Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 30 April 2016

Memaknai (Lagi) Ontosoroh (AGUS HERNAWAN)

A settled home

for white settlers!

Demikian Hindia Belanda diinginkan di suatu waktu imperial. Waktu itu dimulai pangkal abad ke-20.

Keberhasilan aneksasi pulau-pulau di luar Jawa sepanjang abad ke-19 dengan patok kekuasaan mulai dari Sumatera-Aceh masih pengecualian-sampai ke Benteng Dus Bus di Lobo, Papua, mendorong reorientasi penguasaan. Jika tujuan awal VOC sekadar mencari kekayaan, sejak pangkal abad ke-20 itu Hindia Belanda diproyeksikan jadi mukim permanen orang Putih.

Linda Tuhiwai Smith (2005) menguraikan bagaimana imperialisme abad ke-20 itu berlangsung. Ia tidak lagi semata bertopang di ekspedisi militer dan ekspansi ekonomi, tetapi mewujud sebagai satu kesatuan analisis dan diskursif di wilayah pengetahuan. Pengetahuan jadi perangkat ideologi imperial untuk melahirkan kebudayaan, tradisi intelektual, dan ekspresi teknis. Tradisi penulisan yang melakukan pemisahan ketat antara sastra dan sejarah adalah salah satu bentuk ekspresi teknis itu.

Fokus dialihkan dari struktur ke kultur. Kekuasaan merangkul pengetahuan. Monopoli ditukar hegemoni. Aneksasi diganti legitimasi. Ilmu pengetahuan jadisubtle ways, penjinakan dan penundukan secara halus guna melahirkan kepatutan menurut "etika kolonial". Di titik ini, seperti dinyatakan Edward Said, pengetahuan jadi cara-cara sistematik untuk menaklukkan orang lain (subjugation of others), sekaligus "bahan baku" ("raw material") bagi mesin produksi imperial.

Narasi yang mengacaukan

Novel Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer diterbitkan pertama kali bulan Juli 1980.  Bumi Manusia bertahan hanya enam bulan sebelum dibredel oleh Jaksa Agung melalui SK-052/JA/5/1981. Respons kekuasaan di bandul kecurigaan, juga kepandiran.  Padahal, novel Pram ini membuka ruang bertemu sastra dan sejarah. Bahkan, Keith Foulcher menyebut Bumi Manusia memuat kemungkinan didaktis dan emansipatoris. Lebih jauh, pada hemat saya, Bumi Manusia merupakan konstruksi sejarah kebangsaan lewat perspektif yang disebut Heideggersubjective experience.

Pengalaman subyektif Pram membuatBumi Manusia berelasi dialektis atas narasi imperial.  Diskursif semantik didedahkan, berpusat pada sosok tokoh Nyai Ontosoroh.  Nyai Ontosoroh pada Pram menolak citraan Nyai yang direproduksi narasi imperial. Jamak, citraan Nyai hadir secara negatif. Ambil contoh Bas Veth dalam Het Leven in Nederlandsch-Indie (Kehidupan di Hindia Belanda, 1900). Bas menyebut para Nyai sebagai manusia sejenis kera!

Ada juga cerita Nyai Dasima, baik karangan G Francis (1896) maupun Sair Njaie Dasima-nya OS Tjiang (1897). Keduanya menghadirkan Nyai Dasima sebagai perempuan serong, lemah, dan tak dapat dipercaya. Citraan negatif itu juga dilekatkan ke Saipa dalam Si Tjonatkarangan FDJ Pangemanann, yang anehnya adalah pengarang pribumi. Saipa adalah Nyai Tuan Opmeijer, asal Desa Tjirenang, yang sangat elok dan muda belia, serta sangat dicintai tuannya.  Akan tetapi, Saipa serong dengan si Tjonat, jongos di rumahnya. 

Ontosoroh melawan citraan negatif itu. Ia adalah ikon antagonisme yang terhubung secara diametral dengan proyek imperial di wilayah ide dan diskursif pengetahuan.

Ontosoroh menolak kategorisasi, menolak politik identitas beserta segala prasangka rasial yang ditanamkan. Ontosoroh menolak pembatasan. Ia menolak menjadi gambaran dalam narasi imperial: sekadar obyek seksual dan pajangan tuannya. Ia bukan perempuan "ganjal batu" dibungkus kain songket bersulam benang emas dan perak, tusuk konde Roos, peniti intan dan giwang yang terbuat dari berlian.  Ontosoroh menolak diisolasi dalam kesombongan dan keangkuhan warna kulit.

Ontosoroh mengacaukan narasi imperial. Datang dari lantai terbawah dalam struktur masyarakat kolonial, seperti dikatakan Harry Aveling dalam Wanita yang SengsaraWanita dalam Bumi Manusia, Ontosoroh menghadirkan dirinya penjelmaan dari paras dan rupa Timur yang elok dengan keuletan dan keberanian pebisnis sejati dan kepintaranwanita Eropa tulen lulusan boarding school Inggris. Ia belajar membaca, dan belajar menulis dalam bahasa tuannya. Ontosoroh mempelajari banyak hal secara otodidak, juga mengajarkannya. Ia jadi guru Minke (sosok penting lain dalamBumi dan Manusia) dalam hal kebangsaan.

Emansipasi

Pram menulis Bumi Manusia tidak untuk dibaca sebagai novel berlatar sejarah, tetapi sejarah itu sendiri. Sejarah sebagaialternative reality, satu patahan emansipasi.  Konteks pembacaan sosok Nyai Ontosoroh ialah situasi tanah jajahan Hindia Belanda menjelang akhir abad ke-19 yang terhubung ke proyeknew imperialism Batavia. Ada kemiripan, bila tidak mau dikatakan peniruan, antara new imperialism Batavia denganthe Late Period (1870-1901) kolonialisme Inggris. Keduanya sama-sama tidak menonjolkan ekspansi dan eksploitasi ekonomi, tetapi rasa superioritas di dalam satu pertemuan budaya yang hierarkis sifatnya. Tujuannya menjadikan tanah jajahan a settled home for white settlers.

Karena itu, sejak akhir abad ke-19, terjadi arus masuk  perempuan Eropa ke Hindia. Dari sekitar 60.000-an "orang Putih"  di Hindia pada 1900, mengutip Chailley-Bert, hampir separuhnya, yaitu sekitar 23.000, adalah wanita Eropa. Gelombang masuk perempuan Eropa tersebut menyudahi periode kolonialisme tua. Di periode yang disebut kolonialisme tua, khususnya sebelum akhir abad ke-19, arus masuk perempuan Putih ke Hindia sangat dibatasi.

Sejak Cornelis de Houtman beserta 100  anggota ekspedisi datang ke  Banten pada 23 Juni 1596, baru pada 8 September 1627 untuk pertama kali dua perempuan Belanda menginjakkan kaki ke Kastil Batavia. Bahkan, sepanjang penguasaan VOC, malah diberlakukan pembatasan, dengan pengecualian hanya para pejabat tinggi, atau kalangan tertentu, yang dibolehkan membawa serta istri berlayar ke Hindia. Sebutlah seperti Benjamin Olitzsch yang direkrut VOC pada 1680 untuk mengelola tambang emas di Sumatera Barat.

Gelombang masuk perempuan Eropa ke Hindia itu diikuti kampanye tentang kemurnian ras Kaukasia. Di waktu yang sama, perkawinan campuran, baik yang resmi maupun tidak, antara "pria Putih" dan perempuan Slam atau pribumi sudah jamak ditabukan. Perkawinan campuran berlangsung hanya di kalangan serdadu. Anak-anak hasil perkawinan itu disebut anak kolong-penamaan yang tentunya mengandung konotasi bawah.

New imperialism Batavia mensyaratkan suatu tatanan masyarakat kolonial yang terkotak-kotak, senjang, dan hierarkis. Satu tatanan masyarakat kolonial yang berada di ruang dan waktu yang sama, tetapi terpisah oleh jarak, esensi, dan identitas  di balik warna kulit dan prasangka- prasangka rasial. Suatu masyarakat dengan kolonis berada di kasta tertinggi sebagai wakil dunia beradab, model dan arketif the most advanced civilication. Beb Vuyk, salah seorang perempuan pengarang Indo dalam Sebuah Rumah Nun Di Sana (1939), dengan ironi melukiskan bagaimana ".Manusia yang bersahaja waktu berangkat dari Genoa merasa seakan-akan derajatnya naik beberapa tingkat begitu tiba di Priok."

Nyai Ontosoroh adalah Sanikem. Ia dijual bapaknya yang gila pangkat ke Herman Mellema, administrator pabrik gula. Namun, Ontosoroh, yang dipariakan di lantai terdasar struktur kolonial, ditindas oleh kuasa patriarki feodal-kolonial, menolak jadi sosok nyai yang dicitrakan negatif dalam narasi imperial. Dihadapkan dengan situasi new imperialism Batavia, Ontosoroh jadi indeksitas emansipasi kebangsaan. "Hidup bisa memberikan segala pada barang siapa tahu dan pandai menerima," ujar Ontosoroh kepada Minke.

Memaknai Ontosoroh sebagai indeksitas emansipasi kebangsaan, dalam hemat saya, merupakan pesan penting Bumi Manusia. Pesan seorang sastrawan yang pernah dipariakan, tapi tak pernah sedetik pun kehilangan kecintaan pada Tanah Air. Sebuah pesan yang dialamatkan pada generasi bangsa ini untuk remembering, revitalizing, rewriting, dan representing sejarah ruang hidup mereka. Berdaulat atas ingatan, jadi tuan bagi masa depan.

AGUS HERNAWAN

PENYAIR; TERLIBAT DALAM BERBAGAI KERJA EDUKASI DAN ADVOKASI SEJAK 1999; PERNAH TERLIBAT DI  TIM ADVOKASI CHILD LABOR-FIRESTONE, DI LIBERIA, AFRIKA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 April 2016, di halaman 7 dengan judul "Memaknai (Lagi) Ontosoroh".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Politik Sertifikasi Sawit (KHUDORI)

Indonesia Palm Oil Pledge atau IPOP -kesepakatan lima raksasa perusahaan sawit di Indonesia-memicu polemik. Pemerintah tengah mencari landasan hukum untuk membubarkan IPOP. Alasannya, kriteria pengelolaan sawit IPOP menimbulkan kerugian pada petani kelapa sawit.

Tandan buah segar (TBS) kelapa sawit produksi petani mandiri tidak ada yang menampung dan membeli. Padahal, petani mandiri menguasai hampir separuh dari 10,5 juta hektar luas areal sawit saat ini.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pun menilai IPOP berpotensi menimbulkan kartel. Kesepakatan IPOP bertentangan dengan UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan juga berpotensi mendistorsi pasar. KPPU meminta IPOP tidak diimplementasikan. Alasannya, tidak ada dasar hukum bagi korporasi mengimplementasikan IPOP. IPOP bukanlah regulasi.

Korporasi atur negara?

IPOP adalah komitmen dan atau kesepakatan lima raksasa perusahaan sawit (Wilmar Indonesia, Cargill Indonesia, Golden Agri Resources, Musim Mas, dan Asian Agri) untuk menjalankan praktik perkebunan sawit yang berkelanjutan di seluruh rantai pasoknya. Komitmen diteken dalam forum United Nation Climate Summit 2014 di New York, AS, September 2014. IPOP mengatur: kebun sawit harus bebas deforestasi, kebun sawit tidak di lahan gambut, kebun sawit tidak di lahan berkarbon tinggi (high carbon stock/HCS), larangan menampung TBS/CPO dari kebun sawit hasil deforestasi, lahan gambut, dan HCS. Implementasi dimulai pada 2015.

Apa yang salah dengan IPOP? Dalam industri sawit, pemerintah membuatIndonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai kebijakan sertifikasi yang harus dipenuhi tiap perusahaan atau perkebunan sawit. Ini jadi standar praktik perkebunan sawit berkelanjutan. Ada perbedaan mendasar antara IPOP dan ISPO. Pertama, ISPO memakai standarhigh conservation value forest (HCVF), IPOP menambahkan kriteria HCS, kriteria yang lebih tinggi. Ini berpotensi jadi hambatan masuk bagi mitra anggota IPOP yang sesuai dengan kebijakan pemerintah, tetapi tidak memenuhi standar HCS.

Kedua, ISPO diinisiasi pemerintah (baca: negara), IPOP kesepakatan korporasi. Indonesia adalah negara berdaulat yang memiliki hak mutlak mengatur proses pembangunan. Tak satu pun negara ataupun lembaga internasional, apalagi LSM, boleh mengintervensi kebijakan di Indonesia. Ketiga, lima perusahaan penanda tangan IPOP menguasai 70 persen CPO Indonesia. IPOP yang difasilitasi dan didukung AS patut diduga merupakan bagian dari skenario proxy war dan bentuk neoimperialisme.

Keempat, implementasi IPOP berpotensi menimbulkan persaingan usaha tak sehat. Penolakan anggota IPOP menerima TBS petani sawit ataupun CPO BUMN dan perkebunan skala kecil-menengah dengan alasan tak sesuai syarat IPOP berpotensi menyulut ketegangan sosial di 190 kabupaten sentra sawit nasional. IPOP akan menimbulkan kemiskinan di 190 kabupaten itu.

Selain ISPO dan IPOP, industri sawit Indonesia sudah mengadopsi sertifikasi keberlanjutan (certified sustainable palm oil/ CSPO) dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Menurut laporan RSPO (2014), minyak sawit adalah satu-satunya minyak nabati global pertama di dunia yang mempunyai sistem tata kelola dan sertifikasi minyak nabati berkelanjutan. Sementara minyak nabati produksi Uni Eropa, seperti minyak kedelai, rapeseed, dan bunga matahari belum memilikinya. Sistem tata kelola dan sertifikasi ini diadopsi Indonesia dan Malaysia, dua jawara produsen sawit dunia.

RSPO mengklaim sebagai lembaga sertifikasi sawit berkelanjutan paling kredibel di dunia. Klaim itu tak lebih dari pepesan kosong. Buktinya, meskipun mengantongi sertifikasi CSPO dari RSPO dan ISPO dari Pemerintah Indonesia, aneka produk sawit masih selalu dituding tidak ramah lingkungan. Ini bisa dibaca dari aneka regulasi di negara-negara maju yang intinya menuding sawit tidak ramah lingkungan, seperti renewable fuel standards oleh AS, renewable energy directive oleh Uni Eropa, food standards amendment truth in labeling-palm oil bill 2010 oleh Australia, dan amandemen UU No 367 tentang Keanekaragaman Hayati oleh Perancis.

Bahkan, ketika the big five sawit asal Indonesia mengadopsi IPOP, kampanye anti sawit tidak berhenti. Ini ditandai penemuan sejumlah produk makanan impor yang dijual di beberapa mal di Jakarta dengan label POF (palm oil free), Februari 2016. Kepatuhan the big fivepada CSPO dan IPOP berbuah labelisasi POF. Masihkah kita yakin alasan di balik gerakan ini adalah alasan pelestarian lingkungan? Ataukah gerakan anti sawit sedang mengalami metamorfosis jadi gerakan aneksasi industri sawit?

Hanya taktik dagang

Sejatinya, amandemen UU No 367 dan aneka regulasi di negara-negara maju tersebut tak lebih dari taktik dagang. Sebab, dasar dan metode perhitungan ditentukan sepihak. Alasan emisi dan kesehatan tidak lebih non-tariff barrie. Sebab, syarat-syarat serupa tak berlaku bagi minyak pangan kompetitor sawit. Taktik dagang juga diberlakukan lewat sertifikasi. Sertifikasi tidak mengindahkan produsen. Tak heran muncul gugatan serius: produk apa yang harus disertifikasi dan siapa yang menyusun sertifikasi.

Kini, sertifikasi jadi ladang bisnis menggiurkan. Pelakunya lembaga-lembaga asing dari negara maju. Di Inggris saja setidaknya ada 600 jenis sertifikasi, sebagian besar diinisiasi oleh korporasi, bukan oleh negara. Bagi Pehnet dan Vietze (2009), renewable energy directive cs di atas adalah kebijakan industri, bukan kebijakan lingkungan. Ini kamuflase proteksionisme berkedok lingkungan. Aturan-aturan seperti itu menabrak prinsip Pasal I, III, dan XI WTO karena telah mendiskriminasi sebuah produk. Indonesia harus mengadukan diskriminasi dan praktik dagang tidak adil itu ke WTO.

KHUDORI

Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI); Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-sekarang)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 April 2016, di halaman 7 dengan judul "Politik Sertifikasi Sawit".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Kesaksian Ahli dan Integritas Akademik (SIGIT RIYANTO)

Tulisan Eddy OS Hiariej tentang "Alat Bukti Keterangan Ahli" (Kompas, 25/4, 2006) menarik untuk disimak dan didiskusikan lebih lanjut.

Topik tentang alat bukti keterangan ahli dalam proses peradilan ini jadi wacana menarik di negeri ini, utamanya berkaitan dengan kasus-kasus yang menyita perhatian publik.  Lebih menarik lagi kesaksian ahli (hukum) dalam kaitannya dengan kasus korupsi yang merugikan keuangan negara dalam jumlah besar.

Tulisan ini menawarkan sudut pandang lain  mengapa  alat bukti berupa keterangan ahli (khususnya para ahli  hukum) jadi persoalan yang mengundang pro dan kontra.  Mengapa kehadiran para saksi ahli hukum, yang umumnya bergelar profesor atau doktor yang mengajar di universitas,  di persidangan pengadilan menjadi kontroversial?  

Kedudukan dan fungsi kesaksian ahli sebagai alat bukti telah diatur jelas dalam peraturan perundang-undangan. Masalahnya adalah terletak pada bagaimanakah para ahli hukum yang bersaksi di pengadilan memosisikan dirinya dalam kontestasi kepentingan yang sedang berhadapan di depan hakim.

Salah satu pertanyaan sederhana yang sering muncul tentang kehadiran para ahli hukum adalah tentang kompensasi apa yang diperoleh ahli bersangkutan ketika bersaksi.  Tidak ada larangan dan tidak ada keharusan untuk memberikan kompensasi atas kehadiran seorang ahli di persidangan pengadilan. Di Indonesia tidak ada aturan rinci dan ketat tentang hal ini. Seorang ahli yang bersaksi di pengadilan dapat memperoleh kompensasi atas kehadirannya untuk memberikan keterangan di persidangan, tetapi dapat juga secara pro bono (tanpa imbalan).

Sudah jamak diketahui, pada umumnya para pihak yang berperkara di pengadilan dan menghadirkan saksi ahli hukum adalah mereka yang memiliki kemampuan keuangan memadai sehingga mampu memberikan kompensasi berupa bayaran yang tinggi kepada ahli hukum yang didatangkan untuk bersaksi. Bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki uang  cukup untuk membayar para ahli agar bersaksi di persidangan?

Di negara-negara tertentu, semisal Australia,  telah dibuat pedoman tentang bagaimana kehadiran dan proses kesaksian ahli di  persidangan. Bahkan, dapat saja kehadiran para ahli  dalam persidangan hukum adalah  free of charge, atau mereka tidak menerima kompensasi, misalnya  ketika kesaksiannya diperlukan  demi kepentingan umum.

Independensi

Secara normatif, para ahli yang bersaksi di persidangan pengadilan wajib bersikap obyektif dan tidak memihak (independent; impartial). Mereka dituntut memberikan keterangan yang benar, relevan, sahih, dan obyektif sesuai kompetensi keilmuannya. Para ahli ini memiliki tanggung jawab besar untuk memberikan pendapat yang jujur dan obyektif dalam rangka membuat terang masalah yang sedang dihadapkan pada hakim. Pendapat atau keterangan yang diberikan di persidangan semata-mata didasarkan pada kebenaran ilmiah dan etika akademik.

Benarkah para ahli hukum yang hadir di hadapan hakim dan memberikan kesaksiannya telah menyampaikan pendapat yang jujur, obyektif, dan tak memihak? Tidak jarang kehadiran para ahli dalam proses persidangan menuai kritik karena ditengarai telah berpihak dan atau dimanfaatkan salah satu pihak yang berperkara untuk menjustifikasi kepentingannya dan memenangi kasusnya.  Kesaksian ahli yang tidak jujur, subyektif, dan memihak dapat merusak proses pengungkapan kebenaran.

Inilah gejala yang disebut "hired guns" (senjata sewaan). Para ahli yang memberikan keterangan dan atau pendapat dengan maksud menguntungkan salah satu pihak diibaratkan sebagai senjata sewaan. Mereka hadir  memberikan kesaksian semata-mata untuk memperoleh kompensasi atas keterangannya, yang umumnya berupa sejumlah uang. Ahli semacam ini akan melayani siapa saja yang mau dan mampu menyewa atau memberikan kompensasi atas jasa yang diberikan untuk bersaksi di hadapan hakim, hasil akhir persidangan tidaklah penting baginya. Para ahli semacam ini tidak segan-segan mengorbankan independensinya sebagai akademisi dan mengompromikan pendapatnya semata-mata untuk mendukung argumen salah satu pihak yang berperkara, yang sanggup menyewa jasanya untuk bersaksi di pengadilan.

Hal terpenting yang harus diingat oleh akademisi, ketika mereka bersaksi dan terlibat dalam proses hukum adalah bagaimana mempertahankan dan menjaga  integritas akademik. Integritas akademik adalah komitmen dalam situasi apa pun untuk berpegang pada lima nilai dasar: kejujuran, kepercayaan, keadilan, kehormatan, dan tanggung jawab. Lima nilai dasar ini menjadi landasan perilaku akademisi dan diterjemahkan dalam tindakan. Ketika memberikan kesaksian, benarkah dilakukan dengan jujur, dapat dipercaya, obyektif, menjunjung kehormatan, dan bertanggung jawab atas apa yang dinyatakan sebagai saksi ahli?

Nilai-nilai ini juga terkait erat dengan misi kelembagaan/institusi, kebijakan dan praksis, sehingga integritas akademik dijaga dan dirawat. Pendapat para akademisi yang berpegang dan taat pada lima nilai dasar  tadi secara konsisten merupakan kontribusi bagi upaya pencarian kebenaran dan bermuara pada pengungkapan kebenaran.  Seorang  akademisi  yang menjadi saksi ahli dituntut untuk beropini dan membangun argumen ilmiah yang jujur, adil, dan bertanggung jawab dalam rangka pencarian dan pengungkapan kebenaran; bukan membenarkan salah satu kepentingan yang sedang berkontes di lembaga peradilan.  

Jika yang dilakukan bertentangan dengan integritas akademik, ada tiga kemungkinan: penyesatan, pengkhianatan integritas akademik, atau pelacuran akademik. Bersaksi bukan untuk menyampaikan kebenaran, tetapi untuk memperoleh sejumlah uang, seperti kata pepatah: "I'm selling myself, more often than not to the highest bidder, purely for thrill and money."

SIGIT RIYANTO

GURU BESAR HUKUM INTERNASIONAL, FAKULTAS HUKUM UGM

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 April 2016, di halaman 7 dengan judul "Kesaksian Ahli dan Integritas Akademik".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Buruh dan Ketimpangan (REKSON SILABAN)

Serikat buruh sejak awal kelahirannya di Inggris, tahun 1812, digagas sebagai wadah perjuangan untuk melawan eksploitasi kapitalis terhadap buruh.

Awalnya hanya di tingkat pabrik, tetapi berlanjut ke tingkat nasional dan global, mengikuti logika pergerakan arus modal. Tanpa kelahiran serikat buruh (SB), tidak ada institusi yang menemani buruh mendapat keadilan ekonomi. Sekalipun program karitatif institusi agama dan sistem perpajakan di masa itu coba ikut memperbaiki nasib buruh, tetapi tak bisa efektif mengatasi kesenjangan ekonomi antara pemilik modal dan buruh. SB melakukan gerakan penyadaran, pengorganisasian massa dan opini, untuk mempertanyakan ketidakadilan sistem distribusi ekonomi.

Gagasan perjuangan melalui SB menyebar cepat ke sejumlah negara, menimbulkan berbagai pergolakan. Dalam beberapa kasus, SB kerap dituduh provokator kerusuhan dengan mengusung paham komunis. Inilah yang terjadi pada tragedi 1 Mei 1886 di Hay Mart, Chicago, AS. Perjuangan buruh yang menuntut jam kerja 8 jam per hari berakhir dengan provokasi kerusuhan sehingga pengadilan menjatuhkan hukuman gantung kepada para pejuang buruh. Sekalipun beberapa tahun kemudian pengadilan menganulir hukuman tersebut dan merehabilitasi nama baik para martir buruh yang meninggal.

Mereduksi ketimpangan ekonomi

Namun, perjuangan buruh di Hay Mart menggetarkan pejuang buruh di belahan dunia lain: Eropa. Kelompok ideolog sosialis dalam Konferensi II Sosialis Internasional di Paris tahun 1889 memutuskan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional. Ironisnya, AS yang saat itu berupaya mengempang pengaruh sosialis menolak 1 Mei sebagai hari perayaan buruh dengan menggantinya menjadi hari Senin pada minggu pertama September.

Sejarah terus bergulir karena beberapa tahun kemudian, tepatnya 1919, Organisasi Buruh Internasional (ILO) menetapkan pengaturan kerja 8 jam per hari ditetapkan sebagai konvensi internasional pertama ILO. Inilah prestasi awal SB yang mengawali eksploitasi di tempat kerja. Konvensi ini sekarang diadopsi di seluruh dunia.

Munculnya wadah SB dan pengaturan jam kerja ternyata tak otomatis menurunkan kemiskinan buruh. Ada masalah tentang upah. Upah yang diterima buruh hanya cukup menghidupi buruh itu sendiri, tetapi tidak cukup untuk membiayai kehidupan keluarganya. Perjuangan buruh berlanjut ke isu upah minimum. Negara pertama yang memulainya adalah Selandia Baru (1894), selanjutnya menyebar ke Australia (1904), dan menyeberang ke Eropa melalui Inggris (1909). Melalui upah minimum, negara ingin memastikan perlindungan terhadap buruh dari eksploitasi kapitalis. Penetapan upah minimum dilakukan melalui usulan tripartit untuk kemudian diputuskan pemerintah.

Mengapa perlu keterlibatan unsur non-pemerintah dalam upah minimum? Jawabnya: untuk mencegah keberpihakan pemerintah terhadap salah satu pihak, baik buruh maupun pengusaha. Sebab, dalam pengalaman sejarah, pemerintah di mana pun memiliki kecenderungan keberpihakan subyektif. Sistem upah minimum di Indonesia yang saat ini mengenyampingkan peran SB dan pengusaha adalah penyimpangan dari kelaziman umum negara penganut sistem upah minimum. Sistem upah minimum menjadi salah satu temuan penting mencegah melebarnya ketimpangan pendapatan antara buruh dan majikan.

Kelahiran beberapa institusi di atas ternyata tak bisa mengatasi keserakahan kapitalisme karena buruh terus menderita akibat ketidakadilan sistem ekonomi. Adalah Otto Van Bismarck, Kanselir Jerman tahun 1889 yang meluncurkan gagasan jaminan sosial untuk buruh. Dia sebenarnya bukan tokoh sosialis pendukung buruh, melainkan memperkirakan potensi bahaya kemerosotan ekonomi Jerman dan potensi pemberontakan buruh bila tak melahirkan sistem yang mereduksi ketimpangan ekonomi melalui jaminan sosial.

Gagasan jaminan sosial ini selanjutnya menjadi program inti perjuangan SB di seluruh dunia, yang kemudian diadopsi dalam konvensi ILO dan dipraktikkan di seluruh dunia. Konsep jaminan sosial saat ini sudah berkembang, tidak lagi sebatas pemenuhan hak asasi manusia, tetapi menjadi stabilisator otomatis untuk mencegah krisis ekonomi lebih buruk.

Tahapan terbaru dalam perkembangan hubungan industrial yang saat ini dipromosikan ke seluruh dunia adalah konsep social dialogue atau suatu upaya untuk melakukan perundingan guna mendapatkan titik temu demi keberlanjutan pekerjaan dan usaha. Ini adalah konsep baru yang menegasi konsep lama "perjuangan kelas". Suatu upaya memitigasi masalah hubungan industrial melalui jalan damai ketimbang jalur konfrontasi. Produk utama dialog sosial adalah lahirnya Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yang berisi kesepakatan SB dan majikan atas hak dan kewajiban di tempat kerja.

Dari data yang tersedia di Kementerian Tenaga Kerja, hanya ada 12.700 PKB di Indonesia. Sementara data BPS menunjukkan, ada 48,997 usaha menengah, dan jumlah kelompok usaha besar sebanyak 4,968. Data ini mengonfirmasi capaian sosial dialog di Indonesia masih rendah karena hanya baru 25 persen perusahaan (dengan kategori jumlah pekerja di atas 50 orang) yang bersedia berunding membuat PKB. Mayoritas perusahaan lainnya lebih menyukai penggunaan peraturan perusahaan atau sama sekali tidak memakai aturan. Tidak heran konflik hubungan industrial masih kerap mewarnai hubungan industrial di Indonesia.

Pengalaman negara industri lain, khususnya di negara yang tergabung dalam OECD (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi), menunjukkan fakta atas dua hal. Pertama, semakin besar jumlah PKB di suatu negara akan semakin sedikit jumlah konflik hubungan industrial. Sebab, dengan adanya perundingan PKB akan menganalisasi konflik menjadi hanya urusan di tingkat pabrik, tak mudah dimobilisasi untuk kepentingan politik. Kalau saja jumlah PKB di Indonesia ditingkatkan di atas 50 persen, pasti konflik hubungan industrial menurun drastis. Inilah sebenarnya jalan termudah bila Indonesia menginginkan hubungan industrial yang damai dan berkelanjutan.

Kedua, semakin tinggi tingkat partisipasi buruh menjadi anggota SB (trade union density), semakin tinggi kepatuhan hukum dan kesejahteraan buruh. Studi yang dilakukan Bank Dunia Jakarta (2012) menyebutkan, buruh Indonesia yang tergabung dalam serikat buruh akan mendapat upah 20 persen lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak menjadi anggota serikat buruh.

Syarat minimum yang diperlukan

Secara umum, konsep social dialogue di Indonesia sebenarnya diterima banyak pihak. Sebab, berunding, bermusyawarah untuk mencapai mufakat, bukanlah konsep baru dalam kultur Indonesia. Konsep ini hanya bisa jalan dengan tiga syarat minimum: adanya keterbukaan, niat baik, dan tingkat saling percaya yang tinggi.

Syarat inilah yang di banyak tempat belum bisa dipenuhi. Banyak pelaku tidak memiliki kultur untuk berdialog, lebih menyukai pola lama, menyelesaikan masalah dengan menggunakan kekerasan, pemaksaan kehendak, pengadilan, suap, dan sebagainya. Di tahap inilah sangat diperlukan perubahan kultur unsur aktor-aktor tripartit agar konsep ini bermanfaat. Sebab, harus dipahami, tidak lagi diragukan bahwa hubungan kerja saat ini telah menjadi sangat bervariasi dan rumit, membuat sangat sulit bagi SB untuk mengorganisasi buruh secara kolektif.

Kecenderungan informalisasi kerja (informal, alih daya, kontrak, sistem bagi hasil, pekerja musiman) akan mendominasi jenis pekerjaan di masa depan, khususnya sektor formal, baik di sektor publik maupun swasta. Sebenarnya, di masa kolonial sampai pasca kolonial, situasi ini pernah terjadi. Kuantitas pekerja formal juga sangat minim. Berbeda dengan sektor pekerja formal yang ada saat itu cenderung bertumbuh, khususnya sektor industri badan usaha milik negara. Pertumbuhan itu menjadi bekal yang memelopori pertumbuhan SB. Saat ini, situasinya berubah karena semua sektor sedang berupaya menurunkan penggunaan pekerja formal dengan proyek efisiensi dan mesin.

Pesan terpenting bagi aktivis perburuhan pada perayaan kali ini adalah bagaimana memastikan misi SB sesuai peran historisnya, yaitu menyejahterakan buruh dengan menawarkan berbagai alternatif. Jangan berhenti sebatas watch dog: hanya manifestasi tanpa solusi.

REKSON SILABAN

Analis Indonesia Labor Institute

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 April 2016, di halaman 6 dengan judul "Buruh dan Ketimpangan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Pilkada Serentak: Menjadikan Pilkada Menarik dan Bermutu (TOTO SUGIARTO)

Sejumlah anggota DPR bersikeras mengegolkan keinginan untuk memperberat syarat dukungan bagi calon perseorangan.

Meskipun dalam draf revisi UU Pilkada yang diusulkan pemerintah tidak mengubah syarat calon perseorangan, sejumlah anggota DPR ngototmengusulkannya dalam pembahasan yang ditargetkan selesai akhir April ini. DPR ingin menaikkan syarat dukungan dari 6,5-10 persen menjadi 10-15 persen dari jumlah daftar pemilih tetap.

Di tengah sempitnya waktu, syarat pencalonan, baik untuk calon yang diusung parpol maupun yang maju lewat jalur perseorangan, jadi prioritas. Berbeda secara diametral dengan keinginan terhadap syarat dukungan bagi calon perseorangan, untuk calon dari parpol kalangan DPR ingin meringankan syarat itu dari 20 persen kursi di DPRD setempat atau 25 persen suara pada pemilu untuk DPRD jadi 15 persen kursi atau 20 persen suara.

Merugikan bangsa

Apakah langkah parpol-parpol ini akan berdampak baik bagi mereka? Sekilas terlihat langkah mereka akan menguntungkan parpol. Calon perseorangan akan membentur hambatan yang tinggi untuk sampai ke arena kontestasi. Hal ini akan menghindarkan calon yang diusung parpol dari keharusan berhadapan dengan calon perseorangan, terutama calon yang kuat. Calon perseorangan yang kuat tampak amat menggentarkan, seperti pencalonan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang akan maju lewat jalur perseorangan pada pilkada di DKI Jakarta.

Kalau upaya menghambat Ahok menjadi alasan di balik kehendak memperberat persyaratan bagi calon perseorangan, ini suatu langkah kerdil. Langkah yang didasari kepentingan sempit-sesaat. Kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan negara dan bangsa, diabaikan.

Selain itu, mencermati pengalaman di pilkada serentak 2015, pasangan calon perseorangan mayoritas bukan dari kalangan yang murni non-parpol. Politisi PPP dan Partai Golkar, misalnya, di Pilkada 2015 menghadapi masalah: partai mereka berkonflik sehingga tak mampu mengusung calon. Banyak di antara mereka maju ke arena pilkada lewat jalur perseorangan. Artinya, pintu calon perseorangan sejatinya merupakanexit strategy bagi orang parpol yang tidak bisa maju lewat jalur perseorangan.

Dengan demikian, mempersulit pintu calon perseorangan sama saja mempersulit orang parpol sendiri. Parpol yang berupaya mempersulit pintu calon perseorangan sama saja berupaya menutup pintu kemungkinan bagi kader-kadernya yang ingin maju pilkada, tetapi terhambat karena masalah internal parpol.

Bagi rakyat, memperberat syarat dukungan bagi calon perseorangan adalah merugikan karena akan mempersempit pintu bagi masuknya alternatif calon. Rakyat tidak memiliki alternatif calon yang memadai atau representatif bagi mereka.

Bagi negara dan bangsa, keinginan ini merugikan karena menghilangkan kemungkinan diperolehnya alternatif pemimpin yang bisa membawa negara pada kemajuan. Politisi Senayan harus mempertimbangkan hal ini, tidak semata-mata berhitung perebutan kekuasaan.

Keadilan yang tak adil

Alasan dari kehendak menaikkan syarat dukungan ini adalah untuk terwujudnya keadilan. Mereka membandingkan syarat dukungan bagi calon perseorangan dengan syarat partai politik/gabungan partai untuk mengusung calon, yakni 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara pada pemilu terakhir di daerah itu. Mereka berkilah, perbedaan angka persyaratan adalah tidak adil.

Politisi Senayan salah dalam menilai hal itu. Keadilan itu tidak dilihat dari kesamaan angka persentasenya, melainkan juga harus mempertimbangkan aspek lain. Bagi calon yang diusung partai politik, angka 20 persen kursi atau 25 persen suara itu adalah angka yang sudah dimiliki parpol/gabungan parpol. Tak perlu ada upaya mendapatkannya dari bawah, dari rakyat.

Sementara bagi calon perseorangan, angka 6,5-10 persen dukungan tersebut adalah angka yang harus diperjuangkan dari rakyat langsung, yang dibuktikan dengan diperolehnya fotokopi KTP pemilih. Angka itu adalah angka yang belum di tangan.

Jika berbicara masalah keadilan dalam hal syarat dukungan ini, mesti dilihat dari tingkat kesulitannya, upaya-upaya untuk meraih itu. Parpol yang telah meraih angka syarat minimal tak perlu bekerja apa pun untuk memenuhinya. Pasangan calon tinggal melenggang. Parpol yang belum memenuhi syarat minimal tinggal melirik "kiri-kanan". Adakah parpol lain yang berminat bekerja sama dalam mengusung calon yang sama.  Sementara bagi calon perseorangan, angka batas minimal dukungan itu benar-benar harus diperoleh dari rakyat satu per satu. Diperlukan perjuangan dan kerja keras untuk sampai pada batas minimal.

Dengan demikian, adalah bijaksana jika gagasan menaikkan syarat dukungan calon perseorangan dipikirkan ulang. Alih-alih memperberat syarat dukungan dari satu jalur pencalonan, DPR lebih baik memikirkan bagaimana meringankan syarat pencalonan, baik bagi calon perseorangan maupun bagi calon dari parpol.

TOTO SUGIARTO

Ketua Departemen Riset dan Consulting PARA Syndicate

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 April 2016, di halaman 6 dengan judul "Menjadikan Pilkada Menarik dan Bermutu".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Instruksi dari Istana (Kompas)

Presiden Joko Widodo menginstruksikan jajaran di bawahnya untuk memperbaiki layanan publik yang bersentuhan dengan rakyat kecil.

Instruksi Presiden Jokowi masuk akal. Birokrat hadir untuk melayani, bukan untuk mempersulit atau malah menarik untung dari masyarakat. Pada sisi ini, sikap mental dari birokrat harus diubah menjadi pelayan publik.

Pengembangan internet memudahkan keterhubungan antardaerah atau antarpusat data untuk meningkatkan kualitas layanan publik. Indonesia sebenarnya sudah melangkah memasuki era baru tersebut. Penggunaan KTP elektronik dengan cip yang berisi data diri serta nomor pengenal tunggal (SIN) adalah modal awal untuk memasuki era layanan publik berbasis jaringan. Namun, menurut catatan harian ini, hingga tahun 2015 masih ada 30 juta warga yang belum memiliki KTP elektronik.

Data yang tertera dalam KTP elektronik sebenarnya sudah mencukupi untuk dimanfaatkan atau dikembangkan lebih jauh. Menjadi kenyataan warga negara Indonesia mempunyai beberapa kartu, selain KTP, kadang juga ada kartu BPJS Kesehatan, nomor pokok wajib pajak, kartu pendidikan, atau kartu lainnya. Jika ada peta jalan yang jelas ke mana akan dituju, akan lebih ideal kalau dengan KTP, semua kartu lain bisa diintegrasikan dalam satu kartu.

Peta jalan untuk perbaikan pelayanan publik harus dibuat dengan menggunakan KTP elektronik dengan satu nomor pengenal tunggal sebagai modal awal. Dengan sistem yang terintegrasi, seharusnya tak boleh lagi ada KTP ganda atau paspor ganda. Selain peta jalan, sikap mental birokrat juga harus disiapkan. Dengan mengedepankan layanan publik berbasis jaringan, kemungkinan praktik suap, korupsi, bisa diperkecil.

Dengan hadirnya KTP elektronik, seharusnya semua transaksi yang menggunakan KTP menggunakan card reader (pembaca data). Namun, dalam praktik keseharian, untuk urusan dengan perbankan, urusan perpanjangan SIM, atau urusan lain kadang masih dimintai fotokopi KTP karena belum tersedianya pembaca data. Jika hal itu terjadi, nilai kemanfaatan KTP elektronik menjadi berkurang.

Kita sambut baik instruksi atau semangat Presiden untuk memperbaiki layanan publik di semua sektor. Namun, kita juga mau menyarankan agar ada sistem manajemen dan orang dalam pemerintahan yang memastikan instruksi presiden berjalan. Perlu ada perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi untuk terus memperbaiki sistem pelayanan publik tersebut. Pemerintah pusat bisa belajar dari daerah yang telah mengembangkan sistem pemerintahan yang lebih akuntabel dan transparan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 April 2016, di halaman 6 dengan judul "Instruksi dari Istana".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Tanggung Jawab Australia (Kompas)

Australia kini menjadi sorotan dunia menyusul penutupan detensi pengungsi di Pulau Manus, Papua Niugini.

Pulau Manus adalah detensi para "manusia perahu" asal Timur Tengah dan Afganistan yang mencoba mencari suaka ke Australia. Para pengungsi itu ditangkap di wilayah perairan Australia dan kemudian ditahan di Pulau Manus. Mahkamah Agung Papua Niugini (PNG), Rabu, menyatakan, detensi di Pulau Manus yang dihuni sekitar 900 pengungsi itu melanggar konstitusi dan ilegal.

Persoalannya, bagaimana kini nasib 900 pengungsi itu? PNG berkeras itu adalah tanggung jawab Australia karena sejak awal detensi itu didirikan untuk memproses pengungsi, bukan sebagai tempat penahanan jangka panjang. Australia, sebaliknya, mengatakan, nasib para pengungsi itu menjadi tanggung jawab PNG.

Penanganan pengungsi menjadi pelik karena erat terkait dengan kondisi politik dalam negeri. Banjir pengungsi di Eropa, misalnya, telah membuat partai-partai sayap kanan yang anti imigran melejit popularitasnya dan partai-partai berkuasa ditinggalkan pemilihnya. Tekanan serupa juga muncul di Australia yang akan melaksanakan pemilu.

Partai Liberal yang kini berkuasa memenangi pemilu tahun 2013 karena secara tegas berkampanye menentang pengungsi. Itu sebabnya, PM Australia Malcolm Turnbull bergeming soal kebijakan "manusia perahu".

Undang-Undang Australia menyebutkan, siapa pun yang tertangkap saat memasuki Australia dengan perahu akan digiring ke detensi di Pulau Nauru (Pasifik Selatan) dan Pulau Manus. Mereka tidak akan diterima di Australia.

Langkah Australia itu dikecam kelompok-kelompok HAM internasional, termasuk PBB, karena bertentangan dengan hukum internasional. Apalagi, kondisi detensi di kedua pulau itu memprihatinkan. Rabu lalu, seorang pengungsi asal Iran yang sudah tiga tahun berada di Nauru membakar dirinya ketika ada kunjungan dari pejabat UNHCR Australia. Ia kemarin meninggal.

Australia dan PNG akan bertemu pekan depan untuk membicarakan masalah ini. Opsi yang ditawarkan Australia adalah pengungsi dipindahkan ke detensi Nauru, menetap di PNG, atau disalurkan ke negara-negara ketiga yang bersedia menampung. Bisa jadi pada ujungnya Australia akan memberikan "konsesi" yang lebih besar kepada PNG seperti yang dilakukan Turki terhadap Uni Eropa. Namun, hal ini tidak menyelesaikan persoalan kemanusiaan mengenai penanganan pengungsi yang lari dari perang.

Indonesia, Maret lalu, menjadi tuan rumah Bali Process, yaitu mekanisme regional untuk penanganan pengungsi dan penyelundupan manusia. Intinya, negara asal, negara transit, dan negara tujuan akan saling berbagi beban dan tanggung jawab. Namun, meski Australia dan PNG menjadi bagian dari Bali Process, sepertinya isu pengungsi Manus tidak bisa dibahas melalui mekanisme ini karena detensi Manus adalah produk kebijakan bilateral kedua negara.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 April 2016, di halaman 6 dengan judul "Tanggung Jawab Australia".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Rindu ”Cerita Anak”//Tambora Challenge//Reklamasi dan Pengembang//Batasan Obat BPJS (Surat Pembaca Kompas)

Rindu "Cerita Anak"

Saya adalah pembaca setia harian Kompas. Sebagai pendidik di sebuah SMA di Yogyakarta, saya perlu memperluas wawasan dan Kompas bisa memenuhinya. Saya sering mengutip pemberitaan di Kompas dan memfotokopinya untuk anak didik saya. Di kelas, saya pun sering mengulas Sosok di halaman 16 yang inspiratif, atau sajian di halaman Opini, yang pilihan-pilihannya menarik dan ditulis para pakar di bidangnya.

Namun, belakangan, saya kehilangan momentum kebersamaan dengan anak-anak saya karena tidak lagi menemukan rubrik "Cerita Anak", yang biasanya muncul di Kompas edisi hari Minggu. Berkat rubrik ini, saya mempunyai banyak bahan untuk bercerita kepada anak-anak saya.

Saya suka dengan desain tata letakKompas Minggu yang baru, tetapi saya lebih suka apabila rubrik "Cerita Anak" juga disisipkan kembali dengan layoutbaru tersebut.

Semoga Kompas tetap bisa mewadahi entitas terkecil dari masyarakat Indonesia, yaitu anak-anak, yang haus suri teladan—minimal lewat cerita/dongeng—karena bersama merekalah bangsa ini akan berjaya.

BIANA DWI ASTUTI

Dayu Gang Belimbing No 06A, Sindhuharjo, Ngaglik, Sleman, DIY

Catatan Redaksi:

Halaman Kompas Anak, tempat rubrik "Cerita Anak" berada, sementara ini ditiadakan. Kami tengah merumuskannya untuk muncul lagi dalam format baru.

Tambora Challenge

Menarik membaca kisah "Persaudaraan di Ambang Batas Diri" pada acara Tambora Challenge yang dilansirKompas, Sabtu (16/4). Betapa manusia bisa lebih dari sekadar berkompetisi untuk menjadi yang paling unggul.

Namun, saya terganggu dengan alinea penutup, yang pada hemat saya semestinya menguatkan isi tulisan. Dikatakan, "Rumusan bahwa pada saat paling lelah, sifat manusia akan terlihat aslinya, rupanya tidak berlaku di antara pelari ultra Lintas Tambora 320K. Saling berbagi, menyemangati, dan berlomba secara sportif lebih menonjol pada diri mereka".

Tulisan itu mengesankan bahwa seolah "saling berbagi, menyemangati, dan sportif" bukan sifat asli manusia. Seolah sifat asli manusia selalu buruk, egois, dan tidak sportif. Sekalipun mungkin ada yang bersifat demikian, tidak elok menggeneralisasi demikian. Akan lebih baik istilah "terlihat aslinya" diganti yang lebih netral, misalnya "cenderung negatif".

SIEK LIANG THAY

Jalan Jeruk VII, Lamper Lor, Kota Semarang, Jawa Tengah

Catatan Redaksi:

Terima kasih atas masukan Anda.

Reklamasi dan Pengembang

Korupsi reklamasi pantai Teluk Jakarta menjadi berita utama di beberapa media cetak dan elektronik belakangan ini. Kasus yang melibatkan anggota DPRD DKI Jakarta dan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land begitu hangat diperbincangkan.

Sejak awal telah terendus ketidakberesan proyek reklamasi ini terkait perizinan dan protes karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Undang-Undang Perikanan, dan lain-lain.

Sebenarnya, apakah tujuan reklamasi ini? Jika untuk menyejahterakan rakyat, benarkah demikian? Faktanya, di kawasan itu akan dibangun apartemen dan bangunan mewah. Bukankah sudah dapat dilihat siapa yang akan diuntungkan, yaitu para pengembang dan pemilik modal.

Inilah buah dari sistem kapitalisme, dan penguasa berpihak kepada pengusaha, tidak lagi kepada rakyat jelata.

CHAYA YULIATRI

Karangploso, Depok, Sleman, Yogyakarta

Batasan Obat BPJS

Saya "berdebat" dengan petugas apotek RS Pelni Petamburan, Jakarta Barat, Sabtu (16/4), karena ia menyatakan bahwa Atorvastatin atau Simvastatin hanya diberikan jika kadar "trigliserida" di atas 110 mg/dl, sesuai peraturan BPJS Kesehatan.

Saya ngotot karena apotek yang sama, masing-masing pada 19 Februari 2016 dan 18 Maret 2016, petugasnya memberikan obat Atorvastatin 20 mg kepada saya dan istri sesuai resep dokter spesialis jantung.

Jika peraturan itu benar, berarti BPJS Kesehatan lebih suka membiayai pengobatan pasien yang stroke, jantung, pasien yang akan di-ring, atau bye passyang biayanya pasti lebih besar karena kadar lemak darah dibiarkan tinggi terus-menerus.

LAKSANA SINULINGGA

Perumahan Ciputat Baru, Tangerang Selatan, Banten

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 April 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Jumat, 29 April 2016

Apa Setelah Banceuy (RAHARDI RAMELAN)

Dalam beberapa bulan ini secara beruntun telah terjadi kerusuhan di sejumlah lembaga pemasyarakatan di berbagai daerah. Kembali yang mencuat adalah masalah jumlah penghuni penjara yang melebihi kapasitas (over-crowded) di lembaga pemasyarakatan. Para pejabat, politisi, dan pakar pun  membicarakan perundangan dan peraturan yang ada.

 Yang menjadi fokus pembahasan ialah keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang dianggap menjadi penyebabnya. Dipandang dari kenyataan di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas), sekurang-kurangnya ada empat hal yang menjadi masalah utama.

Pertama, setelah sistem pemasyarakatan yang dicetuskan DR Sahardjo SH diterima dan ditetapkan sebagai konsep pemenjaraan pengganti sistem boei pada tahun 1963, dalam realitasnya belum ada perubahan mendasar di dalam kehidupan di dalam penjara kita.

Beberapa hal yang penting dalam konsep pemasyarakatan, antara lain, (1) negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk/lebih jahat daripada sebelum ia masuk penjara, (2) selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya, (3) narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan sebagai satu-satunya derita yang dapat dialami.

 Jadi, sebenarnya negara melalui lapas yang harus menyiapkan para narapidana untuk berintegrasi dengan masyarakatnya. Karena itu, diterapkan berbagai cara, antara lain, memberikan berbagai jenis remisi, cuti mengunjungi keluarga (CMK), asimilasi, cuti menjelang bebas (CMB), dan bebas bersyarat, sampai kemudian diadakannya lapas terbuka.

Akan tetapi, kenyataannya untuk mendapatkan hak-hak  tersebut selalu diliputi dengan berbagai kerumitan administrasi dan ongkos, baik resmi maupun tidak resmi. Sehingga, banyak narapidana, terutama yang  memiliki kemampuan terbatas, mengenyampingkan hak-haknya tersebut, dan menunggu sampai mereka bebas murni.

Pengalaman penulis secara pribadi saat dipenjara, walaupun telah memproses persyaratan untuk CMK, tetapi izin tidak pernah didapat sampai akhirnya penulis bebas.

Kedua, penghuni lapas sangat heterogen baik dari sisi usia maupun pendidikan, sosial, jenis kejahatan, dan lamanya hukuman. Keadaan ini sangat menyulitkan "pembinaan" narapidana yang dinamakan juga warga binaan pemasyarakatan (WBP). Selain itu, kenyataannya lapas juga diisi tahanan  yang sering disebut dengan "orang titipan" (OT), yang jumlahnya kadang-kadang melebihi jumlah narapidana. OT ini tidak termasuk keharusan negara untuk membina, disebabkan proses hukumnya belum tuntas.

 Dalam sistem hukum kita, baik kepolisian dan kejaksaan, terlalu rajin menahan orang dan menitipkannya di lapas. Hal inilah yang menjadikan semakin ruwet dan berjejalnya lapas.

Ketiga, atas desakan masyarakat dan politisi untuk lebih memperberat persyaratan pemberian remisi bagi narapidana yang termasuk extra ordinary crime, seperti narkoba, korupsi, dan terorisme, dikeluarkan PP No 99/ 2012 yang memperberat syarat pemberian remisi.

Hal tersebut sangat bertentangan dengan UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Seharusnya peningkatan hukuman tidak dibebankan kepada lapas, melainkan menjadi tugas dan kewajiban kepolisian dan kejaksaan dalam membangun perkara dan mengajukan dakwaan dan tuntutan. Kemudian juga menjadi tanggung jawab pengadilan dalam mengambil keputusan. Janganlah kepolisian, kejaksaan, dan hakim cuci tangan dalam kasus yang terjadi di dalam penjara.  

Keempat, konsep arsitektur bangunan penjara yang didirikan pada tahun 2000-an,  sangat tidak sesuai dengan konsep pemasyarakatan. Struktur dan teknis bangunan penjara atau boei Belanda masih lebih baik. Contohnya Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin di Bandung.

Di samping berbagai masalah hukum dan pelayanan yang dikaitkan dengan pemenjaraan, lapas juga menyisakan masalah keseharian, seperti pelayanan makan dan kebersihan serta kesehatan.  Kualitas makanan yang substandar (bukan rasa) menyebabkan sampai pada tahun 2000-an sebagian narapidana memasak sendiri atau mendatangkan makanan dari luar. Hal ini menjadi parah karena dapur diselenggarakan oleh pihak ketiga yang dipilih melalui tender, yang menambah biaya. Keadaan ini menimbulkan maraknya perdagangan bahan makanan dan makanan di dalam lapas.

 Selain makanan, hal yang sangat menonjol juga pelayanan kesehatan. Di awal 2000 beberapa narapidana membiayai dokter spesialis untuk berpraktik dua kali seminggu di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Mungkin sekarang ini sudah ada perbaikan dengan penempatan dokter PTT (pegawai tidak tetap) di dalam lapas.

Data dan dokumentasi

Salah satu masalah yang sangat kompleks adalah penelusuran data dan dokumen narapidana. Hal tersebut diperlukan untuk bisa memproses CMK, bebas bersyarat, CMB, dan bebas murni. Terkadang narapidana harus meminta pihak keluarga atau kenalan di luar untuk menelusuri dokumen-dokumen sejak penahanan, dakwaan, tuntutan, sampai putusan. Kalau perkaranya sampai ke tingkat banding dan kasasi masalahnya akan tambah ruwet lagi. Kesemuanya membutuhkan biaya.

Karena itu, pada 2006, atas sepengetahuan dan seizin pimpinan Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, sekelompok WBP di Lapas Kelas I Cipinang telah mengembangkan sistem registrasi dan pendataan menggunakan komputer. Kegiatan yang seluruhnya dibiayai narapidana dengan bantuan dari rekan-rekan di luar.  Pendokumentasian telah dapat memproses basis data lebih dari 5.500 WBP termasuk dengan pemotretan secara digital. Dikerjakan bersama dengan tim pejabat dan petugas Lapas Cipinang.

 Sistem basis data yang dibangun pada dasarnya bisa diterapkan di lapas manapun. Sayangnya usulan para WBP tersebut tidak pernah mendapat tanggapan dari Kementerian Hukum dan HAM, pada waktu itu.

 Banyak masalah penting yang harus diselesaikan, mulai dari UU No 12/1995 yang sudah absolete, pengelolaan lapas sesuai konsep pemasyarakatan, dan sistem peradilan kita. Untuk itu pernah dibuat cetak biru revitalisasi lapas.

 Namun, yang mendesak, yang mungkin dapat meredam ketidak puasan narapidana adalah mengembalikan hak-hak narapidana tanpa membedakan tindak pidananya. Karena tingkat dan lamanya pemidanaan adalah tanggung jawab kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, bukan kewenangan pemerintah cq Menteri Hukum dan HAM, untuk memperberat hukuman seseorang.

 RAHARDI RAMELAN

 Ketua Umum Paguyuban Narapidana dan Mantan Narapidana Indonesia (NAPI)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 April 2016, di halaman 7 dengan judul "Apa Setelah Banceuy".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger