Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 31 Januari 2018

ARTIKEL OPINI: Ekstensi Kepemimpinan Toleransi (HENDARDI)

DIDIE SW

.

Promosi toleransi merupakan kewa- jiban bagi siapa pun yang memiliki kesadaran bahwa toleransi merupakan satu-satunya nilai utama, sikap dasar, dan cara pokok dalam memperlakukan yang lain di tengah aneka perbedaan, alamiah, ataupun artifisial.

Oleh karena itu, setiap elemen bangsa harus mengambil prakarsa untuk memimpin promosi toleransi sesuai dengan level otoritas dan cakupan pengaruh masing-masing.

Kepemimpinan toleransi merujuk pada pemaknaan kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) pada 2017, yang dirilis oleh Setara Institute, (15/1). Saat ini, promosi toleransi dan kepemimpinan yang mengatalisasinya jadi isu yang sangat relevan di tengah menguatnya politik identitas, radikalisme keagamaan, dan ekstremisme dengan kekerasan (violent extremism),serta revivalitas gerakan anti-Pancasila dan antinegara demokrasi.

Menelisik data pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan sepanjang 2017, penulis secara pribadi melihat bahwa kita memiliki momentum untuk mendorong kepemimpinan politik negara dan inisiatif masyarakat yang lebih intensif dan berani. Ada beberapa situasi yang menggambarkan terbentuknya momentum untuk menggencarkan dan memperluas promosi toleransi.

Momentum promosi

Pertama, terdapat kemajuan atau perbaikan konteks yang ditandai dengan membaiknya beberapa variabel kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia. Berdasarkan hasil riset terbaru Setara Instituteterjadi penurunan signifikan angka peristiwa dan tindakan pelanggaran KBB. Tahun 2017, "hanya" terjadi 155 peristiwa (turun 53 jumlah peristiwa dibandingkan 2016) dengan 201 tindakan (berbanding 270 tindakan pada 2016).

Turunnya angka peristiwa dan tindakan itu berkorelasi dengan penurunan angka pada beberapa variabel lain, yaitu (1) tingkat pelanggaran terhadap kelompok-kelompok minoritas keagamaan, seperti umat Kristiani, jemaat Ahmadiyah, dan Syiah, yang selama ini mendominasi angka korban di hampir setiap periode riset dan pemantauan, dan (2) angka gangguan terhadap rumah ibadah juga jauh lebih rendah dari rata-rata gangguan yang terjadi pada periode-periode riset sebelumnya.

Kedua, perbaikan kuantitatif pada aspek keterlibatan aktor negara dalam pelanggaran KBB, yang dapat dibaca sebagai peluang bagi pemajuan perspektif, kompetensi, dan bahkan keberpihakan aparatur negara bagi tata kelola pemerintahan yang lebih kondusif bagi pemajuan toleransi. Data Setara Institute 2017 menunjukkan, tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh aktor negara sepanjang 2017 jauh lebih rendah dibandingkan pada 2016.

Kepolisian RI yang pada 2016, menurut catatan Setara Institute, menjadi kontributor tertinggi pelanggaran oleh aktor negara dengan 37 tindakan pelanggaran, tahun ini "hanya" melakukan 17 tindakan. Selain itu, meskipun masih menjadi yang tertinggi dalam kelompok aktor negara, pemerintah daerah "cuma" melakukan 25 tindakan (turun 10 tindakan) dari tahun sebelumnya.

Ketiga,terjadi kebangkitan gerakan masyarakat sipil toleran yang selama ini diam (silent majority)dan dianggap terlalu mengalahuntuk mengambil prakarsa dan peran melawan intoleransi, diskriminasi, dan paham- paham yang mengarah pada penguatan ideologi ekstremisme dengan kekerasan (violent extremism) sekaligus penghancuran nilai dan sendi hidup damai bersama dalam perbedaan (peaceful co-existence) di alam kebinekaan berdasarkan Pancasila.

Dua agenda

Dengan momentum yang baik itu, pemerintah, di bawah kendali Presiden Joko Widodo (Jokowi), harus mengambil peran besar dalam meletakkan warisan bagi pemajuan toleransi di ujung kepemimpinannya.

Jokowi memiliki modal sosial, politik, hukum, serta jaringan dan cakupan kekuasaan yang jauh lebih besar daripada presiden keempat, Abdurrahman Wahid, yang secara berani memberikan jaminan kesetaraan bagi minoritas Tionghoa dan penganut Khonghucu.

Promosi toleransi harus menjadi prioritas Presiden untuk mewujudkan Indonesia yang memberikan jaminan inklusi sosial politik sekaligus jaminan hak sipil untuk beragama secara merdeka sesuai amanat Pasal 28E Ayat (1) dan (2) dan Pasal 29 Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945. Ada dua agenda utama untuk itu, yaitu (1) penyelesaian masalah- masalah existingyang sudah berlarut-larut mengenai kelompok- kelompok minoritas yang terlanggar hak-hak mereka, dan (2) reformasi regulasi dan kebijakan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD Negara RI 1945 yang selama ini menjadi alas yuridis bagi intoleransi dan diskriminasi atas minoritas.

Beberapa persoalan besar dan pelanggaran terus-menerus yang terjadi dalam satu dekade ini tak kalah mendesak untuk diatasi, dibandingkan sejumlah proyek infrastruktur yang mangkrak dan terbukti Presiden mampu mengatasi dan menyelesaikan.

Beberapa yang bisa disebut, antara lain; (a) pengusiran minoritas keagamaan dari kampung halaman mereka, terutama jemaat Ahmadiyah di Wisma Transito, Mataram, dan warga Syiah Sampang di Sidoarjo, Jawa Timur, (b) pembangunan dua gereja di Kota Bogor dan Kabupaten Bekasi, yaitu GKI Yasmin dan HKBP Philadelphia yang secara hukum memenangi perkara pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, tetapi hingga saat ini tidak kunjung dapat menikmati hak dasar mereka untuk membangun rumah ibadah, dan (c) kriminalisasi keyakinan sehingga beberapa narapidana hati nurani (prisoners of conscience) masih mendekam di penjara.

Selain itu, Presiden juga harus segera memimpin reformasi regulasi yang bertentangan dengan ketentuan konstitusi, sepanjang berada dalam jangkauan otoritasnya sebagai kepala negara dan pemerintahan. Beberapa agenda yang harus dapat perhatian serius, antara lain, sebagai berikut.

Pertama, penghapusan pasal- pasal penodaan agama, melalui perubahan UU Nomor 1/PNPS/ 1965 dan Pasal 156a KUHP, yang belakangan ini sering digunakan kelompok vigilante untuk melakukan persekusi terhadap kelompok kritis dan progresif dengan dalih penodaan agama.

Kedua, peninjauan ulang, revisi, dan penghapusan regulasi ministerial.  Peraturan Bersama Menteri Agama dan Mendagri No 9 dan No 8 Tahun 2006 (PBM Pendirian Rumah Ibadah) dan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Mendagri No 3 Tahun 2008, No KEP-033/ A/JA/6/2008, No 199 Tahun 2008 (SKB Ahmadiyah) adalah dua regulasi ministerial yang mendesak menjadi obyek reformasi karena sering memicu diskriminasi dan intoleransi terhadap warga negara dari latar belakang keagamaan berbeda.

Ketiga, evaluasi dan harmonisasi peraturan daerah yang bersifat diskriminatif terhadap minoritas, termasuk kepada perempuan. Pada 2016, pemerintah melalui Kemendagri telah melakukan harmonisasi besar-besaran dengan membatalkan 3.143 perda yang menghambat investasi. Langkah pembatalan tersebut mestinya lebih mendesak untuk dilakukan pada perda yang merusak persatuan dan kesatuan melalui diskriminasi terhadap kelompok-kelompok perempuan dan minoritas di daerah.

Sinyal kepemimpinan

Untuk melakukan dua agenda tersebut, sebenarnya pemerintah sudah menunjukkan sinyal kuat yang merepresentasikan itikad politik (political will)untuk mewujudkan cita-cita "satu untuk semua", sebagaimana diikrarkan para pendiri negara. Namun, pemerintah kemudian seperti mundur beberapa langkah begitu menghadapi kontra wacana, terutama dari kalangan mayoritas keagamaan mapan serta kelompok-kelompok intoleran yang dari sisi kuantitas sebenarnya juga tidak banyak.

Pertama, Nawacita yang sayangnya hingga kini belum terlihat memandu pembangunan inklusi sosial, apalagi politik, terhadap minoritas keagamaan. Kedua, wacana penghapusan kolom agama, yang menguap begitu saja. Ketiga, pemenuhan hak atas pengajaran agama dalam institusi pendidikan formal untuk penghayat kepercayaan yang sudah dituangkan dalam bentuk  Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 27 Tahun 2016, yang hingga kini bermasalah dalam implementasinya terkait dengan ketersediaan sumber daya.

Keempat, dukungan pemerintah atas pencantuman penghayat kepercayaan dalam kolom agama di KTP pada sidang uji materi UU Administrasi Kependudukan dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi akhirnya dikabulkan, tetapi hingga kini tak tampak progres dalam implementasinya.

Terakhir, kita harus mengapresiasi pendirian lembaga pembinaan ideologi Pancasila dalam bentuk Unit Kerja Presiden, yang kini ditingkatkan statusnya menjadi badan setingkat kementerian. Pembentukan lembaga tersebut dapat dibaca sebagai jawaban pemerintah atas kekhawatiran semakin menguatnya politik identitas yang disertai pembesaran resistensi atas liyanpenggunaan sentimen primordial atau isu SARA, khususnya agama dan suku/etnik, di ruang-ruang publik-politik.

Sinyal-sinyal kepemimpinan tersebut, sangat disayangkan, jika dibiarkan meredup dan hilang begitu saja hanya karena Presiden disibukkan dengan politik kekuasaan di tahun-tahun politik elektoral ini. Semoga tidak.

Hendardi

Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Jakarta

Kompas, 31 Januari 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Eradikasi Pelecehan Seksual (MULADI)

TOTO SIHONO

  

Tajuk Rencana harian "Kompas" (10/1/2018) dan berbagai media, baik nasional maupun internasional, telah mengangkat berita yang menggemparkan tentang pengungkapan ("breaking the silence") skandal pelecehan seksual ("sexual harassment") yang dilakukan oleh Harvey Weinstein, tokoh berpengaruh dalam industri film Hollywood, oleh puluhan aktris Hollywood yang menjadi korbannya.

Hal ini pertanda bahwa genderang eradikasi (pemberantasan) pelecehan seksual harus digalakkan.

Reaksi kolektif dilakukan melalui aksi solidaritas oleh para aktor dan aktris yang mengenakan pakaian serba hitam di atas karpet merah, disertai hadirin lain, saat penganugerahan Golden Globe Awards 2018, 7 Januari 2018, di Beverly Hills. Nuansa protes terhadap skandal pelecehan seksual terlihat mendominasi upacara itu (time's up movement).

Di Jakarta, keluhan tentang terjadinya pelecehan seksual (sexual harassment) sampai saat ini sering hanya dikaitkan dengan perilaku seksual yang merendahkan wanita di lingkungan publik, seperti yang sering terjadi dalam transportasi umum di dalam bus transjakarta koridor padat atau di dalam kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek. Akibatnya, hal itu menimbulkan pemikiran jangka pendek, misalnya memisahkan sarana transportasi bagi pria dan perempuan.

Pelecehan seksual dalam hal ini biasanya dianggap sekadar merupakan perilaku bernuansa seksual yang tidak dikehendaki(unwelcomeness) oleh si korban, baik secara lisan maupun fisik, dan dianggap sebagai perbuatan cabul biasa atau perbuatan yang tidak menyenangkan.

Pengalaman di sejumlah negara dan juga di Indonesia menunjukkan, yang lebih parah lagi sebenarnya adalah pelecehan seksual terhadap perempuan yang terjadi di lingkungan kerja. Hal ini jarang terungkap karena korbannya tidak memiliki ketegasan dan keberanian untuk bereaksi atau melaporkannya kepada yang berwajib
(breaking the silence) karena berbagai sebab yang masuk akal.

Si korban percaya bahwa keberatannya atau penolakannya terhadap pelecehan seksual selalu mengandung bahaya atau kerugian baginya dalam kaitan dengan hak dan kewajiban dalam pekerjaannya atau lingkungan kehidupannya.

Tiga kategori

Pelecehan seksual terhadap perempuan di lingkungan kerja pada dasarnya mengandung tiga kategori yang dapat berkaitan satu sama lain.

Pertama, kategori Quid pro Quo atau "Ini untuk Itu" (semacam kompensasi). Dalam kategori ini, pelecehan seksual bahkan dapat ditafsirkan sebagai pemerasan (blackmail) karena kepatuhan atau penolakan si korban terhadap pelecehan seksual mengandung bentuk persyaratan yang berkaitan dengan pekerjaan, misalnya kemudahan, kenaikan gaji, janji untuk dipromosikan, atau sebaliknya degradasi.

Kedua, kategori pembalasan (retaliation) dalam hal mana kepatuhan atau penolakan si korban terhadap perbuatan tersebut digunakan sebagai dasar bagi keputusan si pelaku untuk memengaruhi pekerjaan yang bersangkutan.

Ketiga, kategori permusuhan (hostility). Dalam hal ini perbuatan tersebut bertujuan atau berakibat tindakan pembalasan jika si korban tidak mematuhinya, berupa gangguan yang tidak beralasan terhadap kinerja individual atau menciptakan lingkungan kerja yang bersifat intimidasi, permusuhan, atau bersifat menyakitkan atau menghina yang bersifat ofensif (Broderick and Saleen, 2010).

Bentuk perbuatan sangat bervariasi, seperti rayuan, ucapan, memperlihatkan sesuatu yang berbau pornografi, perintah, ancaman, pembatasan yang pada dasarnya berbau penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), atau status yang berkaitan dengan fungsi dalam pekerjaannya, untuk memperoleh imbalan bernuansa seksual. Antara pelaku dan korban tidak dalam tingkatan yang sama serta perbuatan itu biasanya dilakukan berulang-ulang dan mengandung penyalahgunaan kekuasaan.

Lebih dalam lagi, pelecehan seksual tersebut mengandung unsur diskriminasi berupa perlakuan yang berbeda status atas dasar perbedaan jenis kelamin yang sangat merugikan (prejudicial treatment) bagi korban dan mengandung unsur penghinaan, pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM), mempermalukan, menimbulkan rasa direndahkan, mencederai martabat korban, gangguan terhadap hak pribadi, pembunuhan karakter, rasa turut bersalah karena mendiamkan, gangguan mental, hilangnya produktivitas kerja, serta pelanggaran HAM dan kehormatan seseorang.

Yang menarik adalah bahwa data pelecehan seksual di sejumlah negara cenderung sering terjadi di lingkungan pendidikan, pusat perekrutan dan pelatihan kerja, perguruan tinggi, baik dalam hubungan dosen-mahasiswa, antarmahasiswa, pimpinan-staf, maupun pimpinan-karyawan, yang rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan dalam hubungan yang tidak sederajat.

Di pelbagai perguruan tinggi di Amerika Serikat dan Eropa, perbuatan seperti olok-olokan atau julukan yang merendahkan dan berbau seksual, komentar jorok tentang badan dan pakaian, memaksa kencan atau bertemu pribadi, surat bernada seksual, sampai serangan seksual masuk kategori pelecehan seksual.

Langkah-langkah komprehensif

Seperti di negara-negara lain, kriminalisasi terhadap pelecehan seksual harus dilakukan tersendiri (delictum sui generis), terpisah dari pengaturan tindak pidana kesusilaan biasa karena hakikat dan dampak bagi si korban sangat luas (depresi, marah, dan merasa tidak berdaya).

Indonesia cukup beralasan untuk mengkriminalisasi secara khusus karena dengan UU No 7 Tahun 1984 Indonesia telah mengesahkan (meratifikasi) Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita
(CEDAW, 1979). Lebih-lebih berbagai instrumen internasional, khususnya Resolusi SU PBB No 48/104, telah menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan mencakup pula pelecehan seksual. Dalam hal ini sanksi pidana, perdata, dan administrasi dapat dikembangkan bersama dengan langkah-langkah preventif lainnya.

Di Israel dan Filipina hal tersebut diatur dalam UU tentang Pelecehan Seksual, di Inggris diatur dalam UU Antidiskriminasi, di Perancis dan Federasi Rusia diatur tersendiri dalam KUHP-nya, serta di beberapa negara bagian Amerika Serikat dikaitkan dengan diskriminasi seksual dan hukum perburuhan dalam kerangka penyalahgunaan kekuasaan. Bahkan, Masyarakat Uni Eropa berusaha merumuskan suatu direktif khusus tentang hal ini sejak 2002. Semuanya mengategorikan pelecehan seksual sebagai tindak pidana. Bahkan, tidak menutup kemungkinan adanya gugatan perdata dan administratif.

Pelecehan seksual yang menciptakan situasi lingkungan kerja dan lingkungan kehidupan yang diskriminatif dan transaksional serta penyalahgunaan kekuasaan yang berbau seksual tersebut tidak boleh didiamkan sebagai kejahatan tersembunyi (hidden crime). Langkah preemtif, preventif, dan represif secara khusus harus dilakukan. Organisasi-organisasi perempuan, termasuk Komnas HAM Perempuan, harus terus melakukan sosialisasi agar si korban berani melaporkan apa yang terjadi dan kemudian memperoleh perlindungan, dalam kerangka prinsip kepekaan dan kesetaraan jender.

Dalam hal ini semacam pedoman bagi korban (victim's guide) perlu dirumuskan. Di samping itu, desakan kepada DPR agar segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk melindungi perempuan dan anak harus didukung.

Muladi Tim Ahli Perumus RUU KUHP

Kompas, 31 Januari 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Demokrasi Terancam (R WILLIAM LIDDLE)

Setelah satu tahun berkuasa, niat Presiden AS Donald Trump untuk melumpuhkan demokrasi demi kekuasaan pribadinya tak diragukan. Tandanya ada di mana-mana, misalnya dalam serangan tak terhenti terhadap pers yang dijuluki "musuh rakyat" yang memberitakan "berita palsu". 

Hampir semua koran dan jaringan TV nasional, baik penyiar maupun kabel, kena tudingan yang mencemaskan itu.  Tak terkecuali The Wall Street Journal, koran terkemuka yang konservatif di halaman editorialnya tetapi jujur dalam pemberitaannya.  Yang lolos dari kemarahan Trump hanya jaringan kabel Fox News, yang bersedia menjadi penyambung lidah Trump sendiri.          

Di dalam pemerintahannya, Trump tidak menghormati asas pokok Undang-Undang Dasar Amerika Serikat, separation of powers, pemisahan kekuasaan, yang menjamin hak lembaga- lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Aturan-aturan lama dicap kedaluwarsa dan dicemooh, seperti kebiasaan super-mayoritas di Senat, tempat 60 suara dari seluruh 100 anggota Senat dibutuhkan untuk meloloskan suatu rencana UU. 

Sebagian besar anggota Senat, Republik ataupun Demokrat, membanggakan lembaga mereka selaku the greatest deliberative body in the world, badan legislatif yang paling mengutamakan perundingan di seluruh dunia. Komitmen mereka kepada supermayoritas perlu dimengerti dalam konteks itu.  Namun, demi kepentingannya sendiri, Trump tak segan menyeru agar kepemimpinan fraksi Republik di Senat menggantikan aturan itu dengan mayoritas biasa, 51 suara.

Sasaran Trump yang paling berbahaya bagi pelestarian demokrasi adalah Departemen Keadilan dan salah satu biro tersohor di departemen itu, yaitu Biro Investigasi Federal (FBI). Hampir dari awal, Trump menyesali pengangkatan oleh dirinya sendiri atas kepala departemen itu, yaitu Jeff Sessions, selaku jaksa agung.   Sessions, waktu itu masih senator dari Alabama, termasuk politisi nasional yang paling awal mendukung pencalonan Trump dan sempat menjadi anggota tim suksesnya.

Trump lalu mengangkatnya sebagai jaksa agung karena Sessions terkenal keras melawan kebijakan imigrasi pemerintahan sebelumnya, yang konon membuka lebar pintu masuk bagi orang miskin dan penjahat.  Namun, beberapa minggu kemudian, Sessions memisahkan diri secara hukum (recuse) dari pengusutan Departemen Keadilan perihal hubungan kampanye Trump dengan pemerintahan Rusia. Menurut berbagai laporan pers, Sessions sendiri mungkin terlibat dalam hubungan itu. 

Trump langsung meledak. Kepada The New York Times, ia berkeluh kalau dia tahu sebelumnya Sessions akan menarik diri dari pengusutan itu, ia pasti tidak akan mengangkatnya. Lalu, ia bersitegas bahwa syarat utama untuk seorang jaksa agung adalah kesetiaan pribadi kepada presiden, "seperti baru dilakukan oleh Jaksa Agung Eric Holder terhadap Presiden Obama," suatu kebohongan besar. Sejak masa jabatan jaksa agung pertama diadakan lebih dari 200 tahun silam, syarat utama menjadi jaksa agung adalah kesetiaan kepada UU dan konstitusi, bukan kepada satu orang, termasuk presiden yang mengangkatnya.

Meremehkan aturan demokrasi

Sasaran utama Trump sebenarnya bukan Sessions, melainkan kepemimpinan FBI dan setelah Direktur FBI Jim Comey dipecat Trump awal Mei 2017, special counsel jaksa khusus, Robert Mueller, diangkat satu minggu kemudian oleh Deputi Jaksa Agung Rod Rosenstein. 

Tugas Mueller, yang pernah menjabat lama sebagai Direktur FBI, adalah untuk "mengawasi investigasi FBI yang telah terkonfirmasi perihal usaha-usaha Pemerintah Rusia untuk memengaruhi Pemilihan Presiden 2016 dan hal-hal terkait."

Mueller ternyata sedang bekerja keras. Michael Flynn, penasihat keamanan nasional pertama Presiden Trump, mengaku berbohong kepada FBI dan sedang bekerja sama dengan Mueller. George Papadopoulos, bekas penasihat kampanye Trump tentang kebijakan luar negeri, khususnya Rusia, juga mengaku berbohong dan sedang bekerja sama. Paul Manafort, bekas ketua kampanye Trump, dan asistennya, Rick Gates, dituduh mencuci uang dan akan diadili tahun ini.

Siapa akan menyusul?  Apakah Trump sendiri atau anggota-anggota keluarganya akan didakwa? Tak ada orang yang punya bola kristal.   Namun, ada dua hal yang terang benderang. Pertama, serangan terus-menerus terhadap FBI, yang dicaci maki Trump selaku "lembaga yang berkecai- kecai."  Kedua, semakin nyaring koor anti-FBI, terdiri atas banyak anggota Republik di Kongres.

Yang paling memprihatinkan justru kombinasi antara presiden yang meremehkan aturan-aturan demokrasi dan Kongres yang hanya mementingkan kepentingan partisannya.

R William Liddle Profesor Emeritus Ilmu Politik, Ohio State University, Columbus, Ohio, AS  

Kompas, 31 Januari 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Memaknai Perjalanan Presiden (Kompas)

Kemarin, Presiden Joko Widodo mengakhiri kunjungan kenegara- annya ke lima negara: Sri Lanka, India, Pakistan, Bangladesh, dan terakhir ke Afghanistan.

Dari kunjungan ke negara-negara tersebut, kiranya kunjungan ke Afghanistan adalah yang paling menarik perhatian dan memberikan makna yang sangat dalam, sekaligus pelajaran. Bukan berarti bahwa kunjungannya ke empat negara lainnya tidak menarik dan tidak sarat makna. Tidak demikian.

Kunjungan ke negara-negara tersebut tetaplah mempunyai arti penting; terutama dalam usaha untuk meningkatkan dan mempererat hubungan persahabatan. Juga tentu kunjungan tersebut membuka peluang, misalnya, untuk meningkatkan hubungan ekonomi, meningkatkan hubungan perdagangan.

Perlu dicatat bahwa Indonesia memiliki catatan historis yang tidak boleh dilupakan dengan negara-negara tersebut sejak awal-awal republik ini berdiri. Hubungan Indonesia dengan India, misalnya, bisa ditarik jauh ke belakang. Pada abad ke-11, ketika Raja Rajendra dari Dinasti Chola berkuasa di India, beberapa kali menyerang Sriwijaya untuk melindungi perdagangan India dengan China. Banyak pengaruh India, seperti agama, bahasa, seni, dan arsitektur, di Indonesia.

India juga memberikan sumbangan dan dukungan ketika Indonesia berjuang untuk memerdekakan diri. Nehru dan Soekarno kemudian berkolaborasi mendirikan Gerakan Non-Blok dalam KAA di Bandung pada 1955.

Hubungan Indonesia dengan Pakistan pun sangat historis. Pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia, pemimpin Pakistan Muhammad Ali Jinnah memberikan dukungan penuh. Hubungan Indonesia dengan Sri Lanka pun bisa dilacak jauh ke belakang. Artinya, ada hubungan dekat di antara kedua negara. Demikian pula dengan Bangladesh.

Selain untuk mempererat hubungan, kunjungan Presiden itu juga menunjukkan simpati dan kepedulian, sekaligus bisa menarik manfaat, pelajaran dari kunjungan tersebut. Misalnya, kunjungan Presiden ke Afghanistan. Kita tahu Afghanistan, negeri yang hingga sekarang ini masih harus berjuang keras menyelesaikan persoalan dalam negeri untuk membangun persatuan, saling pengertian antarsuku, antarkelompok, antarklan, dan antar-aliran.

Afghanistan bisa dijadikan pelajaran sangat berharga. Bahwa pertikaian dalam negeri—apa pun alasan dan sebabnya, entah itu agama, suku, ras, ataupun etnik serta politik—hanya akan menghancurkan negeri. Konflik karena alasan SARA akan sangat sulit diselesaikan. Indonesia adalah negeri majemuk, plural baik dari suku, agama, ras, etnis, maupun golongan. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk terus memelihara persatuan dan kesatuan, toleransi, saling pemahaman dan pengertian, serta saling menghormati untuk memelihara keutuhan negara ini.

Kita sangat bersimpati kepada Afghanistan dan memberikan dukungan untuk menyelesaikan persoalan mereka. Kita juga berharap persoalan mereka segera selesai. Pada saat yang bersamaan, kita juga harus belajar dari tragedi Afghanistan

Kompas, 31 Januari 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tajuk Rencana: Meninjau Dana Otonomi (Kompas)

Distribusi bantuan makanan obat-obatan dan tenaga medis mulai disebar ke puskesmas di delapan distrik yang terdiri 28 kampung dari Distrik Agats, Kabupaten Asmat, Papua, Minggu (28/1). Tenaga medis dan dokter akan melayani di kampung-kampung selama lima hari dengan membawa bantuan makanan, vaksin dan obat di wilayah yang belum terjangkau selama ini.
P RADITYA MAHENDRA YASA

Distribusi bantuan makanan obat-obatan dan tenaga medis mulai disebar ke puskesmas di delapan distrik yang terdiri 28 kampung dari Distrik Agats, Kabupaten Asmat, Papua, Minggu (28/1). Tenaga medis dan dokter akan melayani di kampung-kampung selama lima hari dengan membawa bantuan makanan, vaksin dan obat di wilayah yang belum terjangkau selama ini.

Serial ungkapan fakta di harian ini tentang bencana kesehatan di Agats memaksa sejumlah elite berpikir dan mengintrospeksi diri. Apa yang salah dengan Papua?

Dana alokasi khusus untuk Papua mencapai Rp 5,5 triliun. Ditambah dengan alokasi dana infrastruktur Rp 2,4 triliun, dana itu hampir mencapai Rp 8 triliun. Jika masih ditambah dengan dana desa, alokasi anggaran untuk Papua bisa lebih besar lagi. Dengan alokasi dana sebesar itu, publik tersentak ketika membaca berita bahwa sudah 71 anak di Agats meninggal dunia karena gizi buruk dan campak. Banyak orang kaget dan mungkin juga geram melihat realitas itu.

Evaluasi penting sebagai alat untuk meninjau kebijakan selama ini. Namun, jika kita mau menelusuri berita sejenis dari tanah Papua, kita akan mendapati kisah-kisah serupa. Tahun 2005, harian Kompasjuga mengungkap tragedi gizi buruk di Yahukimo, Papua. Untuk menanggapi peristiwa Yahukimo tahun 2005 yang menewaskan 55 orang, harian ini menulis Tajuk Rencana berjudul "Kelaparan di Papua". Dalam alinea pertama TajukKompas, 13 April 2005, ditulis, "Pernyataan yang harus kita terima sangatlah menyesakkan. Para pejabat boleh berdalih, berita kelaparan yang mematikan 55 warga itu terlalu dibesar-besarkan." Laporan harian ini tahun 2005 disangkal oleh elite Jakarta dan dianggap terlalu membesar-besarkan.

Kita bersyukur sikap pejabat di Jakarta berubah pada 2018. Jika pada 2005 masih ada penyangkalan, bencana kesehatan di Agats pada Januari 2018 diterima sebagai realitas. Bantuan dimobilisasi. Operasi kemanusiaan TNI/Polri digelar untuk membantu saudara-saudara kita di Agats, Asmat, Papua. Kebijakan ditinjau. Kita apresiasi sikap mental seperti itu.

Dana Otonomi Khusus Papua mengalir besar. Namun, kita sependapat bagaimana memastikan pemanfaatan dana itu sesuai dengan alokasinya. Apakah anggaran untuk kesehatan dan pendidikan sudah dialokasikan sesuai dengan yang ditetapkan? Di sini peran pendampingan dibutuhkan untuk memastikan pengalokasian tersebut.

Masalah di Agats memang kompleks. Medan berat. Tak ada jalan darat selain sungai. Ketergantungan pada hujan dan air pasang amat tinggi. Infrastruktur terbatas. Kehidupan warga jauh dari hidup sehat. Mencari sinyal untuk komunikasi telepon adalah seni tersendiri. Pola hidup masyarakat, yang menurut Uskup Agats Aloysius Murwito masih seminomaden, menjadi faktor tersendiri. Air bersih yang mengandalkan tampungan air hujan sangat bergantung pada cuaca. Makanan pokok sagu mulai beralih ke beras, terlepas dari kualitas beras yang ada. Itu, antara lain, sejumlah tantangan yang dihadapi.

Dana Otsus bisa ditinjau ulang, terutama pada alokasi penggunaannya, tetapi pendampingan terhadap birokrasi perlu dilakukan. Perlu ada aksi jangka panjang—yang tentunya tidak mudah—untuk membawa warga di Agats dalam habitus baru yang lebih sehat. Di sinilah dibutuhkan kajian komprehensif dengan melibatkan warga setempat untuk mencari solusi bersama sehingga kejadian di Agats 2018 tidak kembali terulang. Selain evaluasi dana Otsus, Agats juga membutuhkan sukarelawan

Kompas, 31 Januari 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Partisipasi Pilkada dan Pemilih Milenial (ALI RIF'AN)

TOTO SIHONO

  

Komisi Pemilihan Umum mematok target kenaikan 3,5 persen terkait partisipasi pemilih pada pilkada serentak 2018: dari sebelumnya 74 persen jadi 77,5 persen. Target ini dinilai realistis jika melihat angka kenaikan partisipasi pilkada sebelumnya yang tidak lebih dari 4 persen. Partisipasi pilkada serentak 2015 tercatat 70 persen, sedangkan dalam gelaran Pilkada 2017 mencapai 74 persen.

Target angka 77,5 persen tentu tidak terlalu istimewa lantaran sama dengan target partisipasi Pilkada 2015 dan 2017. Padahal, dibandingkan Pilkada 2015 dan 2017, Pilkada 2018 merupakan perhelatan terbesar karena melibatkan 171 daerah dengan rincian 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota.

Bukan hanya itu, di antara 17 provinsi yang menggelar pilkada, lima di antaranya merupakan provinsi "babon" dengan jumlah pemilih paling tambun: Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Apabila dikalkulasi, akan ada sekitar 160 juta pemilih yang terlibat dalam kontentasi elektoral 2018. Itu jauh lebih tinggi dibandingkan Pilkada 2015 (diikuti 269 daerah) yang jumlah pemilihnya 96 juta dan Pilkada 2017 (diikuti 101 daerah) jumlah pemilihnya hanya 41 juta.

Dengan bobot pilkada yang tinggi itulah, kita berharap target partisipasinya juga tinggi. Karena itu, saya lebih sepakat dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menginginkan target partisipasi di atas 78 persen. Mengapa?

Pertama, tingginya target partisipasi merupakan bentuk optimisme penyelenggara pemilu. Ini penting sebagai bentuk tanggung jawab dalam menyukseskan hajatan pilkada. Sebuah pemilu disebut berdaulat ketika terjadi peningkatan jumlah partisipasi pemilih. Artinya, tingginya angka partisipasi jadi barometer suksesnya sebuah hajatan demokrasi. Ini sejalan pandangan Robert Dahl (1994) bahwa partisipasi merupakan hal pokok dari dimensi demokrasi.

Kedua, partisipasi pilkada serentak 2018 merupakan tangga menuju partisipasi di Pemilu 2019 (pemilu legislatif dan pemilu presiden). Sebab, dalam perhelatan Pilkada 2018, kontestasi elektoral akan terkuras sekitar 68,3 persen dari jumlah daftar pemilih tetap. Tingginya partisipasi di Pilkada 2018 bisa jadi "mesin pemanasan" menuju Pemilu 2019. Artinya, kerja- kerja penyelenggara pemilu dalam upaya meningkatkan partisipasi hajatan demokrasi 2019 akan lebih ringan karena sudah "dicicil" di Pilkada 2018.

Pemilih milenial

Memang, seperti diutarakan penyelenggara pemilu, salah satu kendala dalam meningkatkan angka partisipasi Pilkada 2018 adalah soal keberadaan pemilih milenial. Pasalnya, pemilih dari kelompok ini cenderung alergi terhadap politik. Ini terkonfirmasi dari temuan survei LitbangKompas pada 25-27 Oktober 2017, yang menyebutkan hanya 11,8 persen generasi milenial yang mau menjadi anggota partai, sebanyak 86,3 persen tidak bersedia, dan sisanya 1,9 persen mengatakan tidak tahu.

Padahal, merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), diprediksi pemilih milenial pada Pilkada 2018 sekitar 35 persen. Pemilih milenial di sini adalah mereka yang lahir dalam rentang 1981- 1999 (Pew Research Center, 2010). Dalam konteks perilaku pemilih, kelompok ini tergolong jenis pemilih rasional (kritis). Mayoritas mereka pengguna media sosial dan melek informasi. Survei CSIS pada Agustus 2017 menyebutkan, sebanyak 81,7% generasi milenial pengguna Facebook, 70,3% menggunakan Whatsapp, dan 54,7% memiliki Instagram.

Pertanyaannya, apakah pola pikir kelompok milenial terkait partisipasi ini bisa diubah? Milbrath dan Goel (1997) membedakan partisipasi politik jadi tiga kelompok. Pertama, kelompok apatis, yakni mereka yang alergi terhadap politik, bahkan menarik diri dari proses politik yang ada. Kedua, kelompok spektator, yakni mereka yang kurang tertarik dengan politik, tetapi masih kerap menggunakan hak pilihnya. Ketiga, kelompok gladiator, yakni yang sangat aktif di dalam politik (seperti aktivis partai, pekerja kampanye, dan aktivis organisasi).

Apabila merujuk pada piramida partisipasi politik di atas, pemilih milenial memang cenderung masuk pada kelompok apatis. Namun, apatisme pemilih milenial di sini bukanlah apatis buta dan sempit. Pemilih milenial lebih tepat disebut sebagai kelompok "apatis yang kritis". Mereka lebih suka berpartisipasi dalam bentuk non- konvensional, karena memaknai partisipasi politik tidak hanya dalam arena pemilu.

Laporan Litbang Kompas berjudul "Politik ala Generasi Muda" (Kompas, 28/10/2017), misalnya, pernah mengulas fenomena ini. Disebutkan bahwa generasi milenial lebih suka melakukan partisipasi yang terkait langsung dengan kepentingan masyarakat, seperti keterlibatan mereka dengan cara-cara unik dalam pengambilan kebijakan pemerintah.

Sebagai contoh, melalui situs change.org, generasi milenial kerap memobilisasi dukungan dan memengaruhi pengambil keputusan-keputusan penting di negeri ini. Perlawanan hak angket DPR terhadap KPK pada April 2017, misalnya, telah menembus 47.868 pendukung. Begitu pula desakan untuk mengesahkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual, juga mendapat pendukung sangat tinggi, yakni 89.452 pendukung.

Kondisi ini menunjukkan kelompok milenial tidak lantas alergi sepenuhnya terhadap politik. Mereka sejatinya memiliki ketertarikan, tetapi diekspresikan dengan gaya berbeda. Dengan kata lain, pemilih milenial sebenarnya punya potensi besar untuk digeser dari "kelompok apatis" menuju "kelompok spektator" dan bahkan "kelompok gladiator".

Untuk menggesernya, salah satu prasyarat yang perlu dipenuhi adalah bahwa Pilkada 2018 harus mampu menyajikan kandidat sesuai selera dan harapan mereka. Sebutlah seperti sosok yang bersih, muda, berprestasi, dan punya rekam jejak yang baik. Di sini, sang kandidat dituntut mampu menyuguhkan program-program yang langsung menyentuh aspirasi dan kepentingan kelompok milenial.

Ali Rif'an Direktur Riset Monitor Indonesia

Kompas, 31 Januari 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ARTIKEL OPINI: Pilkada dan Independensi Organisasi Guru (ARI KRISTIANAWATI)

TOTO SIHONO

  

Tahapan pilkada serentak telah dimulai dengan pendaftaran bakal calon pasangan kepala daerah. Itu akan berlanjut kepada tahapan yang lebih krusial dengan melibatkan dukungan massa secara riil.

Berbagai kandidat calon kepala daerah beserta pasangan telah mengatur strategi menggalang dukungan masyarakat. Dukungan masyarakat itu tergabung dalam ormas, paguyuban, perhimpunan atau serikat.

Organisasi yang memiliki keanggotaan dalam jumlah besar menjadi incaran para kompetitor pilkada untuk dijadikan basis dukungan melalui kontrak politik. Kontrak politik yang muatannya mengakomodasi aspirasi dan usulan organisasi tersebut dengan imbalan mengerahkan anggotanya untuk memilih kompetitor pilkada tertentu.

Salah satu organisasi besar yang punya ikatan identitas dan solidaritas kolektif adalah organisasi guru. Organisasi guru dalam perhelatan momen elektoral, seperti pemilu presiden (pilpres), pemilu legislatif (pileg), dan pilkada, sering mendapat tawaran kontrak politik. Bahkan, ada organisasi guru yang dalam momentum pilpres kelihatan arah dukungan politik kepada capres tertentu. Arah dukungan politik yang dikondisikan oleh elite organisasi guru yang dijanjikan jabatan strategis di pemerintahan.

Organisasi guru saat ini tak hanya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang jumlah anggotanya jutaan orang dan memiliki struktur organisasi sampai tingkat kecamatan, bahkan satuan kerja di sekolah negeri dan swasta. Ada juga organisasi guru di luar PGRI yang juga eksis dalam menjalankan kiprahnya, yakni Ikatan Guru Indonesia, Federasi Serikat Guru Indonesia, Federasi Guru Independen Indonesia, dan lainnya.

Organisasi guru memang menarik minat politisi dan calon kepala daerah untuk diajak kerja sama politik dalam agenda pilkada. Organisasi guru dianggap sebagai kekuatan politik dengan basis massa yang riil yang memiliki pengaruh di kalangan pemilih pemula (siswa) dan masyarakat. Guru harus diakui masih menjadi sosok sosiokultural yang pendapatnya memiliki daya persuasi bagi masyarakat, sehingga ketika guru dan organisasi guru menjatuhkan pilihan politik pada kontestan pilkada tertentu, akan mampu memengaruhi persepsi, opini, dan pilihan politik kelompok masyarakat yang lain.

Soliditas organisasi guru dalam memenangkan tokoh tertentu dalam panggung demokrasi elektoral sudah teruji. Organisasi guru seperti PGRI sukses mengantarkan ketua umum PGRI menjadi anggota DPD. Organisasi guru juga signifikan dalam menggalang dukungan suara untuk tokoh tertentu dalam momentum elektoral semacam pilgub, pilpres, dan pileg. Meskipun upaya penggalangan dukungan tidak dilakukan secara terang-terangan, sinyal kontrak politik yang dijalin oleh organisasi guru cukup menjadi petunjuk arah pilihan politik para guru.

Tak etis

Secara etika organisasi profesi guru tidak etis terjebak dalam ikatan politik praktis. Organisasi guru bukan organisasi politik partisan, melainkan organisasi profesi dengan label kesamaan identitas yang memiliki visi-misi dan filosofi yang berbeda dengan organisasi yang lain. Apalagi organisasi profesi guru yang anggotanya mayoritas berstatus aparatur sipil negara (ASN) adalah tak boleh melakukan kegiatan politik praktis. ASN, sesuai UU dan peraturan, tak boleh terlibat dalam kegiatan politik praktis.

Lantas apa untungnya organisasi guru berpolitik? Organisasi guru tidak akan mendapatkan keuntungan ketika cawe-cawe atau terlibat dalam agenda pilkada, pileg, atau pilpres. Yang untung  adalah elite pengurus organisasi guru yang jelas dijanjikan jabatan, posisi, dan materi. Bagi anggota organisasi guru, mereka tidak mendapatkan keuntungan ekonomis, politis, ataupun posisi strategis. Toh, harus diakui, kesejahteraan guru saat ini sudah lumayan baik semenjak diterapkan program sertifikasi dan remunerasi ala daerah.

Para guru memang sebaiknya bersikap netral. Para guru bisa menyalurkan hak pilih kepada kontestan pilkada yang dianggap memiliki program bagus. Namun, organisasi guru tidak boleh melakukan politisasi kebijakan atau keputusan organisasi untuk mendukung kontestan tertentu dalam pilkada. Sangat disayangkan jika organisasi guru berpolitik praktis dengan menggunakan label legitimasi anggotanya.

Independensi dalam agenda elektoral seperti pilkada jauh lebih berguna bagi organisasi guru. Organisasi guru jika ingin mengajukan usulan program dan gagasan bisa diserahkan sebagai "petisi" atau aspirasi kepada seluruh kontestan di dalam momen pilkada. Penting bagi organisasi guru untuk menjaga soliditas internal yang terbebas dari hasrat politik praktis. Organisasi guru harus mampu menempatkan diri sebagai kekuatan penekan (the pressure group) terhadap kebijakan pendidikan yang tidak sejalan dengan amanat konstitusi. Demikian organisasi guru menjadi kekuatan acuan (the reference group) untuk mengembangkan visi-misi, etika, dan rencana aksi keprograman di bidang pendidikan yang berkualitas.

Menjadi kekuatan penekan dan kekuatan acuan, organisasi guru harus menjaga jarak dengan kepentingan politik partisan. Namun, organisasi guru tetap mengajukan resolusi keprograman untuk dijadikan bahan (input) kebijakan politik pendidikan para calon kepala daerah.

Ari Kristianawati  Guru SMAN 1 Sragen

Kompas, 31 Januari 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Suara Kepada Redaksi: Suara Warga Jatibaru//Masih Ditagih (Kompas)


Suara Warga Jatibaru

Setelah Gubernur DKI Anies Baswedan menutup Jalan Jatibaru, Tanah Abang, per 22 Desember 2017, kami selaku warga Jatibaru sudah menyampaikan keluhan dan usul lain kepada Pemerintah Provinsi DKI. Sejauh ini pemprov terkesan tidak peduli dengan keluhan kami.

Mengapa gubernur mengambil keputusan menutup jalan tersebut meski jelas melanggar Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004? Apakah ini contoh baik dari seorang pemimpin kepada warga? Kepentingan siapa yang dibela: pedagang kaki lima, pejalan kaki, atau pihak lain? Saat ini jalan itu penuh dengan pedagang kaki lima dan kotor karena sampah bertebaran di mana-mana.

Mengapa jalan raya yang dikorbankan? Pernahkah Gubernur Anies memikirkan betapa pengguna kendaraan bermotor harus berputar mencari jalan alternatif untuk mencapai tujuan di kota yang serba macet ini?

Apa pula di benak Gubernur Anies Baswedan tentang perasaan penumpang kendaraan umum yang tadinya melintasi jalan itu mencari nafkah, warga yang punya usaha dan menjalankan aktivitas dengan mengandalkan jalan itu, pasien yang diangkut ambulans yang mestinya melalui jalan itu sebagai jalan terpendek untuk mencapai rumah sakit, petugas pemadam kebakaran yang harus melintasi jalan itu ketika kebakaran terjadi?

Apakah tak ada tempat bagi pedagang kaki lima selain trotoar dan jalan raya? Bukankah sudah ada pasar Blok G? Selama pemprov memberi fasilitas di pasar Blok G dan disiplin menertibkan kendaraan bermotor dan trotoar, seharusnya kesemrawutan tak akan terjadi.

Terima kasih untuk DPRD, Polda, Masyarakat Transportasi Indonesia, dan pihak lain yang sudah membantu kami menyampaikan keluhan warga. Sayang, sejauh ini belum ada tanggapan Gubernur DKI Anies Baswedan.

Muliyadi
Tanah Abang, Jakarta Pusat

 

Masih Ditagih

Saya menutup kartu kredit platinum dari Bank Danamon, 4 Desember 2017, via call centre. Nomor kartu 4324 4921 4756 9xxx, dan diterima Bp Hero dengan nomor laporan 1A7865.

Sebelumnya, saya melunasi tagihan di kasir. Penutupan berlangsung di layanan pelanggan (CS) Bank Danamon di HR Mohammad, Surabaya, yang menyambungkan ke call centre.

Betapa terkejutnya, pada 21 Desember 2017 saya menerima tagihan via e-mail, ada pembelanjaan Rp 54.500.000 pada 6 Desember 2017 dengan keterangan Cahaya Jaya MBL. Selain itu ada juga tagihan cicilan pertama dari 36 cicilan @ Rp 2.380.439, juga ke Cahaya Jaya MBL. Semua di atas limit kartu yang ditutup, Rp 18 juta.

Pada 22 Desember 2017, saya ke Bank Danamon di HR Mohammad, Surabaya, tempat saya melunasi dan menutup kartu. Oleh CS ibu Endah, saya disambungkan kecall centre dengan Ibu Kifa. Setelah dicek, ternyata memang ada kesalahan dari agen Hello Danamon sehingga kartu saya masih aktif dan kesalahan memasukkan tagihan ke kartu saya.

Pihak call centre meminta maaf dan saya diberi nomor laporan 1L325. Butuh lima hari kerja untuk menyelesaikan.

Pada 27 Desember 2017, saya meneleponcall centre, diterima Ibu Dera. Ia juga menyatakan ada kesalahan di pihak Danamon dalam meng-input nomor kartu. Seharusnya transaksi Cahaya Jaya MBL bukan transaksi saya, dan ia mohon maaf atas kesalahan input itu. Janji koreksi dalam empat4 hari kerja, setelah itu baru bisa ditutup. Nomor laporan 1N3555.

Bolak-balik saya menelepon, tidak ada solusi. Baru setelah saya menelepon pada 15 Januari 2018 dikabarkan bahwa tagihan Rp 54.500.000 sudah dinolkan. Namun, tagihan cicilan masih ada dan menjadi Rp 4 juta lebih, katanya itu cicilan dan penalti.

Saya disuruh menelepon lagi 17 Januari, lalu 18 Januari. Hal ini membuat saya merasa dipermainkan karena proses koreksi tidak dilakukan dengan benar. Saya tidak hanya tidak dapat menutup kartu, tetapi juga dirugikan dari segi waktu, tenaga, pikiran, dan materi.

Leony Sinarta Tan
Jl Darmo Harapan Utara,

Surabaya

Kompas, 31 Januari 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Selasa, 30 Januari 2018

ARTIKEL OPINI: “Bitcoin” Memang Bikin Ribet (J SOEDRADJAD DJIWANDONO)

KOMPAS/DIDIE SW

.

Dari yang tersurat di media cetak tampaknya "bitcoin" dan sejenisnya —uang-uang digital atau virtual/"cryptocurrencies"—memang bikin ribet. Pernyataan berbagai ahli dan otori- tas finansial masih me- nunjukkan beragamnya pendapat dan sikap yang mengisyaratkan belum adanya kesatuan pendapat tentang arti dan kaitannya.

Di Indonesia, otoritas terkait tampaknya juga belum menjadi satu dalam pendapat mereka mengenai bitcoin dan uang digital lainnya itu, seperti dilaporkan dalam pemberitaan. Bank Indonesia pada Desember 2017 membuat pernyataan yang menekankan tak mengakui bitcoin dan uang digital lain sebagai alat pembayaran karena bertentangan dengan ketentuan perundangan yang berlaku, terutama Pasal 34 Peraturan BI Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran.

Demikian pula tersirat bahwa BI tak mengakui bitcoin dan uang digital lain sebagai obyek perdagangan karena dinilai mengandung risiko terlalu besar dan untuk menjaga persaingan usaha serta memberikan perlindungan konsumen. Pernyataan yang disampaikan Gubernur BI Agus Martowardojo itu ditegaskan kembali baru-baru ini oleh Kepala Departemen Komunikasi BI Agusman Zainal.

Di pihak lain, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) sedang melakukan studi untuk menentukan apakah akan mengizinkan atau tidak perdagangan bitcoin di bursa komoditas berjangka. Jadi, otoritas moneter kita mengatakan bahwa bitcoindan mata uang-mata uang digital lain bukan aset finansial dan bukan alat pembayaran. Sementara Bappebti belum memutuskan apakah akan menerima atau menolak perdagangan Bitcoin dalam bursa komoditas berjangka, atau statusnya sebagai instrumen investasi seperti aset finansial lain atau bukan. Karena itu, ada imbauan agar mereka menyamakan persepsi.

Kembali tentang bitcoin

Dalam tulisan tentang Bitcoin di Kompas(12/1/2017), saya menekankan perlunya membedakan dua macam arti dari bitcoin. Pertama, bitcoin sebagai salah satu mata uang digital/virtual atau crypto currency. Menurut Bloomberg, jumlah uang digital ada berkisar 600-900, dengan nilai sekitar 200 miliar dollar AS. Dalam arti ini biasa ditulis dengan huruf besar Bitcoin. IniBitcoin yang menjadi fokus pembahasan yang saya sebutkan tadi dan dalam tulisan ini.

Yang kedua bitcoin sebagai mata uang yang dikeluarkan/diciptakan oleh bekerjanya komputer menyelesaikan algoritma dalam blockchain. Atau bitcoindalam arti teknik penciptaan uang. Akan tetapi, bukan seperti yang kita kenal dikeluarkan oleh suatu pusat kekuasaan (bank sentral atau pemerintah), melainkan diciptakan oleh orang-orang yang dapat menjabarkan algoritma komputasiblockchain tersebut.

Pertama kali memang diciptakan oleh seseorang atau sekelompok orang, sebagaimana sampai sekarang secara umum disebutkan bitcoin diciptakan oleh seseorang yang menyebut diri Satoshi Nakamoto meskipun ada versi cerita yang lain. Tetapi, ciptaan yang dituliskan secara sandi dalam algoritma komputasi untuk suatu jumlah tertentu ini dimasukkan (upload) dalam suatu laman (web site) dan orang lain boleh menjabarkannya untuk ikut menjadi pemilik bitcoin. Kegiatan menyelesaikan algoritma komputasi ini dinamakan mining, seperti menambang untuk memperoleh emas atau yang lain.

Antar-mereka yang berhasil menambang ini dapat dilakukan pemindahtanganan, transfer kepemilikan secara sangat transparan antar-mereka karena semua transaksi dicatat dalam suatu catatan,ledger, semacam buku besar/neraca dalam akunting, yang disebut sebagai blockchain. Karena semua transparan, bitcoinmempunyai sifat seperti uang, yaitu ada kepercayaan semua yang menggunakannya.

Jadi seperti uang konvensional yang mempunyai nilai nominal sebagai disebutkan di dalamnya, satu dollar, seratus dollar, seratus ribu rupiah, dan sebagainya. Nilai nominal tersebut diterima masyarakat semata-mata atas dasar kepercayaan (fiat) bahwa uang itu mempunyai daya beli sebesar nilai nominal yang tertera dalam uang karena orang mempunyai kepercayaan terhadap yang mengeluarkannya (bank sentral atau pemerintah).

Bedanya dalam hal bitcoin, ada yang mengeluarkan setelah ada yang menemukan, juga pihak-pihak lain yang melakukan mining, jadi ada desentralisasi dari penciptaan uang digital. Mereka semua percaya kepada bitcoin karena melalui pencatatan yang jelas terbaca semua yang ikut di dalamnya. Misalnya, dalam bitcoin tidak akan bisa dilakukan penggunaan lebih dari satu kali. Kalau A menjual sejumlah bitcoin kepada B, transfer kepemilikan itu tercatat di ledgeryang terbaca oleh semua sehingga tidak akan terjadi A menjual lagi bitcoin yang sudah bukan milik dia tadi kepada pihak lain. Jadi, unsur kepercayaan (fiat) dari uang terpenuhi pada bitcoin. Penciptaan awal ini juga dilakukan melalui apa yang disebutkan sebagai Initial Currency Offering (ICO), seperti Satoshi Nakamoto pertama kali menciptakan bitcoin.

Syarat utama sesuatu bisa digunakan sebagai uang sebagai alat tukar adalah bahwa sesuatu itu diterima semua pihak, mempunyai nilai seperti yang disebutkan dalam nominalnya. Sebelum adanya uang kertas, banyak negara menggunakan logam mulia, emas, dan perak karena orang memercayai nilai logam terebut. Karena yang diperlukan adalah faktor kepercayaan, waktu dikenal uang kertas, fiat timbul dari kepercayaan masyarakat terhadap yang mengeluarkannya, pemerintah atau bank sentral.

Uang kertas yang nilai nominalnya jauh lebih besar dari nilai intrinsiknya (nilai kertas dan gambar yang ada dalam uang) diterima masyarakat karena kepercayaan terhadap yang mengeluarkannya.

Dalam bentuk sebagai alat tukar atau alat investasi, bitcoin mempunyai nilai yang diukur dengan mata uang konvensional, berapa dollar atau pounds atau mata uang lain per unitnya. Nilai tersebut adalah virtual, hanya dalam akunting. Dan, hanya menjadi nyata kalau ditukar (dibeli atau diperdagangkan) dengan uang biasa. Larangan memperdagangkan, jual-belibitcoin, kalau bisa efektif jelas dapat menghilangkan nilai dan perannya sebagai alat tukar atau investasi.

Dalam tulisan saya tersebut, saya menyebutkan bahwa sebagai teknologi yang jauh lebih canggih untuk menghadapi makin maraknya kejahatan keuangan dengan sandi (crypto crimes), bitcoinmerupakan inovasi yang memberikan harapan pada peningkatan pengamanan keuangan. Adapun bitcoin sebagai salah satu uang digital untuk alat pembayaran atau investasi harus dimengerti dahulu arti dan implikasinya sampai tuntas untuk dapat menentukan secara efektif, menerima atau tidaknya. Kalau memang dianggap berbahaya untuk kestabilan atau lebih banyak jeleknya daripada baiknya harus dilarang dengan cara yang cerdik, yang efektif dapat diterapkan untuk mencapai sasaran.

Pengaturan uang digital yang efektif

Kalau kita masih kurang jelas mengenai uang digital apakah bitcoin atau yang lain dan bedanya dengan teknologi blockchain, sebenarnya kita tidak sendirian. Dari yang dapat disimak di media tentang apa yang dilakukan oleh berbagai otoritas di sejumlah negara, ternyata memang belum ada keseragaman. Karena itu, imbauan Bhima Yudistira Adhinegara, ekonom Institute for Development Economics and Finance (Indef), baru-baru ini agar Bappebti dan Bank Indonesia menyamakan persepsi mereka memang beralasan.

Dari yang dapat disimak di media, sejak tahun lalu waktu nilai bitcoin meningkat luar biasa dalam periode kurang dari satu tahun, kemudian anjlok luar biasa pula, tampak ada kecenderungan bahwa otoritas moneter dan finansial atau pemerintah di banyak negara kalaupun tidak melarang perdagangan bitcoin minimal mengurangi atau membatasi. Ini antara lain dikemukakan oleh Paul Mampilly, seorang ahli finansial dalam suatu analisisnya minggu lalu, "Governments Crack Down on Cryptocurrencies" dalam Currency(11/1/2018).

Secara singkat, Financial Industry Regulatory Authority (Finra), otoritas pengaturan industri finansial di AS, mengumumkan akan memfokuskan pengaturan finansial untuk uang digital/cryptocurrencies. Pemerintah China mengumumkan akan mengeluarkan aturan untuk mengakhiri kegiatan penambangan atau miningbitcoin. Pemerintah Korea mulai mengharuskan mereka yang melakukan perdagangan dan menggunakan bitcoin menyebutkan nama mereka dengan jelas.

Pemerintah India memerangi perdaganganbitcoin dengan membatasi dana yang dipergunakan mereka yang memperdagangkannya. Bank Negara Malaysia tidak mengakui bitcoin. Perancis menghancurkan jaringan bitcoin, Jepang menyatakan bitcoin bukan mata uang, dan seterusnya. Ini untuk memberikan gambaran pernyataan atau pengaturan yang membatasi atau melarang bitcointadi.

Saya sependapat dengan pesan Paul Mampilly dalam tulisan tersebut yang menunjukkan bahwa yang tampaknya paling efektif menekan bahkan membasmi perdagangan bitcoin dan uang digital ataucryptocurrencies lain, kalau telah pasti untuk dilarang atau dibatasi, adalah melalui tindakan untuk memutuskan hubungan bitcoin dan sejenisnya dengan rupiah (dan mata uang lain)

Tetapi, apa itu maknanya dan bagaimana caranya? Di atas saya sebutkan bahwa transaksi bitcoin dan uang digital lain, atau apa pun komoditas yang diperdagangkan, mempunyai nilai yang bisa dinyatakan dalam uang biasa. Akan tetapi, nilai itu hanya dalam perhitungan akunting, atau virtual, dan hanya menjadi nyata pada waktu dilakukan pembayaran atas transaksi tersebut. Artinya, waktu pemindahan hak milik itu dibarengi atau diikuti dengan penyerahan uang sebagai pembayarannya sebesar nilai akunting tadi.

Selama belum diuangkan, semua hanya dalam perhitungan. Jadi, nilai akunting/virtual tersebut tidak akan menjadi kenyataan kalau pertukaran dengan uang biasa dicegah terjadinya melalui larangan yang merupakan hak otoritas—pemerintah atau bank sentral—untuk melakukannya.

Satu kilogram emas logam mulia mempunyai nilai sekian juta dollar AS atau miliar rupiah. Tetapi, kalau ada larangan menukar emas tersebut dengan uang, ya, nilainya tetap 1 kilogram emas tadi. Bitcoinyang hanya suatu data dalam komputer, selama tidak bisa ditukar hak kepemilikannya dengan uang, ya, tetap data atau informasi saja, nilai uangnya tidak ada atau nol. Pengaturan demikian, menurut saya, yang paling tepat dan efektif untuk merealisasikan sikap tidak mengakui bitcoin dan uang digital lain sebagai alat investasi, sebagai aset finansial, dan karena itu juga sebagai alat tukar atau alat pembayaran.

J Soedradjad Djiwandono

Guru Besar Ekonomi Emeritus UI dan Profesor Ekonomi Internasional, RSIS, Nanyang Technological University, Singapura

Kompas, 30 Januari 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger