Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 30 Januari 2020

INTERNET: Deteksi Dini Wabah Penyakit di Era Digital (ANDREAS MARYOTO)


Andreas Maryoto, wartawan senior Kompas.

Sebuat riset pernah membuktikan bahwa penyebaran ujaran kebencian melalui Twitter di sebuah negara bagian di Amerika Serikat ternyata mirip dengan peta kasus kematian akibat penyakit jantung di negara bagian itu.

Dengan menggunakan mesin pencari Google, juga pernah terlihat penyebaran wabah flu burung beberapa tahun lalu ternyata mirip dengan peta pencarian dengan menggunakan kata terkait flu burung. Kini para ahli makin banyak meneliti keterkaitan fenomena di media sosial dan platform internet lainnya terkait dengan kemunculan wabah penyakit.

Terlalu dini untuk melihat penyebaran virus korona dengan menggunakan media sosial dan platform semisal Google Search atau Google Trends. Meski demikian, peta-peta pencarian informasi terkait dengan virus korona bisa memandu pemerintah untuk mendeteksi kepedulian warga terhadap penyakit akibat infeksi virus itu. Secara tren sudah memperlihatkan, pencarian dengan kata kunci "virus korona" meningkat sejak pertengahan Januari.

Orang di beberapa daerah juga mulai mencari informasi tentang kata itu dimulai dari Sumatera Utara dan Bali pada awal kenaikan tren pencarian informasi dengan kata kunci "virus korona". Tentu tak mudah menjelaskan mengapa di dua provinsi itu orang ingin mengetahui tentang virus korona saat awal tren kenaikan pencarian dengan kata kunci itu. Kalau toh ada analisis, sifatnya masih sangat spekulatif. Kini pencarian informasi dengan kata kunci "virus korona" sudah menyebar ke sejumlah provinsi.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Pedagang menngenakan masker saat melayani pembelian masker di LTC Glodok, Jakarta Barat, Rabu (29/1/2020). Pedagang mengakui penjualan masker meningkat 100 persen sejak merebaknya virus korona tipe baru.

Pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana data sekunder itu bisa digunakan untuk mendeteksi dan memantau penyakit?

Sejak beberapa tahun, peneliti telah menggunakan media sosial dan platform lain untuk mendeteksi dan mengetahui opini publik terkait dengan wabah penyakit semisal Use of Cocial Media to Monitor and Predict Outbreaks and Public Opinion on Health Topics oleh Alessio Signorini. Beberapa peneliti di China melakukan riset dan menghasilkan tulisan di sebuah jurnal berjudul Avian Influenza A (H7N9) and Related Internet Search Query Data in China.

Signori menyebutkan, ancaman bioterorisme, pandemi, dan kemunculan penyakit baru membutuhkan sistem surveilans yang akurat dan cepat. Sistem ini bermanfaat untuk mendeteksi dan membuat respons meski ternyata masih sering terlambat. Semakin lama lagi jika kita harus menunggu hasil-hasil pemeriksaan klinis.

Informasi pasien bisa didapat dari berbagai kanal yang selama ini ada, semisal pusat layanan kesehatan, petugas ambulans, dan petugas penjualan obat. Sekali lagi, data seperti ini lambat sekali terkumpul dan sulit diintegrasikan.

Signori kemudian melihat bahwa dengan adanya jaringan internet dan media sosial kita bisa mendapatkan informasi tentang kebiasaan sehari-hari, kondisi kesehatan, lokasi fisik, dan gaya hidup yang bisa diakses melalui laman internet dan media sosial.

Sudah Berlangganan? Silakan Masuk

Good Day, It's Payday!

Diskon 30% langganan Kompas.id, buku reguler, board game, & kaus. Promo berlaku di official store Harian Kompas di marketplace*.
KOMPAS/KEMENTERIAN KESEHATAN

Alur deteksi dini dan respons penularan virus korona jenis baru.

Dari sinilah ia membangun metode untuk mengoleksi data, menyaring, dan menganalisis konten-konten di media sosial untuk membuat prediksi wabah penyakit. Ia juga menggunakan data lokasi pengguna media sosial untuk melacak perjalanan orang dan kemungkinan penyebaran penyakit.

Peneliti dari China mengatakan, penggunaan internet sebagai basis untuk surveilans telah meningkat sejak beberapa tahun terakhir. Meski demikian, mereka melihat masih jarang studi penggunaan platform pencarian dan media sosial untuk memantau tren wilayah dan waktu dari wabah flu burung di China.

Baca juga: Infeksi Korona Baru Melonjak 60 Persen Dalam Semalam

Mereka melakukan investigasi potensi penggunaan platform tersebut untuk mendeteksi dan memantau kasus flu burung tipe A H7N9 pada manusia. Dengan menggunakan data mingguan kasus flu burung yang terkonfirmasi pada tahun 2013-2017, Baidu Search Index (BSI), dan Weibo Posting Index (WPI), serta indeks pencarian dan unggahan di platform media sosial di China, mereka mengeksplorasi tren kasus flu burung.

Temuan mereka ternyata menunjukkan korelasi yang positif antara kasus flu burung yang terkonfirmasi dengan pencarian melalui BSI dan unggahan yang tercatat dalam WPI. Setelah melalui pengamatan dan pengukuran yang detail, mereka menyimpulkan kedua indikator, yaitu BSI dan WPI, bisa digunakan untuk membangun sistem peringatan dini kemungkinan munculnya wabah flu burung H7N9 pada masa depan.

KOMPAS/ANGGER PUTRANTO

Petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II Probolinggo menggunakan termometer infra merah untuk memeriksa suhu tubuh seorang wisatawan yang baru saja mendarat di Bandara Banyuwangi, Senin (27/1/2020). Kantor Kesehatan Pelabuhan kelas II Probolinggo bersama Angkasa Pura II mengaktifkan pemeriksaan sebagai antisipasi penyebaran virus korona jenis baru.

Informasi ini sungguh berharga bagi mereka yang bergerak di ranah kesehatan dan ranah teknologi digital. Ternyata ada cara yang lebih sederhana dan cepat yang bisa digunakan untuk mendeteksi kemungkinan munculnya wabah.

Indonesia dengan pengguna media sosial dan internet cukup besar sepertinya perlu membangun sistem seperti ini. Informasi dari warga bisa lebih cepat dibandingkan informasi dari aparat.

Setidaknya sistem ini lebih cepat dibandingkan dengan menunggu laporan dari bawah. Apalagi negara kita adalah negara kepulauan dan sistem birokrasi yang belum sempurna, deteksi dengan menggunakan teknologi digital mungkin bisa mempercepat mendapatkan informasi awal dan penanganan yang lebih cepat.
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

KOLOM POLITIK: Seriuskah Parpol Ikut Memberantas Korupsi? (M SUBHAN SD)


HANDINING

M Subhan SD, Direktur PolEtik Strategic, wartawan Kompas 1996-2019.

Partai politik  setelah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 mengenai pemberantasan korupsi,tampaknya mulai berada di atas angin. Berbeda dengan saat era UU sebelumnya, UU Nomor 30 Tahun 2002 yang begitu alot diteror revisi. Dulu tiada parpol yang bisa berkutik begitu KPK bertindak walaupun puncak pimpinannya menduduki kursi tertinggi di negeri ini.

Malah ada beberapa pucuk pimpinan partai yang ditangkap KPK, seperti Lutfi Hasan Ishaaq (PKS), Anas Urbaningrum (Demokrat), Setya Novanto (Golkar), dan Romahurmuziy (PPP). Skenario saling melindungi sesama partai pun nyaris tak pernah mempan. Sebab, KPK ibarat buldoser yang melumat bangunan yang menghadangnya.

Itu cerita belum terlalu lama. Namun, cerita baru justru bisa geleng-geleng kepala. PDI-P, yang kerap disebut-sebut dalam pusaran kasus suap komisioner KPU Wahyu Setiawan, berani memasang wajah angker terhadap KPK. Runyamnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly juga menunjukkan berada di barisan politikus PDI-P.

Padahal, sebagai pejabat publik, Yasonna semestinya bisa lebih elegan menempatkan diri. Dengan memegang jabatan publik, sudah sepantasnya menomorduakan kepentingan parpol, bukan sebaliknya. Memang beda antara politikus dan negarawan.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly saat mengikuti Rapat Kerja Penyusunan Prolegnas RUU Tahun 2020-2024 dengan Badan Legislasi (Baleg) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (5/12/2019).

Dan, sampai hari ini jejak Harun Masiku, politikus PDI-P masih gelap. Hampir tiga pekan KPK memburu politikus yang diduga terlibat kasus suap pergantian anggota DPR antarwaktu itu, tetapi jejaknya belum terendus. Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto juga sudah dipanggil KPK pekan lalu. Yang terjadi justru cerita lain.

Direktur Jenderal Imigrasi Ronnie F Sompie dan Direktur Sistem dan Teknologi Keimigrasian Alif Suaidi diberhentikan oleh Yasonna Laoly. Semula Imigrasi menyebut Harun bertolak ke Singapura pada 6 Januari 2020 dan belum kembali. Pada 22 Januari, Imigrasi membuat pernyataan lagi bahwa sebetulnya pada 7 Januari 2020, Harun telah kembali ke Indonesia. Keterlambatan sistem informasi itu yang dijadikan alasan kesimpangsiuran data pelintasan Harun.

Sudah terlalu sering kita dengar agar semua warga negara (apalagi politikus) patuh pada hukum yang dijunjung di negeri ini. Paling utama dari politikus itu adalah menunjukkan sikap berani bertanggung jawab. Politikus itu posisi terhormat, bukan barisan kelas pengecut yang bersembunyi.

Sebab, di pundak politikus begitu banyak warga menitipkan suara dan amanatnya. Jika ada politikus yang sengaja menghindari penegakan hukum oleh KPK, sesungguhnya ia mengkhianati agenda reformasi yang telah menelan korban jiwa raga pada lebih dua dekade silam. Biarkanlah hukum yang memutuskan. Tugas warga negara adalah menghormati hukum.

Cerita belum berhenti. Di KPK terjadi "gerakan bola liar" ketika ada dua jaksa KPK, Yadyn Palembangan dan Sugeng, dikembalikan ke kejaksaan. Petinggi kejaksaan membantah pengembalian keduanya terkait kasus suap Wahyu, tetapi tentu terasa tidak sekebetulan itu saat ini. Apakah penggembosan KPK? Sejak awal publik merasakan bahwa pelemahan KPK berlangsung terstruktur dan lama.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Mantan komisioner KPU, Wahyu Setiawan, keluar dari Gedung KPK, Jakarta, seusai diperiksa, Kamis (23/1/2020). Wahyu Setiawan merupakan tersangka kasus dugaan suap terkait pergantian antar-waktu anggota DPR terpilih dari PDI-P periode 2019-2014.

Upaya untuk merevisi UU KPK bahkan sudah berlangsung dalam satu dekade ini. Inilah ujian awal KPK pasca-UU  yang baru. Gebrakan KPK periode baru hampir saja menghipnotis dengan operasi tangkap tangan (OTT) di sejumlah daerah saat memulai kerja awal tahun ini.

Namun, dengan kasus suap Wahyu yang menyeret-nyeret PDI-P ini, timbul keraguan. Apalagi sampai PDI-P melalukan perlawanan dengan melaporkan penyidik KPK ke dewan pengawas karena dinilai cacat saat melakukan penggeledahan dengan tidak dilengkapi surat izin dewan pengawas KPK. Rupanya partai politik tidak lagi gentar menghadapi KPK.

Politikus adalah pelaku paling banyak yang terlibat korupsi. Semua kasus korupsi melibatkan politikus. Ingat-ingat lagi kasus-kasus korupsi yang pernah diusut KPK: kasus cek perjalanan ke luar negeri, kasus Hambalang, kasus wisma atlet, kasus infrastruktur daerah, kasus kuota impor sapi, kasus e-KTP, dan lain-lain.

Kepala daerah, entah itu gubernur, bupati, atau wali kota, adalah jabatan politis. Semuanya orang-orang (usungan) parpol. Sudah ratusan kepala daerah ditangkap KPK. Namun, seperti tiada jeranya. Mereka silih berganti. Dipotong satu, tumbuh lainnya. Berulang kali para politikus ditangkap tetap saja tak kapok-kapoknya mereka berulah kembali.

Parpol memang menjadi institusi yang banyak disorot terkait dengan kasus-kasus korupsi. Dengan citra selama ini parpol kerap masuk daftar lembaga terburuk. Survei Lembaga Survei Indonesia pada pertengahan 2019 merilis bahwa parpol mempunyai tingkat kepercayaan paling rendah, yaitu 53 persen.

KOMPAS/ALIF ICHWAN

Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar (dua dari kanan) didampingi Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman (kiri) menyaksikan gelar barang bukti sebelum menetapkan komisioner KPU, Wahyu Setiawan, sebagai tersangka dalam kasus suap terkait penetapan anggota DPR 2019-2024 di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (9/1/2020).

Bandingkan dengan kepercayaan KPK yang mencapai 84 persen. Setahun sebelumnya, LIPI menggelar survei bahwa parpol mendapat persepsi terburuk sebagai instansi demokrasi. Poinnya cuma 13,10 persen, jauh dibandingkan dengan KPK yang 92,41 persen atau presiden yang 79,31 persen.

Inikah nestapa demokrasi? Padahal, parpol adalah pilar demokrasi. Bagaimana demokrasi akan kokoh dan menjadi sistem yang diharapkan publik jikalau pilarnya keropos dan korosif? Tak mengherankan, dalam beberapa tahun terakhir ini indeks demokrasi Indonesia berada di titik yang tidak menggembirakan. Padahal, pascareformasi pernah menjadi contoh negara demokratis. The Economist Intelligence Unit, yang rutin menerbitkan indeks demokrasi (Democracy Index), memperlihatkan demokrasi di Indonesia mengalami stagnasi.

Pada 2019, indeks demokrasi Indonesia berada di urutan ke-64 dari daftar 167 negara. Dengan skor 6,48, Indonesia masuk kategori demokrasi cacat (flawed democracy). Poin terendah Indonesia adalah kategori kultur politik dan kebebasan sipil. Dari sisi urutan, memang mengalami perbaikan walau tetap tidak sangat signifikan jika tak ingin disebut "jalan di tempat". Pada 2018, Indonesia berada di posisi 65 (skor 6,39). Tahun sebelumnya (2017) berada di posisi 68 (6,39).

Memang realitanya demokrasi mengalami kemunduran di mana-mana. Gangguan demokrasi bertebaran seperti duri. Amerika Serikat saja masuk kategori flawed democracy (posisi 25 dengan skor 7,96) apalagi dengan sosok Presiden Donald Trump yang agresif dan rasis. Bahkan, India yang pernah dikenal sebagai negara demokratis juga terjungkal 10 posisi. Pada 2019, dengan skor 6,90, India berada di posisi ke-51, turun dari 2018 di urutan ke-41 (7,23). India mengalami problem kultur politik.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Spanduk besar tentang partai-partai politik yang ikut dalam Pemilu Serentak 2019 terpampang di salah satu sudut Gedung Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa (7/8/2018).

Namun, beda lagi dengan negara tetangga Malaysia. Indeks demokrasinya melompat tinggi. Negara yang kerap disebut kebebasan persnya terkekang itu malah demokrasinya lebih baik ketimbang Indonesia. Tiga tahun lalu, Malaysia masih berada di posisi 59 (skor 6,54), kemudian meningkat ke posisi 52 (6,88) pada 2018, dan tahun 2019 melonjak lagi hingga posisi 43 (7,16).

Bagi Indonesia (juga umumnya negara lain), nilai terendah ada pada dua kategori, yaitu kultur politik (5,63) dan kebebasan sipil (5,59). Itulah problem yang mungkin kronis dan sulit diatasi. Bertahun-tahun budaya politik kita selalu diselimuti patronase. Bahkan, di era modern justru yang menguat adalah neopatrimonialisme. Para politikus terbelit dalam lingkaran setan tersebut. Parahnya lagi konfigurasi budaya kita yang multiidentitas juga mengacak-acak sentimen politik sehingga politik semakin kurang sehat dalam pentas kontestasi.

Inilah krusialnya peran parpol dalam kehidupan politik demokratis. Seberapa seriuskah parpol dalam pemberantasan korupsi? Parpol seyogianya menjadi lokomotif yang menarik gerbong massa menuju arah politik yang benar-benar sehat, partisipatif, dan demokratis. Bukan sebaliknya mempertontonkan budaya politik tercela, mobilisatif, transaksional, dan koruptif. Kalau itu yang terjadi, parpol cuma sekumpulan predatoris yang menunggangi demokrasi sambil menggerogoti pilar-pilar negeri.


K‎ompas, 30 Januari 2020



Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Rabu, 29 Januari 2020

”Nandur Demit” (TRIAS KUNCAHYONO)


INDRO UNTUK KOMPAS

Trias Kuncahyono, wartawan Kompas 1988-2018

Pertemuan kami pagi itu tidak dalam agenda. Kami berjumpa di Stasiun Tugu, Yogyakarta, sama-sama menunggu KA Prameks (Solo-Kutoarjo PP), meskipun tujuan kami berbeda: Klaten dan Solo.

Di dalam kereta kami duduk berdampingan. Begitu kereta bergerak meninggalkan Stasiun Tugu, pada pukul 09.09 WIB, ia mulai bercerita. "Pak, pernah mendengar istilahnandur demit, belum?" tanyanya mengawali cerita.

Tanpa menunggu jawaban, mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma-Fakultas Teologi Wedabhakti itu melanjutkan ceritanya bahwa sekarang ini sedang menyusun tesis tentang ekologi. Untuk menyusun tesis tentang lingkungan hidup itu, program penghijauan di Baturetno sebagai obyek penelitiannya.

Sejak sekitar 10 tahun silam, di Baturetno dijalankan program penghijauan dengan menanam pohon beringin. Beringin merupakan tanaman yang memiliki kemampuan hidup dan beradaptasi dengan bagus pada berbagai kondisi lingkungan. Selain itu, keberadaan tanaman beringin pada kawasan hutan bisa dijadikan sebagai indikator proses terjadinya suksesi hutan. Beringin juga merupakan tanaman yang memiliki umur sangat tua, tanaman tersebut dapat hidup dalam waktu hingga ratusan tahun.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Pohon beringin yang tumbuh di alun-alun selatan Yogyakarta. Tempat ini ramai oleh wisatawan yang hendak mencoba tradisi Masangin (berjalan dengan mata tertutup melewati area di antara dua pohon beringin), Kamis (22/3/2012).

Beringin termasuk tanaman yang menyimpan air, indikasinya tidak menggugurkan daunnya meski musim kemarau. Juga kerabat beringin banyak tumbuh di sekitar mata air. Akan tetapi, pohon ini tidak termasuk kayu komersial ataupun bahan untuk arang kayu sehingga tidak menarik bagi pembalak liar. Ini merupakan alasan para pencinta lingkungan menanam beringin untuk penghijauan, normalisasi daerah aliran sungai, penghijauan sekitar mata air atau reboisasi.

Akan tetapi, beringin juga kurang menarik bagi penduduk karena tidak termasuk pohon yang kayunya termasuk komersial. Penduduk maunya menanam pohon yang bisa mendatangkan uang. Itu salah satu hambatan di awal program reboisasi.

"Ada soal lain, yang lebih menarik," katanya. Ada sementara penduduk yang menganggap menanam beringin sama saja nandur demit. Ini berangkat dari kepercayaan masyarakat bahwa demit, makhluk halus seperti memedi, demit (dedemit) baureksa, danyang, dan sebagainya, senang tinggal di pohon-pohon besar seperti beringin.

Memedi dalam bahasa Jawa berasal dari kata wedi (takut). Memedi berarti hal- hal yang membuat takut. Demit berarti halus, sangat kecil, yang berarti demit adalah sesuatu yang tak tervisualkan atau tak kasatmata. Baureksa dan danyang berarti penunggu. Semua kata tersebut berkonotasi pada dunia roh dan reinkarnasi.

Kepercayaan terhadap kehidupan makhluk halus seperti itu ada di mana-mana. Orang Jawa, misalnya, menjaga hubungan dengan makhluk halus. Dunia roh serta makhluk halus tetap dipercayai seiring dengan pergantian kepercayaan yang berlangsung dari zaman ke zaman.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Pekerja merapikan daun pohon beringin yang tumbuh di halaman Istana Negara, Jakarta, Senin (13/4/2015). Daun-daun itu dirapikan untuk memperindah pohon yang tumbuh di kompleks istana.

Ada yang mengatakan bahwa Jawa adalah hasil kebudayaan yang dibangun dari kepercayaan akan dunia magis. Hantu adalah salah satunya. Roh halus atau hantu seolah hidup berdampingan dengan dunia manusia Jawa hingga saat ini. Hal ini membuat penggolongan roh halus Jawa sangat beragam.

Bagi orang yang mencapai ilmu sejati dalam kejawen atau mungkin yang sudah menguasai metafisika, dunia makhluk halus itu biasa adanya dan bukan omong kosong. Itulah sebabnya menanam beringin dianggap sebagainandur demit, padahal untuk memelihara lingkungan hidup.

Dalam kisah pewayangan pun dunia makhluk halus ini ada kisahnya. Misalnya, dalam Kakawin Sena, diceritakan tentang nama-nama makhluk halus Jawa, seperti dhengen,kekeblekwewebanaspati, dangandarwa. Epos Kekawin Senamenceritakan kisah tentang perjalanan suci tokoh pewayangan Bima untuk menemukan arti kesempurnaan hidup. Makhluk-makhluk seperti inilah yang menjadi penghalang langkah Bima menemukan arti kehidupan sejati.

Kisah lain ialah dalam epos Mahabharata yang mengisahkan tentang tokoh Batari Durga, yang semula adalah Dewi Umayi, istri Batara Guru. Batari Durga dititahkan menjadi istri Betara Kala. Ia memperoleh pekerjaan merajai beberapa gandarwa, setan, serta makhluk halus yang jahat lain. Sedangkan perkawinannya dengan Batara Kala menurunkan Kala Yawana, Kala Durgangsa, Jaramaya, Ranumaya, serta banyak lagi putra-putra yang lain.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Anak-anak bermain ayunan pada akar gantung pohon beringin di sela-sela pelajaran olahraga di Desa Giriasih, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, Kamis (30/10/2008).

Watak Batari Durga benar-benar jahat lantaran ia mengemban pekerjaan menggoda orang yang baik budi. Batari Durga bertakhta di Setragandamayit, yang bermakna tempat pengasingan berbau mayat. Batari Durgi berupa raksasa, bermata iblis. Namun, meskipun Batari Durga kerap dilukiskan jahat, bengis, serta menakutkan, sebagian sekte agama di India, terlebih di lokasi utara, memujanya sebagai dewi pelindung. Mereka yakin Durga adalah Dewi Penolong untuk orang yang tengah terkena musibah atau mungkin menanggung derita lantaran satu perlakuan yang tidak adil.

Hingga kini, manusia memercayai bahwa di luar dirinya ada makhluk-makhluk halus, gaib, yang tidak tampak oleh mata telanjang. Dunia semacam ini bisa jadi menjadi nyata dengan penampakan gejalanya seperti lewat jelangkung, nini thowong, tenung, kesurupan, ajian-ajian seperti kekebalan, dan sebagainya.

Hal seperti itu juga melahirkan kreativitas, misalnya, dengan adanya banyak film horor yang menjadi salah satu genre film populer dan diminati para penikmat film di seluruh dunia. Film seperti ini menyajikan sensasi yang berbeda. Alur ceritanya pun beragam, mulai dari kisah hantu/setan, ilmu sihir/mistis, boneka misterius, hingga berbagai macam alur cerita lain yang tentunya membuat penonton menahan napas. Di Indonesia ada Pengabdi Setan, Titisan Setan, Keramat, Pogong, Sundel Bolong, dan sebagainya. Dari Hollywood pun muncul, misalnya, The Ring, Paranormal Activity, The Grudge, dan The Amityville Horror.

Kalimat demit ora ndhulit, setan ora doyan lebih sebagai harapan agar manusia yang hidup di dunia ini hendaknya terhindar dari gangguan makhluk-makhluk halus, seperti demit serta nafsunya (nafsu-nafsu jahat, nafsu angkara murka), keserakahan (kekayaan dan juga kekuasaan).

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Hantu pocong menjadi salah satu tema film horor yang ditawarkan banyak bioskop. Poster film horor terlihat di Mulia Agung Theater di perempatan Pasar Senen, Jakarta, Jumat (13/1/2012).

Mengapa demikian? Karena menurut budayawan dan rohaniwan Sindhunata, manusia tidak hidup hanya dalam dunia yang terang, tetapi juga dunia yang gelap. Kegelapan itu sering tidak bisa diraba, tetapi selalu mendikte manusia, entah dalam perbuatan menuruti hawa nafsu, kejahatan, ataupun keserakahan dalam berbagai hal, yang belakangan ini semakin kentara dan mencolok mata. Misalnya, sikap intoleran, korupsi, juga kejahatan-kejahatan lewat dunia maya dengan menyebarkan berita bohong, hoaks, dan kebencian.

Perilaku kejahatan, nandur demit itu, dapat dilakukan oleh orang-orang dari berbagai status dan kelas sosial, dari yang rendah hingga yang tinggi, berkaitan dengan pekerjaannya ataupun dilakukan secara berkelompok, seperti halnya organisasi guna mencapai tujuan organisasi, tanpa memedulikan kepentingan bersama. Semua itu adalah tindakannandur demit, di zaman kini, dan akan berbuah demit.

"Bapak turun di Klaten, ya," katanya ketika kereta berhenti di Stasiun Klaten pukul 09.44 WIB. Dan, kami pun bersalaman. "Jangan nandur demit, Pak. Sudah terlalu banyak demit," katanya lagi, disusul tawa berderai.

Kompas, 28 Januari 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

PENYAIR: Tanah Air Hiperrealitas (PUTU FAJAR ARCANA)


Putu Fajar Arcana, wartawan senior Kompas

Tanah air mata tanah tumpah darahku
mata air air mata kami
air mata tanah air kami
di sinilah kami berdiri
menyanyikan air mata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami…

Ketika Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri menyanyikan puisi berjudul "Tanah Air Mata" sambil meniup harmonika, aneh saya teringat Muriel Stuart Walker. Terbayang, perempuan penulis skenario itu memasuki sebuah gedung bioskop di Hollywood Boulevard, hanya karena tertarik pada film dokumenter berjudulBali: The Last Paradise. Dalam beberapa menit, Muriel sudah memutuskan akan pergi ke Bali.

Benar saja adanya, tahun 1932, ia berlayar menuju Batavia untuk kemudian bersumpah,"Di mana pun bensin mobil ini habis di sanalah aku akan tinggal," katanya dalam bukunyaRevolt in Paradise.

Pada suatu hari bensin mobil yang ia beli di Batavia benar-benar habis di depan sebuah gapura berukir. Ia menyangka itu sebuah pura. Ketika mengetuk pintu, muncullah seorang lelaki bersama seorang anak. Dia tak lain adalah Raja Klungkung Dewa Agung Oka bersama anak tertuanya Anak Agung Nura. Sesungguhnya Muriel tak pernah menyangka kehidupannya kemudian berjalan bak putri dari negeri dongeng di sebuah keraton. Ia diangkat Raja Klungkung menjadi anak keempat dengan nama K'tut Tantri.

KOMPAS/NANI LOEKITO

K'tut Tantri (Muriel Stuart Walker) pengarang buku Revolt in Paradise, pada 1978.

Apakah impiannya menjejakkan kaki di pulau surga terakhir, sebagaimana yang ia saksikan dalam film di Hollywood Boulevard, Amerika itu tercapai? Sebagaimana ia ungkapkan dalam roman biografinya, di sepotong surga yang ia impikan, ternyata revolusi bergolak. Perang melawan kolonialisme Belanda, Jepang, dan kemudian tentara sekutu (di Surabaya), telah menyebabkan kehancuran, kemiskinan, dan penderitaan yang menyedihkan. Di pulau yang ia kira nirwana itu, dewa-dewa seperti lenyap dalam desing peluru serta teriakan kekalahan dan kematian.

Salah satu puisi protes sosial yang ditulis Sutardji pada awal tulisan ini, ia nyanyikan beberapa kali dalam pertemuan Tegal Mas Island International Poetry Festival, 24-26 Junuari 2020 di Lampung. Secara spontan ia seolah mengingatkan kita pada kengerian dan penderitaan yang telah mengalirkan air mata dari zaman ke zaman. Diksi yang digunakan penyair kelahiran Rengat, Riau ini, mengantarkan kita ke masa-masa kesadaran awal tentang nasionalisme yang terkoyak penjajahan.

Barangkali tema pertemuan yang berbunyi "Tuhan, Pulau, Kata-kata" telah memengaruhinya untuk mengusir romantisisme para penyair. Tuhan, pulau, dan puisi hampir selalu "menstigma" penyair untuk menulis hal-hal yang menurutnya romantis.

Bahkan penyair sebesar Chairil Anwar tak luput dari perasaan itu. Ia menulis puisi "Cintaku Jauh di Pulau" sebagai medium mengekspresikan kerinduannya kepada sang kekasih: //Cintaku jauh di pulau/gadis manis, sekarang iseng sendiri//Perahu melancar, bulan memancar/di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar/angin membantu, laut terang, tapi terasa/aku tidak 'kan sampai padanya…//

KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA

Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri sedang menyanyikan puisi berjudul "Tanah Air Mata" yang ditulisnya tahun 1991 dalam perhelatan Tegal Mas Island International Poetry Festival, 24-26 Januari 2020 di Pulau Tegal Mas, Kabupaten Pesawaran, Lampung.

Pada sesi seminar, seorang penyair senior mempertanyakan tentang tema yang melulu romantis itu, "Ini masa lalu saja, sekarang semuanya terkomunikasikan dengan tanda: gambar jantung saja sudah cukup," katanya.

Ia benar adanya. Dari sini saya teringat pemikir kebudayaan Jean Baudrillard dan Umberto Eco yang membahas tentang hiperrealitas dan simulakra. Jangan-jangan apa yang disaksikan oleh Muriel di Hollywood Boulevard pada 1932 silam tak beda jauh dari apa yang dicerap oleh Chairil, serta banyak penyair dalam pertemuan di Pulau Tegal Mas, Lampung itu.

Banyak di antaranya terjebak pada realitas semu (simulacrum) yang sengaja diciptakan untuk menimbulkan citra kenyataan. Apa yang kita lihat di sebuah pulau seperti Bali atau Tegal Mas, misalnya, tak berbeda jauh dari apa yang disaksikan Umberto Eco ketika datang ke Disneyland. Pulau ini adalah sebuah simulasi yang sengaja diciptakan untuk melampuai kenyataan sesungguhnya. Inilah yang disebut Baudrillard sebagai hiperrealitas, sesuatu yang disusun berdasarkan sumulasi untuk menimbulkan citraan baru, sebuah kenyataan yang "seolah-olah" benar-benar nyata.

Eco bahkan bilang, Amerika adalah peniru paling ulung, di mana abad pertengahan Eropa benar-benar tampak seperti nyata. Banyak orang kemudian melihat Amerika lebih otentik dibandingkan Eropa pada abad pertengahan. Apakah para penyair terjebak para rangkaian simulasi seperti ini, ketika melakukan relasi intim dengan kata-kata seperti Tuhan, pulau, dan kata-kata? Agar tak menjadi "penghakiman" yang membabi-buta, kita bisa membacanya dalam kumpulan puisi berjudul Tegal Mas Island dalam Antologi Puisi, yang berisi puisi puluhan penyair terundang dari Indonesia, Malaysia, Singapura, dan India.

KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA

Pulau Tegal Mas, Kabupaten Pesawaran, Lampung senantiasa dipadati para wisatawan di akhir pekan. Pada Minggu (26/1/2020) ratusan wisatawan tampak gembira bermain air. Pulau ini dikenal sebagai destinasi wisata yang memiliki resor terapung yang menawan.

Jangan salah pula, Pulau Tegal Mas milik pengusaha bernama Thomas Aziz Riska, dibangun sebagai destinasi wisata bahari sejak tahun 2017. Ia mirip apa yang sering kita lihat di Maladewa. Di sini terdapat fasilitas penginapan yang terapung di atas air, spot-spot untuk snorkeling ataudiving, serta tawaran pantai berpasir putih yang dibatasi oleh perbukitan kapur. Tempat ini menjadi makin sempurna sebagai arena berwisata karena letak geografisnya yang dekat dengan Bandar Lampung. Anda cukup menyeberang selama 15-20 menit dari dermaga terdekat. Pada setiap akhir pekan, ratusan wisatawan memadati pulau seluas lebih dari 100 hektar ini.

"Saya tidak pernah ke Maldive lho,"kata Thomas Aziz Riska. "Jadi ini semua feeling aja," tambahnya menyebut tentang pengembangan Pulau Tegal Mas.

Meski ada penyangkalan semacam ini, toh tidak mengubah posisi destinasi wisata yang berada dalam cangkang industri. Tabiat paling buruk dari sebuah industri adalah melakukan reproduksi bentuk, yang bahkan bila perlu melebihi tempat di mana ia "berasal-mula". Di manakah posisi penyair? Sutardji tampak sangat menikmati kehadirannya di tengah-tengah puluhan penyair serta hamparan laut yang mengepungnya. Tetapi lebih dari dua kali, ia menyanyikan "Tanah Air Mata".

Puisi ini seolah ingin mengugah kesadaran para penyair agar kembali kepada realitas sesungguhnya. Bahwa realitas yang kita pindai dari mata, bisa jadi merupakan hiperrealitas, yang makin menjauhkan kita dari kenyataan sesungguhnya. Seringkali hiperrealitas membawa kita pada apa yang disebut sebagai simulakra, sebuah dunia yang diciptakan berdasarkan silang-sengkarut simulasi, tanda-tanda, nilai, dan kode-kode. Pada akhirnya simulakra memutuskan relasinya dengan kenyataan dan bahkan mengingkari adanya realitas. Ia jutru memurnikan dirinya sebagaisimulacrum.

KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA

Penyair Indonesia Ratna Ayu Budiarti sedang mempraktekkan yoga-puisi di pantai Pulau Tegal Mas Lampung. Ratna menjadi salah satu penyair yang diundang menghadiri Tegal Mas Island Poetry International Festival, 24-26 Januari.

Di tengah hiperrealitas yang menggejala di mana-mana, yang juga berarti pengingkaran terhadap kebenaran hakiki, Sutardji memandang jauh ke tengah laut. Ia menyaksikan sebagian penyair bersenang-senang, berenang, main kano, snorkeling, dan naik babana boat, lalu berkata, "Tema ini biasa saja. Pulau itu kan tanah tumpah darahku. Ada jejak tanah air air mata di sana…" Saya lanjutkan mengutip puisi itu agar menjadi utuh:

kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak air mata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di air mata kami
ke manapun berlayar
kalian arungi air mata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa kemana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata

KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA

Penyair remaja M Afiq Nauval yang baru duduk di kelas 12 sebuah SMA di Bogor, atas inisiatif sendiri hadir dalam perhelatan Tegal Mas Island International Poetry Festival di Lampung.

Sebagai penutup saya kutipkan puisi yang ditulis M Afiq Nauval, remaja kelas 12 sebuah SMA di Bogor, yang hadir dalam pertemuan penyair di Lampung. Nauval telah melakukan perjalanan ke berbagai kota seorang diri untuk mencari dirinya sendiri. Sepanjang perjalanan ia menulis puisi. Salah satunya berjudul "Puisi-puisi Berjalan" (dalam antologi: Mengupas Kata dari Tubuhmu, 2019).

//Moral manusia selalu menjadi momok mengerikan bagi/kebenaran kita/Karena kita berangkat pada terminal yang salah/Sehingga jurusan yang ingin kita tuju seringkali menjadi/kota asing dan utopia dalam pikiran/Kehabisan imajinasi/Seperti itulah mungkin kondisi mereka yang tidak mau/berangkat menanyakan arah setelah ini atau inisiatif/membuka peta dalam dirinya/Jalan buntu menjadi fase setiap kita melangkah, dan apa yang terjadi?/Iya melawan arus/Pada akhirnya kebenaran yang ingin kita tuju menjadi/kesesatan/Sama seperti air yang terlanjur mengalir dari/hulu maka akan sampai ke hilirnya/Begitu juga kebenaran yang terlanjur mengalir, maka/arusnya akan tersesat. Karena kita sulit membedakan/mana tempatnya!//

Jadi untuk tujuan apa sesungguhnya K'tut Tantri melakukan perjalanan sampai ke Bali? Begitu pun dengan Sutardji serta puluhan pernyair lainnya di Pulau Tegal Mas Lampung? Pada akhirnya hiperrealitas itu menjauhkan, tetapi membuai dan menjebak sebagian besar dari kita untuk semakin beranjak dari kebenaran hakiki moralitas manusia jatuh menjadi momok bagi kebenaran itu sendiri. Begitu bukan?

Kompas, 29 Januari 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger