Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 29 Februari 2016

Disharmoni Pengembangan Sapi (ROCHADI TAWAF)

Hiruk-pikuk masalah daging sapi seperti tak kenal hentinya  sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hingga kini.

Di awal pemerintahan Jokowi, gejolak harga daging yang tinggi terutama disebabkan pemangkasan izin impor sapi bakalan di triwulan-III dari 250.000-an ekor menjadi 50.000-an ekor.

Para pengusaha penggemukan sapi potong dituduh melakukan kartel dan penimbunan sapi. Mereka didatangi Bareskrim Polri dan hingga kini hampir setiap minggu para pengusaha sapi penggemukan beralih kantor ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menyelesaikan masalah ini. Namun, karena masalah utamanya tak diselesaikan secara tuntas, muncul lagi persoalan lain, yaitu kapal ternak yang tidak mampu beroperasi secara maksimal, disusul kebijakan Permenkeu 267/2016 tentang Pemberlakuan PPN yang melukai bisnis peternakan sapi potong nasional.

Kebijakan ini hanya berumur 15 hari dan dicabut kembali oleh pemerintah. Ada lagi kebijakan Permentan 58/2015 yang membebaskan impor daging variety meat. Komoditas ini nyata-nyata mendistorsi pasar daging sapi lokal. Semua kebijakan itu didasarkan argumen untuk melindungi peternak sapi lokal, tetapi faktanya pemerintah justru membuka peluang impor sebebas-bebasnya sehingga peternak lokal tak berdaya dan harga daging tetap tinggi.

Maksimum sekuriti

 Hiruk-pikuk ini sesungguhnya berpangkal pada kebijakan yang disharmoni dan juga pemahaman terhadap kemungkinan yang terjadi pasca implementasi kebijakan tersebut. Para pelaku bisnis peternakan sadar betul bahwa akar masalah utamanya diawali dengan ketidaksempurnaan UU 41/2014 yang direvisi DPR di penghujung masa jabatan SBY sehingga UU ini tak dibahas para pemangku kepentingan yang turut menyusun UU 18/2009. 

Di dalam konsiderannya, UU 41/2014 ditujukan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dengan upaya "maksimum sekuriti"  terhadap pemasukan dan pengeluaran ternak, hewan dan produk hewan, dan upaya melakukan pencegahan penyakit hewan. Namun, realitasnya dalam pasal-pasal pada batang tubuh yang diubah dalam UU ini justru sebaliknya, yaitu menjadi "minimum sekuriti". Misalnya Pasal 59 Ayat 2 pada UU 18/2009 bahwa produk hewan yang dimasukkan ke Indonesia boleh dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan.

Pasal ini telah diubah MK menjadi "berasal dari suatu negara" bukan berasal dari zona dalam suatu negara, dan dengan mempertimbangkan "maksimum sekuriti". Namun dalam UU 41/2014 hal itu muncul kembali di Pasal 36C: Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya.

Pasal ini jelas-jelas tak memperhatikan keputusan judicial review yang dilakukan MK tahun 2009 walaupun dalam perubahan ini terdapat perbedaan antara komoditas produk hewan dan ternak ruminansia indukan. Perbedaan komoditas pada UU 18/2009 dengan UU 41/2014 tidak serta-merta menyebabkan rendahnya risiko yang akan terjadi terhadap berjangkitnya suatu penyakit hewan menular bagi ternak ruminansia.

Waktu penggemukan sapi

 Disharmoni berikutnya mengenai perkembangan inovasi teknologi feedlotyang tertera pada  Pasal 36B Ayat 5, yaitu:  bahwa setiap orang yang memasukkan bakalan dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) wajib melakukan penggemukan di dalam negeri untuk memperoleh nilai tambah dalam jangka waktu paling cepat 4 (empat) bulan sejak dilakukan tindakan karantina berupa pelepasan.

Ayat ini menunjukkan pemerintah seolah tak menghendaki usaha peternakan di dalam negeri berkembang secara layak bahkan merugikan pengusaha penggemukan sapi potong. Kemajuan teknologi membuat penggemukan sapi potong dapat dilakukan dalam dua atau tiga bulan. Putaran investasi yang ditanam akan memberikan dampak putaran finansial, dan jadi melambat karena aturan di atas.

Uji materi ulang

 Berdasarkan beberapa pasal yang disharmoni tersebut, UU 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) layak dilakukan uji materi ulang yang kini tengah dilakukan para pemangku kepentingan.

Kebijakan zona base bisa diterapkan bila pemerintah melakukan tahapan sesuai saran Tim Analisis Risiko Independen (TARI) yang ditunjuk pemerintah tahun 2008, sebagai berikut; (1) perlu dilakukan analisis akademik silang terhadap risiko dan manfaat dari zona base ataupuncountry base. (2) Adanya kesiapan SDM, sarana dan prasarana, serta sistem kesehatan hewan yang mampu mendukung program mitigasinya. (3) Kelayakan ekonomi finansial ditinjau dari biaya transportasi, loading danunloading, karantina, pengawasan, dan lainnya.

Kemudian, (4)  faktor keamanan, yaitu jaminan terhadap lalu lintas keluar masuk wilayah/trace ability secara berkeberlanjutan, termasuk perangkat SPS dan ALOP (acceptable level of protection) untuk penyakit mulut dan kuku (PMK), dan (5) ketersediaan dana tanggap darurat siap pakai, jika terjadi wabah PMK, serta peningkatan kemampuan surveilans dan pelimpahan wewenang surveilans PMK dari Pusvetma di Surabaya ke laboratorium veteriner regional (BPPV/BB Vet) di seluruh Indonesia. Semua saran dan tindakan tersebut tentunya berpegang kepada konsep maksimum sekuriti terhadap kemungkinan peluang terjadinya wabahpenyakit hewan menular bila negeri ini mengadopsi zona based.

Sampai saat ini seluruh saran tim TARI masih belum dipublikasikan secara terbuka oleh pemerintah. Bahkan, yang mengagetkan dalam paket kebijakan ekonomi jilid IX, pemerintahan Jokowi telah menetapkan akan membuka masuknya importasi sapi indukan dari negara zona bebas penyakit PMK. Padahal, sebagaimana diketahui, uji materi terhadap pasal ini tengah berlangsung di MK.

Rancangan pembangunan

 Masih banyak kebijakan disharmoni yang harus diharmonisasi baik internal maupun antar kementerian. Misalnya, tentang istilah sapi indukan dan lembu yang tak terdapat dalam nomenklatur standar sehingga mengakibatkan kerugian bagi pelaku bisnis. Kebijakan larangan penggunaan hormon pertumbuhan di dalam negeri, sementara pemerintah membolehkan impor ternak yang menggunakan hormon itu. Tampaknya pembangunan peternakan sapi di era Jokowi dilakukan tanpa konsep baku yang terstruktur dan terukur.

 Selain itu, yang paling memilukan, sikap pemerintah terhadap para pelaku bisnis, yakni mereka tak lagi dianggap sebagai mitra kerjanya, malahan sepertinya sebagai "musuh" yang mengganggu jalan roda pembangunan. Sesungguhnya, untuk keluar dari kemelut ini, langkah awal adalah melakukan harmonisasi seluruh kebijakan dan perlakuan yang disharmoni selama ini dengan konsep lugas yang berpihak pada kemampuan produksi sapi lokal di dalam negeri.

ROCHADI TAWAF

Dosen Laboratorium Ekonomi Peternakan Fakultas Peternakan Unpad

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Februari 2016, di halaman 7 dengan judul "Disharmoni Pengembangan Sapi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Dari Darurat ke Darurat (Kompas)

Perang terhadap narkoba kembali dikobarkan Presiden Joko Widodo. Satgas penanggulangan narkoba dibentuk.

Kita hargai respons dari Presiden Joko Widodo. Pilihan kata yang dipilih Presiden Jokowi untuk perang terhadap narkoba juga berbeda. Presiden menginstruksikan pemberantasan narkoba harus lebih detail, lebih berani, lebih gila, dan lebih komprehensif.

Presiden menyebutkan peredaran narkoba sudah dalam taraf darurat. Pernyataan Presiden Jokowi itu seharusnya menggerakkan instrumen kekuasaan dan penegak hukum untuk berjibaku memerangi narkoba. Jika instruksi itu tidak menggerakkan apa pun, boleh jadi pernyataan itu sama dengan pernyataan presiden sebelumnya.

Harian ini, 17 April 1971, mencatat pejabat kepolisian Indonesia pernah mengatakan, seluruh dunia dilanda gelombang narkoba, tidak terkecuali Indonesia. Kemudian berita utama harian ini, 11 Oktober 1971, Jaksa Agung Muda Intelijen Ali Said mengatakan, masalah narkoba harus segera ditangani sebelum mencapai stadium serius.

Pada era reformasi, Presiden Megawati Soekarnoputri, 6 September 2004, mengatakan, "Rasanya hampir tiap hari kita dihadapkan pada laporan mengenai permasalahan di sekitar narkotika. Saya tetap setuju memberi hukuman maksimal dan saya menolak permohonan grasi terpidana narkotika". Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun tidak kalah kerasnya. Saat meresmikan Panti Rehabilitasi Narkoba, 20 Agustus 2005, Presiden Yudhoyono mengatakan, "Stop penyalahgunaan narkoba sekarang. Not tomorrowNot next month. Mari sekarang juga kita lakukan perang besar".

Narkotika jelas tidak mungkin diperangi dengan retorika. Saat ini, peredaran narkoba kian ganas. Semua lapisan masyarakat terlibat, termasuk politisi, anggota Polri, anggota TNI, buruh, mahasiswa, pilot, dan hakim. Lembaga pemasyarakatan menjadi pusat peredaran narkoba. Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti mengatakan, jumlah pengguna, pengedar, dan produksi narkoba naik 13,6 persen, dan 50 orang meninggal setiap hari karena narkoba.

Mau diapakan sekarang? Jelas retorika dan pidato tidak bisa memberantas narkoba. Diperlukan aksi terpadu untuk menanggulangi peredaran narkoba. Polisi, jaksa, hakim, dan presiden perlu satu suara untuk menegakkan hukum bagi para bandar dan pengedar narkoba. Saran kami, pecat semua yang terlibat narkoba sambil menunggu proses hukum. Terapkan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang terhadap bandar narkoba, selain hukuman badan berat terhadap pengedar narkoba. Tidak perlu diberikan grasi terhadap para bandar narkoba. Sinyal keras harus disampaikan, bukan sekadar retorika.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Februari 2016, di halaman 6 dengan judul "Dari Darurat ke Darurat".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Jalan Raya Milik Siapa?//”Nursery Room” di Bandara (Surat Pembaca Kompas)

Jalan Raya Milik Siapa?

Pada Rabu (17/2) sekitar pukul 18.15, dalam perjalanan pulang dari tempat kerja di daerah Kuningan, Jakarta Selatan, saya melewati perempatan jalan ke arah Mega Kuningan (jalanan di belakang Kedutaan Besar Belanda).

Pada saat yang sama, lewat kendaraan polisi dari unit patroli dan pengawalan yang sedang mengawal mobil berpelat RI 4x. Saat itu, lampu lalu lintas di jalur kendaraan mereka sedang menyala merah, yang artinya semua kendaraan harus berhenti.

Namun, mungkin karena nyala lampu merah dianggap terlalu lama, Pak Polisi langsung mengambil alih pengaturan lalu lintas. Dia menyetop arus lalu lintas di jalur-jalur lain agar mobil pejabat yang ia kawal bisa segera bergerak.

Setelah mobil RI 4x tersebut meluncur, Pak Polisi melanjutkan tugas pengawalannya, meninggalkan begitu saja lalu lintas yang semrawut di perempatan tersebut.

Pertanyaan saya, apakah di negeri ini para pejabat yang terhormat sama sekali tidak boleh terkena macet? Bila bapak pejabat RI 4x tersebut tidak ingin terlambat ke tempat yang dituju, seharusnya berangkat saja lebih awal, bukan mengambil jalan pintas dengan mengambil hak para para pengguna jalan raya yang lain.

Menurut pengamatan saya, perilaku berlalu lintas seperti ini tidak saja sering dilakukan para pengemudi mobil berpelat RI, tetapi juga oleh para pejabat polisi dan TNI. Apakah jalan raya memang milik mereka? Apakah jalan raya dibangun dengan uang mereka? Apakah mereka sadar dari manakah sumber gaji mereka?

Harusnya tidak ada toleransi dan diskriminasi di jalan raya. Siapa pun mereka, apa pun jabatannya, peraturan lalu lintas harus dihormati. Pengecualian tetap bisa diterima untuk ambulans atau mobil jenazah, tetapi bukan untuk para pejabat. Jalan raya dibangun dengan uang rakyat, bukan uang para pejabat.

AVRIS SIAHAAN

Rawalumbu, Kota Bekasi

"Nursery Room" di Bandara

Saya ibu menyusui yang selalu harus memerah ASI di mana pun, demi kelangsungan nutrisi bayi saya. Pada Minggu (14/2), saya berada di Bandar Udara Soekarno-Hatta, menunggu jam keberangkatan pesawat yang akan saya tumpangi.

Pada pukul 09.45 saya bermaksud memompa ASI di ruang perawatan bayi (nursery room) terminal keberangkatan 2F.

Saat saya masuk, ruang perwatan bayi tampak penuh. Di sana ada lima orang: seorang ibu dengan dua anak laki-lakinya (seorang balita dan seorang anak di atas lima tahun) yang sedang bermain dengan gawai mereka; serta seorang ibu lain dengan bayi berusia hampir setahun, yang juga sedang bermain.

Tidak ada satu pun yang sedang menyusui, mengganti popok bayi, atau kegiatan lain yang layak dilakukan dinursery room.

Saya memohon diberi tempat untuk duduk, karena hanya ada satu sofa panjang di sana. Mereka bergeser memberi saya tempat sekitar 30 sentimeter di antara mereka. Saya dengan peralatan pompa ASI, tentu saja tidak cukup di ruang sesempit itu.

Setelah memberi tempat duduk sekadarnya, mereka tidak menggubris saya lagi. Saya pun keluar dan memanggil petugas dengan harapan ia menegur mereka agar memberi tempat lebih luas kepada saya.

Saat petugas mengecek ke dalam ruangan, ibu-ibu di dalam ruangan itu langsung menjawab, "Aduh bu, kami di sini saja, ya. Anak-anak pada ngantuk nih, mau tiduran."

Akhirnya petugas mengatakan kepada saya, "Mbak mompa ASI-nya di toiletdisable person aja, ya?" Saya menolak, karena selain khawatir banyak kuman, toilet bukan tempat yang layak untuk memerah ASI.

Saya bertanya-tanya mengapa harus saya yang notabene sangat membutuhkannursery room yang harus mengalah, sementara ketujuh orang yang ada di sana hanya bersantai-santai.

Mohon pengelola Bandara Soekarno-Hatta menetapkan peraturan pemanfaatan nursery room, sehingga jika terjadi sengketa, petugas dapat mengambil keputusan berdasar skala prioritas yang sesuai dengan peraturan tersebut.

Bagaimana bangsa ini dapat menyukseskan Program ASI Eksklusif jika kegiatan ibu menyusui tidak didukung. Saya bersyukur sudah banyak tempat menyediakan nursery room, namun perlu aturan penggunaannya.

VEGA PIRENEA

Jl Pesanggrahan, Ciputat Timur, Tangerang Selatan

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Februari 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Perlu Langkah Antisipatif (Kompas)

Perangan dua hari beruntun di Somalia menunjukkan sulitnya mengalahkan Al-Shabab, kelompok teroris yang mempunyai afiliasi dengan Al Qaeda.

Jumat (26/2), dua bom mobil meledak di luar hotel tempat aparat pemerintah biasa menginap, tidak jauh dari Istana Kepresidenan dan kantor Perdana Menteri Somalia.

Pihak keamanan melaporkan, ledakan pertama terjadi sekitar pukul 19.45 waktu setempat, sementara ledakan kedua menyusul 40 menit kemudian. Dua ledakan ini sedikitnya menewaskan 10 orang.

Ledakan ini bermula saat sebuah truk bermuatan 200 kilogram bahan peledak mendekati Hotel Somali Youth League (SYL) di ibu kota Mogadishu. Aparat keamanan berusaha menahan laju truk, tetapi pelaku justru meledakkan truk di tempat tersebut. Tak hanya meledakkan truk, para teroris juga hendak menerobos penjagaan hotel hingga terjadi tembak-menembak dengan aparat keamanan.

Ledakan kedua terjadi di dekat Taman Perdamaian, juga di dekat hotel tersebut. Saat ledakan terjadi, banyak orang berkumpul di area taman tersebut. Taman ini merupakan tempat yang banyak dikunjungi warga setempat. Aparat menewaskan lima anggota Al-Shabab dalam kejadian ini.

Sehari sebelumnya, Kamis (25/2), empat orang tewas akibat mortir yang meledak, juga di dekat Istana Kepresidenan. Beberapa pengamat mengatakan, mortir tersebut sebenarnya memang ditujukan untuk menyerang Istana Kepresidenan. Kelompok teroris Al-Shabab mengklaim bertanggung jawab atas kedua serangan tersebut.

Selama 2016 ini, sedikitnya lima kali Al-Shabab melakukan serangan mematikan, termasuk ke kamp militer Kenya di Somalia bagian selatan yang menewaskan lebih dari 100 tentara. Kelompok teroris Al-Shabab juga pernah menyerang Universitas Garissa dan menewaskan 180 mahasiswa pada 2015.

Rangkaian kekerasan oleh kelompok Al-Shabab ini tidak saja membuktikan eksistensi mereka, tetapi sekaligus menunjukkan sulitnya mengatasi persoalan terorisme di berbagai belahan dunia. Beberapa negara di Afrika Timur, tak hanya Somalia, harus siap siaga setiap saat menghadapi ancaman terorisme.

Di Eropa, terorisme bisa ditangkal berkat ketajaman intelijen di setiap negara, dan kesiapan aparat keamanannya. Akan tetapi, kemiskinan di beberapa negara, seperti Somalia, Etiopia, dan Kenya di Afrika Timur, membuat pemerintahnya seperti kekurangan "bensin" menghadapi ancaman serangan terorisme ini.

Indonesia pun menghadapi ancaman terorisme serupa. Tidak hanya langkah drastis yang dapat menangkal ancaman kekerasan mereka, tetapi langkah antisipatif juga perlu dipikirkan untuk mencegah terjadinya serangan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Februari 2016, di halaman 6 dengan judul "Perlu Langkah Antisipatif".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Vonis Pengadilan Tipikor (ARADILA CAESAR IFMAINI IDRIS)

Adanya kecenderungan pengadilan tindak pidana korupsi menghukum terdakwa korupsi dengan hukuman seringan-ringannya, dan-tentu saja-terus jadi sorotan.

 Dalam penjatuhan hukuman bagi terdakwa kasus korupsi, ringan-beratnya putusan dapat dilihat dari beberapa elemen. Di antaranya, lama pidana penjara, denda pidana, penjatuhan uang pengganti, dan pidana tambahan lain seperti pencabutan hak politik. Secara sederhana, hukuman berat haruslah tampak pada masing-masing elemen penghukuman. Tentu penjatuhan hukuman berat juga harus memperhatikan besarnya kesalahan terdakwa. Namun, harapan publik agar pelaku korupsi dihukum berat harus pula dipertimbangkan.

 Kecenderungan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) tampaknya masih terus berlanjut hingga sekarang. Sebagai gambaran umum, Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam kajian tentang tren vonis pengadilan tipikor menemukan fakta yang cukup mengkhawatirkan. Mayoritas perkara korupsi sejak 2013 hingga 2015 hanya dihukum 1 tahun sampai 1 tahun 6 bulan. Artinya, mayoritas perkara korupsi yang diputus di pengadilan tipikor masuk kategori hukuman sangat ringan. Pidana pokok yang ringan juga dibarengi pidana alternatif, seperti penjatuhan denda yang juga tergolong ringan. Dari catatan ICW, mayoritas terdakwa (309) hanya dijatuhi denda Rp 50 juta.

Dari sisi pengembalian kerugian negara pun demikian. Pengadilan tipikor belum optimal membebankan pembayaran uang pengganti bagi pelaku korupsi. Dari total kerugian negara yang terpantau, jumlah pembebanan uang pengganti tidak 100 persen menutupi kerugian negara yang terjadi. Tentu ini fakta sangat mengejutkan mengingat harapan besar publik agar pengadilan tipikor dapat menjatuhkan hukuman setimpal kepada pelaku.

 Persoalan hukuman ringan bagi pelaku korupsi dari hasil kajian tersebut umumnya disebabkan tiga faktor utama. Pertama,tuntutan jaksa penuntut umum yang ringan. Penjatuhan hukuman oleh hakim dalam persidangan kasus korupsi juga mengacu pada tuntutan jaksa. Karena itu, tuntutan rendah jaksa juga memainkan peranan kunci dalam vonis pengadilan tipikor. Sepanjang 2015, mayoritas perkara hanya dituntut 18 bulan penjara atau 1 tahun 6 bulan oleh jaksa. Rendahnya tuntutan jaksa juga dibarengi ketiadaan inovasi dalam penuntutan. Tak satu pun kasus yang juga dituntut dengan pidana tambahan, seperti pencabutan hak politik.

 Kedua, ketiadaan pedoman pemidanaan dalam menjatuhkan vonis perkara korupsi. Hakim cenderung menjatuhkan pidana minimum kepada terdakwa karena ketiadaan pedoman pemidanaan. Alhasil, dalam menjatuhkan hukuman bagi pelaku korupsi, sering kali hakim tidak memiliki dasar perhitungan yang dapat dipertanggungjawabkan. Hakim sering kali menggunakan feeling dalam menjatuhkan hukuman yang tepat bagi terdakwa.

 Sederhananya, ketiadaan pedoman pemidanaan memunculkan pertanyaan: apa landasan perhitungan hakim dalam menjatuhkan hukuman bagi seorang terdakwa? Ketiadaan pedoman pemidanaan pada akhirnya menyebabkan hakim cenderung memutus seorang terdakwa dengan hukuman seringan-ringannya.

 Ketiga, faktor lain yang memengaruhi adalah konstruksi hukuman dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Secara umum, Pasal 2 ditujukan secara luas bagi pelaku korupsi terkait kerugian negara, dan Pasal 3 dikhususkan bagi penyelenggara negara atau pejabat publik. Namun, pembuat UU justru menjatuhkan pidana lebih ringan bagi penyelenggara negara atau pejabat publik.

Arah pemidanaan

Pemidanaan dalam UU tindak pidana korupsi setidaknya bertujuan memberikan penjeraan juga mengembalikan kerugian keuangan negara yang timbul dari kasus korupsi. Jika menggunakan sudut pandang penjeraan, ancaman hukuman dalam Pasal 2 dan Pasal 3 masih tergolong kategori ringan. Jika dibandingkan hukuman dalam tindak pidana biasa, hukuman dalam Pasal 2 dan Pasal 3 tak mencerminkan hukuman bagi kejahatan luar biasa. Selain itu, tujuan pengembalian kerugian negara pada kenyataannya masih belum maksimal. Masih ada kesempatan terdakwa menghindar dari kewajiban membayar uang pengganti.

 Persoalan hukuman ringan bagi terdakwa kasus korupsi sedikit banyak berpengaruh pula pada upaya menekan angka korupsi. Mustahil pemerintah dan aparat penegak hukum berupaya menekan angka korupsi jika di sisi lain upaya tersebut dimentahkan oleh vonis ringan pengadilan tipikor. Upaya pemerintah juga harus dibarengi dengan semangat memunculkan efek penjeraan dan penangkal melalui putusan pengadilan tipikor.

 Jika berkaca pada sejumlah persoalan itu, penting rasanya mengonstruksi ulang kebijakan pemidanaan dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Pemerintah harus merevisi UU Tipikor agar vonis ringan pengadilan tipikor tidak kembali berulang. Revisi itu difokuskan untuk memperberat elemen hukuman bagi pelaku korupsi. Upaya itu juga harus dilakukan secara paralel dengan memperketat pemberian remisi atau pembebasan bersyarat bagi pelaku korupsi. Memperketat sistem pengawasan di lembaga pemasyarakatan juga penting dilakukan. Jangan sampai upaya menjerakan pelaku korupsi menjadi kontra produktif karena adanya praktik jual beli fasilitas di lembaga pemasyarakatan.

 Selain itu Mahkamah Agung juga sebagai institusi tertinggi harus bertanggung jawab terhadap vonis ringan kasus korupsi. Keberadaan pedoman pemidanaan mutlak diperlukan untuk memperkecil ruang diskresi hakim dan potensi penyalahgunaan diskresi tersebut. Keberadaan pedoman pemidanaan merupakan instrumen yang sangat penting dalam mendistribusikan putusan pengadilan yang berkeadilan. Perlu dipahami bahwa pedoman pemidanaan bukanlah merupakan bentuk intervensi terhadap independensi dan kemandirian hakim, melainkan upaya menegakkan martabat hakim dan memulihkan kepercayaan publik bagi institusi pengadilan.

 Rasanya merevisi UU Tindak Pidana Korupsi menjadi lebih mendesak ketimbang merevisi UU KPK. Revisi UU Tindak Pidana Korupsi sangat berpengaruh signifikan bagi upaya pemberantasan korupsi.

ARADILA CAESAR IFMAINI IDRIS

PENELITI HUKUM ICW

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Februari 2016, di halaman 7 dengan judul "Vonis Pengadilan Tipikor".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Indonesia dan Asian Games 2018 (SISWONO YUDO HUSODO)

Asian Games XVIII tahun 2018 di Jakarta dan Palembang sedang dipersiapkan pemerintah. Pembenahan dan pembangunan arena untuk pertandingan 37 cabang olahraga serta upacara pembukaan dan penutupan sedang dikerjakan.

Pemerintah menganggarkan Rp 500 miliar untuk merenovasi Kompleks Gelora Bung Karno, meliputi arena akuatik, tenis indoor, gedung Istora, lapangan panahan, dan Stadion Madya untuk pertandingan atletik. Total disiapkan Rp 10 triliun untuk menggelar Asian Games.

Presiden Jokowi pada 2018 nanti akan menjadi Presiden RI kedua yang membuka Asian Games setelah Bung Karno tahun 1962. Sejak 1951 sampai 2018, Asian Games diselenggarakan 18 kali dengan tuan rumah satu kali oleh Filipina (1954), Qatar (2006) dan Iran (1974); dua kali oleh India (1951,1982), Jepang (1958, 1994), Tiongkok (1990, 2010), dan Indonesia (1962, 2018); tiga kali oleh Korea Selatan (1986, 2002, 2014); dan  Thailand empat kali (1966, 1970, 1978, 1998). Adalah tepat untuk melihat kurun waktu antara penyelenggaraan dua Asian Games di Tanah Air sebagai sebuah ruang waktu reflektif.

Pesta olahraga sebesar Asian Games, seperti juga Olimpiade atau Piala Dunia Sepak Bola, selalu menjadikan negara tuan rumah sorotan internasional; kesempatan menunjukkan pada dunia, aneka keberhasilan dan kemajuan yang telah dicapainya dalam semua aspek peradaban.

Waktu Asian Games IV diselenggarakan di Jakarta 1962, Indonesia baru beranjak dari  negara jajahan ke negara merdeka yang modern. Berbagai fitur kota yang baru selesai dibangun mulai menyaingi bangunan peninggalan masa penjajahan dalam lanskap kota. Bangga menjadi bangsa merdeka yang menginspirasi banyak bangsa untuk membebaskan diri dari penjajahan, lapangan Ikada di depan Istana diganti nama menjadi Medan Merdeka dan di tengahnya dibangun Monumen Nasional yang di puncaknya ada api nan tak kunjung padam terbuat dari emas yang menunjukkan semangat bangsa ini. Ke arah selatan dibangun  bulevar 12 jalur membentang sampai Kebayoran, dilengkapi Jembatan Semanggi.

Di sekitar poros ini dibangun gedung Bank Indonesia berarsitektur tropis modern yang khas dan Hotel Indonesia, hotel bertingkat tinggi pertama di Indonesia, dengan tugu Selamat Datang di kolam bundar di seberangnya. Kompleks Olahraga Senayan dibangun berkelas olimpik lengkap dengan wisma atlet. Stadionnya, yang berukuran raksasa, dibangun kontraktor lokal dengan bantuan teknisi Rusia dengan atap temu gelang yang pada waktu itu terbesar di dunia. Juga sudah dibangun Masjid Istiqlal, masjid terbesar di dunia, sebelum Masjidil Haram dan Masjid Nabawi diperluas. Masjid ini arsiteknya F Silaban yang beragama Kristen; letaknya berdekatan dengan Gereja Katedral, menjadi simbol majunya budaya toleransi atas keberagaman di Indonesia.

Presiden Soekarno, seperti dikutip Harian Merdeka, 1 Maret 1962, menyatakan bahwa Asian Games adalah bagian darination building, guna meningkatkan kebanggaan  dan kepercayaan diri rakyat Indonesia sebagai bangsa yang merdeka, bahagia, dan terhormat. Dengan wajah baru ibu kota Jakarta tahun 1962, lompatan pencapaian teknologi konstruksi untuk membangun aneka bangunan baru, serta prestasi olahraga  yang diraih Indonesia di pesta tersebut dengan 11 emas, 12 perak,  28 perunggu,runner-up setelah Jepang yang juara umum, dengan Sarengat sebagai juara lomba lari 100 meter putra, tujuan Bung Karno menyelenggarakan Asian Games IV tercapai.

Ajang promosi 

Asian Games XVIII 2018 diharapkan menjadi promosi yang baik bagi Indonesia yang sudah banyak mengalami perubahan sosial-ekonomi dari posisi 1962.  Menurut IMF, tahun 2018 PDB Indonesia akan mencapai 1,48 triliun dollar AS, urutan ke-16 dunia, bersanding dengan negara-negara maju G-20. Juga digolongkan dalam kelompok Emerging And Growth-Leading Economies (EAGLE) 10, yang terdiri dari BRIC (Brasil, Rusia, India, dan Tiongkok) plus Korea, Indonesia, Meksiko, Turki, Mesir, dan Taiwan. Dengan penduduk sekitar 266 juta orang, per kapitanya sekitar 4.197dollar AS,  meningkat sangat tinggi dari angka saat Asian Games 1962 yang 100 dollar AS.

Berkat gencarnya pembangunan infrastruktur di banyak wilayah oleh pemerintahan Presiden Jokowi, wajah Indonesia yang lebih maju akan hadir di 2018. Jakarta dan Palembang sebagai tempat perhelatan digelar akan memiliki fasilitas transportasi publik standar negara maju. Melengkapi ratusan gedung pencakar langit pusat bisnis, hotel, apartemen, dan pusat perbelanjaan serta jaringan jalan tol dalam kota, Jakarta akan memiliki jaringan subway MRT di pusat kota, serta 83,6 kilometer LRT yang menghubungkan wilayah suburban serta jaringan busway yang saling terintegrasi. Dengan biaya Rp 7,2 triliun, Palembang membangun 22,5 kilometer LRT yang akan membelah Kota Palembang dilengkapi 13 stasiun. Pada 2018, secara nasional banyak infrastruktur baru yang mulai beroperasi, seperti Bandara Kertajati Subang, jaringan Tol Trans-Jawa, Tol Bandar Lampung-Palembang, angkutan KA di Sulawesi, Kalimantan, dan Papua, dan sebagainya.  

Dari 1962 hingga 2018, wajah Asia juga berubah. Tahun 1962, negara Singapura belum ada; India, Malaysia, Tiongkok, dan Korea Selatan masih tergolong negara miskin, sama dengan Indonesia. Negara-negara Timur Tengah belum menikmati oil boom  yang mengantar mereka ke kelompok negara berpendapatan tinggi. Kemiskinan adalah wajah umum di seluruh Asia. Praktis hanya Jepang yang sejahtera dan modern. Namun, pada 2018, Asia telah mapan menjadi pusat ekonomi dunia. Dua dari lima negara dengan perekonomian terbesar dunia ada di Asia, yaitu Tiongkok dan Jepang. Sementara Eropa (Jerman), Amerika Utara (AS), dan Amerika Selatan (Brasil) masing-masing satu, serta tak ada dari Afrika.

Di tengah posisi Asia yang semakin strategis dalam percaturan ekonomi-politik dunia, posisi Indonesia di kalangan negara-negara kunci di Asia cenderung tertinggal. Dalam IMF outlookterbitan April 2015 disebutkan, PDB per kapita Indonesia di 2018 nanti 4.197 dollar AS, terpaut jauh dari Malaysia (13.630 dollar AS), Thailand (6.626 dollar AS), Singapura (61.835 dollar AS), dan Korea Selatan (33.753 dollar AS). Padahal, tahun 1962, praktis PDB per kapita negara-negara tersebut tidak terpaut banyak.

Pada masa lalu, negara seperti AS, Jerman, dan Jepang disusul Korea Selatan, Brasil, Tiongkok, dan India, untuk mencapai kemajuan ekonomi harus menguasai ilmu pengetahuan dan menghasilkan teknologi karya bangsa sendiri, menjadi produsen produk-produk teknologi mutakhir yang unggul. Indonesia melaju mencapai PDB per kapita sebagai negara berpendapatan menengah lebih karena kita memiliki penduduk yang banyak dan menjadikan Indonesia basis produksi industri dari perusahaan asing. Di tahun 2018 tersebut,  peran asing dalam perekonomian nasional juga meningkat.

Keluar dari ketertinggalan

Istilah made in Indonesia dan kampanye cinta produk dalam negeri memiliki pengertian semua yang dibuat di Indonesia, tak terkait nasionalitas proses produksi dan kepemilikannya. Mobil Toyota adalah made in Indonesia, begitu juga TV Samsung, meski Toyota merek asal Jepang dan Samsung merek asal Korea. Membeli barang-barang tadi bersama aktivitas menikmati ayam goreng Kentucky Fried Chicken, hamburger McDonald, dan kopi di Starbucks, tak disadari melibatkan penggunaan devisa. Nasionalitas ekonomi yang kabur juga menjalar ke proyek-proyek bersifat monumental. Jembatan penghubung Jawa dan Madura, Suramadu, sepanjang 5.438 meter, terpanjang di Indonesia saat ini, yang secara teknis sesungguhnya sudah dapat dikerjakan kontraktor nasional,  sudah dibangun Tiongkok dari Agustus 2003 hingga Juni 2009.

Kita juga mendengar pemrakarsa Jembatan Selat Sunda sepanjang 31 kilometer berniat menggandeng perusahaan Tiongkok sebagai pelaksana. Menurut hemat saya, semua hal yang bersifat monumental sebaiknya didesain dan dikerjakan perusahaan nasional. Monumen adalah simbol peradaban, penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan manajemen; simbol tatanan masyarakat yang maju, tertib, dan beradab. Nenek moyang kita 1.200 tahun lalu membuat Candi Borobudur yang di bidang bangunan  merupakan state of the art dari zamannya. Apakah kebanggaan kita pada Monas akan sama seandainya monumen itu dulu dibangun asing? Kereta api kita sepatutnya dimodernisasi, tetapi marilah kita lakukan dengan semangat make by ourself, dengan technical  assistance dari ahli-ahli internasional di bidang ini, seperti  Pindad menghasilkan Panser Anoa. PAL menghasilkan kapal perang dan PT Dirgantara Indonesia menghasilkan N-219, karena semangat dan tekad itulah yang telah mengantar kemajuan India, Brasil, dan Tiongkok sampai mampu membuat kereta supercepatnya sendiri walau waktu itu  juga belum pernah membuatnya. Di 2008, Tiongkok belajar membuat KA supercepat dari Beijing-Tianjin menggunakan teknologi Bombardier dari Kanada berkecepatan 320 kilometer per jam dan sekarang kereta tercepat dunia ada di Tiongkok (Shanghai-Airport, teknologi maglev dari Jerman, 350 kilometer per jam), Tiongkok juga memiliki jalur kereta supercepat yang terbanyak di dunia.

Peningkatan pendapatan per kapita tak bisa dicapai tanpa inovasi di banyak sektor.  Bank Dunia melaporkan, saat ini tujuh dari 10 produk ekspor utama Indonesia bahan mentah. Indonesia berpopulasi nyaris separuh ASEAN, tetapi hanya menyumbang 15 persen ekspor manufaktur kawasan ini. Thailand hanya 15 persen populasi ASEAN, tetapi menghasilkan 34 persen ekspor manufaktur ASEAN.

Peningkatan kesejahteraan juga banyak bergantung besarnya kegiatan ekonomi yang dilakukan warga sendiri, seperti di negara maju. Pada Asian Games IV tahun 1962, Presiden Soekarno baru saja menasionalisasi perkebunan-perkebunan milik asing. Saat Asian Games XVIII tahun 2018, banyak perkebunan milik pengusaha nasional dibeli asing. Kepemilikan asing di perkebunan sawit sekitar 2 juta hektar. Nasionalisasi aset asing tak bisa dibenarkan karena  melanggar hukum internasional, tetapi semangatnya untuk memperbesar porsi nasional dalam kegiatan ekonomi melalui cara-cara sesuai ketentuan hukum internasional perlu dijalankan. Kenyataan juga menunjukkan, Alfamart sudah dikuasai Carrefour dan Aqua 75 persen dimiliki Danone, keduanya dari Perancis; Teh Sariwangi dimiliki Unilever dari Inggris; susu SGM 82 persen dikuasai Numico, Belanda. Rokok Sampoerna 97 persen dijual ke Philip Morris, AS; Supermarket Hero sudah milik Dairy Farm International, Malaysia; Bank BCA, Bank Niaga, Bank Danamon,  Bank BII sudah milik asing. Semen Tiga Roda, 61,70 persen milik Heidelberg Jerman; Semen Gresik milik Cemex Mexico; Semen Cibinong milik Holchim Swiss. Kondisi ini banyak yang menyatakan Indonesia sudah lebih maju karena lebih terbuka.  Porsi kepemilikan asing sepatutnyalah dibatasi.

Menjadi tuan rumah Asian Games perlu  kita jadikan momentum keluar dari ketertinggalan karena kita negara berwilayah darat terluas keempat di Asia, sesudah Tiongkok, India, dan Arab Saudi, dengan lautan terluas di Asia, berpenduduk terbanyak ketiga di Asia setelah Tiongkok dan India. Kita harus mencapai apa yang layak untuk sebuah bangsa besar, juga di bidang olahraga, karena  pencapaian prestasi olahraga suatu negara bangsa menunjukkan tingkat perhatian pada upaya peningkatan kualitas SDM.

Kerja keras untuk keberhasilan Asian Games XVIII tahun 2018 sangat diperlukan mengingat ketertinggalan kita di bidang olahraga yang dalam beberapa Asian Games terakhir selalu di bawah prestasi Thailand. Padahal, pada 1962, Thailand belum masuk hitungan dan kita di atas Tiongkok dan Korea Selatan yang  dalam dua Olimpiade terakhir selalu masuk 10 besar pengumpul medali; sementara sepak bola, olahraga terpopuler di Nusantara, perlu segera dipimpin orang yang terpercaya yang tak terkait banyak peristiwa memalukan, seperti sepak bola gajah, pengaturan skor, mafia judi bola, dan prestasi rendah. Selamat bekerja dan berusaha untuk pemerintah, olahragawan nasional yang terpilih tampil di Asian Games 2018 dan masyarakat luas.

 SISWONO YUDO HUSODO

Ketua Yayasan Pendidikan Universitas Pancasila

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Februari 2016, di halaman 6 dengan judul "Indonesia dan Asian Games 2018".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Konvergensi Regulasi Komunikasi (AMIR EFFENDI SIREGAR)

Kini Indonesia punya beberapa UU di bidang media dan komunikasi, antara lain UU Telekomunikasi, UU Penyiaran, UU Pers, UU Kebebasan Informasi Publik, UU Informasi dan Transaksi Elektronik, serta UU Perfilman.

Sayang, dalam kenyataannya beberapa di antaranya tidak terintegrasi dan tak sinkron, bahkan saling bertentangan secara filosofis dan paradigmatik. Artinya, terdapat UU yang dianggap tidak sejalan dengan UUD 1945 dan prinsip demokrasi. Selain itu, bagian terbesar UU ini juga belum mengantisipasi perkembangan teknologi yang mengarah konvergensi media dan komunikasi.

UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), khususnya Pasal 27 Ayat 3 tentang Pencemaran Nama Baik, telah membawa banyak orang ke penjara. Menariknya, pada bagian menimbang  yang merupakan landasan filosofis, tidak terdapat keinginan membangun satu sistem komunikasi yang demokratis. Tak ada kutipan Pasal 28 UUD 1945 tentang hak asasi manusia, khususnya Pasal 28 F yang menjamin kebebasan berkomunikasi melalui segala jenis saluran yang tersedia. UU ITE ini hanya mengutip Pasal 5 Ayat 1 dan Pasal 20 tentang hak presiden dan DPR membuat UU. Ini adalah UU yang tidak demokratis dan harus dikembalikan ke maksud tujuan awalnya, yaitu mengatur transaksi elektronik yang terutama bersifat komersial.

Sementara UU Perfilman masih memiliki Lembaga Sensor Film (LSF), yang dalam UU Pers tidak boleh ada sensor terhadap pemberitaan media. Dalam negara demokrasi, seharusnya LSF ini berubah dan menjadi Lembaga Klasifikasi Film, terutama untuk melindungi anak-anak.

UU Telekomunikasi sendiri sudah sangat ketinggalan zaman: meski dibuat masa awal reformasi, RUU-nya  sudah dibuat pada 1996, di era liberalisasi bisnis besar-besaran akhir Orde Baru. Itu sebabnya UU Telekomunikasi membolehkan industri telekomunikasi dikuasai asing, sementara di industri penyiaran modal asing maksimal 20 persen.

Yang menarik, UU Pers, UU Kebebasan Informasi Publik (KIP), dan UU Penyiaran sangat konstitusional dan demokratis. Hal itu dapat dilihat dari bagian menimbang dan batang tubuhnya. Problem besarnya justru pada  implementasi UU, khususnya UU Penyiaran. Ketiga UU ini sekarang menjadi benteng demokrasi media dan komunikasi di Indonesia.

Perkembangan teknologi berjalan begitu cepat. Kehadiran Netflix yang merupakan layanan streaming video membuat dunia penyiaran dan telekomunikasi bergolak. Netflix ditutup PT Telkom dengan beberapa alasan. Sementara Hooq, sejenis Netflix yang dimiliki Singtel, diperkirakan masuk ke Indonesia lewat Telkomsel. Singtel memiliki 35 persen saham di  Telkomsel.

Dari peristiwa ini saja dapat kita lihat terjadi persaingan bisnis yang bersifat kapitalistis itu. Di samping itu, perkembangan teknologi telah membuat kabur batas antara penyiaran dan telekomunikasi. Artinya, telah terjadi konvergensi.

Proses berlangsungnya konvergensi ini dipercepat usaha negara dan masyarakat. Beberapa waktu lalu, Google mengumumkan perjanjian dengan XL Axiata, Indosat, dan Telkomsel, yang menggunakan spektrum 900 MHz. Untuk itu, diluncurkan tiga balon Loon di lapisan  20 kilometer di atas wilayah Indonesia guna melayani kebutuhan internet. Ini adalah langkah hebat. Komunikasi dapat dilakukan dari tempat mana pun. LSM ICT Watch pun bereaksi, meminta pemerintah juga mendukung teknologi alternatif  "open BTS".

Kemajuan  teknologi menyebabkan antara lain konvergensi media, yaitu radio dan televisi yang telah berlangsung lama. Juga antara komputerisasi, komunikasi, dan isi media. Telematika sendiri adalah gabungan jaringan komunikasi dan teknologi informasi atau antara telekomunikasi dan teknologi informasi.

Banyak negara mengantisipasi kemajuan teknologi ini dengan melakukan amendemen dan perubahan regulasi. Amerika Serikat (AS)  sampai hari ini tetap menggunakan istilahtelecommunication act dengan perbaikan yang mengantisipasi perkembangan teknologi ini. Di AS, kita mengenal Federal Communications Commission (FCC), sebuah badan independen dengan kekuasaan mengatur komunikasi dengan atau tanpa kabel.

Di Inggris terdapat Communication Act 2003 yang mengatur kehidupan telekomunikasi dan media elektronik. Terdapat Office of Communications (Ofcom), sebuah otoritas untuk bidang industri komunikasi. Ofcom meregulasi kehidupan televisi, radio, telepon fixed line ataupun mobile, dan beberapa kegiatan komunikasi lainnya, termasuk memberikan izin. Di Australia terdapat The Australian Communications and Media Authority (ACMA) yang bertanggung jawab atas regulasibroadcasting, internet, radio communication, dan telecommunication.

Seperti telah disebutkan, beberapa UU di bidang media dan komunikasi ini secara paradigmatik berbeda dan  bertentangan dan belum adaptif terhadap perkembangan teknologi. Itu sebabnya, perlu perbaikan dan perubahan agar terintegrasi, sinkron, demokratis, dan mengantisipasi perkembangan teknologi berdasarkan UUD 1945. Kita dapat menyebutnya UU Komunikasi atau UU Telekomunikasi, UU atau Media dan Komunikasi. Ini seharusnya segera dibahas oleh pemerintah dan DPR.

AMIR EFFENDI SIREGAR 

Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Februari 2016, di halaman 6 dengan judul "Konvergensi Regulasi Komunikasi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Minggu, 28 Februari 2016

Air BersihBerbuah Keluhan (Surat Pembaca Kompas)

Petugas pencatat meter Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Benteng, Kota Tangerang, Banten, tidak melaksanakan tugas dengan benar. Petugas dengan seenaknya mencatat penggunaan air di rumah saya hingga 54 meter kubik (2732-2786) untuk pemakaian air bersih bulan Oktober 2015.

Kesalahan pencatatan terulang kembali pada bulan berikutnya dan semakin membengkak menjadi 2817. Padahal, pada meteran air yang terpasang di rumah saya hanya tertera angka 2745.69 sehingga total kelebihan 72 meter kubik.

Saya mendatangi kantor pusat bagian pengaduan pelanggan PDAM Tangerang Kota di Kompleks PU Prosida Bendungan Pasar Baru Pintu Air, Mekarsari, Neglasari, Tangerang, diterima oleh Diah. Namun, permasalahan tidak dapat diselesaikan.

Saya tetap wajib membayar tagihan yang lebih dan tidak sesuai dengan pemakaian. Jika tidak membayar, maka meter air akan dicabut. Ternyata para pelanggan PDAM Tirta Benteng Kota Tangerang yang mengalami masalah seperti saya cukup banyak, terlihat jumlah pelanggan mendatangi pusat pengaduan PDAM Tirta Benteng Kota Tangerang.

Sayangnya, meski saya sudah mendatangi pusat pengaduan dan menyadari kesalahan, pihak PDAM Tirta Benteng Kota Tangerang tidak berbuat apa-apa dan malah mewajibkan pelanggan tetap membayar sesuai angka khayalan petugas pencatat air.

SUSY TARTINI

BANJAR WIJAYA A 10, PORIS PLAWAD INDAH, CIPONDOH, KOTA TENGERANG, BANTEN

Aliran Palyja Tidak Merata

Saya sebagai pelanggan air bersih PT Perusahaan Air Minum Lyonnaise Jaya (Palyja) Pelayanan di Sisi Barat Jakarta, dengan nomor rekening 000550625, kecewa atas pelayanan yang diberikan. Sejak Mei 2015 sampai saat ini aliran air bersih yang disuplai oleh perusahaan patungan BUMD dan PMA ini tersendat dan bahkan sering tidak mengalir.

Bukan hanya di rumah saya, melainkan juga di sekitar tempat tinggal saya mengalami hal serupa. Aliran air hanya mengalir di Blok A dan Blok H, di depan blok rumah saya. Memang dari pihak Palyja ada pengiriman air bersih lewat truk tangki bagi pelanggan yang menelepon meminta air bersih. Sebagai konsumen, berharap agar aliran air yang disuplai merata, tidak hanya untuk beberapa blok.

EDI PRABOWO

KOMPLEKS MERPATI JALAN PETA UTARA BLOK O, PEGADUNGAN, KALIDERES, JAKARTA BARAT

Air Terhenti Tanpa Penyebab

Sejak 30 Januari 2016 sampai saat ini aliran air yang disuplai oleh PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) terhenti ke lokasi rumah saya di Kompleks Ruko Grogol Permai, Jalan Prof Dr Latumenten, Jakarta Barat.

Saya ingin bertanya kepada pihak Palyja, apa sebenarnya yang terjadi dan kapan suplai air bersih akan berjalan normal? Saya melapor kepada Palyja dan diberi nomor laporan 9878324746 tanggal 4 Februari 2016 yang diterima oleh Bapak Harris.

Namun, petugas penerima laporan keluhan pelanggan Palyja itu menjelaskan bahwa tidak ada masalah atau perbaikan di lokasi dimaksud dan seharusnya aliran air berjalan normal.

Mohon penjelasan Palyja sebagai pihak penyuplai air bersih di lingkungan tempat tinggal saya karena air bersih merupakan kebutuhan primer. Saat ini aliran air terhenti sama sekali selama beberapa minggu.

MARGARET SHIRLEY

KOMPLEKS RUKO GROGOL PERMAI BLOK C, JELAMBAR, GROGOL PETAMBURAN, JAKARTA BARAT

Air Mati Tanpa Tindakan

Saya warga Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, sudah sekitar dua minggu tidak mendapatkan aliran air bersih yang disuplai Palyja. Bukan hanya rumah saya, melainkan juga beberapa rumah di sekitar. Aliran air tidak mengalir sama sekali.

Sudah beberapa kali dan merasa bosan mengadu melalui telepon ke call centrePalyja, tetapi hanya dicatat tanpa realisasi tindakan dengan mengirimkan petugas ke lapangan. Sudah berkali-kali SMS juga tidak mendapatkan balasan.

Sekitar tiga bulan lalu, juga dengan keluhan serupa, air tak mengalir alias mati total di rumah saya dan beberapa rumah di sekitar, berlangsung 10 hari. Saya sudah tidak mengetahui lagi ke mana harus mengadu tentang aliran air bersih terhenti dan mendapat penanganan dengan tindakan nyata dari pihak penyuplai air.

Bagaimana kinerja Palyja yang tidak mengalirkan air ke tempat pelanggan? Sudah dilaporkan, tetapi tidak ada tindakan apa-apa. Padahal, jika konsumen membayar terlambat satu hari sudah kena sanksi denda.

YULIA WIDJAJA

JALAN ANGKE INDAH II RT 004 RW 004, TAMBORA, JAKARTA BARAT

Data Pelanggan Tidak Akurat

Awal Desember 2015, saya melaporkan permasalahan ketidakakuratan data pelanggan dan permohonan informasi nomor pelanggan untuk meter air yang telah terpasang lama di dua rumah toko, beralamat di Jalan Kebon Jeruk III, Jakarta Barat, ke palyja.care@palyja.co.id. Saya mendapat nomor lapor (case ID) 7841253717.

Laporan telah ditindaklanjuti dengan pemeriksaan lapangan oleh petugas dari kantor hubungan pelanggan Palyja Jatibaru, Jakarta. Setelah itu, lewat telepon, saya diminta mengirimkan dokumen yang berkaitan dengan bangunan seperti sertifikat, Pajak Bumi dan Bangunan, dan sudah saya kirim.

Namun, sampai saat ini tidak ada kabar lebih lanjut atas laporan saya. Saya sudah mempertanyakan lewat surel, tetapi tidak mendapatkan balasan. Telepon nomor 29979999 hanya dijanjikan peningkatan status laporan tanpa memberikan solusi.

Harus ke mana lagi melapor? Semua jalur laporan sudah saya tempuh, termasuk mendatangi kantor hubungan pelanggan Muara Karang, Jakarta.

BUDYANTO YALA

JAMBLANG I RT 003 RW 002, DURI SELATAN, TAMBORA, JAKARTA BARAT

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Februari 2016, di halaman 12 dengan judul "Air BersihBerbuah Keluhan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger