap Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahwa 42 anak menjadi pengedar narkoba pada 2014 dengan usia yang bervariasi, termasuk di antaranya anak yang masih SD.

Masyarakat yang kini dimudahkan teknologi memang menghadapi dilema. Di satu sisi perkembangan ini membantu memudahkan dalam pekerjaan ataupun berinteraksi dengan keluarga dan teman, di sisi lain teknologi membuat komunikasi masuk langsung ke ranah personal..

Tidak ada lagi pengecekan ayah dan ibu ataupun pengawasan asisten di rumah yang biasanya menggantikan absennya orangtua. Melalui telepon seluler, informasi dan transaksi bisa berlangsung mudah, cepat, dan senyap.

Perkembangan pengetahuan serta teknologi juga membuat narkoba makin beragam jenis dan bentuknya, makin murah, dan mudah pula didapatkan. Menurut Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC), saat ini ada 644 jenis zat psikoaktif baru (new psychoactive substances/NPS). Dari jumlah itu, yang beredar di Indonesia 53 jenis, sedangkan yang masuk Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika baru 40 jenis.

Tak ada cara lain. Kita harus bangkit, bersama menyelamatkan anak-anak kita, melawan penyalahgunaan narkoba dan para kriminal pengedarnya. Sebagai orangtua, dukung anak melawan serbuan tipu daya dari luar dengan membangun komunikasi terbuka yang asih, asah, asuh.

Namun, masih banyak pekerjaan rumah. Polisi, jaksa, dan hakim perlu bertindak tegas serta menghukum pengedar seberat-beratnya. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membantu sekolah dalam menyosialisasikan hidup sehat, sekaligus cara cerdas menghadapi berbagai tawaran teman dan orang tak dikenal. Sekolah juga wajib mengelola para pedagang yang mangkal di sekolah. Intinya tutup semua celah, jangan sampai disusupi narkoba.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Selamatkan Anak-anak Kita".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger