Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 31 Mei 2019

TAJUK RENCANA: KTT Arab dan Stabilitas Kawasan (Kompas)

AFP/MOHAMED EL-SHAHED

Pasukan Khusus Mesir siaga berjaga-jaga di luar gedung Pusat Kongres Internasional, Minggu (24/2/2019), menjelang dibukanya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Liga Arab-Uni Eropa di Sharm el-Sheikh, kawasan resor Laut Merah, Mesir.

Menyusul sabotase atas kapal dan stasiun pompa minyak di Teluk, Arab Saudi menggelar KTT Arab. Lewat KTT, Saudi mengirim pesan keras ke Teheran.

Arab Saudi menuduh Iran yang melakukan sabotase tersebut. Rasa aman Saudi juga terusik dengan serangan pesawat nirawak oleh kelompok Houti di Yaman atas bandar udara Najran di bagian selatan Saudi.

Penasihat keamanan AS, John Bolton, di Uni Emirat Arab (UEA), Rabu (29/5/2019), mengatakan, serangan ke fasilitas minyak dekat pelabuhan utama UEA dan stasiun pompa milik Saudi dilakukan atas sepengetahuan Iran. "Siapa pun tahu siapa yang harus bertanggung jawab atas serangan ini. Kami kira, pemimpin Iran tahu bahwa kami tahu," ujar Bolton.

Pernyataan Bolton itu dibantah Iran. Seorang pejabat Iran mengatakan, mereka tidak ingin terlibat konflik militer. Namun, Iran menegaskan siap mempertahankan negaranya dari agresi militer dan ekonomi.

Meski Arab Saudi dan UEA berniat menghindari terjadinya perang, mereka meminta Washington untuk "menahan" Iran. "Sementara para pemimpin KTT cenderung membahas cara terbaik untuk menghindari perang, Raja Salman sama-sama bertekad untuk membela kepentingan Arab Saudi dan negara lain Arab di tengah meningkatnya ketegangan antara AS dan Iran," tulis Pangeran Turki Al-Faisal, mantan kepala intelijen dan anggota delegasi utusan Arab Saudi, yang diterbitkan Al Arabiya.

Untuk menunjukkan keseriusannya, Saudi yang pada tahun 2017 menuduh Qatar ikut membiayai terorisme, mengundang Qatar hadir pada KTT ini. Qatar pun mengutus PM Sheikh Abdullah bin Nasser al-Thani hadir pada pertemuan ini.

Meski wilayah udara dan darat Saudi masih tertutup untuk Qatar, kehadiran Sheikh Abdullah di KTT Mekkah menunjukkan keseriusan Qatar. Terkait Iran, Qatar punya pertimbangan sendiri untuk mempertahankan dukungannya pada perjanjian nuklir Iran tahun 2015 itu. Qatar pun menjadi pangkalan militer AS terbesar di Teluk.

Dengan posisi itu, Qatar diperkirakan akan bersuara "di tengah" pada KTT dan mengingatkan Iran untuk tidak menggunakan proksi menyerang kepentingan Saudi dan koalisi Arab-nya.

Iran telah terlebih dahulu melakukan serangkaian upaya diplomasi untuk memperkuat posisinya. Bersama negara-negara di kawasan yang dianggap netral, seperti Qatar, Kuwait, dan Oman, Iran telah bertemu. Juga dengan negara sekutunya, seperti Irak, Suriah, dan Turki.

Eskalasi ketegangan di kawasan Teluk bagaimanapun telah membuat volatilitas harga minyak dunia dan itu akan berdampak terhadap Indonesia. Di sisi lain, kita berharap KTT menghasilkan sesuatu yang tidak provokatif untuk ikut meredakan ketegangan kawasan. Iran dan Saudi yang dua-duanya berebut pengaruh di kawasan, harus memikirkan akibat yang akan menimpa kawasan jika konflik bersenjata jadi pilihan.

Kompas, 31 Mei 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Memanjurkan Pancasila (YUDI LATIF)

Tatkala tenunan sosial robek, kita memerlukan Pancasila sebagai simpul perekat. Namun, apa daya, keberadaan Pancasila saat ini ibarat kitab suci dengan kertas yang rombeng. Dibuang takut kualat, dipakai tak lagi terbaca.

Terlalu lama terpajang sebagai hiasan seremonial, tanpa ketekunan perawatan, membuat Pancasila mengalami pelapukan. Untuk menghentikan proses degenerasi, cara melestarikan Pancasila harus keluar dari tendensi formalisme verbalistik menuju efektivitas operatif.

Apabila Pancasila dikehendaki ketahanan kemanjurannya, ia harus dibumikan secara efektif dalam tiga ranah peradaban: ranah tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera; bersamaan dengan penguatan Pancasila pada tiga dimensi ideologi: keyakinan, pengetahuan, dan tindakan.

Tata nilai

Untuk dapat berkembang hebat, peradaban suatu bangsa harus tumbuh di atas landasan nilai. Meminjam ungkapan John Gardner, "Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika sesuatu yang dipercayainya itu tidak mengandung dimensi nilai moral guna menopang peradaban besar."

Nilai itu cahaya petunjuk yang menerangi jalan menuju tujuan. Tanpa tuntunan nilai, sehebat apa pun pembangunan fisik, kecerdasan, dan keterampilan yang kita kerahkan tidaklah memberikan nilai tambah yang signifikan karena bisa tersesat di banyak tikungan. Sebagai nilai inti moral publik, Pancasila bukanlah bahan hafalan, melainkan nilai hidup yang harus dialami dan dijalani penuh integritas dengan menjaga konsistensi antara pikiran, perkataan, sikap, dan perbuatan; antara keyakinan, pengetahuan, kebijakan, dan tindakan.

Tata nilai Pancasila diarahkan untuk menjadikan bangsa yang berkepribadian (berkarakter) dengan nilai utamanya berlandaskan sila pertama, kedua, dan ketiga. Bahwa kehendak untuk bersatu dan harmoni dalam perbedaan bisa diraih manakala kita mampu mengembangkan hubungan welas asih dengan "Yang Mahasuci", yang memancarkan semangat ketuhanan yang berkebudayaan, lapang, dan toleran; welas asih dengan sesama manusia, yang memancarkan semangat kemanusiaan yang adil dan beradab; welas asih dalam hubungan manusia dengan ruang hidup (tanah air) dan pergaulan hidupnya (kebangsaan), yang memancarkan semangat persatuan dalam keragaman bangsa.

Dengan spirit ketuhanan, kemanusiaan, dan persatuan, dikembangkan daya-daya spiritualitas dalam sosiabilitas yang berperikemanusiaan, egaliter, mandiri, amanah (berintegritas), beretos kerja yang positif dan kreatif, serta sanggup menjalin persatuan (gotong royong) dengan semangat pelayanan (pengorbanan).

Pemangku utama yang mengemban urusan tata nilai ini adalah komunitas. Nilai Pancasila yang semula digali dari nilai-nilai hidup yang tumbuh di berbagai komunitas Tanah Air sudah sepantasnya dikembalikan ke komunitas sebagai perawat utamanya. Ada tujuh komunitas inti pembudayaan nilai Pancasila: komunitas sekolah, komunitas agama, komunitas permukiman, komunitas kerja, komunitas media, komunitas orpol dan ormas, serta komunitas adat.

Setiap komunitas tersebut memiliki titik tekan dan pendekatannya tersendiri dalam membudayakan nilai Pancasila, tetapi secara keseluruhan membentuk rantai nilai Pancasila secara holistik dan integral.

Dengan dikembalikan ke komunitas, lembaga-lembaga negara (non-persekolahan), ketimbang sibuk mengurusi sosialisasi Pancasila kepada masyarakat sebagai pemborosan sumber daya yang tidak efektif, lebih baik mengurusi pembudayaan nilai di lingkungan komunitas kerjanya sendiri (penyelenggara negara). Hal itu sesuai dengan tuntunan pokok pikiran keempat Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945. "Negara berdasarkan atas ketuhanan, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

Oleh karena itu, undang-undang dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur."

Alhasil, sebelum mem-Pancasila-kan masyarakat, penyelenggara negara harus terlebih dahulu mem-Pancasila-kan dirinya sendiri. Perlu diingat, pejabat dan aparatur negara tidak selalu punya kredibilitas dan kewibawaan untuk menanamkan nilai-nilai moral kepada masyarakat. Terlebih dalam kondisi kemarau moral di lingkungan penyelenggara negara, yang diperlukan malah pembalikan peran. Justru tokoh-tokoh panutan masyarakatlah yang pantas menanamkan nilai Pancasila kepada penyelenggara negara.

Sementara itu, lembaga-lembaga negara dengan tugas pembinaan nilai kebangsaan, dalam menjalankan tugasnya harus bekerja sama dengan komunitas-komunitas tadi sesuai dengan kelompok sasaran. Tugas paling penting yang bisa dikerjakan lembaga-lembaga negara tersebut adalah membuat kerangka regulasi, pedoman dasar, fasilitasi, pengukuran dan monitoring, agar pembudayaan nilai yang dilakukan berbagai komunitas tadi memiliki irisan persamaan, koherensi dan jaminan mutu, sehingga secara serempak bisa memenuhi sasaran dan tujuan yang dikehendaki.

Tata kelola

Setelah basis nilai diperkuat, peradaban suatu bangsa hanya bisa dimajukan dengan ketepatan tata kelola. Daren Acemoglu dan James A Robinson dalam bukunya, Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty (2012), menengarai bahwa sebab pokok kegagalan suatu negara-bangsa bukan karena kurang adidaya atau sumber daya, melainkan karena salah urus alias salah desain kelembagaan dan tata kelola pemerintahan.

Tata kelola sosial-politik Pancasila diarahkan untuk menjadi bangsa yang berdaulat dengan nilai utamanya berlandaskan sila keempat. Bahwa tatanan sosial-politik hendak dibangun melalui mekanisme demokrasi yang bercita kerakyatan, cita permusyawaratan, dan cita hikmat-kebijaksanaan dalam suatu rancang bangun institusi-institusi demokrasi yang dapat memperkuat persatuan (negara persatuan) dan keadilan sosial (negara kesejahteraan); yang termanifestasi dalam kehadiran pemerintahan negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan.

Pemangku utama dalam urusan tata kelola pemerintahan ini adalah lembaga-lembaga kenegaraan. Adapun prioritas lembaga tersebut sebagai rezim politik-kebijakan adalah menata ulang sistem demokrasi dan pemerintahan dalam kerangka memperkuat persatuan nasional dan keadilan sosial. Untuk itu, berbagai desain institusi demokrasi dan pemerintahan harus ditinjau ulang.

Praktik politik tidak dibiarkan sekadar perjuangan kuasa demi kuasa, tetapi harus mengemban substansi politik dalam rangka menghadirkan berbagai kebijakan yang andal demi memenuhi visi dan misi negara. Kebijakan politik harus merespons tantangan perbaikan tata kelola mental-kultural (tata nilai), tata kelola sumber daya material (tata sejahtera), serta tata kelola demokrasi dan pemerintahan.

Dalam kaitan dengan tata kelola demokrasi dan pemerintahan, berbagai elemen krusial harus mendapat perhatian yang serius. Beberapa di antaranya menyangkut penataan sistem hukum dan pemulihan kewibawaan otoritas hukum (nomokrasi) yang dapat menopang kesehatan demokrasi, persoalan institusi pemilihan yang padat modal, penataan ulang otonomi daerah, urgensi kehadiran pedoman direktif (haluan pembangunan) yang lebih solid, persoalan tumpang tindih kewenangan institusi-institusi negara, terlalu luasnya cakupan kelembagaan negara karena kehadiran beragam komisi negara, serta pentingnya perampingan birokrasi negara untuk menghindari jebakan negara pegawai, urgensi pembenahan sistem perwakilan yang lebih inklusif dan representatif dengan kesanggupan mengakomodasi segala kekuatan sosial-politik, serta pentingnya memperbaiki rezim negara kesejahteraan yang bersemangat gotong royong.

Tata sejahtera

Pada akhirnya, peradaban maju ditentukan oleh kesanggupannya mengolah sumber daya untuk kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Dalam kaitan itu, setiap ideologi harus memiliki kerangka konseptual dan kerangka operatif tentang perwujudan masyarakat sejahtera yang diimpikan.

Pengembangan tata sejahtera diarahkan untuk menjadi bangsa yang mandiri dan berkesejahteraan umum dengan nilai utamanya berlandaskan sila kelima. Bahwa kemandirian dan kesejahteraan umum hendak diraih dengan mengupayakan perekonomian merdeka; berlandaskan usaha tolong-menolong (semangat kooperatif), disertai penguasaan negara atas "karunia kekayaan bersama" (commonwealth) serta atas cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasasi hajat hidup orang banyak; seraya memberikan nilai tambah atas karunia yang terberikan dengan input pengetahuan dan teknologi.

Pemangku utama dalam urusan tata sejahtera ini adalah dunia usaha dan rezim perekonomian, dengan prioritas utamanya mengembangkan perekonomian berbasis semangat tolong-menolong (kooperatif). Dengan semangat itu, politik anggaran harus lebih berorientasi pada kesejahteraan umum. Kemampuan negara untuk menguasai dan mengelola kekayaan bersama (commonwealth)
serta cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus disehatkan.

Mata rantai produksi dari hulu ke hilir jangan sampai terkonsentrasi di satu tangan. Kemakmuran dan pemerataan ekonomi bisa didorong melalui pengembangan kewirausahaan yang dibekali penguasaan teknologi, dengan memprioritaskan pengembangan teknologi berbasis potensi dan karakteristik (kondisi) keindonesiaan. Untuk itu, pengembangan teknologi harus beringsut dari lembaga riset negara menuju ranah industri- perusahaan; terintegrasi ke dalam sektor produktif.

Pembudayaan dimensi ideologi

Selain persoalan ruang lingkup pembumian di tiga ranah peradaban, kemanjuran pembudayaan Pancasila juga memerlukan proses aktualisasi tiga dimensi ideologi: keyakinan, pengetahuan, dan tindakan.

Tantangan pertama dalam pembudayaan Pancasila adalah bagaimana meyakinkan segenap warga negara bahwa nilai-nilai ideologi Pancasila itu cocok, relevan, dan ampuh sebagai titik temu, titik tumpu, dan titik tuju dalam kehidupan kebangsaan yang majemuk. Dalam urusan keyakinan ini, seperti dalam keyakinan keagamaan, bahwa kendati tidak ada seorang pun di antara pemeluk agama (yang masih hidup), yang sudah memasuki surga ataupun neraka, tetapi mereka yakin bahwa surga dan neraka itu ada.

Meyakinkan pemeluk agama  akan adanya surga dan neraka itu tidak mengandalkan penjelasan-penjelasan rasional, tetapi oleh pendekatan-pendekatan emotif (penghayatan) dengan mengandalkan daya pukau dan daya imajinasi dari kekuatan "mitos" (dalam arti positif). Pemupukan keyakinan dengan kekuatan mitos itu menggabungkan antara kekuatan narasi (kisah), daya-daya estetik, permainan, ritual, dan simbol.

Pengaruh kisah (sejarah, sastra, dan film) terhadap kehidupan tak bisa diremehkan. Tokoh-tokoh dalam karya fiksi kerap kali memengaruhi hidup, standar moral masyarakat, mengobarkan revolusi, dan bahkan mengubah dunia. Dalam konteks pembentukan nasionalisme Indonesia sendiri, Bung Karno pernah menunjukkan secara canggih bagaimana mengembangkan berbagai mitos integrasi nasional dengan menautkan keindonesiaan dengan epos kebesaran Majapahit dan Sriwijaya. Dia juga acap kali mencuplik kisah-kisah pewayangan sebagai sumber teladan dalam menumbuhkan keyakinan kepada rakyatnya akan kemampuan bangsa Indonesia melalui berbagai tantangan.

Dimensi estetik dan simbolik dalam menumbuhkan keyakinan terhadap Pancasila itu kian penting dalam menjawab pertumbuhan generasi milenial. Suatu generasi yang lebih terbiasa menafsir dan merespons realitas melalui sarana-sarana simbolik dan ikonik. Dan, Indonesia dengan kekayaan kulturalnya yang luar biasa bisa menjadi tambang emas untuk mengembangkan berbagai mitos berbasis ekspresi simbolik, estetik, dan permainan dalam menumbuhkan dimensi keyakinan terhadap nilai-nilai Pancasila.

Tantangan kedua dalam pembudayaan Pancasila adalah bagaimana menjelaskan nilai-nilai Pancasila melalui pendekatan keilmuan secara multidisiplin, antardisiplin, dan transdisiplin. Tujuannya agar setiap warga negara memahami keluasan dan kedalaman wawasan Pancasila serta konsekuensi-konsekuensi turunannya ke dalam berbagai bentuk pranata dan lembaga sosial. Dalam kaitan ini, Pancasila juga harus mewarnai segala aspek pendidikan kewargaan. Berbagai teori bisa digunakan untuk menjelaskan perspektif Pancasila mengenai hubungan manusia dengan kosmos, agama dan negara, hak-hak asasi manusia, konsepsi kebangsaan, demokrasi, sistem hukum nasional, keadilan sosial-ekonomi, dan seterusnya.

Dalam usaha ini, selain kita harus menggali khazanah pengetahuan-kearifan bangsa sendiri, perlu juga dilakukan berbagai studi komparatif dengan pengalaman sejenis di negara-negara lain karena bagaimanapun nilai-nilai Pancasila memiliki dimensi-dimensi yang bersifat universal.

Tantangan ketiga dalam pembudayaan Pancasila adalah bagaimana mendorong warga negara (khususnya peserta didik) untuk dapat mengembangkan laku hidup berdasarkan nilai dan konsepsi Pancasila. Pancasila tidak berhenti sekadar butir-butir hafalan, tetapi menjelma menjadi karakter yang mendarah daging dalam perilaku warga dalam kehidupan publik. Selama ini banyak guru mengajarkan pendidikan moral Pancasila seperti dokter yang memberikan resep kepada orang sakit.

Namun, petunjuk resep itu tak diamalkan oleh sang pasien dengan meminum obatnya; bahkan berusaha membeli obatnya pun tak sudi. Pendidikan karakter adalah ilmu amal (terapan) yang tidak diberikan kecuali untuk diamalkan. Guru mendidik (membudayakan) karakter dengan praktik keteladanan, murid mempelajari ilmu itu dengan mempraktikkan langsung laku terpuji. Pembelajaran Pancasila bisa dilakukan dengan membentuk kelompok- kelompok terbatas yang terdiri atas ragam identitas, lalu mendorong mereka untuk mengembangkan berbagai kegiatan dalam rangka pengamalan langsung sila-sila Pancasila.

Menguatkan titik temu

Last but not least, usaha membudayakan Pancasila itu memerlukan terang kesadaran tentang dasar ontologis Pancasila. Pada 1 Juni 1945, dalam mengawali uraiannya tentang dasar negara, Soekarno menyerukan "bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan paham". Lantas, ia katakan, "Kita bersama-sama mencari persatuan Philosophische grondslag, mencari satu Weltanschauung yang kita semuanya setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang Saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang Saudara Sanoesi setujui, yang Saudara Abikoesno setujui, yang Saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus."

Demikianlah, dasar ontologis (struktur makna terdalam) dari keberadaan Pancasila adalah kehendak mencari "persetujuan" dalam menghadirkan kemaslahatan-kebahagiaan bersama (al-masalahah al-ammah, bonnum comune) dalam kehidupan kebangsaan Indonesia yang majemuk.

Maka dari itu, setiap kali bangsa Indonesia kembali ke 1 Juni, setiap kali itu pula kita diingatkan untuk kembali menghayati struktur makna terdalam dari keberadaan Pancasila. Kembali mempertanyakan titik temu, titik tumpu, dan titik tuju kita bersama, di tengah kemungkinan keterpecahan, kerapuhan landasan, dan disorientasi yang melanda kehidupan kebangsaan.

Dalam kerangka mengupayakan titik-titik persetujuan itu, kita harus mengupayakan demokrasi yang tidak berhenti sekadar ritual perebutan kekuasaan lima tahunan dengan obsesi kemenangan sebatas memecundangi lawan dalam kontestasi pemilihan umum. Kita harus mengembangkan demokrasi yang bisa memenangkan dan membahagiakan seluruh bangsa Indonesia, dengan meletakkannya dalam kerangka perwujudan cita-cita nasional: menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Yudi Latif Pengurus Aliansi Kebangsaan

Kompas, 31 Mei 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Dua Resensi di ”Kompas”//Rehabilitasi Cagar Alam Cycloop (Surat Pembaca Kompas)


Dua Resensi di "Kompas"

Berturut-turut saya membaca resensi buku yang dimuat Kompas. Pertama oleh Bandung Mawardi atas buku Harimurti Kridalaksana, Masa-Masa Awal Bahasa Indonesia (11/5/2019) dan kedua oleh Franz Magnis-Suseno atas buku A Sudiarja, Bayang-Bayang Kebijaksanaan dan Kemanusiaan (18/5/2019).

Nyata benar beda resensi yang ditulis Bandung Mawardi (BM) dan Franz Magnis-Suseno (FMS). Resensi FMS mengungkap isi buku secara sistematis sehingga kita jadi tahu kandungan buku.

Pada alinea pertama FMS menulis, "Buku ini terdiri atas dua puluh delapan cerita tokoh-tokoh sejarah." Lalu pada alinea kedua, "Dua belas dari mereka adalah tokoh pemikir…. Enam belas tokoh lain ada yang dikenal sebagai penulis, teolog, pejuang, bahkan pernah mengalami kekejaman perang saudara."

Pada akhir resensi, FMS sampai pada simpulan, "Pendek kata, sebuah buku yang amat indah. Rekan Profesor Sudiarja, Dr Karlina Supelli, menulis kata pengantar yang sejiwa, yang sungguh pantas dibaca."

Resensi BM terkesan berbelit-belit sehingga kita tidak tahu isi buku yang dibicarakan. Dalam meresensi, BM pun sangat cepat menghakimi. Tentang usul Harimurti mengenai lahirnya bahasa Indonesia pada 2 Mei 1926, misalnya. BM menyebutkan "Usulan tersebut masih jarang mendapat mufakat besar, belum terbukti dengan pengadaan upacara peringatan" (alinea keempat). Pada alinea kesembilan BM masih mengulangi "vonis"-nya, "Usulan di buku tipis terlalu sulit memikat penasaran intelektual. Kepustakaan di penjelasan pun terbatas."

Selanjutnya BM mengutip langsung pendapat S Takdir Alisjahbana (alinea kedua) dan Pramoedya Ananta Toer (alinea ke-13). Di pihak lain, dari 18 alinea resensi, tak sekali pun BM mengutip langsung kata-kata Harimurti.

Pada akhir resensi BM tak menuliskan simpulan sehingga kita tak tahu apakah buku Harimurti layak dibaca atau tidak. Simpulan saya: BM perlu dengan rendah hati berguru kepada FMS untuk menulis resensi yang baik.

Pamusuk Eneste
Bintaro Jaya IX, Tangerang Selatan

Rehabilitasi Cagar Alam Cycloop

Sapari selaku Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian DAS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan pihaknya tahun ini menyiapkan anggaran Rp 52 miliar untuk program rehabilitasi Cagar Alam Cycloop dan pemulihan Danau Sentani (Kompas, 24/4/ 2019).

Sebagai pensiunan rimbawan, saya kaget membaca berita ini. Betapa tidak, dari masih aktif bekerja di KLHK sampai purnatugas pada 2016, pemahaman saya: yang namanya kawasan cagar alam dan zona inti taman nasional itu di dalamnya dilarang keras dilakukan kegiatan apa pun.

UU No 5/1999 tentang kehutanan Pasal 41 Ayat (2) menyebutkan bahwa kegiatan rehabilitasi hutan dapat dilakukan di semua hutan dan kawasan hutan, kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.

Penjelasan ayat ini mempertegas bahwa pada cagar alam dan zona inti taman nasional tidak boleh dilakukan kegiatan rehabilitasi. Ini dimaksud untuk menjaga kekhasan, keaslian, keunikan, dan keterwakilan jenis flora dan fauna serta ekosistemnya. Kegiatan rehabilitasi cagar alam Cycloop ini baru dapat dilakukan apabila status fungsi kawasan cagar alam itu diubah fungsi menjadi kawasan lain sebagaimana diatur dalam PPNo 104/2015. Perubahan fungsi kawasan ini pun butuh waktu dan tahap cukup lama karena butuh persetujuan banyak pihak, termasuk DPR. Mohon penjelasan KLHK.

Pramono D Susaetyo

Pensiunan KLHK Ciparigi, Bogor

Kompas, 31 Mei 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Lingkaran Setan Tembakau dan Beban Tuberkulosis (ARIFIN PANIGORO)

Dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia diperkirakan akan naik "kelas" secara ekonomi: masuk ke dalam kategori negara dengan pendapatan kelas menengah ke atas berdasarkan pendapatan nasional bruto (gross national income) per kapita.

Di balik pertumbuhan ekonomi tersebut, tersimpan gunung es triple burdens kesehatan masyarakat Indonesia: penyakit menular, penyakit tidak menular (PTM), dan penyakit yang seharusnya sudah teratasi, tetapi muncul kembali.

Jika terus dibiarkan, dalam jangka panjang beban tersebut akan menjadi momok yang menghambat pertumbuhan sumber daya manusia (SDM) dan sekaligus menghambat pertumbuhan ekonomi. Sesuatu yang ditakutkan pemerintah.

 

Masih limbung

Tembakau menjadi salah satu isu di mana posisi pemerintah masih limbung dalam membuat kebijakan: antara memihak pertumbuhan ekonomi atau kualitas SDM. Sebagai negara dengan prevalensi perokok pria terbesar di dunia, tembakau merupakan komoditas yang dianggap menyumbang ke perekonomian Indonesia. Di lain sisi, konsumsi tembakau berdampak sangat luas tidak hanya pada aspek kesehatan, tetapi juga aspek sosio-ekonomi.

Sebagai contoh, masyarakat berpendapatan 40 persen terendah yang merokok, memilih menghabiskan 11,5 persen pendapatan keluarga/bulan untuk belanja rokok sehingga tidak dapat mencapai asupan kalori harian minimal (BPS, 2016).

Beban kesehatan pun tidak kalah berdampak pada ekonomi. Dari 21 persen dari kasus penyakit kronis di Indonesia terkait rokok, diperkirakan menimbulkan beban ekonomi 1,2 miliar dollar AS per tahun (Goodchild et al., 2017).

Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTBS) 2019 kali ini yang bertemakan "Tembakau dan Kesehatan Paru" ingin menekankan pada eratnya kaitan tembakau dengan kesehatan paru-paru manusia, termasuk kaitannya dengan tuberkulosis (TBC). Pentingnya isu TBC ini juga telah menjadikan tembakau dan kesehatan paru menjadi salah satu prioritas kesehatan global. Ini yang harus segera ditangani dengan target eliminasi TBC tahun 2030.

TBC, yang ditemukan menginfeksi mumi berusia ribuan tahun, masih menjadi penyebab kematian keempat tertinggi di Indonesia. Bahkan, Indonesia merupakan negara dengan beban ketiga tertinggi di dunia.

Ada keterkaitan yang perlu diperhatikan di sini. Lebih dari 20 persen insiden TBC secara global berkaitan dengan kebiasaan merokok. Merokok meningkatkan risiko seseorang terinfeksi TBC hingga 2,5 kali lipat (WHO, 2009). Tembakau menjadi faktor risiko keempat tertinggi beban kesehatan di Indonesia. Buktinya, lima negara dengan beban TBC tertinggi juga memiliki konsumsi rokok yang tinggi. Keterkaitan tersebut menunjukkan pengendalian konsumsi rokok dapat mengurangi risiko terinfeksi TBC dan menurunkan angka kejadian kasus baru. Hal ini akan membantu Indonesia untuk mencapai tujuan eliminasi TBC pada 2030, juga mengurangi kasus PTM yang berkaitan dengan rokok.

Darurat komitmen

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menangani permasalahan TBC. Sayangnya, dari sisi pengendalian rokok, komitmen pemerintah masih lemah. Indonesia hingga sekarang tidak kunjung meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control(FCTC) yang merupakan kerangka internasional untuk pembatasan dan pengendalian tembakau. Akhir 2018, pemerintah bahkan membatalkan keputusan untuk menaikkan cukai tembakau dan menganulir peta jalan simplifikasi struktur cukai.

Dua pembatalan kebijakan ini menyebabkan rokok bisa dijual dengan harga kurang dari Rp 1.000/batang sehingga mudah dibeli anak-anak. Terbukti, prevalensi perokok anak terus meningkat secara signifikan dari 7,2 persen (Riskesdas, 2013) ke 9,1 persen (Riskesdas, 2018).

BPJS Kesehatan juga terus merugi karena anggarannya tersedot untuk mengatasi pengobatan penyakit katastropik, yang secara signifikan berkaitan dengan rokok.

Presiden Jokowi telah menyatakan akan fokus pada pembangunan sumber daya manusia (SDM) pada 2019-2024. Hal tersebut sudah dituangkan dan dipetakan dalam Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 Indonesia.

Oktober 2019, kabinet baru yang dilantik diharapkan dapat membuktikan komitmen dan keberpihakannya pada pembangunan SDM lewat kebijakan-kebijakan yang memiliki daya ungkit pada peningkatan produktivitas modal manusia.

Untuk pengendalian rokok secara spesifik dalam jangka waktu pendek, pemerintah harus menaikkan cukai rokok dan mengurangi struktur cukai yang terlalu kompleks. Harga rokok yang mahal merupakan instrumen paling efektif saat ini—menurut banyak studi—untuk menurunkan konsumsi rokok dan tentunya, mengurangi kerentanan seseorang terhadap infeksi TBC. Jangka panjangnya tentu pemerintah harus mengaksesi FCTC sebagai bentuk komitmen dan keseriusan negara dalam upaya peningkatan kesehatan dan perlindungan warga Indonesia.

Dengan demikian, tentunya target eliminasi TBC tahun 2030 akan tercapai, pertumbuhan ekonomi dan SDM berjalan secara paralel, saling mendukung dan berkelanjutan.

Selamat Hari Tanpa Tembakau Sedunia.

Arifin Panigoro Dewan Penasihat di Komisi Nasional Pengendalian Tembakau dan Ketua Dewan Pembina Stop TB Partnership Indonesia

Kompas, 31 Mei 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Saat Tiba Mudik Lebaran (Kompas)

Dalam waktu kurang dari sepekan kita akan merayakan datangnya Lebaran. Menjelang hari itu, jutaan orang bergerak pulang ke kampung halaman.

Bagi masyarakat Muslim Indonesia, hari raya Idul Fitri identik dengan kembalinya diri menjadi suci. Dalam tataran hubungan antarmanusia, hal itu mewujud dalam silaturahmi, berkumpul bersama handai tolan, berbuat kebaikan yang melampaui, dan saling bermaafan.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Pemudik antre untuk keluar dari Kapal Dharma Rucitra 9 ddengan membawa barang bawaan untuk melanjutkan perjalanannya di Pelabuhan Tanjung Emas, Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (29/5/2019). Pemudik dari sejumlah wilayah di Kalimantan antara lain Kumai, Sampit dan Pontianak mulai berdatangan untuk pulang ke kampung halaman mereka di Jawa Tengah.

Dari tahun ke tahun, mudik Lebaran melibatkan pergerakan orang dalam jumlah besar menggunakan moda angkutan darat, laut, dan udara; mulai dari kendaraan roda dua, kereta api, kapal laut, hingga pesawat udara.

Kementerian Perhubungan memperkirakan total jumlah pemudik naik dari tahun 2018 sebesar 21,6 juta orang menjadi 23 juta orang tahun ini, 14,9 juta orang di antaranya dari Jakarta dan sekitarnya. Pergerakan orang sebanyak itu dalam waktu hampir bersamaan memerlukan manajemen transportasi yang cermat.

Kementerian Perhubungan sebagai koordinator penyelenggaraan mudik sudah jauh hari mempersiapkan peristiwa mudik. Berbagai cara diupayakan, mulai dari pemberlakuan sistem satu arah di tol dari Cikampek hingga Brebes, pengangkutan motor memakai kereta api, hingga memberikan insentif tarif penyeberangan di Pelabuhan Merak menuju Bakauheni.

Yang membedakan perjalanan mudik tahun ini adalah telah beroperasinya Jalan Tol Trans-Jawa dari ujung timur hingga barat dan jalan tol di Sumatera dari Bakauheni di Lampung hingga Palembang di Sumatera Selatan. Ini menjadi daya tarik pemudik menggunakan perjalanan darat. Apalagi harga tiket pesawat oleh sebagian orang dianggap relatif mahal sehingga angkutan darat menjadi pilihan.

Seperti telah diprediksi, peningkatan jumlah pemudik keluar Jakarta dan sekitarnya melalui Jalan Tol Trans-Jawa terjadi sejak Kamis dini hari. Kita mengapresiasi kesigapan petugas yang mempercepat sistem satu arah satu jam lebih awal dari rencana ketika terjadi penambahan jumlah kendaraan yang memasuki jalan tol.

Dengan pergerakan pemudik yang berangsur-angsur karena hari libur yang berdekatan di pekan ini, kita mengharapkan tidak terjadi penumpukan pengguna jalan. Begitu juga insentif penurunan harga tiket penyeberangan di Pelabuhan Merak bagi pengguna siang hari akan mengurai antrean penyeberang ke Sumatera yang biasanya menumpuk pada malam hari.

Yang harus terus menjadi perhatian petugas adalah pengguna kendaraan roda dua. Keinginan segera sampai ke tujuan kadang menyebabkan pengendara abai akan keselamatan.

Karena itu, juga penting memastikan tersedia tempat istirahat yang cukup, ambulans, rumah sakit dan petugas kesehatan selalu siaga, petugas pengatur lalu lintas yang terkoordinasi, serta tersedia segala kebutuhan pemudik, seperti ATM hingga bahan bakar di stasiun pengisian. Apabila semua sudah terkoordinasi baik di lapangan, kita mengharapkan para pemudik dapat menggunakan jalan raya dengan bertanggung jawab agar semua bisa mudik dengan aman dan nyaman.

Kompas, 31 Mei 2019 

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Rabu, 29 Mei 2019

TAJUK RENCANA: Akhiri Paceklik Gelar (Kompas)

Indonesia kandas di semifinal Piala Sudirman 2019. Penantian tim "Merah Putih" merebut trofi kejuaraan dunia beregu campuran itu sudah berlangsung 30 tahun.

Perlu kerja keras guna mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada. Terbukti, Indonesia hanya sekali menang telak, yakni 4-1 atas Inggris pada laga perdana Grup 1B. Pada laga kedua Indonesia kalah 2-3 dari Denmark dan menjadi juara grup.

KOMPAS/AGUNG SETYAHADI

Para pemain bulu tangkis Indonesia di Tim Piala Sudirman meneriakan yel yel penyemangat sebelum pertandingan semifinal antara Indonesia dan Jepang di Guangxi Sports Center, Nanning, Guangxi, China, Sabtu (25/5/2019). Indonesia kalah 1-3 dari Jepang yang akan berhadapan dengan China di final, pada Minggu (26/5) mulai pukul 12.00 WIB.

Pada perempat final, kita menang 3-2 atas Taiwan sehingga lolos ke semifinal menantang Jepang. Kekalahan 1-3 dari Jepang membuat Indonesia lagi-lagi harus kecewa. Gagal meraih gelar juara untuk kali kedua setelah 1989.

Kejuaraan dunia beregu campuran Piala Sudirman, yang tahun ini digelar di Nanning, China, menuntut kekuatan merata di lima nomor. Celakanya, dari peta kekuatan di Nanning, Indonesia hanya bisa bersaing di ganda putra.

Hanya ganda putra yang konsisten menyumbangkan poin. Dari empat laga Indonesia, tiga kemenangan diraih pasangan nomor satu dunia, Marcus F Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo, dan satu lagi oleh Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan, kini di urutan keempat dunia.

Kontribusi empat nomor lain, yakni tunggal putra dan putri, lalu ganda putri dan ganda campuran, inkonsisten. Ganda campuran, yang sebelumnya tulang punggung, keandalannya menurun seiring ketiadaan Liliyana Natsir. Dua ganda campuran "penerus", Hafiz Faizal/Gloria Emanuelle Widjaja (posisi keenam dunia) dan Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti (ketujuh), konsistensi performanya perlu digenjot.

Di tunggal putri, tiada pemain Indonesia di 10 besar dunia. Hanya ada Gregoria Mariska Tunjung di peringkat ke-15. Tak heran, tunggal putri hanya sekali menang, yaitu saat Gregoria menundukkan Abigail Holden (Inggris). Ganda putri? Hanya ada Greysia Polii/Apriyani Rahayu yang bisa diandalkan. Di tunggal putra, Anthony Ginting di tangga ketujuh dan Jonatan Christie (kedelapan) belum menjamin tambahan satu poin.

KOMPAS/AGUNG SETYAHADI

Tunggal putri bulu tangkis Indonesia Gregoria Mariska Tunjung terjatuh saat berusaha mengembalikan bola yang ditempatkan oleh pemain Jepang Akane Yamaguchi di sudut depan area permainan pada semifinal kejuaraan beregu campuran Piala Sudirman di Guangxi Sports Center, Nanning, Guangxi, China, Sabtu (25/5/2019). Indonesia kalah 1-3 dari Jepang yang akan melawan China di final, pada Minggu (26/5) mulai pukul 12.00 WIB.

Rentang penantian sejak 1989 bukan sebentar. Jika dicermati, sekian lamanya Indonesia mengandalkan ganda putra dan ganda campuran. Sekian lamanya pula, tunggal putra dan tunggal putri sulit bangkit, juga ganda putri.

Sebagai negara dengan sejarah panjang di bulu tangkis, RI harus segera mengatasi kesenjangan mutu di sejumlah nomor. Selain menanti 30 tahun untuk Piala Sudirman, Indonesia juga menunggu 17 tahun untuk memenangi kejuaraan dunia beregu putra Piala Thomas (terakhir diraih pada 2002) dan 23 tahun demi beregu putri Piala Uber (terakhir pada 1996).

Program kepelatihan harus segera dibenahi, jika perlu secara revolusioner. Kaderisasi juga perlu dimatangkan. Indonesia layak belajar dari China, yang pada Piala Sudirman 2017 kalah 2-3 dari Korea Selatan di final. Dua tahun setelah itu, "Negeri Tirai Bambu" mengembalikan ketangguhan dalam perhelatan 2019. Jepang dikalahkan 3-0 di laga puncak.

China cuma menanti empat tahun hingga mereka bisa merebut kembali trofi Piala Sudirman, setelah terakhir kali pada 2015. Kesuksesan China bersendikan program kepelatihan berkelanjutan sehingga kaderisasi bergulir mulus.

KOMPAS/AGUNG SETYAHADI
Pemain ganda campuran Indonesia Gloria Emanuelle Widjaja dan kawan-kawannya melakukan swafoto saat penyerahan medali perunggu pada kejuaraan beregu campuran Piala Sudirman di Guangxi Sports Center, Nanning, China, Minggu (26/5/2019). China keluar sebagai juara setelah mengalahkan Jepang 3-0. Ini gelar ke-11 China di ajang Piala Sudirman.

Kompas, 29 Mei 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Populis Vs Partai Hijau (Kompas)

AFP/BERTRAND GUAY

Presiden partai ekstrem kanan di Perancis, Perhimpunan Nasional (RN), dan anggota parlemen, Marine Le Pen, berpidato setelah ada pengumuman hasil awal pemilu parlemen Eropa dalam acara RN La Palmeraie, Paris, Perancis, Minggu (26/5/2019).

Hasil pemilu parlemen Eropa menunjukkan, partai-partai yang awalnya di pinggiran kini merapat ke pusaran dan berpotensi mengubah agenda politik Eropa.

Dari hasil penghitungan sementara pemilu parlemen Eropa yang berlangsung 23-26 Mei di 28 negara Uni Eropa, partai-partai ekstrem kanan dan Partai Hijau meraih peningkatan suara signifikan. Ini berarti partai-partai yang tadinya marjinal kini merapat ke pusaran. Sementara dukungan terhadap partai-partai arus utama yang puluhan tahun mendominasi panggung politik terus menyusut.

Kubu ekstrem kanan diperkirakan akan menguasai sepertiga kursi di parlemen Eropa (dari 715 kursi). Kontribusi terbesar datang dari negara-negara yang dipimpin partai kanan, seperti Italia, Hongaria, Polandia, dan Austria. Bahkan, Wakil Perdana Menteri Italia Matteo Salvini telah menyerukan pembentukan kubu nasionalis di parlemen Eropa.

Keberhasilan gerakan populis menjadi simbolik saat partai sayap kanan Perancis pimpinan Marine Le Pen, Perhimpunan Nasional (RN), mengalahkan partai Emmanuel Macron, Republik Bergerak (REM).

Walaupun hanya terpaut tipis, bagi Macron kekalahan ini memalukan karena dalam Pemilihan Presiden 2017, Macron mengungguli Le Pen dengan telak. Hasil itu juga menunjukkan bahwa Perancis ataupun Uni Eropa harus berbenah, bukan saja dalam penerapan kebijakan yang mengena di hati rakyat, melainkan juga dalam menarasikannya.

Kesuksesan itu ditunjukkan Partai Hijau yang berhasil menggerakkan "gelombang hijau" di seluruh Eropa. Bahkan, di Jerman, Partai Hijau menempati urutan kedua setelah partai aliansi Angela Merkel, CDU/CSU. Jika anti-imigran menjadi narasi utama partai-partai sayap kanan, perubahan iklim sebagai ancaman global menjadi senjata Partai Hijau.

Bagi warga Eropa, ancaman imigran dan ancaman iklim menjadi isu relevan, khususnya bagi pemilih muda yang terkait langsung dengan masa depan mereka. Tentu saja kemarahan terhadap kinerja pemerintah pun ikut berkontribusi pada perolehan kubu kanan ataupun hijau.

Hasil pemilu itu juga mendorong Uni Eropa untuk melakukan reorientasi mengingat kubu nasionalis bertekad akan menghalangi agenda integrasi Eropa dan reformasi ekonomi.

Meskipun kecil kemungkinan ada negara lain yang akan mengikuti jejak Inggris dengan Brexit, pendekatan UE tak boleh sama lagi. Jerman dan Perancis, yang sebelumnya menjadi lokomotif UE dan cenderung memaksakan kebijakannya, kini harus lebih menahan diri.

Jika dulu partai-partai ekstrem kanan selalu dikucilkan di parlemen Eropa, kini menjadi pertanyaan apakah kebijakan itu masih akan diterapkan. Jika kemudian kubu ini diakomodasi, seberapa jauh nilai-nilai Eropa yang mengedepankan demokrasi, persamaan, dan toleransi akan terdampak? Ini menjadi tantangan Uni Eropa, juga tantangan bersama negara-negara di dunia.

Kompas, 29 Mei 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Kelugasan dalam Pendidikan (SIDHARTA SUSILA)

Pendidikan itu sederhana. Pendidikan adalah ikhtiar menolong seseorang untuk menjadi manusia yang sesungguhnya dan sebenarnya.

Mengapa pendidikan di negeri ini terasa berat, disibukkan beragam perumitan, hingga tidak juga menunjukkan kemajuan yang mengesankan? Padahal, anak bangsa sering berprestasi di level nasional dan internasional, alokasi dana pendidikan naik, serta aneka aturan pengelolaan pendidikan digulirkan. Ada yang ganjil dengan pendidikan kita.

Bagi almarhum Romo Mangunwijaya, pendidikan itu memang sederhana. Beliau terobsesi mengembangkan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung bagi anak usia SD. Kemampuan membaca, menulis, dan berhitung yang baik bisa menjadi kendaraan bagi anak miskin untuk bertanggung jawab dan bermartabat.

Pendidikan yang baik menyentuh aspek biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Dengan tumbuh berkembangnya keempat aspek hidup manusia itu diharapkan pada akhirnya peserta didik dapat mengurus dirinya sendiri dengan bermartabat dan bertanggung jawab.

Orientasi hidup tidak hanya berfokus pada diri sendiri atau kelompok eksklusifnya, tetapi lebih-lebih merujuk pada nilai-nilai hidup bersama sebangsa setanah air. Dalam konteks manusia Nusantara pendidikan menolong seseorang terampil hidup dalam keberagaman.

Ki Hajar Dewantara merumuskan dengan lugas hikmat pendidikan di Nusantara. Pendidikan mesti menumbuhkembangkan peserta didik sebagai pribadi unik, merdeka, dan bermartabat. Pendidikan adalah ikhtiar memerdekakan nasib manusia. Maka, Ki Hajar Dewantara menyerukan agar pendidikan dihindarkan dari upaya penyeragaman.

Pendidikan harus memperjuangkan keunikan dan martabat manusia. Ujungnya, pendidikan harus melahirkan pribadi-pribadi merdeka yang mampu menentukan nasib sendiri dengan cara yang bertanggung jawab dan bermartabat.

Penumpang gelap

Ada sejumlah negara yang mampu menyelenggarakan pendidikan dengan baik, seperti Selandia Baru, Australia, Denmark, Finlandia, Singapura, Kanada, Jerman, Inggris, dan Jepang. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2018 negara-negara itu di bawah 10. Indonesia ada di urutan ke-89 dari 180 negara.

Apabila IPK baik adalah penanda kelugasan hidup berbangsa dan bernegara, apakah itu berarti pengelolaan pendidikan di negara dengan IPK baik juga diselenggarakan dengan lugas? Apakah IPK buruk merupakan penanda sebaliknya?

Apabila koruptor ibarat penumpang gelap, adakah penumpang gelap dalam dinamika pendidikan di negeri IPK buruk? Tindak koruptif tidak hanya dalam hal uang, tetapi juga dalam proses pembuatan hingga pelaksanaan peraturan.

Faktanya, hari-hari ini tidak mudah menemukan dinamika pembelajaran yang lugas, menyenangkan, dan mengasyikkan. Sejak dini anak-anak kita dibebani begitu banyak materi pelajaran. Beban pendidikan kian memberat oleh penumpang gelap yang mengusung muatan militansi primordial. Akibatnya, pendidikan tidak lagi memberdayakan dan memartabatkan. Tidak ada kelugasan dalam penyelenggaraan pendidikan.

Ketidaklugasan penyelenggaraan pendidikan membuat sekolah/yayasan kesulitan melaksanakan beragam aturan pemerintah. Misalnya, ada kegamangan melaksanakan Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 yang mengatur pembatasan jumlah siswa dan rombongan belajar. Adakah intensi lain di balik demi efektivitas mewujudkan prinsip keadilan dan pemenuhan hak memperoleh pendidikan bagi anak bangsa di Nusantara ini?

Kegamangan juga dirasakan ketika harus mengerjakan pengelolaan data pokok pendidikan agama misalnya, karena ada inkonsistensi pengelolaan pendidikan oleh oknum pemerintah.

Pendidikan tak lugas menghasilkan kesemuan: hanya membusukkan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sidharta Susila Pemerhati Pendidikan, Tinggal di Semarang

Kompas, 29 Mei 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Media Sosial dan Bisnis (AGUS SUDIBYO)

Reduksi media sosial sebagai semata-mata sarana interaksi sosial membuat publik cenderung mengabaikan tanggung jawab perusahaan (platform) media sosial sebagai entitas bisnis. Jika ada hoaks yang meresahkan masyarakat, masalahnya dilokalisasi sekadar masalah antara pembuat, korban, dan pembaca hoaks.

Perusahaan media sosial nan memperantarai persebaran hoaks seperti memperoleh impunitas. Mereka tak dituntut memikul tanggung jawab. Padahal, kian kontroversial hoaks, kian populer platform media sosial yang menyebarkannya. Popularitas ini kemudian berkorelasi dengan kenaikan nilai saham perusahaan pemilik platform berikut potensi pendapatan iklannya. Kian banyak pengguna media sosial, kian banyak pula data perilaku pengguna internet yang ditambang untuk kebutuhan pengembangan kecerdasan buatan dan machine learning.

Impunitas perusahaan media sosial itulah yang menonjol dalam kontroversi tentang gelombang hoaks yang meresahkan masyarakat setelah pengumuman hasil Pilpres 2019. Perbincangan publik hanya mempersoalkan siapa yang bikin hoaks, siapa sasarannya, bagaimana reaksi masyarakat, serta apa tindakan pemerintah dan polisi menanganinya. Bagaimana posisi perusahaan media sosial yang turut menyebarkan hoaks yang mengharu biru perasaan orang banyak itu? Luput dari pergunjingan publik.

Tampak jelas kesenjangan penangan- an hoaks di Indonesia dan di Eropa atau Australia. Dalam perspektif mereka, beban tanggung jawab atas penyebaran ho- aks melalui media sosial terutama bukan hanya pada si pembuat hoaks, melainkan juga pada perusahaan media sosial. Perusahaan inilah yang menciptakan dan mengembangkan platform media sosial. Platform media sosial inilah yang memperantarai persebaran hoaks dan meme- tik untung dari besarnya perhatian publik atas hoaks itu. Maka, fokus penanganan hoaks tak hanya pada si pembuat hoaks, tetapi terutama sekali pada perusahaan pemilik platform media sosial.

Kenapa luput?

Mengapa tanggung jawab perusahaan media sosial luput dari perhatian di In- donesia? Karena kita umumnya tidak memperhitungkan media sosial sebagai entitas bisnis yang berorientasi ekono- mi. Kata sosial dalam "media sosial" sedemikian rupa menghegemoni kesadaran publik. Kita terlambat menyadari yang sedang kita hadapi tak hanya entitas sosial yang cuma-cuma memfasilitasi masyarakat berinteraksi sosial dengan cara baru, melainkan juga entitas bisnis yang motif utamanya instrumentalisasi dan komodifikasi. Para pengguna media sosial sesungguhnya adalah "instrumen" bagi perusahaan platform untuk menambang data perilaku sebanyak-banyaknya sekaligus sasaran iklan digital tertarget yang dalam praktiknya sedemikian jauh menerabas privasi para pengguna media sosial.

Dalam konteks inilah tuntutan agar perusahaan media sosial lebih bertanggung jawab secara hukum menguat belakangan. Bagaimana dan sejauh mana tanggung jawab itu mesti dirumuskan? Pertama, seperti diusulkan The Cairncross Review (2019), perusahaan media sosial bertanggung jawab mendidik penggunanya mengidentifikasi asal, kualitas, dan tingkat kepercayaan informasi media sosial. Masyarakat perlu diajari bagaimana menyeleksi, menilai, dan mempertimbangkan konten tersebar melalui platform media sosial. Dalam kaitan ini, menjalankan literasi media tak hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab perusahaan media sosial.

Mereka yang dapat untung terbesar dari ketergantungan masyarakat terhadap media sosial semestinya berperan lebih nyata menghindarkan masyarakat dari dampak buruk media sosial. Pertimbangan lain, perusahaan media sosial yang paling memahami bagaimana platform media sosial bekerja dan berinteraksi dengan penggunanya. Mereka pula yang tahu kebutuhan membangun daya tahan pengguna menghadapi terpaan hoaks dan disinformasi.

Kedua, beberapa pihak mengusulkan perusahaan media sosial diwajibkan memoderasi konten yang terdistribusi melalui platform yang mereka kelola. Mereka harus menyunting konten yang merugikan publik atau melanggar undang-undang. Namun, langkah preventif ini menurut The Cairncross Review kurang mempertimbangkan perbedaan posisi perusahaan media sosial sebagai distributor konten dan pengguna media sosial sebagai pembuat konten.

Secara teknis sulit membayangkan platform media sosial harus memeriksa jutaan konten buatan pengguna setiap hari. Memberikan kendali kuat kepada perusahaan media sosial untuk mengontrol konten juga dianggap pilihan berisiko. Perusahaan media sosial dapat secara ketat menyensor konten yang menyebar melalui platform mereka untuk menghindari sanksi, seperti terjadi dalam penerapan The Network Enforcement Act (NetzDG) di Jerman.

Ketiga, jika langkah preventif itu sulit dilakukan, perusahaan media sosial bertanggung jawab sesegera mungkin menghapus konten yang merugikan masyarakat atau melanggar hukum. Hal inilah yang diatur di Jerman dengan NetzDG dan di Australia dengan The Sharing of Abhorrent Violent Material Bill 2019. Dalam kedua undang-undang ini, perusahaan media sosial wajib membangun sistem deteksi persebaran hoaks pada platform masing-masing secara proaktif atau atas dasar pengaduan masyarakat. Begitu konten tersebut terdeteksi, perusahaan platform harus segera meresponsnya yang mengarah pada tindakan penghapusan konten. Kelalaian dalam mengambil langkah kuratif ini melahirkan sanksi denda yang berat.

Batas waktu

NetzDG memberi batas waktu 24 jam atau tujuh hari—untuk kasus yang kompleks—kepada perusahaan media sosial yang beroperasi di Jerman dan memiliki pengguna lebih dari 2 juta orang guna menyelidiki dan menghapus konten ilegal pada platform mereka setelah menerima pengaduan. Jika ketentuan ini tak dipenuhi, Pemerintah Jerman menerapkan denda sekitar Rp 805 miliar kepada perusahaan media sosial.

Muncul kekhawatiran akan dampak yang merugikan dari skema tanggung jawab seperti ini. Perusahaan media sosial dikhawatirkan akan secara ketat menyensor konten buatan pengguna. Seperti telah disinggung, hal ini untuk menghindari hukuman denda yang diterapkan undang-undang. Soal lain, sering kali tak cukup jelas definisi hoaks, konten berbahaya, atau konten merugikan yang mendasari penghapusan konten. Jangan-jangan mengkritik pemerintah juga dianggap hoaks?

Muncul potensi pelanggaran prinsip kebebasan berpendapat atau berekspresi di sini. Apalagi belum diatur secara memadai mekanisme banding atas keputusan penghapusan konten oleh perusahaan media sosial dengan alasan-alasan di atas. Jangan-jangan terdorong oleh ketakutan terhadap sanksi denda, perusahaan media sosial melakukan sensor secara serampangan?

Kejelasan definisi dan parameter tentang konten media sosial yang melanggar hukum atau merugikan kepentingan publik serta tersedianya mekanisme banding atas keputusan penghapusan konten oleh perusahaan media sosial atau pemerintah perlu ditegaskan jika Indonesia ingin mengadopsi NetzDG Jerman. Hal yang tak kalah penting adalah menghindari sentralisasi pengelolaan konten kepada pemerintah atau perusahaan media sosial.

Dalam konteks ini perlu dipertimbangkan pembentukan lembaga perwakilan publik sebagai regulator pengelo- laan konten media sosial. Pengaturan media sosial sebagai ruang publik baru tak diserahkan kepada industri atau pemerintah, tetapi kepada lembaga perwakilan publik yang mampu menjaga jarak dari tendensi pengendalian dan penguasaan yang sangat berpotensi datang dari arah industri ataupun pemerintah.

Lembaga perwakilan publik itu berfungsi: (1) mengawasi kinerja platform media sosial dalam mengendalikan konten media sosial; (2) merumuskan definisi dan parameter konten media sosial yang melanggar hukum atau merugikan kepentingan publik dengan berpegang pada prinsip kebebasan berpendapat dan berekspresi; (3) menyusun standar pengawasan dan pengendalian konten media sosial; (4) memastikan penghapusan konten media sosial dilaksanakan secara hati-hati, berdasarkan parameter yang jelas dan  mekanisme yang transparan; (5) menjembatani kepentingan perusahaan media sosial, pemerintah, dan masyarakat; (6) merumuskan mekanisme banding atas penghapusan konten media sosial; (7) memutuskan sanksi untuk perusahaan media sosial atas penyebaran konten yang melanggar hukum atau merugikan kepentingan publik.

Agus Sudibyo Head of New Media Research Center ATVI Jakarta

Kompas, 29 Mei 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger