Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 31 Desember 2015

TAJUK RENCANA: Langkah Kompromi Iran (Kompas)

Kepala Organisasi Energi Atom Iran (AEOI) Ali Akbar Salehi mengonfirmasi pengiriman 11 ton uranium yang diperkaya ke Rusia sesuai kesepakatan Juli.

Pengiriman itu seolah membayar lunas keraguan masyarakat internasional terhadap Iran dan gambling yang dilakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama. Mengomentari pengapalan uranium Iran untuk dikirim ke Rusia, Senin lalu, Menteri Luar Negeri AS John Kerry menyatakan, langkah itu sangat signifikan untuk memenuhi komitmen Iran.

Kesepakatan nuklir terkait Iran ditandai dengan diadopsinya Rencana Komprehensif Aksi Bersama (JCPOA) yang ditandatangani AS, Rusia, Inggris, Tiongkok, Perancis, dan Jerman. Di bawah payung JCPOA, sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap Iran dicabut.

Kompensasinya, Iran menerima pembatasan jangka panjang semua program nuklirnya. Berdasarkan kesepakatan ini, Iran hanya dibolehkan memiliki 300 kilogram uranium yang diperkaya pada tingkat rendah dan mencopot dua pertiga alat sentrifugal yang terpasang. Jika memenuhi semua komitmen itu, Iran tak akan lagi menjadi bagian dari negara nuklir. Iran hanya memiliki sedikit bahan bakar nuklir dan tidak memungkinkannya membuat persenjataan nuklir.

Kita memuji langkah Iran. Sebagai negara besar di kawasan Timur Tengah dan punya sejarah panjang, selama ini Iran ingin tampil dominan. Dengan hampir seluruh penduduk menganut paham Syiah, Iran menjadi satu-satunya negara di kawasan itu yang secara langsung berhadapan dengan kelompok radikal Sunni. Kehadiran Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) membuat Iran makin kerepotan. Tidak heran jika Iran harus berdamai dengan Barat yang juga merasa direpotkan oleh hadirnya NIIS. Di titik inilah, Iran mau bersepakat dengan Barat.

Menghadapi ancaman di depan mata bagi Iran lebih penting daripada berkonfrontasi dengan Barat. Sanksi PBB dan Barat selama ini membuat ekonomi Iran tidak berkembang optimal. Kehadiran Iran di kawasan mana pun di dunia selalu mendatangkan kecurigaan. Perubahan pola hubungan internasional Iran juga sejalan dengan Musim Semi Arab, yang secara perlahan tetapi pasti mulai mengubah peta politik di kawasan Timur Tengah. Musim Semi Arab ini juga mengkhawatirkan para pemimpin Iran untuk tetap mempertahankan dominasi di kawasan.

Namun, terlepas dari apa pun alasan Iran untuk mengurangi pengayaan nuklirnya, kita menyambut gembira. Iran sebagai negara besar di kawasan, baik dari jumlah penduduk maupun wilayah, bisa tetap tampil dominan jika perekonomian negaranya berkembang baik. Selain dalam politik, kita berharap Iran mau mengalihkan kemampuan teknologi nuklir yang sudah dikuasai untuk kesejahteraan warganya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Desember 2015, di halaman 6 dengan judul "Langkah Kompromi Iran".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Semangat Baru Lawan Korupsi (Kompas)

Peresmian gedung baru Komisi Pemberantasan Korupsi harus dijadikan momentum untuk melahirkan semangat baru melawan korupsi.

Semangat baru untuk melawan korupsi itu bukan hanya harus ditunjukkan oleh pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru terpilih, melainkan juga oleh institusi-institusi lain di jajaran pemerintahan Presiden Joko Widodo. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Mahfud MD, Selasa (29/12), mengatakan, dukungan pemerintahan itu penting karena DPR sulit diharapkan.

Mahfud MD, dalam kesempatan itu, juga mengingatkan bahaya yang mungkin dihadapi KPK apabila kasus korupsi yang coba diungkap berhubungan dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

Semangat untuk melawan korupsi harus terus diperbarui karena korupsi sungguh tidak mudah diberantas. Pada awal Orde Baru, Presiden Soeharto (1967-1998) membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK). Berbagai peraturan yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi pun telah dikeluarkan, tetapi korupsi di negara ini bukannya surut, malah berkembang biak dan menggurita. Aparat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan pun tidak berdaya memberantas korupsi. Bahkan, beberapa oknum di ketiga institusi itu terjerat di dalamnya.

Dengan mundurnya Presiden Soeharto, 21 Mei 1998, keinginan untuk memberantas korupsi bertambah besar. Pada saat yang sama, kepercayaan masyarakat terhadap institusi-institusi yang seharusnya menangani korupsi sangat rendah. Akhirnya, tahun 2002, pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004), didirikanlah KPK, lengkap dengan pengadilan tindak pidana korupsi yang terpisah dari peradilan umum.

Namun, seperti TPK, dalam menjalankan tugasnya, KPK menghadapi tentangan yang serius. Bahkan, KPK berulang kali harus menghadapi serangan dari berbagai pihak, termasuk DPR, yang berupaya melemahkan KPK, baik secara institusi maupun pimpinannya.

Sulit bagi kita untuk tidak memercayai bahwa dijadikannya Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (KPK kepengurusan 2011-2015) sebagai tersangka oleh Badan Reserse Kriminal Polri adalah balas dendam atas pemeriksaan yang dilakukan KPK terhadap pimpinan Polri.

Sebagaimana disebutkan di atas, memberantas korupsi sungguh tidak mudah. Akan tetapi, tidak mudah itu tidak berarti tidak mungkin dilakukan. Itu sebabnya, sekali lagi kita tegaskan bahwa gedung baru dan kepengurusan baru KPK harus melahirkan semangat baru untuk melawan korupsi.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Desember 2015, di halaman 6 dengan judul "Semangat Baru Lawan Korupsi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Sekali Lagi ”Yang Mulia”//Tanggapan Inhealth//Tanggapan Kemenpora//

Sekali Lagi "Yang Mulia"

Meski telah dikecam dan diolok-olok publik, anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) tetap mempertahankan sebutan "Yang Mulia" bagi diri mereka dari awal sampai berakhirnya sidang kasus Setya Novanto.

Sebenarnya keharusan menggunakan sebutan "Yang Mulia" diatur di Pasal 18 Ayat 3 Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan DPR RI. Peraturan itu berbunyi: "Pengadu, Teradu, Saksi, dan/atau Ahli wajib memanggil ketua dan anggota sidang dengan sebutan 'Yang Mulia' selama sidang."

Namun, peraturan DPR itu tidak bisa digunakan sebagai landasan hukum konstitusional karena bukan bagian dari peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Penggunaan sebutan "Yang Mulia" sangat tidak layak, karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kepribadian bangsa. Bahkan, sejak 1966 MPR(S) dalam Ketetapannya resmi mencabut sebutan tersebut.

Hal itu diatur dalam TAP MPR Nomor XXXI/MPRS/1966 tentang Penggantian Sebutan "Paduka Yang Mulia" (PYM), "Yang Mulia" (YM), "Paduka Tuan" (PT) dengan sebutan "Bapak/Ibu" atau "Saudara/Saudari".

Di bagian "Menimbang" disebutkan: Untuk mewujudkan kembali kepribadian bangsa secara konsekuen berdasarkan Pancasila dan mengikis sisa-sisa feodalisme serta kolonialisme, perlu Ketetapan MPRS penggantian sebutan "Paduka Yang Mulia", "Yang Mulia", "Paduka Tuan" menjadi "Bapak/Ibu" atau "Saudara/Saudari".

Pasal 1 berbunyi: Sebutan "Paduka Yang Mulia" (PYM), "Yang Mulia" (YM), "Paduka Tuan" (PT) diganti dengan sebutan "Bapak/Ibu" atau "Saudara/Saudari".

Dengan demikian, bukan hanya pada anggota MKD, sebutan-sebutan tersebut sudah tidak layak lagi dipertahankan pada kondisi apa pun dan kepada siapa pun, tetapi juga di sidang pengadilan biasa terhadap semua hakim.

Dalam korespondensi sehari-hari, sebutan "Kepada Yth" dalam surat-menyurat pun sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Jadi, sebaiknya diganti cukup dengan "Kepada" saja. Bukankah karena pertimbangan serupa Kompas juga telah lama mengganti nama rubrik "Redaksi Yth" dengan "Surat kepada Redaksi"?

DANIEL THIE, JALAN SATELIT INDAH, SURABAYA 60187

Catatan Redaksi:

Dengan ini pelbagai komentar tentang "yang mulia" diakhiri.

Tanggapan Inhealth

Kompas (5/12) memuat surat pembaca dari Bapak Marjan Manurung berjudul "Biaya Obat Tidak Diganti". Sehubungan dengan itu kami sampaikan hasil klarifikasi dengan Bapak Marjan, perusahaan tempat Bapak Marjan bekerja, rumah sakit yang merawat Bapak Marjan, dan Mandiri Inhealth.

Pertemuan berlangsung baik pada 7 dan 10 Desember 2015. Bapak Marjan dapat menerima penjelasan dari pihak rumah sakit dan Mandiri Inhealth.

Selanjutnya, bila ada pertanyaan atau masalah, dapat berkomunikasi dengan petugas kami di rumah sakit, kantor Mandiri Inhealth terdekat, layanan pelanggan Mandiri Inhealth 24 jam (021) 80662202, www.mandiriinhealth.co.id, surel customerservice@mandiriinhealth.co.id

FISABILLI DETTY FADILLA, CORPORATE SECRETARY PT ASURANSI JIWA INHEALTH INDONESIA

Tanggapan Kemenpora

Kami menyampaikan terima kasih atas masukan Saudara Aries Musnandar dalam surat pembaca di Kompas (Jumat, 11/12) yang berjudul "Kisruh PSSI Vs Pemerintah".

Pembentukan tim kecil merupakan langkah strategis penyelesaian masalah PSSI hasil komunikasi antara delegasi FIFA-AFC dengan Presiden di Istana Merdeka, Jakarta. Sampai saat ini, tim kecil masih menunggu konfirmasi dan klarifikasi dari FIFA.

Betul tim kecil mungkin saja menggunakan uang rakyat dari APBN, tetapi kami meyakini bahwa usulan tersebut juga untuk kemaslahatan dunia persepakbolaan Indonesia ke depan. Pemerintah tetap berpegang pada prinsip efisiensi anggaran dan berupaya maksimal menggunakan setiap sen uang rakyat.

AMAR AHMAD, HUMAS KEMENPORA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Desember 2015, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Revolusi Mental (FRANZ MAGNIS-SUSENO)

Menyongsong tahun baru, kita boleh bertanya: di mana revolusi mental yang sudah hampir dua tahun lalu dicetuskan?

Bahwa kita memerlukan suatu revolusi mental untuk keluar dari rawa mediokritas, kemalasan intelektual, kecengengan emosional, kedangkalan spiritual, kebrutalan dogmatisme, dan dari belenggu-belenggu prasangka dan kecurigaan yang menyandera bangsa sulit disangkal. Namun, di antara tantangan-tantangan yang kita hadapi, ada tiga yang menurut penulis ini harus kita hadapi.

Budaya kekerasan

Masyarakat kita penuh kekerasan. Senggol sedikit berantem. Tawuran, lawan yang sudah telentang di tanah malah dibacok. Pencuri dikeroyok. Pertemuan yang tak disukai dibubarkan oleh preman-preman yang membawa pentung. Beribadat "keliru", awas lu! Fansklub bola saingan diserang dengan pisau. Umat "aliran sesat" ramai-ramai diuber-uber dan dibunuh. Polisi dalam pemeriksaan secara rutin menyiksa orang. Selama 70 tahun sejarah Indonesia merdeka juga ditulis dengan darah, ditumpahkan oleh bangsa sendiri.

Lalu, yang paling memalukan, juga paling mengkhawatirkan: kekerasan atas nama agama. Memalukan karena dalam agama mutlak tak boleh ada paksaan. Mengkhawatirkan karena paksaan dalam agama berarti orang beragama itu sudah kemasukan setan.

Memakai kekerasan berarti tidak beradab. Beradab—kita boleh ingat sila kedua Pancasila—adalah bottom line, batas paling bawah pembawaan diri secara manusiawi. Orang yang terlibat kekerasan adalah orang yang belum beradab.

Mari kita bertanya: apa kita mau terus mengizinkan membawa diri secara tidak beradab? Bukankah sudah saatnya kita sepakat bersama bahwa kita memecahkan masalah antarkita tanpa kekerasan, selalu, secara prinsip? Demi harga diri kita sendiri sebagai bangsa yang beradab.

Bebas rasa takut

Ada yang betul-betul menyedihkan. Di antara kita masih ada orang-orang yang hidup dalam ketakutan. Mereka dibayangi ketakutan karena keyakinan religius dan ibadat mereka tidak disetujui orang lain!

Masa di negara Pancasila masih ada orang yang hidup dalam ketakutan karena keyakinan religiusnya? Bukankah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, konstitusi kita, menegaskan sebagai komitmen suci bahwa negara "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia"?

Bahwa di antara kita ada yang harus merasa takut karena keyakinan religius adalah amat memalukan bagi kita semua. Memang sangat memalukan kalau agama menakutkan dan mengancam. Orang beragama yang mengancam sudah kerasukan setan kesombongan dan kekerasan hati.

Mari kita mulai dengan revolusi mental. Revolusi dari kepicikan, rasa iri hati, kecurigaan, kesombongan, dan kekerasan hati ke sikap-sikap yang melindungi, membaiki, mengamankan. Para tokoh agama yang ditantang di sini: ditantang menunjukkan di mana mereka berdiri. Kita mesti menyepakati bahwa mulai sekarang tak perlu ada orang atau kelompok orang yang takut karena mereka mengabdi kepada Tuhan sesuai dengan apa yang mereka yakini.

Korupsi

Namun, ancaman terbesar terhadap integritas—ya, jati diri bangsa—adalah korupsi. Sebab, korupsi menggerogoti substansi etis bangsa. Orang korup tidak bisa membedakan lagi antara yang etis dan yang tidak etis. Bangsa yang tidak lagi tahu apa itu jujur mesti hancur.

Di bulan-bulan lalu, kelas politik memberi tontonan kepada seluruh bangsa yang teramat memalukan. Berhadapan dengan kelakuan yang terang-terang koruptif, mereka—daripada langsung mengutuknya—sepertinya sama sekali tidak menyadari kebusukannya dan langsung masuk ke business as usual, tawar-menawar, ancam-mengancam (misalnya pelapor), dan "peduli amat yang dipikirkan masyarakat". Saya setuju dengan pernyataan seorang sahabat bahwa sikap mereka tak lain merupakan suatu pengkhianatan.

Di alam budaya korup, kompetensi tidak bernilai. Yang mendapat proyek bukan yang kompeten, melainkan yang membayar lebih banyak. Pengaruh sikap itu terhadap masyarakat adalah mengerikan. Misalnya saja, seluruh dunia perguruan tinggi akan terpengaruh: mahasiswa tidak akan mencari kompetensi melalui studi serius, melainkan koneksi sebagai batu loncatan suatu karier yang menguntungkan. Menguaplah harkat intelektual bangsa.

Masyarakat sudah makin tidak percaya pada kelas politik. Usaha selama tahun lalu untuk mengebiri pemberantasan korupsi, persepsi luas bahwa keputusan pengadilan bisa dibeli, pendapat umum bahwa polisi adalah lembaga paling korup—jadi kriminal!—di negara kita, itu pun dengan impunity, mengancam kepercayaan masyarakat ke dalam kenegaraan kita yang berdasarkan Pancasila. Kita jangan heran kalau makin banyak orang muda muak dengan segala macam Negara Kesatuan Republik Indonesia alias NKRI, empat pilar, dan lain-lain. Lalu, mereka mencari sesuatu yang sama sekali baru, dan mengerikan, dalam ideologi-ideologi ekstremis dari luar, baik agamais maupun sekuler.

Sudah waktunya kita akhiri toleransi terhadap korupsi. Kelas politik harus merasakan bahwa kesabaran kita sudah habis. Masih ada harapan. Masih ada wakil rakyat dan pemimpin politik yang tidak mau korup, yang meyakini cita-cita bangsa. Sekarang waktunya untuk mulai. Revolusi mental jangan kita tunda terus.

FRANZ MAGNIS-SUSENO,

GURU BESAR SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DI JAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Desember 2015, di halaman 6 dengan judul "Revolusi Mental".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Reformasi Birokrasi Melalui ASN (MIFTAH THOHA)

Pertengahan Desember 2013 Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang dirancang oleh Komisi II DPR disahkan sidang pleno DPR.
DIDIE SW

Rancangan undang-undang (RUU) ini lama dibicarakan oleh pemerintah, hampir empat tahun, tetapi olehDPR hanya butuh waktu 6 bulan untuk membahasnya. Bahkan pernah pemerintah menolak RUU ini. Sekelompok aparat pemerintah daerah yang dimobilisasi oleh pejabat pemerintah pusat berdemonstrasi menolaknya. Seberapa jauhkah alotnya RUU ini, sehingga pemerintah begitu lama membahas dan menolaknya?

Dahulu, empat tahun lalu, inisiatif DPR menyusun RUU ini dibantu dua guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) di bidang ilmu administrasi negara dan dua guru besar Universitas Indonesia (UI) di bidang ilmu yang sama dan bidang ekonomi. UU ini dikenal dengan singkatan ASN (Aparatur Sipil Negara), sebagai UU tentang profesi bagi pegawai negeri sipil (PNS). Selain itu UU inisebagai salah satu wujud upaya reformasi birokrasi pemerintah yang selama ini patah-patah, tidak menyeluruh.

Selama republik ini berdiri, setiap pemerintahan membuat UU yang mengatur hal-ihwal PNS tak pernah menyebut profesi aparatur pegawai pemerintah itu apa. Yang diatur hanya perihal proses administrasi kepegawaian.Padahal, di dalam PNS itu ada banyak jabatan profesi, seperti jaksa, hakim, profesor, dokter, polisi, rektor, dan guru. Karena tidak diatur jenis profesinya, maka sistem, perilaku, sikap, dan tindak-tanduk PNS seakan-akan tidak punya kode etika sebagai pelayan publik yang diharapkan,

Reformasi birokrasi

Menurut catatan saya, salah satu masalah yang bisa menghalangi implementasi UU ASN oleh pemerintah dulu adalah gagalnya melaksanakan reformasi birokrasi pemerintah. UU ASN acapkali dikaitkan juga dengan upaya melakukan reformasi birokrasi pemerintah. Sebenarnya kalau kita berkehendak melakukan reformasi birokrasi, di awal pemerintahan Presiden BJ Habibie tahun 1999 telah diratakan jalan menuju ke arah reformasi tersebut. Namun, ternyata pemahaman tentang birokrasi pemerintah yang akan direformasi tak ada kesatuan paham. Oleh karena tidak ada kesatuan paham tentang apanya yang akan direformasi, upaya ke arah reformasi pun berbeda jalan dan hasilnya.

Mari kita amati beberapa sistem dan lembaga birokrasi pemerintah yang sudah tak sistemik dan berubah membingungkan. Kantor Kepresidenan, misalnya, tidak seperti biasanya dalam sistem administrasi negara kita. Ketika Presiden bertugas ke luar negeri melaksanakan tugas sebagai Kepala Negara, yang mendampingi dan yang mengurus administrasinya Sekretaris Kabinet, lalu Sekretaris Negara menjaga rumah di dalam negeri.

Dahulu, dalam sistem adminisrasi pemerintahada dua organisasi kesekretariatan karena jabatan Presiden sebagai Kepala Negara memerlukan kantor Sekretaris Negara, dan jabatan Presiden sebagai Kepala Pemerintah memimpin anggota kabinet perlu adanya kantor Sekretaris Kabinet. Dahulu kedua kantor itu cara kerja dan sistem kerjanya sangatjelas bedanya. Hierarkinya juga jelas, walau sama-sama sebagai menteri pembantu presiden. Selain itu, keduanya sangat berwibawa dalam menjalankan sistem administrasi negara kita.

Sebagai ilustrasi lagi, coba lihat struktur kelembagan kementerian yang sekarang berjalan tidak disentuh oleh evaluasi dan reformasi. Saya ambilkan contoh hasil penelitian saya (2014) pada lima kementerian.

Pertama, Kementerian Dalam Negeri. Susunan kementeriannya terdiri dari 11 eselon I ditambah 5 staf ahli. Direktorat jenderal (ditjen)-nya ada tujuh, dua badan, dan masing-masing satu sekretariat jenderal (setjen) dan inspektur jenderal (itjen). Kedua, Kementerian Pendidikan Nasional terdiri dari tujuh satuan organisasi eselon I, ditambah lima staf ahli; ada empat ditjen, tiga badan, satu setjen, dan satu itjen. Ketiga, Kementerian Pekerjaan Umum terdiri dari delapan satuan eselon I ditambah lima staf ahli. Keempat, Kementerian Agama terdiri dari 10 satuanorganisasi eselon I ditambah lima staf ahli. Kelima, Kementerian Sosial terdiri dari enam satuan organisasi eselon I ditambah lima staf ahli.

Dari satuan organisasi eselon I itu dibagi habis ke dalam satuan eselon II yang lebih besar lagi dan seterusnya. Ini menggambarkan satuan organisasi masing-masing kementerian bukan semakin hemat jika dibandingkan dengan organisasi masa Orde Baru. Padahal, kegiatan pembangunan dan pemerintahan waktu itu lebih kompleks dan besar, tetapi organisasai kementeriannya didukung oleh satuan organisasi lebih kecil dibandingkan saat ini.

Ini berarti pengaruh manajemen kepegawaian bukannya semakin kompeten dan netral, melainkan terpolitisasi dan pemborosan makin tak terkendali.

Dari jumlah organisasi yang besar, seperti sekarang akan mudah dibaca bahwa masing-masing kementerian memerlukan jumlah anggaran dan pegawai yang besar, dan sistem manajemen kepegawaian yang tak netral menyulitkan upaya koordinasi. Sementera itu, setiap tahun kita melihat APBN pemerintah selalu menampakkan anggaran defisit. Korupsi masih merajalela tidak menunjukkan hasil pengurangan yang menggembirakan. Pengangguran masih besar, belum bisa diatasi dengan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan.

Oleh karena itu, salah satu alternatif yang bisa dilakukan ialah mengevaluasi organisasi pemerintah, baik kementerian, organisasi nonkementerian, maupun organisasi nonstruktural dipusat dan di daerah. Namun, hal ini justru luput dilakukan reformasi sampaidetik ini

UU ASN

UU ini banyak memuat hal baru,membuat masalah-masalah yang sering kali ditimbulkan oleh manajemen kepegawaian cara lama bisa direformasi. Semangat UU ini adalah melakukan reformasi dan melakukan perbaikan serta menghilangkan masalah- masalah yang timbul di dalam manajemen kepegawaian.

Masalah-masalah yang timbul itu banyak dinikmati oleh pejabat-pejabat yang mengenyampingkan etika yang baik dan bersih. Misalnya, praktik memperdagangkan dan atau membisniskan proses pengangkatan dan promosi pegawai oleh para pejabat daerah maupun pusat. Atau terjadi intervensi kekuasaan pejabat politik dalam mengangkat pejabat dan pegawai yang tidak terbuka dan tidak kompeten.

Salah satu yang kemudian diatur dalam UU ASN ialah ditetapkan adanya badan yangmelindungi pelaksanaan sistem merit. Badan ini dinamakan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). UU ini nanti menetapkan setiap pelanggaran sistem merit akan dikenai sanksi yang tegas. Misalnya, mengangkat pegawai atau pejabat yang dilakukan tidak terbuka dan didasarkan pertimbangan politik, bukan didasarkan atas kompetensi individual calon yang dibutuhkan oleh kompetensi jabatan yang diisi, akan dikenai sanksi.

Banyak lagimasalah kepegawaian yang akan diperbaiki oleh UU ASN. Sementara pada sistem lama yang biasa dilakukan justru banyak menguntungkan mereka, para pejabat yang selama ini menikmatinya dengan mengenyampingkan etika aparatur yang baik dan bersih. Itulah barangkali yang membuat alotnya pembahasan UU ASN dan alotnya menyusun ketentuan pelaksanaannya di kalangan pemerintah.

Realisasi UU ini sangat lambat. Aturan pelaksananya pun banyak yang belum dituntaskan. Kini kita berharap pemerintah lebih cekatan menindaklanjutiefektivitas UU ini.

MIFTAH THOHA, GURU BESAR (RET) UGM, SALAH SATU PENYUSUN UU ASN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Desember 2015, di halaman 7 dengan judul "Reformasi Birokrasi Melalui ASN".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Kontrak Karya Freeport (HIKMAHANTO JUWANA)

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said saat memberi keterangan di depan Mahkamah Kehormatan Dewan menyampaikan bahwa siapa pun pemerintahnya akan menghadapi dilema terkait kontrak karya PT Freeport Indonesia yang ujungnya mau tidak mau harus memberikan perpanjangan kontrak kepada PT Freeport Indonesia.

Alasannya, menurut Sudirman, ada pasal dalam kontrak karya Freeport yang menentukan Freeport berhak meminta perpanjangan kontrak kapan saja selama masa kontrak. Kemudian, apabila tidak ada hal yang luar biasa, pemerintah tidak bisa menunda pemenuhan permintaan perpanjangan tersebut.

"Lex specialis"

Dilema yang disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral benar apabila kontrak karya Freeport dianggap sebagai lex specialis. Dalam ilmu hukum memang ada doktrin yang mengatakan bahwa ketentuan yang khusus akan mengesampingkan ketentuan yang umum (lex specialis derogat legi generali). Sejak lama kontrak karya Freeport dianggap sebagai lex specialisdari ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Padahal, ini suatu hal yang keliru.

Lex specialis derogat legi generali mendasarkan pada produk hukum yang sejenis, semisal undang-undang yang khusus akan mengesampingkan undang-undang yang umum. Namun, ini tidak berlaku bagi perjanjian yang merupakan produk hukum yang berbeda jenis dengan peraturan perundang-undangan.

Jika perjanjian antarsubyek hukum perdata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak bisa diberlakukan lex specialis derogat legi generali. Ketentuan yang berlaku adalah Pasal 1320 dan Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Pasal 1320 yang menentukan syarat sahnya suatu perjanjian menyebutkan ada empat elemen yang harus dipenuhi, yaitu kesepakatan, kecakapan, hal tertentu, dan kausa/alasan yang halal. Terkait kausa yang halal dijelaskan secara negatif dalam Pasal 1337 KUHPerdata, yaitu "Suatu sebab adalah terlarang jika sebab itu bertentangan dengan undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum".

Lalu, mengapa kontrak karya Freeport dahulu dianggap sebagai lex specialis?

Diduga ini merupakan keinginan dari Freeport McMoRan terhadap Pemerintah Indonesia yang saat itu memiliki posisi tawar lemah. Freeport McMoRan sebagai investor tidak ingin mendapat gangguan dari pemerintah sebagai regulator dalam masa kontrak karya. Bentuk gangguan tersebut berupa penerbitan berbagai peraturan perudang-undangan yang bisa berdampak negatif bagi Freeport McMoRan.

Ini dilakukan karena kecenderungan pemerintah di negara berkembang kerap menerbitkan peraturan perundang-undangan sesuka hati yang memunculkan ketidakpastian.

Dalam konteks demikian, tidak heran jika dalam kontrak karya diatur ketentuan mengenai perpajakan yang diberlakukan secara nail down. Maksud nail downadalah terhadap kontrak karya berlaku ketentuan perpajakan pada saat kontrak karya ditandatangani. Ketentuan perpajakan tersebut akan berlaku terus dan tidak berubah hingga jangka waktu berakhirnya kontrak karya. Ini terlepas ketentuan perpajakan tersebut telah mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

Dasar untuk memberlakukan kontrak karya sebagai lex specialis terhadap undang-undang adalah baik kontrak karya maupun undang-undang disiapkan oleh pemerintah yang selanjutnya mendapat persetujuan dari DPR.

Argumentasi ini mengandung kelemahan. Pertama, meski disiapkan oleh pemerintah dan disetujui oleh DPR, keduanya secara hukum merupakan dua jenis produk hukum yang berbeda, yaitu perjanjian dan undang-undang. Kedua, pada waktu Freeport mendapatkan kontrak karya baru pada 1991, proses persetujuan tidak melibatkan DPR.

Dua topi

Kontrak karya tidak seharusnya dijadikan alat untuk mengungkung atau membatasi pelaksanaan kedaulatan negara Republik Indonesia. Secara teoretis ini sesuatu yang tidak tepat dan menyesatkan. Dalam memahami keberadaan kontrak karya, Pemerintah Indonesia memiliki dua topi. Topi pertama sebagai subyek hukum publik dan topi kedua sebagai subyek hukum perdata.

Sebagai subyek hukum publik, pemerintah adalah regulator yang dapat mengeluarkan peraturan perundang-undangan. Regulator berada di atas rakyat dan pelaku usaha. Pemerintah sebagai regulator ketika mengeluarkan peraturan perundang-undangan tidak perlu mendapatkan persetujuan dari rakyat secara individual. Pemerintah dapat secara sepihak mengeluarkannya.

Fiksi hukum yang berlaku adalah ketika telah diundangkan, semua orang dianggap tahu. Kalaupun rakyat merasa peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan secara sepihak tersebut merugikan, mereka dapat mengajukan uji materi. Ini berbeda konsep dengan perjanjian. Menurut Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian akan belaku sebagai hukum hanya bagi para pihak yang membuatnya.

Secara fundamental perjanjian mensyaratkan kesejajaran atau kesetaraan. Artinya, pemerintah ketika membuat perjanjian tidak lagi memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pelaku usaha.

Pemerintah bisa menjadi subyek hukum perdata berupa badan hukum. Ini ditentukan dalam Pasal 1653 KUHPerdata yang mengualifikasi pemerintah sebagai 'badan hukum itu diadakan oleh kekuasaan umum'. Pemerintah menjadi badan hukum saat membuat perjanjian untuk melakukan pengadaan barang dan jasa. Demikian juga ketika pemerintah membuat kontrak karya dengan kontraktor, termasuk Freeport, pemerintah berada dalam kedudukannya sebagai subyek hukum perdata, tidak dalam kedudukan sebagai subyek hukum publik.

Sementara ketika pemerintah membuat aturan perpajakan yang dituangkan dalam undang-undang berikut peraturan pelaksanaannya atau Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba) berikut peraturan pelaksanaannya, pemerintah berkedudukan sebagai subyek hukum publik.

Pemerintah sebagai subyek hukum perdata yang mengikatkan diri dengan Freeport tidak boleh membuat ketentuan yang bertentangan dengan pemerintah sebagai regulator. Jika bertentangan dan tidak diamandemen, konsekuensinya batal demi hukum. Dasarnya adalah Pasal 1337 dan Pasal 1320 KUHPerdata.

Atas dasar uraian di atas, tidaklah tepat jika pemerintah sebagai subyek hukum perdata tidak dibedakan dengan pemerintah dalam kedudukannya sebagai subyek hukum publik. Jika tidak dilakukan pembedaan, terjadilah kekeliruan pemahaman seolah kewenangan pemerintah sebagai regulator dikungkung atau dibatasi dengan sebuah perjanjian.

Sebaliknya, pemerintah pun tidak boleh menyalahgunakan kewenangannya (abuse of power) sebagai subyek hukum publik untuk melepaskan jeratan dalam perjanjian di mana pemerintah berkedudukan sebagai subyek hukum perdata.

Ini yang hampir terjadi ketika berlangsung pembahasan Undang-Undang Minerba. Saat itu, DPR ingin memanfaatkan pemerintah sebagai regulator untuk mengakhiri semua kontrak karya. Beruntung pemerintah tidak menyetujui keinginan DPR karena konsekuensinya bisa fatal jika diajukan ke International Centre for Settlement of Investment Disputes.

Perbedaan pandangan antara pemerintah dan DPR ini memunculkan kompromi. Kompromi tecermin dalam Pasal 169 Undang-Undang Minerba. Pasal tersebut berisi tiga ayat. Pasal 169 Ayat (a) menyebutkan bahwa kontrak karya akan tetap dihormati sampai berakhirnya kontrak. Hanya, dalam Pasal 169 Ayat (b), kontrak karya harus menyesuaikan dengan Undang-Undang Minerba dalam jangka waktu satu tahun. Di sinilah yang memunculkan ide renegosiasi kontrak karya.

Sementara Pasal 169 Ayat (c) menentukan dalam hal penerimaan negara, negara akan mendapatkan yang paling besar. Maksudnya, apabila berdasarkan kontrak karya negara mendapatkan penerimaan lebih besar dibandingkan aturan perpajakan yang berlaku, kontrak karya yang berlaku. Namun sebaliknya jika aturan perpajakan lebih besar.

Bisa diakhiri

Kontrak karya Freeport bisa diakhiri saat berakhir pada 2021. Ini merupakan ketentuan yang berlaku dalam Pasal 169 Ayat (a) Undang-Undang Minerba. Undang-Undang Minerba sebagai produk hukum pemerintah sebagai subyek hukum publik tidak mungkin dilawan dengan kontrak karya yang merupakan perjanjian meski salah satu pihaknya adalah pemerintah.

Kalaulah ada ketentuan dalam kontrak karya yang menyatakan Freeport berhak meminta perpanjangan kapan saja selama masa kontrak ini, tidak berarti pemerintah sebagai subyek hukum perdata harus menyetujuinya.

Sementara kata-kata "Apabila tidak ada hal yang luar biasa, pemerintah tidak bisa menunda pemenuhan dari permintaan perpanjangan tersebut" tidak berarti mengharuskan pemerintah memperpanjang. Kalimat tersebut harus dibaca secara cermat, terutama kata-kata "Apabila tidak ada hal yang luar biasa".

Apa yang menjadi hal yang luar biasa? Hal yang luar biasa adalah jika mayoritas rakyat Indonesia tidak menghendaki kontrak karya diperpanjang oleh pemerintah.

Dalam alam demokrasi sekarang, tidak bisa lagi pemerintah menentukan apa yang baik untuk rakyat. Rakyat sendirilah yang menentukan apa yang baik, sementara pemerintah harus menjalankan apa yang menjadi kehendak rakyat.

Singkatnya, jangan sampai Indonesia di era digital sekarang masih harus dipaksa menggunakan cara berpikir masa VOC. Freeport bukan VOC dan tidak seharusnya cara-cara VOC digunakan.

HIKMAHANTO JUWANA, GURU BESAR HUKUM INTERNASIONAL UNIVERSITAS INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Desember 2015, di halaman 6 dengan judul "Kontrak Karya Freeport".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Rabu, 30 Desember 2015

Transaksi Gagal di ATM//Salah Kode Bank//Keluhan Tak Ditanggapi//Sertifikat Tidak Ada di Bank//Tanggal Jatuh Tempo Diubah Sepihak//Meminta Tanggung Jawab Bank//Hati-hati dengan Cicilan 0 Persen (Surat Pembaca Kompas)

Transaksi Gagal di ATM

Saya nasabah BTN Syariah Cabang Al Azhar, Kebayoran Baru. Pada 17 Mei 2015, pukul 16.29, saya menarik uang di ATM BRI (ATM Bersama) yang berlokasi di toko swalayan Indomaret Petir, Serang, Banten, Rp 500.000. Uang tidak keluar dan di layar ATM tertera pemberitahuan bahwa transaksi gagal.

Kemudian, pada 14 Juli 2015, saya mencetak (melakukan print) buku tabungan saya di BTN Syariah. Betapa kecewanya saya karena di sana transaksi tersebut dinyatakan berhasil dan dana tabungan saya terdebit Rp 500.000.

Pada hari yang sama, 14 Juli, saya melapor ke BTN Syariah dan petugas layanan nasabah meminta saya mengisi formulir pengaduan. Hasil yang didapat setelah 14 hari kerja adalah pernyataan bahwa transaksi tersebut dianggap berhasil dan tidak bermasalah.

Kecewa dengan putusan itu, saya meminta difasilitasi untuk melihat rekaman CCTV di ATM BRI Indomaret Petir sebagai bukti dan saya menyanggupi membayar biaya Rp 150.000 seperti disampaikan petugas layanan nasabah BTN Syariah. Namun, saya sekali lagi kecewa karena setelah menunggu sekian lama ternyata pihak BRI tidak bisa memberikan rekaman CCTV yang dijanjikan. Menurut mereka, pihak BRI menyampaikan bahwa laporan keuangan mereka balance dan tidak bermasalah. Pengaduan saya pun jadi buntu dan tidak bisa ditindaklanjuti.

Informasi tentang kemungkinan konfirmasi lewat CCTV berasal dari BRI sendiri, yang berjanji akan menyampaikan kepada saya lewat staf layanan nasabah pada 30 Oktober 2015. Akan tetapi, sampai 17 November, hasil konfirmasi belum juga diterima sehingga saya proaktif menelepon BTN Syariah untuk mengetahui hasilnya.

Sebagai nasabah, saya merasa dirugikan dan tidak mampu melakukan apa pun, termasuk untuk membuktikan bahwa saya tidak membuat laporan palsu. Saya kecewa karena BTN Syariah tidak optimal membantu nasabahnya.

ISYA SYAMSUDIN EMAIL, JALAN KH DEWANTORO, CIPUTAT, TANGERANG SELATAN

Salah Kode Bank

Saya nasabah Bank BRI yang pada 18 Maret 2014 mentransfer dana melaluielectronic data capture atau mesin gesek BRI sebesar Rp 6 juta ke Bank BCA, ke rekening nomor 7510291xxx, atas nama Arpan. Ketika itu, saya salah meng-inputkode bank sehingga dana yang dikirim masuk ke Bank Permata dengan nomor rekening sama, tetapi atas nama Gungun Tusyadi.

Pada 27 Maret 2014, saya menyampaikan pengaduan melalui BRI Otista (Jalan Otto Iskandar Dinata) untuk diteruskan ke kantor pusat BRI dan kemudian dikirim ke Bank Permata. Oleh karena Bank Permata tak kunjung menyampaikan tanggapan ke BRI, pada 10 November 2014 saya mengirim surel ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Melalui telepon, OJK menyampaikan, permasalahan seperti ini harus disampaikan ke Bank Indonesia.

Namun, ketika hal ini saya sampaikan lewat telepon ke Bank Indonesia, mereka mengatakan bahwa Bank Permata yang akan menyelesaikan. Bank Permata saya hubungi dengan mendatangi langsung kantor pusatnya, tetapi tidak memberikan jawaban yang memuaskan.

Sampai sekarang, kasus perbankan saya ini sudah berjalan lebih dari satu tahun dan belum ada penyelesaiannya. Mohon pihak-pihak terkait membantu menemukan solusinya.

ENDANG MOCHAMAD CHUSNI, JALAN PEMBINA I NOMOR 384 AWALUMBU, BEKASI

Keluhan Tak Ditanggapi

Saya pemegang Garuda Indonesia Citicard nomor 5520-4220-4040-91xx. Setiap bulan saya selalu tertib membayar tagihan kartu kredit ini. Namun, setiap bulan saya juga selalu menerima dua surat tagihan lain, yakni untuk Citi Rewards Card nomor 4140-0940-4092 8299 dan 4140-0920-7126-3008 yang tidak saya miliki.

Meski terus bertambah, tagihan ini tentu saja tidak saya hiraukan dan tidak saya bayar. Saya telah berulang kali mengadukan hal ini kepada Citibank (CB 9999), tetapi tak pernah ada tanggapan.

Tagihan-tagihan ini sangat merugikan dan menjengkelkan saya. Saya pun khawatir di kemudian hari dapat terjadi penyalahgunaan yang lebih besar lagi.

JT SIAHAAN, JALAN SAYUTI RT 003/005 RAWASARI, JAKARTA PUSAT

Sertifikat Tidak Ada di Bank

Pada 23 November 2006, saya dan istri membeli sebuah rumah di Perum Kemang Swatama Blok H Nomor 17, Cilodong, Depok, Jawa Barat. Rumah dibeli dari perusahaan pengembang PT Swadaya Ridatama dengan fasilitas KPR dari Bank Niaga. Perjanjian kredit atas nama Yunita Purwantini ditangani oleh notaris Supriyanto yang beralamat di Mal Depok, Jalan Margonda Raya.

Pada 2008, kami menanyakan status sertifikat rumah tersebut, dijawab bahwa sertifikat belum ada. Sementara itu, berdasar keterangan notaris, data pembayaran PBB induk tahun 2006 belum ia terima sehingga pengurusan sertifikat belum bisa dilakukan.

Selanjutnya, kami mengirim surat kepada pengembang PT Swadaya Ridatama dengan tembusan kepada pihak notaris dan Bank Niaga, memohon agar segera memberikan data pembayaran PBB ke notaris agar pengurusan sertifikat dapat segera diselesaikan. Pada 2010, kami sempat bertanya lagi kepada Bank Niaga dan notaris. Namun, informasi yang kami dapat tetap sama, yakni sertifikat belum ada.

Saat hendak mengambil jaminan (sertifikat) di Bank Niaga Bintaro, setelah kami melunasi pinjaman pada November 2015, ternyata sertifikat tetap belum ada. Kami hanya diminta untuk menandatangani surat serah terima dokumen akta jual beli dan perjanjian kredit. Namun, kami menolak karena di dalam Surat Perjanjian Kredit Nomor 035/PK/017/2/11/2006 Pasal E jelas disebutkan, jaminan yang ada dalam bentuk sertifikat.

Hal yang janggal adalah calon tetangga kami, yang akad kredit pada tanggal yang sama, 23 November 2006, untuk pembelian rumah/tanah yang berdampingan dengan kami, sertifikatnya ada.

Kami mohon penjelasan Bank Niaga tentang hal ini. Apakah dalam proses analisis kredit, unsur jaminan diabaikan? Jika demikian, hal ini merupakan kecerobohan yang sangat merugikan kami. Kami telah memenuhi kewajiban membayar pinjaman pokok plus bunganya, tetapi hak kami diabaikan.

Kami berdoa semoga sertifikat yang menjadi hak kami dapat segera diterima.

RAINLIYUS CAHYA NEGARA, PERUM KEMANG SWATAMA BLOK H NOMOR 17, DEPOK

Tanggal Jatuh Tempo Diubah Sepihak

Saya mohon pihak BII/Maybank agar lebih manusiawi dalam menjalankan aturan. Mohon juga tidak membuat keputusan sepihak dan menyampaikannya hanya melalui pesan teks singkat (SMS).

Sebagai nasabah yang memanfaatkan fasilitas pita (pinjaman tanpa agunan), saya menyesalkan diubahnya tanggal jatuh tempo pembayaran cicilan dari tanggal 27 menjadi tanggal 23 setiap bulannya. Setelah perubahan ini, pihak bank terus-menerus menghubungi saya antara tanggal 23 dan 27. Panggilan telepon bisa sampai lima kali dalam sehari, menanyakan pembayaran angsuran yang dianggap terlambat. Padahal, sejak awal sudah disepakati bahwa tanggal jatuh tempo adalah tanggal 27, dengan alasan setiap bulan saya menerima gaji juga pada tanggal 27.

Sejak angsuran pertama berjalan pada Januari 2015 hingga Oktober lalu, pembayaran lancar, tidak ada masalah. Akan tetapi, setelah tanggal jatuh tempo dipercepat, yang saya anggap dilakukan secara sepihak, saya merasa seperti dikejar-kejar utang, yang tidak bisa saya bayar pada setiap tanggal 23.

Panggilan-panggilan telepon dari bank yang dilakukan dengan nomor yang berbeda-beda dan untuk menanyakan hal yang sama tidak seharusnya dilakukan. Tolong carikan solusi yang tidak merugikan kedua pihak, sesuai misi BII/Maybank yang berbunyi, humanising financial services.

RONNY WIRAYANA RUMANSAH, PERUMAHAN MARGAHAYU RAYA BARAT BLOK Q2, BANDUNG 40286

Meminta Tanggung Jawab Bank

Saya salah seorang pemegang kartu Visa dari Bank Mega dengan nomor 4890-8700-5416-21xx. Pada 2-4 tahun lalu, ada kemacetan membayar angsuran kartu kredit tersebut karena saya terbelit masalah ekonomi.

Suatu ketika, ada program pembayaran pinjaman kartu kredit pelunasan dengan cara dicicil tiga kali, dan saya memutuskan mengikutinya. Saat jatuh tempo untuk membayar cicilan yang kedua, uang Rp 1 juta yang saya titipkan kepada orang suruhan Bank Mega ternyata tidak disetorkan. Saya menitip karena memang diminta menitipkan kepada petugas yang datang mengambil.

Saat akan membayar cicilan terakhir, cicilan ketiga, pihak Bank Mega menanyakan pembayaran cicilan yang kedua. Saya jawab bahwa uangnya telah diambil orang suruhan mereka. Bank Mega menyatakan akan langsung menginvestigasi dan berjanji segera mencari penyelesaian. Namun, hingga kini masalah tersebut belum juga selesai.

Persoalan malah berkembang karena tiba-tiba ada pihak lain lagi yang datang menagih pembayaran utang disertai bunga yang tinggi. Saya sebagai nasabah merasa dirugikan dan merasa dipermainkan Bank Mega. Apalagi, saya kehilangan dana pembayaran Rp 1 juta yang seharusnya sudah dapat menyelesaikan masalah tunggakan saya.

Sekarang, kepada siapa saya harus meminta pertanggungjawaban? Di mana tanggung jawab Bank Mega yang menyuruh pihak ketiga datang menagih dan mengambil dana, yang kemudian ternyata nakal?

EDY SOESANTO, PERUMAHAN DUTA GARDENIA BLOK G6 JURUMUDI BARU, BENDA, TANGERANG

Hati-hati dengan Cicilan 0 Persen

Pada 24 Oktober 2015, saya bermaksud menutup kartu kredit CIMB Niaga saya. Namun, karena masih punya kewajiban mencicil kredit berbunga 0 persen, saya ingin melunasi sisa cicilan tersebut sebagai salah satu syarat agar kartu kredit saya dapat ditutup.

Namun, alangkah kagetnya saya begitu mendengar penjelasan bagian layanan nasabah CIMB Niaga bahwa untuk melunasi cicilan 0 persen tersebut maka saya akan dikenai biaya denda (penalti) sebesar 5 persen dari sisa cicilan. Saya minta agar biaya denda tersebut dihilangkan, tetapi pihak CIMB Niaga menjawab bahwa biaya tersebut sudah menjadi risiko pelanggan yang hendak melunasi cicilan.

Menurut saya, denda ini tidak masuk akal. Saya ingin melaksanakan kewajiban saya untuk melunasi cicilan lebih cepat untuk proses penutupan kartu kredit, tetapi malah kena denda.

CHRISTINA HALIM, SUTERA JELITA UTAMA NOMOR 66, ALAM SUTERA, SERPONG

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Desember 2015, di halaman 13 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Selasa, 29 Desember 2015

Air PAM Tidak Mengalir//Lahan Gambut (Surat Pembaca Kompas)

Air PAM Tidak Mengalir

Kami konsumen air Palyja dengan nomor pelanggan 00085167, beralamat di Karang Anyar Raya 55 Blok C-41, Jakarta Pusat. Sejak Oktober 2015 air tidak mengalir. Hal ini sudah dilaporkan berulang-ulang, tetapi sampai surat ini ditulis tidak ada tindak lanjutnya.

Pengaduan via pusat panggilan 021-29979999 pada 7, 12, 15, dan 24 Oktober, serta pada 4 dan 26 November, selalu mendapat jawaban sama, bahwa pengaduan akan diteruskan kepada teknisi terkait. Meski keluhan juga sudah disampaikan langsung kepada Pak Haris selaku atasan di pusat panggilan, nyatanya sampai hari ini tidak ada satu teknisi pun yang datang dan air tetap tidak mengalir.

Kami selaku konsumen telah dirugikan. Maka, melalui surat pembaca ini, kami tidak hanya berharap ada tindakan nyata agar air kembali mengalir, tetapi juga ada upaya pihak manajemen Palyja untuk tanggap atas keluhan pelanggan.

HAIDIMAN KOSIM, SUNTER JAYA, JAKARTA UTARA

Lahan Gambut

Indonesia memiliki lahan gambut tropis terluas di dunia, 14,9 juta hektar. Sebagian besar terdapat di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Hanya sebagian kecil di Jawa dan Sulawesi. Saya menulis ini untuk mengoreksi dan menambah informasi tulisan di Kompas (13-14/11) yang mengulas tragedi asap lahan gambut.

Gambut tropis adalah tanah organik, tersusun dari organ-organ tanaman berkayu yang telah mati, yang sedang mengalami proses pelapukan lambat karena dalam kondisi tergenang.

Jadi, gambut adalah rawa dan juga tanah organik yang berasal dari tumbuhan mati dan telah melapuk ratusan sampai ribuan tahun. Rata-rata jumlah air yang tersimpan dalam gambut 3-8 kali berat kering gambut. Karena itu jika dikeringkan, gambut sangat ringan. Bobot isi gambut tropis berkisar 0,07-0,09 g per cm3. Umur gambut tropis Indonesia berkisar 4.000-5.000 tahun.

Gambut didrainase atau dibuang airnya ketika dibuka untuk lahan pertanian. Tanaman kelapa sawit dan akasia sangat suka air, tetapi tidak akan tahan tergenang air dalam jangka panjang karena akar-akarnya pasti mati. Lapisan gambut yang tergenang menjadi anaerob atau kekurangan oksigen. Adapun lapisan di atas permukaan air tanah disebut lapisan aerob atau kaya oksigen. Baik kelapa sawit maupun akasia membutuhkan lapisan aerob.

Menurut hukum gravitasi, gambut kering yang ringan akan berada pada lapisan atas, atau mengapung di atas air. Dengan demikian, rongga-rongga atau porositas dalam gambut yang biasa berisi udara pada musim hujan akan diisi air. Apabila bara bertemu air, api akan padam. Itu sebabnya, setelah hujan lebat beberapa hari, kabut asap hilang atau kebakaran terhenti.

Kebakaran gambut disebut kebakaran bawah (underground fire), sering juga disebut pembaraan (smouldering fire). Ciri khas kebakaran gambut adalah tidak ada nyala api, tetapi berupa bara yang merambat secara perlahan. Kebakaran gambut termasuk kebakaran tidak sempurna, menghasilkan partikel-partikel arang yang mengganggu saluran pernapasan. Istilah jerebumenggambarkan asap yang berisi berbagai partikel arang dan abu yang bersifat sebagai polutan.

Kebakaran gambut selalu dimulai dari lapisan atas. Pertama, terjadi proses pemanasan dan pengeringan bahan bakar, karena itu timbul banyak asap. Kemudian terjadi pembaraan yang menghasilkan partikel-partikel arang. Jika temperatur lebih dari 4500 celsius dan waktu bakar lebih dari enam jam, sebagian gambut yang terbakar akan menjadi abu. Jadi, tidak masuk akal jika disebutkan kebakaran gambut berawal dari kebakaran pada kedalaman lebih dari 1 meter.

Ada kesalahan besar dalam konsep pengelolaan kubah gambut menurut karakteristik satuan hidrologis, yang terbagi atas zona budidaya dan konservasi hanya pada kubah gambut. Di alam, bentuk dan ukuran kubah gambut bervariasi dan tidak semua gambut memiliki kubah. Ada beberapa tipe gambut di Indonesia, yaitu gambut basin, pedalaman, kepulauan, dan pegunungan. Setiap tipe gambut tersebut memiliki karakter hidrologis dan sejarah pembentukan yang berbeda. Gambut hendaknya dikelola sebagai kesatuan bentang alam, yang berkaitan dengan sungai-sungai, tipe dan pola hujan serta daerah aliran sungai.

Dari sudut pandang konservasi, pembagian kubah gambut menjadi zona budidaya dan konservasi akan tidak efektif menyelamatkan keragaman hayati rawa gambut dan mengembalikan fungsi ekologis sebagai penyimpan air dan karbon.

Yang sebaiknya dilakukan pemerintah adalah mengevaluasi kembali perizinan korporasi pada lahan gambut, merumuskan aturan pengelolaan gambut berdasarkan bentang alam termasuk sifat-sifat hidrologisnya, dan memastikan kawasan gambut konservasi tidak dirambah dan tidak diubah peruntukannya.

GUSTI Z ANSHARI, GURU BESAR PADA ILMU TANAH DAN MAGISTER ILMU LINGKUNGAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Desember 2015, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger