Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 31 Agustus 2017

TAJUK RENCANA: Haji dan Hubungan Sesama (Kompas)

Alquran menyebut tiga larangan untuk dikerjakan oleh jemaah calon haji, khususnya setelah berpakaian ihram. Salah satunya berbantah-bantahan.

Hari ini seluruh jemaah calon haji melakukan wukuf di Arafah, yang merupakan salah satu rukun haji. Kehadiran jemaah di Arafah wajib hukumnya, tidak bisa diwakilkan, sehingga ada sebutan safari wukuf bagi orang yang sedang mengalami sakit berat. Nabi Muhammad SAW menegaskan, haji adalah (wukuf) Arafah.

Di Tanah Air, beberapa hari menjelang wukuf, ramai dibicarakan terungkapnya produsen konten hoaks. Polisi menyatakan, konten hoaks diproduksi untuk kepentingan politik, ekonomi, dan kekuasaan. Presiden Joko Widodo meminta aparat mengungkap tuntas masalah itu.

Konten hoaks menimbulkan efek negatif, bahkan tidak jarang menimbulkan perdebatan sengit. Berdebat atau berbantah-bantahan terkait dengan pengendalian diri. Oleh sebab merasa diri paling tahu, paling benar, dan paling-paling yang lain, membuat perdebatan tidak jarang menimbulkan permusuhan.

Mungkin karena inilah berdebat atau berbantah-bantahan dilarang bagi para jemaah calon haji. Dengan pakaian ihram (dua kain lembar putih tanpa jahitan) saat wukuf di Arafah, mencerminkan kesamaan semua makhluk di hadapan Allah Yang Maha Esa. Sebaliknya, berdebat yang disertai ego akan membuat perbedaan semakin tajam.

Semangat kesamaan di hadapan Tuhan dan melihat perbedaan sebagai karunia inilah yang seharusnya menjadi "oleh-oleh" jemaah haji ketika kembali ke Tanah Air. Dengan bekal ini, seorang yang bergelar haji tidak lagi gampang menyalahkan, menghasut, apalagi menghina sesama manusia ciptaan Tuhan, apalagi sesama Muslim.

Seorang haji juga bersedia berbagi sesuatu yang disenanganinya. Nabi Ibrahim AS bersedia "membuang" anaknya, Nabi Ismail AS, ke daerah tandus (Mekkah), bahkan "mengurbankan" demi ketaatan dan kepatuhan kepada Sang Maha Pencipta. Kewajiban berkurban mencerminkan kebesaran jiwa untuk tunduk dan patuh pada perintah Tuhan, sekaligus kesediaan berbagi.

Semangat egaliter dan pengurbanan terasa ringan dilaksanakan jika seseorang dapat mengendalikan egonya. Perasaan lebih pintar, lebih takwa, lebih baik, lebih tahu, dan lebih-lebih yang lain kadang kala membawa kita pada perasaan lebih unggul. Jemaah calon haji sering terjebak pada perasaan seperti di atas.

Seluruh jemaah haji ingin meraih haji mabrur (yang diterima oleh Allah SWT) setelah pulang kembali ke Tanah Air. Yang perlu diingat, Tuhan menempatkan hubungan dengan sesama sebagai kriteria haji mabrur bertujuan agar sikap baik dan menghargai sesama menjadi semangat hidup kita bersama.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Haji dan Hubungan Sesama".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: KA Cepat dan Jalur Sutra Baru (J SOEDRADJAD DJIWANDONO)

Pembangunan jalur kereta api cepat Jakarta-Bandung yang dimulai awal 2016, yang diresmikan Presiden Joko Widodo, banyak dibahas di masyarakat, termasuk perdebatan pro dan kontra, ataupun laporan perkembangannya.
DIDIE SW

Saya sendiri kurang sependapat dengan pembangunan proyek ini dalam konfigurasi yang sekarang. Namun, bukan hal ini yang menjadi pokok pembahasan di sini, melainkan berbagi catatan tentang perkembangan pembangunan sistem kereta api (KA) cepat itu sendiri sebagai bagian dari program pemerintahan China yang dikenal sebagai Jalur Sutra Baru (The New Silk Road), Satu Sabuk Satu Jalan (One Belt One Road/OBOR), atau Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI).

Jalur Sutra (Silk Road) adalah terminologi yang digunakan untuk menamakan jalur hubungan ekonomi-perdagangan dan kultural Asia-Eropa yang dimulai Dinasti Han (207 sebelum Masehi-220). Presiden Xi Jinping ingin membangun hubungan Asia-Eropa dengan menggunakan hubungan yang telah berjalan berabad- abad di masa lalu sebagai pedomannya, mengaktifkan kembali hubungan ekonomi-perdagangan lama ini, baik jalur darat maupun maritim. Karena itu, program ini menyangkut pembangunan infrastruktur, termasuk pelabuhan laut dan dermaga dengan fasilitas pendukungnya di sepanjang jalur tersebut.

Dalam sistem perhubungan daratnya, China menggunakan pembangunan sistem jaringan KA cepat sebagai ujung tombaknya. Akan tetapi, program ini tidak berjalan semulus seperti yang diharapkan dan dipropagandakan oleh China ataupun sebagian negara yang ikut di dalamnya.

Pemerintah China di bawah Presiden Xi Jinping bertekad membangun hubungan perdagangan dan ekonomi antara Asia dan Eropa dengan menggunakan konsep hubungan perdagangan dan ekonomi Asia- Eropa lama yang dibangun oleh Dinasti Han di Tiongkok sebelum tahun Masehi. Sistem hubungan ekonomi-perdagangan yang juga menghubungkan kehidupan kultural antara Timur dan Barat, membentang dari semenanjung Korea dan Jepang sampai Mediteranian, ini kemudian dikenal sebagai Jalur Sutra (silk road/silk route) setelah seorang pemimpin ekspedisi Jerman, Ferdinand Richthofen, memperkenalkan nama ini pada 1877. Sementara konsep dan program Presiden Xi dinamakan Jalur Sutra Baru.

Konsep dan program Jalur Sutra Baru diluncurkan oleh Pemerintah China pada 2013 dan menjadi lebih resmi dengan diselenggarakannya konferensi puncak tentang BRI, Mei lalu, di Beijing. Konferensi dihadiri lebih dari 60 negara dengan 28 kepala negara atau pemerintahan hadir, termasuk Presiden Putin, Erdogan, dan Joko Widodo. Presiden Bank Dunia dan direktur pelaksana IMF juga hadir.

Keberhasilan China membangun KA cepat secara lebih murah dibandingkan negara-negara lain telah mendorong China menjadikan KA cepat sebagai ujung tombak program Jalur Sutra Baru. Pada 2015, saat China menjadi tuan rumah pertemuan dengan 16 pemimpin negara-negara Eropa, Perdana Menteri China Li Keqiang saat menyertai para tamunya naik KA cepat dari Suzhou ke Shanghai mengungkapkan bahwa China siap berbagi dalam teknologi pembangunan KA cepat dengan negara-negara yang menjadi peserta program ini. Li menekankan bahwa hubungan China dengan semua negara ini seperti jalannya KA yang sedang mereka tumpangi; cepat, nyaman dan aman.

Xi Jinping dalam kunjungan kenegaraan ke negara-negara dalam jalur ini, termasuk Indonesia, Pakistan, Iran, Mesir dan negara-negara Eropa Timur tak pernah lupa menyebutkan sejarah lama saat armada Tiongkok menyinggahi pelabuhan-pelabuhan negara itu menjalin hubungan ekonomi, perdagangan, dan kultural.

Jelas sekali bahwa maksud China menggunakan diplomasi KA cepat ini adalah untuk membangun hubungan dengan 65 negara-negara yang ada dalam Jalur Sutra. Pembangunan jaringan KA cepat semula juga direncanakan di Afrika, Amerika Serikat (AS), dan Amerika Latin. Program ini juga menunjang ambisi China menjadi pemimpin dunia yang akhir-akhir ini terbantu oleh mundurnya kepemimpinan AS di dunia, dengan Presiden AS Donald Trump yang menekankan kebijakan America First, keluar dari Kemitraan Trans- Pasifik (TPP), kesepakatan Paris, serta perilakunya yang tidak selalu mencerminkan seorang pemimpin dunia.

Antara konsep dan implementasi

Perkembangan proyek pembangunan KA cepat Jakarta-Bandung sebagaimana kita ikuti dari pemberitaan di media tak seperti yang semula dijanjikan. Sejak peresmiannya selalu saja ada gangguan yang menimbulkan perbedaan antara rencana dan pelaksanaan. Namun, rupanya pelaksanaan yang berbeda dengan rencana seperti terjadi dengan proyek KA cepat Jakarta-Bandung bukan suatu pengecualian dari keseluruhan program ambisius ini.

Menurut penelitian CSIS Washington DC dan Financial Times, pelaksanaan pembangunan KA cepat dalam rangka BRI lebih banyak yang bermasalah daripada yang mulus. Dalam laporan mengenai hasil penelitian tersebut disebutkan bahwa proyek KA cepat dalam rangka OBOR ini semula berjumlah 18 dengan biaya 143 miliar dollar AS, di mana China akan melakukan investasi atau membiayai pembangunannya. Akan tetapi, tak semua pelaksanaan proyek itu berjalan lancar, bahkan ada sejumlah proyek yang dibatalkan dan mandek (Financial Times, 17/7/2017).

Rinciannya adalah sebagai berikut. Pertama, ada lima proyek yang sedang berjalan: Moskwa-Kazan di Rusia, sepanjang 770 kilometer dengan biaya 21,4 miliar dollar AS, dalam tahap permulaan. Budapest-Beograd, 350 kilometer dari Hongaria ke Serbia, dengan biaya 2,89 miliar dollar AS, masih mengalami masalah karena berpotensi menyalahi ketentuan intern Uni Eropa.

Mekkah-Madinah di Arab Saudi, 453 kilometer dengan biaya 12,3 miliar dollar AS. China-Laos, dari Kunming di Provinsi Yunnan sampai Vientiane, 417 kilometer, termasuk pembangunan 75 terowongan dan 167 jembatan, biaya 5,8 miliar dollar AS, dimulai 2016. Jakarta-Bandung, jarak 142 kilometer dengan biaya 5,5 miliar dollar AS dengan pinjaman dari China Development Bank 4,5 miliar dollar AS.

Kedua, dalam perencanaan: 12 proyek dengan biaya 114,1 miliar dollar AS.

Ketiga, dibatalkan: lima proyek dengan biaya 47,5 miliar dollar AS, menyangkut pembangunan KA cepat di Myanmar (Yangon-Mandalay), Libya (Tripoli-Sirte), AS (Los Angeles-Las Vegas), Meksiko (Mexico City-Queretaro), dan Venezuela (Tinaco-Anaco). Keempat, satu-satunya yang sudah selesai adalah jalur Ankara-Istanbul di Turki.

Dari yang dibatalkan karena ambruknya pemerintahan (Khadafy di Libya) atau krisis pemerintahan dan ekonomi (Venezuela) atau yang masih dalam proses tetapi belum ada kepastian (Hongaria-Serbia) ataupun yang kurang mulus implementasinya (Jakarta-Bandung dan Laos) tampak bahwa Pemerintah China kurang menyadari perbedaan kondisi dan sistem politik serta penyelenggaraan pemerintahan setiap negara yang berbeda dengan sistem yang berlaku di China.

Aspek pembiayaan dari pembangunan proyek-proyek ini juga tidak cermat diperhitungkan atau terlalu optimistis direncanakan, termasuk janji adanya bantuan ataupun pinjaman yang tidak matang dibahas realisasinya. Misalnya, Laos yang mempunyai produk domestik bruto 12,3 miliar dollar AS, membuat utang 5,8 miliar dollar AS untuk pembiayaan proyek jangka panjang yang nilai ekonominya buat negara ini belum jelas, tentu kurang realistis.

Tampaknya juga kurang diperhitungkan risiko terjadinya hal-hal yang dapat mengganggu kelancaran implementasi di negara-negara tuan rumah proyek-proyek tersebut. Misalnya, penggunaan tenaga kerja China dalam jumlah besar yang dapat mengganggu kestabilan sosial, seperti yang kita amati di Indonesia, Laos, dan tempat-tempat lain, tentu menghalangi kelancaran implementasi program.

Tentu saja, buat China, pembangunan dengan cara demikian membantu penyelesaian masalah ekonomi domestiknya. Pelaksanaan pembangunan ini menggunakan kapasitas yang sementara tak diperlukan lagi di China karena selama belasan tahun pembangunan infrastruktur telah menghasilkan kapasitas berlebih (over supply) di seluruh China. Penggunaan kapasitas itu, di banyak negara, merupakan solusi buat kapasitas lebih—yang tanpa pembangunan dalam rangka program OBOR—akan menganggur.

Unsur domestik

Berbagai hal yang menjadi kendala lancarnya implementasi pembangunan Jalur Sutra Baru ini sebagian berasal dari unsur domestik negara yang menerima pembangunan jalur KA cepat, dan sebagian dari pihak China sendiri. Dalam aspek pembiayaannya, China sedang menghadapi implikasi dari tingkat utang yang semakin tinggi (leveraging), 260 persen tahun 2016. Contohnya, menyelesaikan masalah meningkatnya kredit bermasalah, memperlemah kemampuannya untuk menjadi pendukung utama dari pembiayaan proyek yang menelan biaya sangat besar tersebut. Keseluruhan biaya BRI mencapai 900 miliar dollar AS, di mana 143 miliar dollar AS di antaranya untuk pembangunan jaringan KA cepat.

Dari pihak negara penerima, peningkatan utang yang terkait dengan pembiayaan pembangunan proyek jaringan KA cepat ini menjadi kendala yang semakin tidak dapat diabaikan. Selain itu, permasalahan sosial-politik berkaitan dengan besarnya penggunaan tenaga kerja China di setiap negara penerima proyek juga harus diperhatikan.

Bahkan, penggunaan pinjaman sebagai sumber pembiayaan juga menghadapi kendala karena meningkatnya jumlah utang yang dapat membahayakan kestabilan moneter bagi perekonomian peserta dan penerima utang. Semua ini merupakan catatan terhadap implementasi pembangunan jalur KA cepat China sebagai bagian dari pelaksanaan proyek Jalur Sutra Baru yang tidak semulus konsep awalnya.

Buat Indonesia, tentunya hal-hal ini sudah menjadi perhatian pemerintah, tidak hanya dalam pembangunan jaringan KA cepat, tetapi juga dalam pembangunan sejumlah pelabuhan yang akan menjadi jaringan BRI China. Dalam jaringan proses produksi, rantai pasokan (supply chain) dan rantai produksi (production chain), manfaat dari mereka yang ikut serta dalam jaringan tersebut jelas. Akan tetapi, saya kira tidak demikian halnya dalam jaringan OBOR. Dalam hal ini kita harus selalu mengedepankan kepentingan nasional, kepada apa yang akan diperoleh buat perekonomian nasional sebelum kita menerima tawaran yang ternyata tidak selalu manis tersebut. Semoga.

J SOEDRADJAD DJIWANDONO, GURU BESAR EKONOMI EMERITUS UNIVERSITAS INDONESIA DAN PROFESOR EKONOMI INTERNASIONAL S RAJARATNAM SCHOOL OF INTERNATIONAL STUDIES, NANYANG TECHNOLOGICAL UNIVERSITY, SINGAPURA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "KA Cepat dan Jalur Sutra Baru".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: ”Rukun Baru” Haji (MAHRUS ALI)

Perjalanan haji tahun ini diwarnai ramainya unggahan tentang apa saja yang sedang terjadi di kota suci Mekkah sehingga dapat disaksikan dari Tanah Air seketika.

Paling menonjol adalah perilaku yang disebut-sebut sebagai "rukun baru" haji. Pahadal, syarat dan rukun sudah haji sudah ditetapkan sejak perintah turun pada tahun 9 Hijriah dan tidak berubah hingga kini.

"Rukun baru" ini diam-diam diamini sebagian besar jemaah haji (ijma' sukuti) dengan ikut melakukan amalan tersebut sejak keluar rumah di kampung halaman hingga masuk Masjidil Haram di depan Kakbah. Tidak hanya sendiri, bahkan sering dilakukan secara berjemaah.

"Ibadah" berswafoto

Aktivitas ini diamalkan serentak dengan intensitas tinggi, bahkan mirip sunahqabliyah dan bakdiyah yang mengiringi ibadah wajib. Sampai-sampai ketika terjadi cobaan bertubi-tubi pada musim haji sebelum tahun ini, seperti ambruknya crane di Masjidil Haram dan musibah Mina dengan ratusan korban wafat dan cedera, jemaah tetap dapat melakukan dengan menjadikan semua peristiwa sebagai latar belakang.

Fenomena itu kemudian jadi laporan di harian Arab News pada musim haji tahun lalu dengan judul besar "Say No To Hajj Selfie".Lebih mengejutkan lagi, dalam ilustrasi foto terlihat kebanyakan "pelaku"-nya berparas Indonesia. Mungkin karena jemaah haji Indonesia termasuk tiga besar dunia atau karena kegemaran baru tersebut menguasai sebagian besar jemaah haji kita.

Kesibukan jemaah berswafoto alias ber-selfie memang sudah menggejala sejak sekitar tujuh tahun terakhir ketika produk telepon pintar berada dalam genggaman banyak umat, sampai-sampai swafoto dapat dilakukan kapan saja, di mana saja, termasuk di situs-situs suci di kota suci Mekkah dan Madinah oleh jemaah yang sedang melaksanakan ritual suci berhaji. Tidak jarang ditemui jemaah melakukan swafoto dan video call dari dalam masjid. Pemandangan demikian jarang ditemui sebelum itu.

Untuk menjaga ketertiban umum, sudah banyak arahan ulama di sejumlah negara agar jemaah tidak sibuk dengan telepon pintarnya hingga fatwa keras dilarang swafoto dalam menjalankan rangkaian ibadah haji. Di sejumlah sudut luar Masjidil Haram juga dapat dilihat dengan jelas terpampang papan-papan peringatan larangan memotret atau merekam gambar atau video di sekitar masjid, apalagi sampai di sebelah Kakbah yang disucikan.Akan tetapi, kegiatan berswafoto terus berlangsung, bahkan bertambah masif.

Mengapa jemaah haji masa kini terkesan lebih leluasa menunaikan keinginan pribadi ataupun hasrat bersama untuk berswafoto? Banyak faktor pendorongnya, tetapi kemungkinan terbesar adalah karena kontrol petugas atas penggunaan alat perekam lemah. Ini dapat dibuktikan dengan indikasi semakin tahun jarang ditemui ada alat perekam atau jemaah ditahan aparat akibat kegiatan merekam seperti kejadian pada 1980-an hingga 2000-an. Saat itu, produk kamera analog sedangbooming dan banyak anggota jemaah haji menenteng kamera sampai ke dalam masjid. Kala itu, tidak sedikit kejadian penyitaan hingga penangkapan jemaah sehingga keluar aturan larangan merekam di sekitar masjid.

Pengalaman Kiai Husein Muhammad—pengasuh Pesantren Arjawinangun, Cirebon—berikut ini menjelaskan betapa pada masa itu soal potret-memotret tempat suci hingga situs bersejarah merupakan tabu yang dilarang keras. Pada 1981, Husein muda yang masih mahasiswa di Mesir melaksanakan haji pertama.Perjalanan dari Port Sa'id ke pelabuhan Jeddah ditempuh selama dua malam. Suatu hari, ia mengantar jemaah haji dari kampungnya mengunjungi Jabal Tsur, gunung tempat Nabi dan Abu Bakar bersembunyi dari kejaran kaum kafir Quraisy.

Di bawah gunung itu, ia mengeluarkan kamera, lalu men-"jeprat-jepret"-kan ke jemaah yang antusias ingin diabadikan. Tiba-tiba askar (satpol PP) datang lalu mengejar dan merampas kamera Husein. Katanya, "Haram, haram, mamnu'tashwir,"—Haram, dilarang ambil foto. Dalam kenangan Kiai Husein, seperti ditulis di laman media sosialnya belum lama ini, saat itu jemaah menyaksikan dan sebagian menangis melihat kerasnya sikap askar Saudi, padahal kejadian itu tidak di masjid, bukan di sekitar Kakbah, tetapi jauh di bawah gunung bersejarah.

Hari ini kita menyaksikanjemaah melakukan swafoto—baik sendiri-sendiri atau berombongan, bahkan ada yang siaran langsung melalui alat komunikasi pintar—hanya berjarak beberapa meter dari titik pusat Kakbah. Keadaanberhaji seperti tergambarkan saat ini sangat berbeda dengan situasi perjalanan haji pada waktu silam ketika media sosial belum jadi bagian inti keluarga banyak orang. Saat itu, kalaupun ada di antara jemaah yang mengambil foto, biasanya jauh dari tempat-tempat yang disucikan.

Dulu dan sekarang

Melihat dari dekat suasana haji tahun-tahun belakangan yang terkesan riang gembira mengingatkan kita pada keadaan jemaah haji sebelum kemerdekaan yang memilukan. Kepiluan itu setidaknya tampak dalam penelitian Dien Majid (Haji Masa Kolonial, 2008) yang menulis bahwa tidak sedikit jemaah haji dari Nusantara yang terjebak calo kapal hingga hanya sampai di Singapura. Di negeri pulau kecil ini, sebagian jemaah kemudian ditawari sebagai pekerja kebun di sebuah kepulauan agar mendapatkan dana untuk meneruskan perjalanan ke Jeddah, akan tetapi ada yang tidak pernah keluar dari perkebunan. Alhasil, banyak di antara mereka yang terpaksa kembali lagi ke kampung halaman hingga pada masa itu terkenal dengan sebutan "Haji Singapura". Yang sampai ke Jeddah pun telantar dan saat kembali ke Tanah Air kembali berhadapan dengan mafia kapal yang menerapkan tarif berlipat, tanpa ada pilihan.

Membayangkan saja haji pada masa lampau sudah terasa demikian berat. Sungguh berbeda dengan situasi haji pada hari ini yang bertabur senyum dan tawa sebagaimana tergambar dalam foto-foto, video, dan siaran langsung di media sosial.

Kesibukan di sela melaksanakan ibadah ini tentu saja berpotensi menimbulkan sikapriadanujub yang mengurangi makna substansial ibadah. Bukan cuma itu, kegaduhannya pun dapat menimbulkan gangguan di tempat ritual.

Itu sebabnya, sejak sebelum telepon pintar mewabah, pengelola Masjidil Haram dan Masjid Nabawi sudah memasang papan larangan mengambil foto di area dalam masjid. Sampai hari ini papan pengumuman dalam berbagai bahasa itu masih terpampang jelas, tetapi tampaknya dipandang seperti hiasan dinding yang tidak bermakna

Sebagai introspeksi kecil, berhaji tentu tak harus seperti pemain bola yang tidak boleh membawa telepon pintar ke tengah lapangan. Boleh saja berswafoto sebagai cara paling sederhana mencatat atau mendokumentasi perjalanan, tetapi tentu dalam batas-batas yang proporsional agar tidak sampai menyetarakannya dengan rukun yang wajib dikerjakan di setiap tempat dan waktu dalam perjalanan ibadah haji yang sakral itu.

MAHRUS ALI, PENGURUS PUSAT IKATAN PERSAUDARAAN HAJI INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul ""Rukun Baru" Haji".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

RENUNGAN IDUL ADHA 1438 H: Berkurban untuk Penguatan Kohesi Sosial (AZYUMARDI AZRA)

Lusa, 10 Zulhijah 1438 Hijriah/1 September 2017, kaum Muslimin-Muslimat kembali melaksanakan ibadah Idul Adha yang juga disebut Idul Kurban. Inilah momen penuh rahmat untuk bersyukur dan takarub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT agar menjadi hamba yang pandai bersyukur('abdan syakuran) untuk mencapai derajat takwa.

Takwa adalah pesan penting Islam untuk membentuk pribadi yang senantiasa terhiasi kebaikan dan terpelihara dari keburukan. Salah satu karakter mereka yang benar-benar bertakwa adalah integritas diri. Tidak hanya secara individual-personal dengan Tuhan (habl min Allah), tetapi juga sosial-komunal (habl min al-nas) agar dapat menjadirahmatan lil 'alamin.

Hari ini, jutaan kaum Muslimin dan Muslimat di Mekkah yang datang dari berbagai penjuru dunia dalam puncak kesibukan melaksanakan ibadah haji, rukun Islam kelima. Menunaikan ibadah haji sebagai perjalanan keagamaan (ziyarah atau pilgrimage), seperti firman Allah SWT (QS Ali Imron/3 Ayat 97), merupakan kewajiban setiap Muslim-Muslimah yang memiliki kemampuan (istita'ah) ekonomi, ilmu pengetahuan, dan kesehatan jasmani.

Melakukan perjalanan ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji adalah rihlah mubarakah (perjalanan penuh berkah). Ibadah haji adalah salah satu titik puncak peningkatan kualitas rohaniah dan spiritualitas.

Ibadah haji lebih dari sekadar pelaksanaan semua tata cara formal ritual haji seperti ditentukan fiqh. Mengerjakan fiqh ibadah haji, jemaah haji mengalami perpindahan dari dataran kehidupan profan, keduniaan, menuju kesucian seperti disimbolkan pakaian ihram serba putih. Penyucian diri tidak hanya secara fisik, tetapi juga pembebasan diri dari simbolisme lahiriah dan materi yang menunjukkan diferensiasi sosial.

Semua ritual fiqhiyah haji menghilangkan berbagai perbedaan yang bisa memisahkan kaum Muslimin: perbedaan jender, sosial, ekonomi, budaya, etnisitas, dan sosial-politik. Mereka setara di hadapan Allah. Ibadah haji adalah momen unik bahwa umat Islam menjalani kehidupan secara egaliter, multietnis, multikultural, serta mengabdikan diri, kelompok, dan golongan untuk pengejawantahan nilai keislaman dan kemanusiaan.

Berkorban materi

Setiap jemaah haji dan sanak saudara yang menunggu di Tanah Air berharap agar ibadah haji yang dilaksanakan dapat mencapai haji mabrur. Dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim ditegaskan, "Haji mabrur itu tidak ada balasannya, kecuali surga."

Kata mabrur dalam hadis ini memiliki keterkaitan dengan kata al-birr yang berarti kebajikan atau perbuatan baik yang dikerjakan atas dasar takwa kepada Allah SWT. Kata al-birr disebut di dalam banyak ayat Al Quran, seperti Ali Imron/3 Ayat 92 yang menegaskan, "Kamu tidak akan mendapat kebajikan sebelum kamu mendermakan sebagian harta yang kamu cintai."

Bagi mereka yang memiliki kemampuan pendanaan, pengeluaran biaya untuk melaksanakan ibadah haji adalah pengorbanan materi. Berkorban materi dalam bentuk zakat, infak, sedekah, dan wakaf sangat penting dalam Islam demihabl min Allah dan habl min al-nas.

Lebih jauh, al-birr juga mengandung makna mendermakan harta kepada orang-orang yang membutuhkan. Mengorbankan materi harta tidak selalu mudah. Apalagi, jika harta diperoleh susah payah secara halal sesuai tuntunan Islam dan hukum negara. Di sinilahrelevansi prinsip Islam bahwa harta adalah ujian, apakah pemiliknya dikuasai dan diperbudak materi, tidak mau mengorbankannya. Atau sebaliknya, pemilik mengendalikan harta dan mengeluarkan sebagiannya agar juga bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa.

Pengorbanan materi lain adalah kewajiban melaksanakan kurban hewan. Ibadah ini sekaligus merupakan ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas berbagai rezeki dan nikmat yang telah diberikan kepada hamba-Nya (Surat Al-Kautsar/108 Ayat 1-3).

Kesabaran dan keikhlasan berkurban seperti diperlihatkan Nabi Ibrahim dan Ismail adalah jihad akbar. Berkurban dengan hewan sembelihan juga adalah simbol usaha manusiamendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) sesuai kandungan kata qurban. Kurban juga sekaligus untuk taqarrubila al-nas, saling akrab di antara sesama manusia. Di tengah kesulitan ekonomi yang masih dialami sebagian bangsa Indonesia,taqarrub ila al-nas merupakan urgensi.

Dengan demikian, ibadah kurban dan haji mabrur mesti tecermin dalam peningkatan perbuatan al-birr, yaitu pengorbanan materi dalam bentuk derma, zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Jika semua dilakukan, kian kuat solidaritas atau kesetiakawanan dalam kehidupan bangsa sehingga memiliki kohesi dan ketahanan sosial lebih kokoh lagi.

Kebutuhan meningkatkan perwujudan serta realisasi mabrur dan al-birr untuk penguatan kohesi sosial jelas sangat mendesak di Tanah Air. Sekarang diperkirakan masih ada sekitar 28 juta warga Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan hanya sekitar Rp 20.000 per hari sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok untuk hidup secara baik, sehat, dan layak.

Berkorban "ananiyah"

Muslim dan Muslimah dituntut tidak hanya berkorban materi, tetapi juga non-materi, seperti hawa nafsu ananiyah, egoisme yang dapat menguasai anak manusia dengan merugikan pihak lain.

Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail memberikan contoh sangat baik dalam mengorbankan ananiyah masing-masing. Ibadah kurban mengandung makna pengorbanan egoisme yang hampir selalu cenderung hanya mempertimbangkan kepentingan diri dan kelompok atau golongan.

Ibadah haji yang dilaksanakan dalam rangkaian "paket" dengan ibadah kurban juga mengandung makna pengorbananananiyah. Jemaah haji dilarang mementingkan diri sendiri dengan mendesak atau menyikut jemaah lain, juga dilarang marah ketika tersikut dan terdesak dalam kerumunan jemaah lain.

Sulit dimungkiri, banyak kerusakan dan kehancuran yang dialami individu, kelompok, golongan manusia, dan negara-bangsa terjadi karena kegagalan anak manusia mengendalikan dan mengorbankan ananiyah untuk kepentingan lebih besar.

Gejala peningkatan ananiyah yang destruktif kini terlihat kian mewabah di Tanah Air. Salah satu bentuknya adalah penyebaran hoaks (kebohongan dan fitnah) yang disebarkan secara masif melalui media sosial khususnya. Jika hawa nafsu ananiyah seperti ini tidak dikorbankan, pertikaian dan konflik yang dimunculkannya bisa merusak kohesi sosial dan keutuhan negara-bangsa Indonesia.

Kewajiban mengorbankan materi danananiyah jelas terutama terletak pada lapisan elite bangsa: pemimpin, ulama, hartawan, dan pembentuk opini publik. Di tengah masih bertahannya kepincangan ekonomi-sosial dan meningkatnya penyebaran adu domba dalam kehidupan bangsa, sepatutnya lapisan elite bangsa merayakan Idul Adha atau Idul Kurban tidak sekadar rutinitas, tetapi mewujudkan makna terdalamnya dalam kehidupan aktual negara-bangsa. Hanya dengan begitu, keberagamaan lebih fungsional untuk kohesi sosial.

AZYUMARDI AZRA, PROFESOR SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2017, di halaman 1 dengan judul "Berkurban untuk Penguatan Kohesi Sosial".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Menjangkau Si Miskin di Desa (IVANOVICH AGUSTA)

Rapat terbatas kabinet Presiden Joko Widodo berupaya mengurangi kemiskinan di perdesaan (Kompas, 26/7). 

Masalahnya, program pemerintah tidak lagi efektif menjangkau orang miskin.

Berbagai publikasi BPS mengabarkan jumlah si miskin di perdesaan mandek di kisaran 18 juta jiwa atau 14 persen sejak 2014. Padahal selama 2014-2016 saja digelontorkan anggaran kemiskinan Rp 418 triliun (termasuk dana desa Rp 67 triliun), ditambah subsidi petani Rp 94,9 triliun.

Kesulitan menjangkau si miskin di desa lantaran berbeda karakteristik dari perkotaan. Di kota, golongan miskin mudah dijangkau secara individual, seperti anak jalanan, pelacur, pekerja informal, jompo di rumah gubuk atau rumah susun. Kehidupan individualis membuka sosok si miskin sehingga mudah dikenali di sepanjang jalan.

Di desa, kehidupan komunal menyembunyikan wajah kemiskinan. Sejak 1956, Clifford Geertz sekadar menjumpai golongan "tidak cukup", tapi tidak sampai miskin, apalagi melarat. Sebab, si miskin di desa hanya terjangkau dalam lingkup keluarga. Anak miskin yang ditinggal migrasi orangtuanya ke luar negeri tetap dijaga orangtua dan mertua. Sarapan hingga makan malam jompo dikirimi tetangga. Kemiskinan mendadak lantaran rumah roboh, bencana alam, kegagalan panen ditanggulangi bersama dalam lingkup rukun tetangga (RT) atau dusun (rukun warga/RW).

Tubuh miskin yang selalu terselip di antara tetangga penolongnya mengindikasikan upaya menjangkau si miskin paling tepat melalui ketua RT. Pengumpulan data mikro yang mencakup nama dan alamat si miskin tepat ditugaskan kepada ketua RT. Hanya, perlu dicatat, metode ini cocok ketika dilaksanakan pertama kali pada suatu RT. Sebab, begitu warga mengetahui trik di dalamnya, keakuratan penetapan keluarga miskin menurun.

Pemerintah bisa menjalankan diskusi serentak ke semua RT di Indonesia. Pendamping desa bisa digerakkan. Tahun berikutnya tinggal ketua RT memperbaiki data registrasi kemiskinan: mencoret keluarga yang mentas dari kemiskinan dan mencatat yang jatuh miskin kembali.

Ketika dipraktikkan sebagai studi multikasus, hingga kini hasilnya konsisten: golongan melarat berpenghasilan seperlima garis kemiskinan. Dengan garis Maret 2017 setinggi Rp 2 juta per keluarga dalam sebulan, pendapatan mereka tak lebih dari Rp 400.000. Mereka menumpang pada kerabat, tinggal di lahan tetangga, atau lahan desa. Karena jompo dan sakit keras, mereka tidak memiliki pekerjaan tetap.

Golongan miskin memiliki penghasilan sampai garis kemiskinan tinggal di rumah sederhana di lahan terbatas. Karena masih muda, mereka mampu bekerja serabutan atau menjadi buruh tani dan buruh konstruksi.

Tangga stratifikasi sosial tingkat RT juga berisi upaya keluarga keluar dari kemiskinan, juga kejadian buruk yang memiskinkannya. Inilah mata air bagi pendekatan baru penanggulangan kemiskinan karena telah efektif dijalani keluarga miskin di desa.

Golongan melarat yang sakit parah mustahil beraktivitas sehingga layak mengakses kartu kesehatan dan pangan yang mencukupi sepanjang tahun.

Golongan miskin yang masih mampu bekerja diberdayakan pada pertanian dan konstruksi. Mandor bangunan mendaftarkan pekerja ke balai pelatihan konstruksi. Setelah konsisten menjaga mutu kerja infrastruktur terbangun, di akhir proyek mereka meraih sertifikasi tenaga kerja konstruksi. Inilah modal dapat upah lebih tinggi dan terjamin.

Pendidikan kejuruan pemuda desa yang berakhir sebagai migran sektor formal di Asia Timur mencipta tangga pengentasan rakyat miskin. Gaji pemuda migran menambah aset lahan bagi keluarga miskin selama 1999-2017. Maka, badan usaha milik desa (BUMDes) perlu mencipta pinjaman dana pendidikan.

Sejak 2012, skema kredit menjelma sebagai pintu keluar dari kemiskinan bagi aktivitas informal. Maka, BUMDes perlu menyediakan layanan simpan-pinjam mikro.

Peningkatan nilai tukar petani gurem cuma terbuka melalui pengurangan biaya asupan pupuk, pestisida, biaya pengairan, dan sewa mesin pertanian. Mustahil melalui peningkatan harga pangan karena membentur kepentingan konsumen. Konsekuensinya, kartu diskon bisa diciptakan bagi petani gurem. Nama dan alamat mereka teregistrasi pada Sensus Pertanian 2013. Kartu petani gurem berfungsi layaknya kartu siswa miskin; diskonnya baru muncul saat petani membelanjakan asupan usaha tani.

Buruh tani perlu dukungan finansial agar secara berkelompok menyewa lahan. Jika lahan sewa sempit, paling tepat ditanami hortikultura bernilai ekonomis tinggi. Subsidi sewa lahan atau kredit super-ringan dari BUMDes tepat mengentaskan kelompok buruh tani jadi petani kecil.

IVANOVICH AGUSTA, SOSIOLOG PERDESAAN IPB, BOGOR

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Menjangkau Si Miskin di Desa".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Aksi Korut Tak Bisa Dibiarkan (Kompas)

Korea Utara sekali lagi memperlihatkan, mereka tidak ambil pusing dengan tekanan internasional agar Pyongyang menghentikan uji coba rudal.

Berbeda dengan 13 peluncuran rudal lainnya sepanjang tahun ini, bahkan dengan semua uji coba peluncuran rudal sejak Kim Jong Un berkuasa tahun 2012, rudal yang diuji coba pada 29 Agustus lalu meluncur melewati wilayah udara Jepang. Rudal itu meluncur sejauh 2.700 kilometer melewati Pulau Hokkaido sebelum jatuh di Samudra Pasifik, sekitar 1.200 km dari pantai timur Hokkaido.

Jepang adalah negara kepulauan yang tersebar dari utara ke selatan di sisi timur Asia. Hal ini membuat semua negara di Asia Timur yang ingin meluncurkan rudal ke Samudra Pasifik harus melewati wilayah udara Jepang. Sebelum ini, Korut selalu meluncurkan rudalnya dengan sudut nyaris tegak, tinggi ke udara, dan jatuh dekat di laut Timur atau Laut Jepang, di antara Semenanjung Korea dan Jepang.

Kali ini, Korut tidak punya pilihan dan mengambil risiko ini untuk menguji jarak jangkau optimum rudal yang mereka miliki. Meski ulah Korut ini membuat Tokyo berang, hampir pasti tidak ada balasan berupa tindakan militer karena tak langsung mengancam Jepang.

Bagi Korut, peluncuran ini bisa dinilai berhasil memperlihatkan maksud mereka. Alasan utama, seperti disebut Pyongyang, adalah sebagai balasan atas latihan militer bersama yang dilakukan Amerika Serikat (AS) dan Korea Selatan. Latihan rutin dua kali setahun ini selalu dilihat Pyongyang sebagai persiapan kedua negara untuk menyerang mereka.

Namun, setelah sempat mengancam meluncurkan rudal ke Guam, teritori AS di Pasifik, uji coba ini bisa dilihat sebagai cara Korut menunjukkan kemampuannya kepada AS. Jarak Guam dari Pyongyang tak sampai 3.500 km, dan Kim Jong Un sudah menegaskan peluncuran ini adalah latihan sebelum meluncurkan rudal ke Guam. Pesan lainnya, tentu, bahwa Jepang berada dalam jangkauan Korut jika sampai aksi militer terjadi.

Seperti uji coba peluncuran rudal sebelumnya, komunitas internasional beramai-ramai mengecam program nuklir dan rudal Korut, dan mendesak Pyongyang menghentikan provokasi. Dunia tak bisa membiarkan negara seperti Korut, yang nekat dan keras kepala, menguasai senjata nuklir yang sangat dahsyat dampaknya. Jepang, sebagai satu-satunya negara yang pernah menjadi sasaran serangan bom atom, sangat memahami hal ini.

Meski tujuh putaran sanksi ekonomi, upaya diplomasi, dan perundingan Enam Pihak sampai kini belum membawa hasil, dunia tidak boleh berhenti mendesak Korut untuk menghentikan program nuklir dan mencari cara mengakhiri ketegangan tanpa aksi militer. Seperti yang ditegaskan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, tak boleh ada lagi pertempuran di Semenanjung Korea.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Aksi Korut Tak Bisa Dibiarkan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

”Safe House”//Ganjil Genap Jalan Tol//Galian Lagi (Surat Kepada Redaksi Kompas)

"Safe House"

Kata safe house dalam Agustus ini beberapa kali terdengar di televisi, digunakan dalam selisih pendapat antara tim panel Angket DPR dan KPK.

Dari tayangan televisi, kita tahu bahwasafe house adalah rumah atau ruang dalam rumah tempat saksi suatu perkara pelanggaran hukum/kejahatan "disinggahkan" (tinggal) sementara untuk kepentingan pengadilan. Dalam safe house, seorang saksi dapat terjaga dari pengaruh luar yang bisa mengganggudue process of law .

Hanya saja, dua kata dalam bahasa Inggris itu bukanlah sebutan yang benar untuk rumah seorang saksi dijaga dari pengaruh luar. Oxford Advanced Learner's Dictionary memuat jejar safe house sebagai "house used by criminals, secret agents, etc, where somebody can be kept without being discovered or disturbed" (tidak diterangkan sebagai tempat aparat hukum melindungi saksi). Media Barat dalam bahasa Inggris biasanya mengartikan safe house sebagai tempat penjahat mencari perlindungan.

Karena itu, barangkali sebutan safe house untuk tempat/rumah aparat hukum (KPK) memberi perlindungan atas saksi rasanya tidak mengena dan tentu juga rumah aman sebagai terjemahannya karena mempunyai konotasi yang sama. Kalau memang diperlukan sebutan resminya, tentu banyak pilihan sebutan yang lebih sesuai dengan tujuannya untuk melindungi saksi.

Misalnya, rumah singgah peradilan, suatu konstruksi yang diperlukan sebagai konsekuensi dari tugas untuk melindungi saksi. Jadi, kerahasiaannya perlu dijaga bersama.

Banyak konstruksi dalam kosakata berbagai bahasa menggunakan penghalus, eufemisme. Tentang keluh kesah seorang saksi atas kondisi di kamarsafe house bisa dimengerti karena barangkali biasanya di rumahnya serba enak, nyaman, dan bersih. Sekarang serba kurang dari semestinya.

SOEGIO SOSROSOEMARTO, JALAN KEPODANG, BINTARO JAYA, TANGERANG SELATAN

Ganjil Genap Jalan Tol

Wacana penerapan nomor polisi kendaraan ganjil genap di jalan tol menimbulkan pro kontra. Mungkin benar jalan pikirnya: apabila jalan tol telah sangat padat, melebihi kapasitas, sudah seharusnya masuknya kendaraan dibatasi. Namun, penerapan ganjil genap akan menimbulkan banyak masalah dari segi teknis ataupun penegakan hukum.

Dapat dibayangkan, akan banyak mobil yang ditilang karena melanggar peraturan, baik karena kealpaan akan tanggal dan waktu maupun karena ketidaktahuan (misalnya kendaraan yang datang dari luar kota).

Akan lebih sederhana apabila dilakukan penutupan pintu masuk tol di tempat-tempat tertentu pada jam tertentu sehingga akan membatasi kendaraan yang masuk ke jalan tol yang memang sudah sangat padat. Penutupan seperti ini dapat dibenarkan karena apabila kendaraan dibiarkan tetap masuk, yang dirugikan adalah kendaraan itu sendiri karena sudah membayar tiket tol, tetapi menemui kemacetan.

Penutupan ini harus disosialisasikan jauh hari sebelumnya untuk memberi kesempatan kepada mereka yang biasa melewati pintu tol tersebut mencari alternatif. Bisa dengan menggunakan pengangkut umum, melalui jalan alternatif, atau mengubah waktu kepergian. Dengan cara ini, pengelola jalan tol dapat dengan fleksibel menetapkan waktu untuk penutupan pintu masuk tol.

DHARMA K WIDYA, JALAN TANAH TINGGI RT 015 RW 002 JAKARTA PUSAT

Galian Lagi

Sudah lama saya memendam keheranan dan kejengkelan yang sama dengan beberapa kawan. Sampai beberapa hari lalu seorang kawan menulis di Facebook: "Sudah sejak tahun 1990 tinggal di Cinere, kayaknya setiap saat selalu ada galian."

Bisa galian apa saja. Listrik, telepon, entah apa lagi. "Bagaimana koordinasinya?" gugat warga. Namun, justru koordinasi menjadi kambing hitam.

Apakah tidak ada solusi yang lebih "pintar" sedikit sesuai dengan jargon yang dipakai salah satu perusahaan yang memiliki jaringan itu? Misalnya, membuat sistem ducting. Dalam bayangan saya, ada semacam saluran khusus untuk berbagai utilitas berbentuk tetap, berukuran tertentu, terbuat dari besi beton atau lainnya, dilengkapi dengan lubang kontrol.

Dengan saluran tetap begitu, siapa pun atau instansi mana pun dapat menggunakan saluran tanpa perlu menggali-gali lagi sehingga tidak bikin rugi masyarakat (toko mesti tutup, jalan macet, dan kecelakaan).

IGNATIUS WIDYANANDA, LIMO, DEPOK

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Rabu, 30 Agustus 2017

TAJUK RENCANA: Literasi Digital Jadi Mendesak (Kompas)

Revolusi digital yang melahirkan media sosial telah menciptakan keguncangan. Di media sosial semua orang bisa memproduksi konten apa pun.

Keguncangan juga terjadi di Indonesia. Saracen pemicunya. Saracen dituduh sebagai produsen konten dengan imbalan komersial. Sayangnya, konten yang diproduksi Saracen adalah konten negatif, berupa fitnah, kebohongan, dan konten SARA. Konten yang tidak produktif bagi bangsa ini, menurut penyelidikan kepolisian, dipesan untuk kepentingan politik kekuasaan atau pemilu.

Saracen merupakan bagian hilir dari sejumlah permasalahan. Polri sedang menyelidiki siapa di balik Saracen dan siapa pemesan konten negatif dari Saracen. Tiga orang dikabarkan telah ditangkap. Sejumlah orang akan diperiksa. Presiden Joko Widodo sudah memerintahkan Polri mengungkap tuntas kasus itu.

Biarlah proses hukum berjalan sesuai dengan aturan hukum, tanpa harus mengintimidasi kemerdekaan menyampaikan pendapat dan kritik. Namun, pendapat dan kritik harus tetap sesuai dengan hukum dan kesopanan.

Dalam konteks itu pulalah, kita sependapat dengan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara dan Gubernur Lemhannas Agus Widjojo untuk menggiatkan literasi digital. Literasi digital harus melibatkan semua komponen masyarakat untuk menyiapkan masyarakat agar bisa berpikir kritis menyikapi informasi yang berlimpah. Mendidik masyarakat untuk bersikap skeptis terhadap konten negatif yang melimpah di dunia maya.

Peran organisasi keagamaan, organisasi politik, dan juga organisasi profesi diperlukan untuk melawan konten negatif. Kampanye bersama melawan hoaks harus dilakukan berkelanjutan. Masyarakat juga harus dipersiapkan untuk bisa melawan konten negatif dengan melaporkan kepada penyedia platform.

Kehadiran produsen konten, apakah konten positif ataupun konten negatif, difasilitasi penyedia platform seperti Facebook, Twitter, Instagram, Telegram, dan Google. Dengan makin kayanya konten di platform itu memungkinkan hadirnya bisnis yang menggiurkan. Penyedia platform menikmati keuntungan dengan konten yang diproduksi masyarakat. Di sinilah sebenarnya tanggung jawab moral penyedia platform dituntut.

Tidak boleh atas nama kebebasan demi kebebasan, penyedia platform merasa tidak bertanggung jawab terhadap kehadiran konten negatif yang merusak. Menjadi tugas pemerintah untuk memaksa penyedia platform ikut bertanggung jawab terhadap kehadiran konten-konten negatif. Pemerintah Indonesia punya kewenangan untuk memaksa penyedia platform agar ikut bertanggung jawab terhadap konten yang disalurkan melalui platform yang mereka punyai.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Literasi Digital Jadi Mendesak".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Contoh Lagi dari Korea Selatan (Kompas)

Vonis lima tahun penjara terhadap ahli waris perusahaan Samsung menegaskan niat kuat Korea Selatan dalam memberantas praktik korupsi.

Akhir pekan lalu, Lee Jae-yong (49) dinyatakan bersalah karena menyuap dan bersumpah palsu. Ahli waris perusahaan raksasa Samsung ini juga dinyatakan terlibat skandal. Samsung adalah salah satu dari chaebol ataudaegieop—konglomerat besar yang dikuasai keluarga—yang mendominasi ekonomi negara selama beberapa dekade terakhir. Mereka memiliki hubungan kuat dan erat dengan elite politik di Korsel.

Bukan hanya produsen alat-alat elektronik, Samsung bahkan telah bergerak dalam berbagai macam bisnis. Samsung memiliki pusat kesehatan, kompleks apartemen, garmen, bahkan Samsung menyediakan jasa pemakaman. Pendek kata, Samsung telah menjadi bagian hidup rakyat Korsel: mulai dari lahir sampai meninggal.

Keberhasilan Samsung baik di dalam maupun di luar negeri—sebagai produsen telepon pintar terbesar di dunia—telah membuatnya sebagai simbol transformasi ekonomi Korsel. Sejarah mencatat, Korsel yang muncul sebagai negara paling miskin di dunia setelah Perang Dunia II kini telah menjadi salah satu negara terkaya di dunia.

Akan tetapi, hubungan, persahabatan antara pengusaha dan elite politik telah berbelok menjadi kolusi untuk kepentingan bisnis di satu sisi dan kepentingan politik di sisi lain. Telah terjadi, tidak hanya di Korsel, tetapi juga di Indonesia, pertemuan antara kepentingan politik dan bisnis menjadi bangunan utama penyokong korupsi.

Pada gilirannya, relasi penguasa—dalam kasus Korsel relasi itu dibangun Choi Soon-sil, teman dekat sekaligus penasihat Presiden Park Geun-hye—dengan kelompok bisnis menjadi fondasi kuat terjadinya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Terjadi pola simbiosis mutualisme antara elite politik penguasa dan kekuatan ekonomi. Ini menyokong praktik korupsi.

Choi telah menggunakan hubungan eratnya dengan Park untuk menekan para konglomerat agar memberikan donasi. Namun, tidak ada makan siang gratis. Menurut jaksa, Lee Jae-yong memberikan donasi dan sebagai imbalannya mendapatkan dukungan pemerintah untuk melakukan restrukturisasi Samsung secara besar-besaran.

Relasi bisnis dan politik dengan pola barter kepentingan semacam itu pastinya mengancam demokrasi. Rezim demokrasi yang mestinya menghidupkan nilai-nilai fairness, akuntabilitas, transparansi, dan antikorupsi telah dirusak oleh praktik korupsi dan kolusi. Inilah yang dihancurkan oleh pengadilan Seoul dengan menjatuhkan hukuman penjara kepada para pelaku. Keberanian dan ketegasan menegakkan hukum menjadi contoh baik dalam usaha memperkokoh demokrasi sekaligus memberantas kanker korupsi, yang di negeri ini sudah sangat kronis.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Contoh Lagi dari Korea Selatan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger