Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 30 Juni 2016

Fitri dengan Mengalami-Nya (RADHAR PANCA DAHANA)

Jika Anda bersama keluarga atau teman-teman makan di restoran untuk makan bersama secara prasmanan, apakah Anda akan memesan masakan dengan porsi sesuai dengan jumlah anggota rombongan? Mungkin hampir tidak pernah.

Kita akan pesan porsi lebih dari kebutuhan atau porsi jumlah rombongan sehingga kerap di usai makan bersama beberapa sajian tersisa, bahkan cukup banyak. Lalu beberapa orang dengan "sukarela" coba menghabiskan walau mungkin perutnya sudah penuh.

Begitu pula jika kita menyelenggarakan buka bersama atau halalbihalal, makanan akan dipesan porsi yang dilebihkan. Bukankah begitu dengan jumlah pakaian Anda? Mungkin Anda sudah memiliki koleksi yang bisa dipakai bertukar ganti untuk seminggu, tetapi Anda akan membeli lagi, hingga mungkin bisa untuk berganti-ganti untuk dua minggu atau sebulan. Bukankah banyak wanita masih terus memburu butik, toko baju, atau sale! walau koleksinya sudah satu lemari.

Kita adalah manusia dan masyarakat yang berlebih. Tetapi bukan dalam arti pahala, sosial maupun religius, atau harta dan kuasanya. Namun, berlebih dalam mengonsumsi, tepatnya berlebih dalam memenuhi hasrat atau libido biologis dan mental kita. Inilah satu gaya atau cara hidup yang saya sebut eksesif, yang sesungguhnya menjadi akibat lanjut dari logika, praktik dan penetrasi industri berbasis ideologi kapitalistik.

Bukankah kita kerap mendengar terjadi antrean yang begitu panjang di sebuah toko saat diumumkannya new release,new series, atau new trend dari produk industri tertentu? Mungkin Anda pernah mengisi salah satu titik dari antrean itu.

Sebuah riset yang dilakukan perusahaan gawai ternama dunia, mengumumkan hasil risetnya di Indonesia, ternyata jumlah pemilik gawai modern di negeri ini mencapai lebih dari 330 juta. Dengan masih adanya sebagian penduduk yang tidak mampu membeli atau mengakses perangkat terkini itu, bisa jadi negeri ini memiliki angka statistik dua gawai per kapita. Di mana lebih dari 50 persen dari pemilik itu mengganti gawainya sekali dalam setahun, bukan karena rusak, melainkan karena ketinggalan zaman oleh new edition tadi.

Hidup eksesif itu tentu bisa kita amati di tiap item yang ada di tubuh kita, atau di dalam rumah kita. Gaya dan perilaku itu pun bisa menerobos keluar dari hal-hal yang material dan konsumtif, tetapi juga pada jabatan, kekuasaan, keuntungan, ketenaran, dan seterusnya.

Kelebihan yang "kurang"

Dalam arus kuat semacam tsunami halus itu, kita bersama masih menjalankan satu perintah agama untuk melakukan puasa di bulan Ramadhan. Satu jenis ibadah yang kita mafhumi maksudnya, antara lain untuk mengerem atau mengontrol nafsu dan ambisi kita yang eksesif itu. Namun, sayang, dalam kenyataan hal yang bertentangan justru terjadi. Pengeluaran kita untuk Ramadhan-apalagi menjelang Lebaran (Idul Fitri)-membengkak berkali lipat, yang bahkan tunjangan hari raya (THR) pun tidak mampu mengatasinya sehingga kita pun berkejaran usaha sampingan kanan-kiri untuk mendapatkan "THR-THR" lain, bahkan dengan cara yang mengkhianati puasa itu sendiri.

Apa yang diajarkan puasa atau Ramadhan sebenarnya lebih dari sekadar mengerem atau mengontrol, katakanlah mencukupkan kebutuhan kita. Justru Islam dan Nabi-nya yang mulia meminta dan mencontohkan untuk hidup yang "kurang". Artinya di bawah kecukupan. Jika kita biasa makan tiga-empat kali, plus jajan kanan-kiri, di bulan Ramadhan kita diminta hanya makan dua kali. Kita diajarkan mengurangi nafsu di balik pandangan, pendengaran, hingga tidur malam yang terlalu lelap dan lama.

Inilah sebuah imperasi personal yang juga sosial, kultural, dan spiritual untuk kita bisa menghadapi dan mengatasi kehidupan keras (akibat praktik industrial/kapitalisme di atas, misalnya) yang ternyata sudah diprediksi satu setengah milenium lalu itu. Dan, ternyata hidup kurang itu tidak mengurangi apa pun dari hidup yang biasa kita jalani selama ini. Hidup kurang akan membuat "pendapatan" kita pun menjadi mendapatkan lebihan.

Lebihan ini, secara masif, apalagi ditambah rezeki "tambahan Ramadhan" menjadi harta atau potensi yang luar biasa untuk, misalnya digunakan dengan tujuan-tujuan bermanfaat bagi lain orang (masyarakat). Mulai dari memberi infak, zakat, santunan, beasiswa, hingga turut membantu proses pembangunan dengan membeli saham, sukuk, obligasi negara atau bergotong royong membangun jembatan, tanpa menunggu DPRD mengalokasikannya dalam APBD. Atau sekurangnya menjadi simpanan masa depan anak, tanpa harus terjerat dalam skema rumit lembaga-lembaga keuangan.

Apa yang lebih dahsyat, nafsu eksesif untuk mendapatkan lebih dan lebih yang tidak dipraktikkan itu akan menciptakan ruang lebar bagi orang lain-yang lebih membutuhkan-untuk mengambil peluang atau rezeki itu. Bukan hanya pemerataan dan pemberdayaan publik yang terjadi, tetapi juga kesejahteraan kolektif yang kemudian menjadi efeknya. Bahkan ia berpotensi menjadi preseden di mana kesejahteraan kolektif itu diciptakan lebih oleh publik ketimbang kebijakan pemerintah/negara.

Di tingkat personal ia akan menciptakan kenyamanan batin dan pikiran karena kita telah melakukan sesuatu yang mulia. Bahkan mungkin melebihi apa yang dilakukan oleh para penguasa, petinggi, dan elite lainnya. Puasa jauh lebih dalam makna fungsi sosial, kultural, hingga spiritualnya.

Apa yang jauh lebih dahsyat lagi bisa kita dapat dari praktik ibadah di atas, peng-"kurang"-an apa yang kita ambil atau rebut (paksa atau tidak) dari kehidupan material itu akan mengangkat kita pada capaian imaterial yang lebih dalam di hati atau batin kita. Hidup kurang yang ternyata tak kurang itu segera memberi kita tidak hanya pemahaman, pengalaman, tetapi kedekatan pada hal-hal yang imaterial, baik itu hati nurani hingga hal-hal bersifat supranatural atau spiritual.

Sebagaimana diajarkan oleh banyak tradisi spiritual di mana pun, juga agama-agama di dunia, praksis hidup yang kurang menjadi semacam ritus atau proses kita mencuci diri. Membersihkan kotoran-kotoran atau kecenderungan-kecenderungan satanik dalam diri kita yang negatif dan destruktif. Apa yang dibersihkan sebenarnya adalah setapak jalan menuju kedalaman hati kita sendiri, yang selama ini berkelambu atau tertutup oleh layer-layer kotor dari perilaku, cara berpikir, sikap hidup kita yang penuh nafsu dan amarah.

Inilah sebenarnya inti jihad itu. Jihad adalah sebuah perjalanan, yang memang tidak mudah bahkan sulit sekali, tetapi sekali kita mampu menjalaninya dengan ikhlas dan istikamah, kita akan mendapat semacam terang (enlightment) karena jalan menuju hati yang ilahiah itu kini mulai terbuka. Jiwa dan pikiran pun mantap menjalaninya karena kenyamanan itu seperti siraman kesejukan dari gersang di batin kita yang begitu lama.

Hal itu terjadi jika sikap hidup kurang itu tak hanya dipraktikkan dalam Ramadhan. Ramadhan, menurut banyak kalangan, adalah sebuah latihan untuk hidup dengan amalan yang baik. Tapi kenapa latihan itu kita lakukan bertahun-tahun, puluhan bahkan selamanya dengan cara dan kualitas yang sama, tanpa terwujudnya peningkatan kesalehan, baik secara sosial maupun spiritual? Mungkin bagus sekali jika bertemu akhir Ramadhan kita mempraktikkan apa yang sudah kita latih. Islam pun akan hidup tidak dalam bunyi yang keras, apalagi membentak, yang dilantangkan jutaan pelantang suara, dalam slogan atau tawaran kesucian yang menyesatkan, tetapi dalam ketenangan yang mendamaikan, dalam pergolakan yang terjadi di dalam diri tiap umat, bukan di luarnya.

Aku fitri bersama-Nya

Masih ada yang lebih penting dari itu semua. Di hari-hari akhir puasa, saat menjelang Lebaran, praktik puasa di atas yang dijalani dengan ikhlas, istikamah, dan tawadu akan memberi kita sebuah saat atau momen di mana hidup kurang yang teguh, konsisten, dan ikhlas itu dapat "pelengkap" kekurangannya. Ia bukan satu hal yang bisa dilihat, didengar, apalagi dimaterialisasi bahkan oleh pikiran (logika).

Pelengkap itu adalah sebuah pengalaman monumental, di mana kita seakan mendapatkan cahaya yang tidak hanya menciptakan terang (bagi kegelapan jalan ke hati), bahkan karena saking terangnya ia seperti melenyapkan diri (eksistensi) kita. Kita mendapatkan momen untuk mengalami-Nya, bersama-Nya, dengan kesadaran kemanusiaan kita yang terintegrasi, tidak hanya akal, jiwa, batin, tetapi juga tubuh hingga kenyataan sosial kita. Kita menyatu-diri begitu kuatnya sehingga yang tinggal adalah sesuatu yang tak terlenyapkan, sesuatu yang juga ada dalam alam natur(al) hingga supranatural. Kita seperti hilang, tetapi sesungguhnya menyatu dengan semua itu.

Maka, Lebaran pun akan menjadi mudik yang sesungguhnya, secara spiritual, bukan sekadar kebiasaan atau tradisi meneguhkan kembali eksistensi kita yang dihancurkan (atau kita hancurkan sendiri) oleh kehidupan dan peradaban kota (modern). Lebaran akan menjadi momen yang "lebar", begitu lebarnya hingga kita tidak melihat batas-batasnya, tetapi kita penuh mengisinya. Lebaran pun menjadi "fitri" karena berkah dan hidayah-Nya yang memang melulu fitri berisi.

Kesadaran terbaik dari Idul Fitri seperti terurai di atas tercipta dan kita mafhum bahwa Dia sesungguhnya tidak pernah meninggalkan umat atau makhluknya. Dia selalu hadir, tanpa tempat tanpa waktu, di mana dan kapan saja, sehingga peluang untuk mengalami-Nya tidak hanya tersua hanya pada saat puasa dan Ramadhan. Tapi, ketika kita sudah meramadhankan setiap bulan, mempuasakan keiblisan kita, kita memiliki peluang untuk didatangi hidayah itu. Kita bisa mengalami-Nya, kapan saja dan di mana saja. Bahkan sesungguhnya Dia hadir dalam tiap inci dan tiap saat kehidupan kita. Namun, karena hidup kita dipepati hijab (layer), kita pun kehilangan peluang itu untuk mengalami-Nya, kita mengoleksi kegelapan jalan setapak menuju-Nya.

Maka, betapa indah Lebaran jika ia menjadi momen awal kita untuk mendapat tamu hidayah, karena kita sudah menjadi makhluk yang pantas untuk dihampiri utusan-Nya itu. Betapa luar biasa jika masyarakat kita mulai diisi manusia-manusia semacam itu, yang tidak pernah unjuk apa pun, apalagi unjuk rasa, kecuali unjuk amalan yang semata diabdikan pada manusia lain (masyarakat) dan secara langsung juga untuk-Nya.

Betapa cantik kau manusia jika tidak cuma berpikir atau berucap-apalagi berlagak-dengan simbol-simbol agama murahan, tetapi lebih berhati alias berbuat dengan nurani Islam yang terus belajar (iqra) semata untuk meninggikan keilahian dalam dirinya. Tidak perlu Ramadhan, maka kita akan menjumpai Lebaran dan kefitrian: kapan saja, di mana saja. Bahkan mungkin tanpa satu ayat pun kita lidahkan hanya untuk mendemonstrasikan keislaman kita. Islam sesungguhnya bukan dalam kata, tetapi dalam lakunya. Itulah Indonesia dan Islam yang kita damba: perkasa, teguh, luhur, dan penuh adab.

RADHAR PANCA DAHANA

BUDAYAWAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2016, di halaman 6 dengan judul "Fitri dengan Mengalami-Nya"

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Diplomasi Baru Laut Tiongkok Selatan (MAKMUR KELIAT)

Bagaimana sebaiknya Indonesia harus menanggapi proses hukum Laut  Tiongkok Selatan yang kini  tengah berlangsung di Permanent Court of Arbitration?

Seperti kita ketahui Filipina telah mengajuka permohonan arbitrase terhadap klaim Tiongkok di Laut  Tiongkok Selatan (LTS) pada Januari 2013.

Ketentuan Pasal 287 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) memang memberikan ruang bagi Filipina untuk memilih salah satu dari empat mekanisme hukum dalam penyelesaian sengketa maritim. Salah satu dari mekanisme itu adalah melalui Permanent Court of Arbitration (PCA).

Proses hukum sepihak?

Keseriusan Filipina untuk menyelesaikan kasus   ini tampak dari dokumen setebal 4.000 halaman yang disampaikan ke PCA. Dalam dokumen itu, Filipina telah menjelaskan secara detail bahwa Tiongkok telah melakukan pelanggaran terhadap batas maritim Filipina. Tanggapan Tiongkok sudah bisa diduga. Negara itu menolak untuk mengakui permohonan Filipina ke PCA.

Melalui Position Paper, yang dipublikasikan pada Desember 2014, terdapat setidaknya tiga argumen utama yang telah dikemukakan Tiongkok. Pertama, Tiongkok menganggap permasalahan di LTS menyangkut kepemilikan pulau, bukan terkait persinggungan batas wilayah laut (maritime delimitation). Karena itu, Tiongkok memandang bahwa PCA tidak memiliki yurisdiksi dalam penyelesaian sengketa kedaulatan di LTS.

 Kedua, Tiongkok menyebutkan terdapat kesepakatan di antara kedua negara untuk tidak membawa masalah LTS kepada institusi dispute settlement yang memiliki karakter wajib (compulsory). Dalam Position Paper tahun 2014 poin Nomor 58 itu, Tiongkok lebih jauh menyebutkan bahwa sengketa maritim di antara Tiongkok dan negara-negara tetangganya akan diselesaikan melalui mekanisme negosiasi dan konsultasi langsung.

 Ketiga, Tiongkok berpandangan bahwa penyelesaian melalui proses hukum hanya dapat dilakukan jika dilandasi oleh asas kesepakatan (the principle of consent) dari kedua pihak yang bersengketa. Sebagaimana tercantum dalam Position Paper tahun 2014 poin Nomor 76, Tiongkok menyatakan bahwa karena negara itu tidak berpartisipasi dalam proses hukum yang tengah berlangsung, Tiongkok memiliki landasan untuk tidak mengakui keputusan yang nantinya dibuat PCA. Intinya Tiongkok berpandangan bahwa Filipina melalui PCA telah melakukan proses hukum sepihak.

 Saat ini permohonan Filipina masih menunggu keputusan final yang diperkirakan akan dibuat pada akhir bulan Juni atau awal Juli 2016. Meskipun belum memberikan keputusan final, PCA pada bulan Oktober 2015 telah menyatakan beberapa hal berikut.

Pertama, PCA memiliki yurisdiksi hukum untuk memproses kasus yang diajukan Filipina.  Ketidakhadiran Tiongkok disebutkan tidak menghentikan proses hukum yang tengah berjalan. Kedua, PCA menegaskan bahwa Filipina memiliki hak untuk mengajukan kasus ini karena Filipina merupakan salah satu negara yang menandatangani UNCLOS. Tindakan Filipina untuk mengajukan kasus ini tidak melanggar norma hukum internasional apa pun.  

Ketiga, dokumen-dokumen tentang kesepakatan mekanisme regional yang telah dibuat Tiongkok dan ASEAN untuk penanganan kasus LTS disebutkan tak memiliki sifat yang wajib dan mengikat secara hukum, serta tak tercantum sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketayang disarankan UNCLOS.

Diplomasi baru?

 Walau keputusan PCA belum keluar, hampir bisa dipastikan bahwa kawasan LTS akan semakin dinamis pada waktu yang akan datang. Sebagian besar dinamika itu akan ditentukan oleh tanggapan yang akan diberikan Tiongkok terhadap keputusan PCA. Ada tiga rangkaian tanggapan yang kemungkinan akan diberikan Tiongkok.

 Pertama, Tiongkok secara verbal akan tetap menolak keputusan PCA. Tanggapan ini hampir bisa dipastikan mengingat dari sejak awal Tiongkok tidak mengakui proses hukum PCA. Kedua, Tiongkok akan menunjukkan perilaku yang lebih asertif. Tindakan-tindakan untuk menunjukkan adanya pendudukan efektif Tiongkok terhadap kepulauan yang dipersengketakan dan  berikut seluruh aktivitas maritimnya di sekitar wilayah itu akan semakin meningkat.

 Ketiga, Tiongkok kemungkinan akan memberlakukan air defense identification zone (ADIZ) di LTS. Hal ini, misalnya telah diperlihatkan Tiongkok di Laut Tiongkok Timur untuk menyikapi sengketa Pulau Diaoyu/Senkaku. Keempat, melakukan economic statecraft, menggunakan instrumen ekonomi untuk mencapai tujuan-tujuan non-ekonomi bagi negara-negara yang terlibat di sekitar LTS.  

 Di tengah-tengah situasi ini, gagasan tentang kebutuhan diplomasi baru di LTS tampaknya memang terasa sangat mendesak. Muatan diplomasi baru ini sebaiknya mengandung beberapa elemen berikut.

Pertama, tak terlalu terfokus pada kegiatan pembangunan norma (norms building), tetapi lebih pada pembangunan skenario (scenario building).  Alasannya sangat sederhana. Indonesia bersama ASEAN telah menghasilkan beberapa instrumen normatif untuk mengatasi sengketa LTS, seperti Declaration on the South China Sea (1992), Declaration on Conduct  of the Parties in the South China Sea  (2002), Guidelines  for the implementation of the DOC (2011), dan ASEAN Six principles  on the South China Sea (2012).

Namun, seluruh proses pembangunan norma ini tidak berhasil menyelesaikan sengketa LTS. Bahkan PCA menganggap bahwa seluruh inisitiaf pembangunan norma tidak dianggap mengikat secara hukum.

 Kedua, diplomasi baru itu perlu memuat argumen bahwa LTS bukanlah laut eksklusif. Aspek strategis LTS tak terbatas pada littoral states di LTS itu. Terdapat kepentingan strategis dari extra- regional powers, yang tak dapat diabaikan, seperti Amerika Serikat dan sekutunya terhadap kawasan ini. Sengketa LTS harus diterima memiliki dimensi kompetisi global antara AS dengan Tiongkok. Dalam konteks kompetisi strategis ini Indonesia harus bisa menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan keamanannya dengan kedua negara tersebut.      

 Ketiga, diplomasi baru itu sebaiknya memuat beberapa  rancangan arsitektur regional yang diproyeksikan kemungkinan terjadi, setidaknya dalam kurun waktu dua dasawarsa ke depan. Bagaimana posisi Indonesia dalam berbagai proyeksi arsitektur regional itu haruslah tampak dengan jelas dalam diplomasi baru itu.  Indonesia harus ikut mengambil inisiatif dan berperan aktif dalam menata arsitektur yang diinginkan. Pertanyaan sederhana yang harus dijawab, misalnya adalah apakah ASEAN masih memadai? Apakah tidak lebih baik memfokuskan pada kerangka regional lainnya yang lebih besar? 

 MAKMUR KELIATPENGAJAR ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL, FISIP UI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2016, di halaman 6 dengan judul "Diplomasi Baru Laut Tiongkok Selatan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Puasa dan Kesadaran Resiprokal (FATHORRAHMAN GHUFRON)

Dalam kitab Ihya' 'Ulumuddin, Imam Ghazali membagi tiga golongan orang yang melakukan ibadah puasa.

Pertama, golongan awam (shaumul 'am), yaitu orang yang berpuasa sekadar menahan lapar dan dahaga. Kedua, golongan khusus (shaumul khas), yaitu orang yang berpuasa selain menahan lapar dan dahaga, juga menjaga mata, hidung, telinga, tangan, kaki, dan seluruh tubuh dari perilaku negatif. Ketiga, golongan paling khusus (shaumul khawashil khawash), yaitu orang yang menjalankan puasa seperti pada dua golongan di atas, tetapi juga menambatkan pikiran dan hatinya hanya kepada Allah.

Dalam kaitan ini, laku puasa seperti yang digambarkan Imam Ghazali tentu bergantung pada kapasitas dan kapabilitas masing-masing individu. Orang yang meniatkan puasa sepenuh jiwa dan raga serta memasrahkan segala sesuatunya hanya kepada Allah dimungkinkan akan masuk golongan khusus dan bahkan paling khusus.

Meski demikian, untuk menjalankan ibadah puasa dengan posisi dan tingkatan yang berada pada golongan khas ataupun khawasul khawas tidak serta-merta terjadi begitu saja. Masing-masing levelnya butuh proses dan penahapan yang dinamis. Dan, yang paling penting dalam menjalankan ibadah puasa adalah bagaimana menempatkan diri kita secara resiprokal di antara orang-orang yang menjalani puasa, baik pada tingkatan awam maupun tingkatan apa pun. Tentu saja termasuk berpuasa di tengah masyarakat yang di antara mereka ada yang kurang peduli terhadap aturan main berpuasa, seperti makan-minum di siang  hari serta membuka warung.

Keragaman apresiasi

Di samping itu, dalam menjalani ibadah puasa terdapat keragaman apresiasi bagaimana masing-masing golongan menyiapkan dan menyikapinya. Pertama, bagi kelompok tertentu, baik dari golongan awam, khusus, dan paling khusus ada yang menyambut puasa Ramadhan dengan aneka macam ritus. Mulai yang bersifat intrinsik keagamaan hingga ekstrinsik kebiasaan adat. Semisal menjalani puasa sunah pada hari-hari tertentu di bulan Rajab dan Sya'ban, ziarah kubur, padhusan yang dipercaya cara menyucikan diri, dan semacamnya. Namun, tak sedikit orang yang menyatakan labelitas hukum tertentu seperti bid'ah terhadap laku persiapan ibadah puasa Ramadhan tersebut.

Kedua, dalam pelaksanaan ibadah puasa kita akan berhadapan dengan serangkaian ritus peribadatan yang sifatnya sunah. Seperti salat Tarawih, tadarus, iktikaf, dan semacamnya. Namun, secara empiris banyak di antara kita yang terjebak dengan perkara teknis perihal pelaksanaan ritus peribadatan sunah tersebut. Bahkan, di antara kita saling mencela dan menyalahkan beberapa prosedur pelaksanaan ibadah yang biasa dilakukan oleh kelompok orang.

Semisal ada sekelompok orang yang Tarawih dengan 21 rakaat dianggap tidak sesuai sunah rasul oleh sekelompok orang yang menjalani tarawih dengan 11 rakaat. Ada pula sekelompok orang yang shalat Tarawih dengan gerakan yang sangat cepat, dianggap mencederai kekhusyukan ibadah shalat Tarawih itu sendiri. Bahkan, untuk sekadar membenarkan praktik peribadatannya menggunakan sejumlah dalil sebagai landasan pembenar dari apa yang dilakukan.

Padahal, setiap orang memiliki cara sendiri bagaimana mengekspresikan ritus peribadatannya sesuai keyakinannya. Bisa jadi selera sekelompok orang yang mengekspresikan ritus peribadatan shalatnya dengan caranya sendiri memiliki jalinan keterhubungan yang sangat transendental dengan Allah. Maka, tidak sepatutnya kita memperselisihkan berbagai ekspresi masing-masing kelompok dalam menjalani ritus peribadatannya. Sebab, ibadah puasa menegaskan dua dimensi yang antara satu dengan lainnya saling melengkapi. Yaitu, satu sisi kita menjalani puasa sebagai kewajiban asasi, di sisi lain kita pun perlu menjalani ibadah puasa sebagai hak asasi.

Kewajiban asasi dan hak asasi

Dalam buku Human Rights in Islamic Law, Ibrahim Abdullah al-Marzouqi memberikan definisi bahwa terma kewajiban asasi banyak merujuk pada norma agama yang mengarahkan orang agar menyembah kepada Tuhan dan berbuat baik kepada sesama. Sementara terma hak asasi, secara formal muncul masif pada tahun 1984 melalui Deklarasi HAM PBB. Dalam hal ini, kedudukan kewajiban asasi dan hak asasi mempunyai ruang sendiri-sendiri. Namun, keduanya perlu dipertemukan secara resiprokal agar tidak dipertentangkan antara satu dengan lain.

Sebagai kewajiban asasi, masing-masing golongan yang berpuasa dalam model orang awam, orang khusus, dan orang paling khusus dia akan selalu menyandarkan dirinya kepada Allah. Namun, di antara mereka mempunyai hak asasi pula bagaimana menempatkan diri pada level tertentu yang bisa memungkinkan dirinya bisa pasrah dan khusyuk menjalani ibadah puasanya.

Bagi orang awam, kewajiban asasinya berada pada level menahan dahaga dan lapar. Namun, bukan berarti ketika dia mempunyai cara mengekspresikan kewajiban asasinya dengan hak-hak asasi yang lain, seperti tetap menjalankan sesuatu yang mendekati pada perkara yang nyaris menggugurkan puasanya, lalu dapat dihakimi sebagai orang tidak memperoleh pahala apa pun. Meskipun ada dalam sebuah riwayat bahwa "berapa banyak orang yang berpuasa yang tidak memperoleh apa-apa kecuali dahaga dan lapar", bukan lantas keberadaannya dienyahkan begitu saja dalam kerangka kesejatian ibadah puasa itu sendiri. Sebab, bisa jadi yang bersangkutan sedang berproses menjalani puasa dengan diawali menahan dahaga dan lapar, dan pada tahap berikutnya akan belajar pula menjalani puasa pada tahap yang mendekati jenis golongan khusus.

Maka, menghadapi golongan yang masih awam perlu dirangkul oleh orang-orang kebetulan telah memasuki golongan khusus dan paling khusus agar bisa belajar bagaimana menjalani sekaligus menghayati ibadah puasa sepenuh jiwa. Tidak semestinya orang-orang yang masih awam, atau mungkin yang sedang tidak berpuasa sekalipun, dihujat sedemikian rupa sehingga membuat dirinya benar-benar mengalienasikan dirinya dari aura puasa Ramadhan. Kita perlu melatih kesadaran resiprokal agar antara kita saling peduli dan saling memberikan pencerahan terhadap orang-orang yang sedang melatih dirinya bisa terlibat dalam ritus ibadah puasa.

Bila kesadaran resiprokal ini bisa kita lakukan, esensi puasa Ramadhan sebagai bulan tajribiyah (melatih diri) dan bulantazkiyah (menyucikan diri) akan memberikan nilai tambah bagi kita untuk semakin memperkuat keyakinan teologis kita kepada Allah, sekaligus keyakinan sosiologis kepada sesama kita. Bahwa, sesungguhnya-meminjam istilah Gus Dur-di dunia ini tidak ada orang yang jahat, melainkan orang yang sedang berproses menjadi orang baik. Termasuk mereka, orang-orang yang sedang menjalani ibadah puasa dengan level awam, yang masih menambahkan laku spritualitasnya pada pencegahan dahaga dan lapar serta masih dilingkupi dengan berbagai tindak tanduk yang mencelakan.

FATHORRAHMAN GHUFRON

DOSEN SOSIOLOGI FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SUNAN KALIJAGA; A'WAN SYURIYAH PWNU YOGYAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2016, di halaman 7 dengan judul "Puasa dan Kesadaran Resiprokal".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Mudik, antara Kebutuhan dan Keinginan (SUMBO TINARBUKO)

Kapan mudik? Mudik naik apa? Itulah pertanyaan klasik yang muncul jelang Lebaran awal Juli. Pertanyaan tahunan yang dimunculkan sesama  "mudiker" ini selalu dikumandangkan lewat media sosial atau langsung diucapkan secara gethok tular. 

Mereka saling berkomunikasi untuk agenda sakral bertajuk mudik bersama menuju kampung halaman tercinta.

Ritual mudik selalu diawali dan diakhiri dengan bersusah payah. Untuk mewujudkannya pun harus diperjuangkan dengan berdarah-darah. Bahkan, nyawa pun rela menjadi taruhannya. Meski menanggung risiko besar, irama ritual mudik selalu berputar kencang  untuk menyedot para pengembara dan perantau setia.

Kencangnya perputaran itu dimaksudkan agar menyegarkan energi yang kerontang akibat digilas mesin waktu kehidupan. Sebuah mesin raksasa yang menjadikan manusia perantau sebagai roh industri kehidupan. Pada titik ini, industri kehidupan diposisikan sebagai  mesin kecil yang berputar riuh guna "memproduksi" uang. Sebuah industri kehidupan yang mensyaratkan produksi massal dengan target untung bergunung-gunung.

Kebutuhan mudik

Dalam konteks kebutuhan mudik, perayaan Idul Fitri menjadi magnet besar. Ia dimitoskan mampu membangunkan adrenalin rasa kangen manusia perantau pada orangtuanya, sanak saudara, sahabat, dan kerabat di lingkungan asalnya.

Harus diakui, mudik senantiasa menyembulkan  getaran romantisisme tiada tara. Getaran natural bersifat alamiah yang secara kodrati harus dipenuhi dengan derajat kewajaran. Hal itu diekspresikan dalam wujud silaturahim bernuansa kehangatan. Cirinya, lelaku saling bermaafan. Ritual klasik yang direpresentasikan lewat prosesi menggenggam tangan merupakan obat penawar rindu. Ia hadir sebagai medium mencari jejak sang fitri. Bersumber dari tanah leluhur ibu pertiwi. Ritual mudik dalam konteks kebutuhan mudik mensyaratkan pertemuan fisik antara sang pemudik dan orang udik. Transfer energi positif  antara pemudik dan sang udik, yang menjadi penjuru inti hidup dan kehidupannya, tidak dapat tergantikan oleh apa pun.

Nafsu keinginan

Semua sepakat, fenomena mudik nan fitri sulit ditemukan di jagat perantauan. Tetapi,  ketika ritual mudik nan fitri diformat dalam konteks keinginan, maka para "mudiker" otomatis masuk dalam perangkap "jebakan batman".  Mereka terjebak gaya hidup budaya konsumtif yang tampil secara artifisial. Semuanya ditimbang lewat takaran uang yang ada di genggamannya.

Dengan demikian, ritual mudik semula mengusung gerbong silaturahim hakiki, sekarang terkontaminasi nafsu keinginan. Dahsyatnya, mereka rela menjadi pemuja gurita kapitalisme global berbentuk  budaya konsumtif. Secara halus dan rapi, nafsu keinginan tersebut dengan cerdas dikelola serta diejawantahkan sang gurita kapitalisme global. Lewat rayuannya yang gurih, mereka mampu menelikung  para "mudiker" untuk memformat dirinya menjadi bangsa konsumen. Bangsa  yang patuh membeli apa pun yang diperintahkan sang gurita kapitalisme global tersebut.

Salahkah mereka? Atas nama hak asasi manusia, tentu pilihan mengedepankan nafsu keinginan 1.000 persen tak salah. Sebab, secara psikologis, seseorang yang pamit merantau untuk mengubah garis hidupnya dituntut mempertanggungjawabkan niatan dan cita-citanya tersebut. Ketika para "mudiker" pulang ke kampung halamannya, pada saat itulah mereka sedang melaporkan status sosialnya sebagai perantau yang "berhasil". Karena sebagian besar "mudiker" bekerja di rantau, wujud pembuktiannya dalam konteks nafsu keinginan adalah laporan dalam bentuk pameran  harta benda yang diperolehnya saat banting tulang di perantauan.

Semua itu dilakukan untuk menunjukkan jati dirinya sebagai manusia bergaya hidup modern  yang berhasil menguasai dunia. Demi melengkapi pertunjukan sebagai perantau yang "berhasil", mereka senantiasa membeli apa pun yang ditawarkan produsen jaringan kapitalisme global. Semua itu dilakukan demi memuaskan nafsu keinginan untuk dilaporkan kepada orangtua dan sanak kerabat mereka di udik.

Semua itu dilakukan demi sebuah pengakuan diri. Sang "mudiker" terlihat sangat puas ketika orangtua, sanak saudara, dan tetangga di udik memberikan predikat pada dirinya sebagai orang yang sukses. Atas predikat dan pengakuan tersebut, sang "mudiker" secara tidak langsung menjadi tolok ukur kesuksesan seseorang. Di balik itu, dalam konteks mengejar nafsu keinginan bergaya hidup modern, sang "mudiker" sekaligus berperan sebagai agen kapitalisme global yang bersifat permisif, artifisial, dan konsumtif.

Hidup sederhana

Perlahan tetapi pasti, para "mudiker" agen kapitalisme global akan mengubah desa menjadi kota. Kearifan lokal menghilang. Lokalitas keberagaman melayang. Semuanya tampil seragam di bawah kuasa trendsetter. Yang diakui hebat harus berbau modern. Bercita rasa kota. Sementara yang udik  dianggapndesa.  Harus digempur dan didekonstruksi oleh nafsu keinginan beraroma kota.

Haruskah demikian? Yang jelas harus dihindari adalah upaya untuk mengarahkan seluruh energi kemanusiaan demi memberhalakan materi. Momentum mudik sejatinya mengingatkan akan ajaran nenek moyang. Mengisi hidup dan kehidupan ini ibaratnya mampir ngombe. Durasi hidup di jagat raya ini hanya sesaat. Untuk itu, agar diperoleh keseimbangan antara kebutuhan material dan spiritual, kita harus senantiasa belajar menjalani hidup dan kehidupan ini dengan penuh kesederhanaan. Berlaku bijaksana dalam kondisi  apa pun dan untuk siapa pun. Semua itu dilakukan dengan belajar tanpa henti untuk menyelaraskan akal pikiran dan nalar perasaan.

 SUMBO TINARBUKO

PEMERHATI BUDAYA VISUAL DAN DOSEN KOMUNIKASI VISUAL FSR ISI YOGYAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2016, di halaman 7 dengan judul "Mudik, antara Kebutuhan dan Keinginan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: UU Pengampunan Pajak (Kompas)

Setelah pemerintah dan DPR menyepakati Undang-Undang Pengampunan Pajak, tantangannya adalah mencapai target undang-undang itu.

Target utama undang-undang ini adalah negara mendapatkan penerimaan pajak dari uang tebusan program pengampunan pajak tahun ini sebesar Rp 165 triliun.

Pemerintah juga menargetkan repatriasi dana milik orang Indonesia yang selama ini disimpan atau diinvestasikan di luar negeri ke dalam sistem keuangan nasional. Besar uang yang direpatriasi diharapkan Rp 1.000 triliun. Dasar penghitungan adalah perkiraan deklarasi aset bersih mencapai Rp 3.500 triliun hingga Rp 4.000 triliun.

Undang-undang ini dianggap penting oleh pemerintah. Penerimaan dari uang tebusan pengampunan pajak akan digunakan untuk menambal defisit pendapatan negara.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016 pendapatan negara dan hibah pada APBN-P 2016 berkurang Rp 36,2 triliun dari target APBN 2016 menjadi Rp 1.786,2 triliun. Pada sisi belanja, APBN-P 2016 juga berkurang Rp 12,8 triliun menjadi Rp 2.082,9 triliun sehingga defisit anggaran menjadi 2,35 persen.

Pemberian pengampunan pajak penting untuk saat ini dan ke depan dalam membangun kelembagaan keuangan negara. Karena itu, efektivitas undang-undang ini menjadi penting. Target besarnya uang tebusan yang masuk, penggunaan, dan pemantauan program ini harus terukur, termasuk juga mengantisipasi jika target tidak tercapai.

Kita berharap penggunaan dana tebusan program pengampunan pajak dan dana repatriasi yang kembali ke dalam negeri digunakan untuk kegiatan produktif yang benar-benar menggerakkan ekonomi nasional.

Undang-undang ini segera berlaku 1 Juli dan diikuti penyusunan aturan pelaksanaan serta sosialisasi. Sejumlah pihak menyatakan, kemungkinan pemenuhan target bisa jadi meleset. Yang pesimistis menyebut, besar penerimaan hanya akan sekitar Rp 50 triliun, kurang sepertiga dari target pemerintah.

Untuk itu, peraturan pelaksanaan program pengampunan dan repatriasi ini harus memiliki mekanisme jelas dan memberikan kepastian. Pemerintah diharapkan juga telah menyiapkan model-model investasi untuk dana yang kembali ke sistem keuangan nasional yang lebih menarik dibandingkan dengan tawaran negara lain.

Pemerintah menjanjikan, kerahasiaan data wajib pajak tidak dapat digunakan untuk kepentingan lain selain pajak. Hal ini harus tersosialisasikan dengan baik dan ditepati.

Tidak ada jalan mudah untuk menjadi negara ekonomi maju. Program ini merupakan ujian bagi pemerintah dan kita berharap program berjalan baik. Jika berhasil melaluinya, sebagai bangsa kita akan tumbuh lebih kuat.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2016, di halaman 6 dengan judul "UU Pengampunan Pajak".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Kemajuan Teknologi Vs SDM//Tagihan Beda//Obat Kemoterapi//Tanggapan AirAsia (Surat Pembaca Kompas)

Kemajuan Teknologi Vs SDM

Saya mengucapkan selamat dan sukses atas peluncuran BRIsat, yang menjadikan BRI bank pertama di dunia yang memiliki satelit.

Pada Selasa (21/6) pukul 09.20, saya diterima oleh teller BRI Cabang Kota Bekasi. Tujuan saya adalah hendak mentransfer uang ke Jepang dari tabungan saya di BRI, sebagaimana yang telah saya lakukan via BRI dalam dua bulan terakhir ini. Kebetulan saya masih membawa bukti dua transfer sebelumnya, pertama tanggal 11 April 2016 pukul 11:41:26 via BRI Cabang Kota Bekasi, dan kedua tanggal 16 Mei 2016 pukul 09:36:09 via BRI Veteran Jakarta. Kedua transfer itu telah diterima dengan baik di Jepang.

Namun, transfer ketiga hari itu ditolak oleh teller dengan alasan sudah lewat pukul 09.00. Petugas teller itu dua kali menghadap atasannya dengan membawa bukti transfer di atas. Keputusannya: saya diminta kembali keesokan harinya. Itu saya anggap aneh karena dua transfer sebelumnya berjalan dengan baik. Selain itu, dari tiga kali transfer itu, saya melihat ongkos kirimnya sangat berbeda. Boleh jadi hal ini terkait dengan kurs rupiah atas yen Jepang.

Saya prihatin terhadap layanan BRI. Di satu sisi ada lompatan teknologi yang sangat jauh, di sisi lain pengetahuan sumber daya manusianya tertinggal. Bila kedua hal ini tidak berimbang, maka akan menjadi beban. Manfaat tidak sebanding dengan biaya.

Mohon penjelasan.

HERU SUBIYANTORO

Kompleks Kementerian Keuangan, Jalan Guntur Raya, Bekasi, Jawa Barat

Tagihan Beda

Pada tanggal 15 Mei 2016, ayah saya dirawat inap di RS Islam Cempaka Putih, Jakarta. Ayah saya menggunakan fasilitas BPJS dan mendapatkan fasilitas kamar kelas 1. Namun, dengan berbagai pertimbangan akhirnya pihak keluarga memilih perawatan di kamar kelas VIP.

Selama perawatan, kami puas dengan pelayanan dokter dan staf perawat yang bertugas. Tanggal 26 Mei 2016 pagi menjelang pulang, kami menghadap bagian administrasi rawat inap meminta tagihan. Kami mendapat rincian tagihan berikut. Total tagihan Rp 15.912.100, fasilitas manfaat BPJS Rp 19.296.615, dan uang muka yang telah dibayar Rp 2.000.000.

Siang harinya, setelah melapor ke Nurse Station, kami kembali menghadap ke bagian administrasi rawat inap untuk melunasi pembayaran. Kami sangat terkejut karena jumlah tagihan berbeda dengan sebelumnya.

Total tagihan Rp 28.975.700, fasilitas manfaat BPJS Rp 6.420.700, dan uang muka yang dibayar Rp 2.000.000. Kekurangan bayar Rp 26.975.700.

Mengapa sampai terjadi perubahan sebesar ini? Kami sudah berupaya mengonfirmasi ke pihak RS, tetapi tidak mendapat jawaban yang memuaskan.

INDRA LESMANA

Kompleks Harapan Jaya, RT 006 RW 012, Bekasi

Obat Kemoterapi

Ibu saya Warsidah, 70 tahun, adalah pasien dengan jaminan BPJS Kesehatan (dulu Askes, pensiunan guru), di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta. Nomor rekam medis 0-59-75-61 dengan diagnosis kanker paru. Tanggal 16 Juni 2016 oleh dokter yang menangani dibuatkan resep obat kemoterapi Iressa tab 250 mg.

Namun, saat mengurus obat di apotek rawat jalan RSUP Dr Sardjito, dijelaskan bahwa obat dimaksud habis. Petugas apotek tidak bisa memastikan kapan obat ini tersedia kembali. Permasalahannya, ibu saya harus mengonsumsi obat kemoterapi terus-menerus setiap hari dalam jangka panjang dan tidak boleh terputus, sedangkan persediaan obat dari resep sebelumnya akan habis dalam dua hari.

Mohon pihak terkait bisa membantu permasalahan ini agar pada masa mendatang tidak terjadi kekosongan obat yang dibutuhkan pasien.

Kepada Kementerian Kesehatan, kami mohon untuk memperhatikan hal seperti ini mengingat obat dimaksud cukup mahal harganya.

AINUN NAJIB

Terong II, Dlingo, Kabupaten Bantul,Yogyakarta

Tanggapan AirAsia

Terkait surat "Pengembalian Uang Tiket" di Kompas (17/6) dari Bapak Juli Christanto dengan kode pemesanan IC3H4P, kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi.

Dengan ini diinformasikan bahwa proses pengembalian dana atas pemesanan penerbangan dengan kode IC3H4P telah ditindaklanjuti tanggal 17 Juni 2016. Tim terkait akan menginformasikan kepada Bapak Juli Christanto melalui e-mailapabila proses pengembalian biaya tersebut telah selesai diproses.

BASKORO ADIWIYONO

Head of Corporate Secretary & Communications AirAsia Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Inggris Sudah Memilih (Kompas)

Dampak keputusan Inggris keluar dari Uni Eropa masih terus berlanjut sampai hari ini. Pasar keuangan global belum stabil.

Mata uang poundsterling, misalnya, masih sulit menguat. Selain itu, ungkapan pemisahan diri dari Skotlandia dan Irlandia Utara juga semakin kuat, serta munculnya sentimen xenofobia terhadap migran Eropa di Inggris.

Apa yang terjadi saat ini sebetulnya sudah diperingatkan oleh berbagai pihak sebelum referendum, tetapi tak berpengaruh pada mayoritas rakyat Inggris. Kini, banyak pemilih Brexit yang menyesali keputusannya. Ada lebih dari 2 juta penanda tangan petisi yang ingin agar referendum diulang. Namun, nasi sudah menjadi bubur.

Reaksi negatif terhadap keputusan Brexit membuat Inggris tidak segera mengurus perceraiannya dengan Uni Eropa (UE) melalui pengaktifan Pasal 50 Traktat Lisabon. Jika pasal ini telah diaktifkan, ada waktu sekitar dua tahun untuk mengurus administrasi perceraian. Tahap-tahapnya adalah Inggris menginformasikan kepada Dewan Eropa, kemudian dibuat draf kesepakatan yang ditentukan oleh Komisi Eropa. Tahap selanjutnya negosiasi, baru setelah itu tahap persetujuan. Pasal ini belum pernah digunakan karena Inggris negara pertama yang keluar dari UE.

Inggris tidak ingin terburu-buru mengaktifkan Pasal 50 karena ingin jelas terlebih dulu seperti apa masa depan hubungannya dengan UE. Selain itu, dengan mundurnya PM Inggris David Cameron, PM baru kemungkinan juga baru akan terpilih pada Oktober.

Bagi Uni Eropa, menunggu sampai dengan Oktober dalam ketidakpastian akan berdampak sangat buruk, baik secara ekonomi maupun dari sudut keutuhan UE. Pada hari pengumuman Brexit, pasar saham dunia telah kehilangan 2 triliun dollar AS. Sementara mata uang euro dan poundsterling anjlok. Artinya, setiap satu hari dalam ketidakpastian akan berdampak bagi UE.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah efek domino Brexit. Sejumlah partai sayap kanan di Eropa sudah menyuarakan langkah serupa, yaitu referendum untuk keluar dari UE. Pemilu tahun 2017 akan sangat krusial bagi Perancis, Jerman, Belanda, dan Hongaria, yang memiliki partai sayap kanan yang semakin populer.

Itu sebabnya, UE menginginkan perceraian yang cepat dan tuntas dengan Inggris agar memiliki waktu cukup untuk berbenah dan mengonsolidasikan diri. UE pun saat ini memiliki persoalan mendesak lainnya, yaitu menyelesaikan krisis migran, ancaman terorisme, dan resesi ekonomi.

Inggris telah diberi kesempatan dan telah memilih. Kini saatnya bertanggung jawab terhadap pilihannya dan tidak menyeret pihak lain "ikut menderita". Opsi yang tersedia bagi Inggris adalah menyatukan warganya yang terbelah dan menata masa depannya di luar UE.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2016, di halaman 6 dengan judul "Inggris Sudah Memilih".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Rabu, 29 Juni 2016

Vaksin Palsu dan Bayi Kita (SAMPURNO)

Kasus vaksin palsu yang diungkapkan Badan Reserse Kriminal Polri pekan lalu sungguh mengejutkan dan meresahkan masyarakat luas. Vaksin yang dimaksudkan untuk menimbulkan kekebalan pada bayi ternyata dipalsukan dengan bahan baku yang justru berisiko pada kesehatan bayi. Proses pembuatan vaksin palsu itu sama sekali tidak steril dan oleh karena itu pasti mengandung berbagai cemaran berbahaya.

Pemalsuan vaksin juga sangat berpotensi menimbulkan morbiditas dan kematian terutama pada bayi-bayi yang menggunakannya.

Bayi-bayi yang seharusnya memiliki kekebalan karena sudah divaksin ternyata tetap rentan karena vaksinnya palsu. Akibatnya, mereka akan jatuh sakit jika terpapar penyakit yang seharusnya bisa dilawan oleh tubuhnya.

Oleh karena itu, pemalsuan vaksin ini bukan sekadar kejahatan biasa, melainkan merupakan kejahatan kemanusiaan yang luar biasa (extra ordinary crime).  Mengapa kasus pemalsuan vaksin ini bisa terjadi? Apakah kasus ini bisa terjadi pada obat lain dengan risiko yang tidak kalah besar?

Kasus pemalsuan vaksin seharusnya menjadi pembelajaran kita bersama untuk menata ulang sistem pengawasan obat di Indonesia. Jika dalam sistem pengawasan yang selama ini berlangsung tidak terjadi   perbaikan yang substansial, maka probabilitas untuk terjadi kasus yang serupa akan terulang kembali, bahkan mungkin dalam skala yang lebih besar.

Vaksin palsu

Berdasarkan berbagai temuan kasus pemalsuan obat selama ini, ada satu kesamaan motif yang mendasari, yaitu harga produk yang mahal. Tidak pernah ditemukan kasus pemalsuan obat pada obat-obatan yang harganya murah seperti obat generik. Motif meraih keuntungan yang besar jelas menggoda para kriminal ini untuk memalsukan obat.

Dalam kasus vaksin palsu ini, yang dipalsu adalah hampir semua produk impor yang sangat mahal. Pengedar vaksin palsu menggoda orang-orang di bagian pembelian rumah sakit atau klinik  dengan memberikan diskon sangat besar. Hal ini yang memicu dan melanggengkan pemalsuan karena terbungkus rapi oleh petugas internal.

Sebenarnya sangat ironis, pemerintah menyediakan vaksin gratis di rumah sakit pemerintah, puskesmas, bahkan di posyandu, tetapi masih ada rumah sakit dan praktik dokter perseorangan yang memberikan vaksin impor. Jika mereka memperoleh pasokan vaksin dari sumber-sumber yang tidak resmi, apalagi mencari harga murah, maka potensi masalah yang berbahaya sungguh mengancam.

Segmen masyarakat yang menggunakan vaksin nonprogram inilah yang terkena  risiko vaksin palsu. Apabila dihitung secara statistik, penggunaan vaksin impor ini diprediksi kurang dari 5 persen dari total penggunaan vaksin di Indonesia. Akan tetapi, risiko  vaksin palsu ini tidak boleh dikalkulasi secara statistik. Meski  hanya satu kasus, hal ini tetap harus mendapat perhatian penuh karena menyangkut keselamatan jiwa bayi.

Tata ulang sistem pengawasan

Apabila terjadi kasus-kasus pemalsuan obat seperti sekarang, publik langsung menyalahkan dan komplain kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) selaku pelaksana bidang pengawasan obat di negeri ini. Persepsi dan asumsi masyarakat ini tidak sepenuhnya salah karena Badan POM memang sangat diharapkan masyarakat luas untuk mendapatkan perlindungan.

Meski demikian, perlu ada telaahan yang jujur dan obyektif tentang bagaimana keadaan yang sesungguhnya. Idealnya, semua mata rantai produksi, distribusi, dan pelayanan obat menjadi otoritas Badan POM seperti halnya Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat.  Badan POM selama ini lebih banyak berkutat pada pengawasan di hulu, yaitu pada seluruh proses di industri farmasi.

Badan POM  "mengobok-obok" sektor manufaktur formal ini sampai detail sekali. Akan tetapi, di sektor hilir terutama pada apotek, toko obat, dan rumah sakit, Badan POM nyaris tidak bisa melakukan apa-apa karena kewenangannya dipangkas habis. Akibatnya pada sektor hilir ini banyak simpul yang tidak diawasi, yang berpeluang terjadinya distorsi dan pelanggaran.

Sekarang ini siapa saja, kapan saja, dapat membeli obat keras (obat etikal) di apotek dan toko obat tanpa resep dokter. Ironisnya lagi, banyak dokter dan tenaga kesehatan lain membeli obat di pasar gelap, seperti di Pramuka dan Kramatjati, untuk kebutuhan self dispensing. Dalam kasus vaksin palsu ternyata terlibat Apotek Rakyat IS yang eksistensinya bisa dianggap sebagai apotek "abal-abal". Tidak ada literatur mana pun yang mendukung, juga regulasi farmasi di negara mana pun, yang memiliki konsep "apotek rakyat" dan kemudian melegalkan/memutihkan toko obat.

Dengan Permenkes Nomor 35 Tahun 2014, pembinaan dan pengawasan terhadap apotek telah dilimpahkan kepada dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota. Akibatnya, Badan POM tidak lagi mempunyai kewenangan untuk mengawasi apotek. Demikian juga halnya dengan Permenkes  Nomor 58 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa pembinaan dan pengawasan kefarmasian di rumah sakit dilakukan oleh dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota.

Berisiko keselamatan

Padahal, kita tahu bahwa pasokan obat ke rumah sakit sebagian adalah life saving drugs atau obat-obatan untuk menyelamatkan nyawa, yang berisiko tinggi terhadap keselamatan pasien apabila obat tersebut substandar, palsu, atau merupakan produk rusak.

Kasus-kasus yang tidak diinginkan yang terjadi di beberapa rumah sakit beberapa waktu lalu, dan menimbulkan kematian, adalah karena lemahnya sistem pengawasan di rumah sakit. Pelimpahan kewenangan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota ini tidak substansial dan material karena mereka tidak mempunyai sumber daya manusia dan infrastruktur untuk melaksanakan pengawasan secara efektif.

Demikian juga terhadap toko obat. Semua aspek, mulai dari perizinan dan pengawasan dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota. Selama ini hampir tidak ada penindakan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh apotek ataupun toko obat.

Padahal, kenyataan menunjukkan bahwa beredarnya vaksin palsu tersebut-yang realitasnya melalui jalur ilegal-memang akibat tidak adanya pengawasan oleh Badan POM. Tetapi masyarakat dan semua pihak, termasuk DPR bahkan Kementerian Kesehatan sendiri, kemudian menganggap bahwa semua itu menjadi tanggung jawab Badan POM.

Undang-undang pengawasan

Badan POM sebagai pengawas idealnya adalah lembaga pemerintah yang mempunyai otoritas di bidang pengawasan obat dan makanan. Namun, sampai saat ini negara belum memiliki undang-undang sebagai landasan operasionalnya. Ini merupakan suatu kelemahan yang paling substansial bagi Badan POM untuk bertindak sekaligus berkekuatan hukum.

Beberapa tahun lalu Badan POM menangkap (lagi-lagi) pelanggaran dalam hal obat, yakni pencampuran jamu dengan sibutramin (obat diet yang kini dilarang). Ironisnya, tindakan Badan POM ini justru dikalahkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. Sering kali Badan POM memang dituntut balik oleh para pelanggar karena Badan POM tidak dilindungi oleh undang-undang. Yang memprihatinkan, penguatan legalitas hukum yang menghambat ini sering dilakukan oleh oknum internal Kementerian Kesehatan.

Adanya kasus pemalsuan vaksin ini sangat diharapkan menimbulkan kesadaran kolektif semua pihak, terutama DPR, untuk membuat undang-undang pengawasan obat dan makanan sehingga dapat memberikan perlindungan yang efektif dan intensif kepada masyarakat luas. Jaringan kerja sama pengawasan kepada semua pihak mesti diperkuat untuk melindungi kesehatan dan keselamatan rakyat Indonesia.

SAMPURNOKEPALA BADAN POM RI 2001-2006

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Juni 2016, di halaman 6 dengan judul "Vaksin Palsu dan Bayi Kita".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger