Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 29 Maret 2014

Media Sosial dalam Kampanye Politik (Toto Sugiarto)

METODE kampanye konvensional seperti pengerahan massa untuk rapat umum mulai terasa hampa. Di balik keramaian massa dengan berbagai atribut, terasa sepi makna.
Keramaian ide, gagasan, dan visi-misi terasa mulai berpindah ke ruang-ruang maya. Diskusi, perdebatan, bahkan saling tuduh secara frontal begitu bebas terjadi di berbagai media sosial.

Untuk kalangan yang relatif terdidik, kampanye menggunakan media sosial lebih efektif ketimbang baliho dan spanduk. Orang yang relatif terdidik dan well inform ini tidak akan percaya isi baliho atau spanduk, tapi lebih percaya pada perkataan teman atau koleganya di media sosial.

Di sini dapat dikatakan bahwa setiap orang dapat berpengaruh bagi orang lain. Maka, secara berseloroh, di media sosial tidak lagi berlaku one man one vote, tetapi satu orang bisa memiliki kekuatan setara puluhan, ratusan, atau ribuan lebih orang.

Inilah kelebihan media sosial: efektif sebagai sarana pertukaran ide. Penyebaran berbagai ide, termasuk isi kampanye via media sosial, berlangsung amat cepat dan hampir tanpa batas. Di Twitter, misalnya, hanya dengan men-twit, informasi tersebar luas ke seluruh follower, begitu seterusnya dengan cara kerja seperti multi-level marketing.

Efektivitas media sosial tidak hanya karena jumlah penggunanya yang masif. Karakteristik media sosial sendiri juga merupakan  kekuatan. Media sosial adalah sarana untuk komunikasi di mana setiap individu saling memengaruhi. Setiap orang memiliki pengaruh ke sekelilingnya.

Tidak instan
Selain itu, pengguna media sosial yang well inform dan terdidik ini tidak mudah dibohongi, tapi mudah terpengaruh dan simpati pada hal-hal yang membuat mereka tersentuh. Ketenaran dan kekuatan politik yang sekarang menempel pada Jokowi, misalnya, disumbang besar oleh perbincangan di media sosial yang mengarah pada kekaguman setiap orang pada keotentikan dan keseriusan Jokowi selama ini dalam mengurus rakyat.

Di dalam ruang media sosial hanya informasi yang sesuai fakta yang berharga. Untuk mencapai keyakinan bahwa informasi itu sesuai fakta, sering kali muncul perdebatan. Dalam berbagai hal yang menarik perhatian publik terjadi tesis yang dilawan oleh argumen antitesis. Keajaiban sering kali muncul di media sosial berupa tercapainya sintesis. Tidak perlu ada seseorang yang menyimpulkan, tapi dari perdebatan tersebut sering kali muncul "kesepakatan sunyi" di antara pihak-pihak yang berdebat beserta para "pendengarnya".

Inilah sintesis tersebut. Proses seperti ini berjalan dalam rentang waktu yang cukup panjang.

Karena sifatnya yang memiliki rentang waktu panjang, media sosial tidak memiliki pengaruh signifikan untuk kampanye yang sifatnya mobilisasi. Kerja-kerja di media sosial bergerak perlahan dengan membincangkan visi, misi, ide, ideologi. Pengguna media sosial bukan orang yang bisa digiring, tapi bergerak dengan kemauan dan kesadaran sendiri.

Media sosial hanya berpengaruh signifikan bagi politikus yang bekerja sepanjang waktu. Bukan pekerjaan instan lima tahun sekali. Mereka yang intens menyebarkan ide-ide dan berdiskusi dalam bidang tertentu secara mendalam sepanjang waktu akan mendapat hasilnya saat pemilu.

Media sosial tidak cocok untuk politisi "kosong", tapi hanya bagi mereka yang punya kemampuan berpikir dan berdialektika. Media sosial juga tak cocok bagi yang egois, melainkan bagi mereka yang memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Hanya politisi yang memiliki simpati dan empati terhadap permasalahan rakyat yang akan menuai simpati dan empati publik.

Sifat kampanye di media sosial bisa merupakan kebalikan dari kampanye di dunia nyata. Jika di dunia nyata kampanye begitu berisik, keras suaranya tapi tanpa bukti nyata, di media sosial adalah antitesis dari berisik dan bising tersebut, yaitu bermakna. Setiap suara punya arti, memiliki pembuktiannya sendiri-sendiri.

Politik di media sosial bisa merupakan politik sejati, yaitu politik yang benar-benar berisi ide-ide dan aksi nyata untuk kebaikan umum. Inilah politik yang memiliki daya dobrak. Berbagai isu sosial yang menjadi beban masyarakat sering kali mendapatkan solusinya di media sosial.

Penyeimbang
Di sisi lain perlu ada regulasi yang jelas dan komprehensif. Kecurangan dan pelanggaran amat mungkin terjadi saat regulasi yang ada memiliki banyak celah. Amat mungkin terjadi kampanye di media sosial saat masa tenang dan pungut-hitung. Permenkominfo No 14/2014 tentang Kampanye Pemilu melalui Penggunaan Jasa Telekomunikasi perlu disosialisasikan dan diperkuat dengan peraturan KPU dan peraturan Bawaslu.

Potensi pelanggaran lainnya terkait kejelasan aktor dan materi kampanye. Perlu ada aturan yang jelas untuk mencegah kampanye yang bersifat fitnah, terutama oleh akun-akun anonim.

Sebagai catatan, media sosial dapat jadi solusi meminimalkan ketidakadilan. Media sosial dapat jadi penyeimbang media siaran televisi yang sekarang tak lagi mampu mempertahankan independensi dan keadilannya. Televisi dimiliki pengusaha yang sekarang masuk berbagai partai. Kondisi ini menyebabkan media televisi tersebut menjadi corong partai politik sang pemilik. Di sinilah urgensi media sosial.

Toto Sugiarto, Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005652963
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Pemilu dan Agenda Politik Lingkungan (Khalisah Khalid)

WALHI telah meluncurkan hasil indeks kualitas calon anggota legislatif DPR. Hasilnya sudah diprediksi meski tidak diharapkan.
Dari caleg DPR, tak sampai 7 persen yang punya kapasitas, kepemimpinan, komitmen, dan integritas yang baik dalam isu lingkungan hidup yang juga memiliki relasi kuat dengan isu-isu hak asasi manusia.

Demikian juga partai politik. Mereka masih melihat isu lingkungan di permukaan, belum memahami akar persoalan lingkungan hidup berelasi kuat dengan kebijakan ekonomi-politik yang dipilih oleh pemimpin bangsa ini. Ini dapat dilihat dalam dokumen partai politik terkait dengan lingkungan hidup.

Temuan umum dari hasil penelusuran kandidat dan partai politiknya dapat disimpulkan bahwa isu lingkungan hidup marjinal di Senayan sampai satu periode ke depan. Arti lain dari temuan ini: agenda politik lingkungan hidup belum menjadi agenda strategis pemimpin bangsa ini. Padahal, bencana ekologis sudah mengancam setiap saat. Perdebatan lingkungan hidup, baik di tingkat global maupun nasional, juga makin rumit dan kompleks, antara lain perdebatan perubahan iklim yang semakin jauh dari penyelesaian persoalan bagi warga bumi.

Tiga agenda
Gerakan lingkungan hidup menemukan momentum perubahannya pada Pemilu 1999. Konsolidasi gerakan lingkungan hidup begitu kuat untuk mendorong agenda reformasi pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam.

Tonggak konsolidasi antara gerakan lingkungan hidup dan agraria ditemukan dalam sebuah agenda politik bersama yang dimanifestasikan melalui TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Agenda politik reformasi lingkungan hidup dan SDA termaktub dalam TAP MPR tersebut. Sayangnya Tap MPR itu mandek dan RUU PSDA sampai kini tidak diketahui di mana rimbanya.

UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dinilai oleh gerakan lingkungan sebagai UU yang jauh lebih progresif daripada UU sebelumnya, sejak disahkan terganjal peraturan pemerintahnya yang hingga hari ini terseok-seok. Isu lingkungan hidup kembali berada di jalan sunyi dan nyaris terlupakan di tengah gempuran berbagai kebijakan sektoral SDA yang semakin rakus.

Kini, Pemilu 2014, dengan dasar pemikiran persoalan lingkungan hidup adalah persoalan politik, gerakan lingkungan semestinya dapat menjadikannya sebagai momentum politik untuk mendesakkan agenda politik lingkungan hidup sebagai jalan mewujudkan keadilan ekologis. Karena itu, reformasi politik merupakan dasar reformasi dalam bidang pengelolaan SDA dan lingkungan hidup dan itu dapat diwujudkan dengan mencakup dua hal, yakni kebijakan dan kelembagaan. Keduanya merupakan semacam prasyarat utama untuk mencapai pengelolaan SDA yang adil dan lestari serta berpihak kepada kelompok rakyat yang selama ini tidak memiliki kekuatan, baik kekuatan politik maupun ekonomi.

Setidaknya ada tiga hal penting untuk didorong agar agenda politik lingkungan hidup masuk menjadi program strategis pemimpin bangsa ini. Pertama, kita tahu bahwa kerusakan lingkungan hidup disebabkan ketimpangan struktur dan penguasaan SDA di mana sebagian besar SDA dikelola oleh pemodal dengan restu negara melalui berbagai produk kebijakannya. Atas dasar ini, menjadi penting untuk membangun agenda politik ke depan yang mendorong adanya penataan ulang relasi antara rakyat, negara, dan modal.

Negara mesti ditempatkan sebagai benteng hak asasi manusia. Karena itu, dalam penataan ulang relasi negara, modal, dan rakyat, terutama dalam lapangan perekonomian, rakyat harus ditempatkan sebagai kepentingan yang utama. Negara sepenuhnya berperan sebagai instrumen kepengurusan dan penyelenggara kebijakan yang ditujukan untuk melindungi dan memajukan hak asasi manusia.

Kedua, pemimpin di masa depan diharapkan punya agenda utama mereformasi kebijakan SDA dengan cara mengakhiri rezim sektoral SDA. Rezim sektoral SDA adalah salah satu akar masalah persoalan lingkungan hidup di Indonesia melalui kebijakan sektoral SDA yang tumpang tindih satu sama lain. Agenda politik lingkungan hidup ke depan hendaknya mendorong untuk mengakhiri rezim sektoral pengelolaan SDA yang melahirkan berbagai produk kebijakan SDA yang tumpang tindih.

Ketiga, reformasi kelembagaan lingkungan hidup menjadi agenda pokok berikutnya yang penting untuk didesakkan pada pemerintahan yang terpilih. Pengelola lingkungan hidup yang ada saat ini tidak mampu berfungsi secara efektif karena sifat kewenangan yang terbatas mengoordinasikan kebijakan sektor dalam bidang lingkungan hidup di tingkat nasional.

Dalam penentuan kebijakan, kepentingan lingkungan hidup selalu dimarjinalkan di bawah kepentingan sektoral yang berorientasi eksploitasi skala besar dan masif. Politik anggaran untuk kelembagaan negara lingkungan hidup yang jauh di bawah departemen sektoral SDA menandakan bahwa pemerintahan ini memang belum menyadari problem pokok lingkungan hidup.

Proses ini sama sekali tidak boleh mengabaikan fakta bahwa selama ini ada hak-hak rakyat yang telah dilanggar serta konflik-konflik yang sangat intens dan meluas di sektor agraria dan sumber daya alam atau lingkungan hidup yang harus segera diselesaikan. Pemimpin baru nanti juga harus dapat memastikan bahwa ada pemulihan terhadap lingkungan hidup yang telah dihancurkan. Pengadilan lingkungan hidup menjadi agenda mendesak yang patut dipertimbangkan untuk dibentuk oleh pemerintahan nanti untuk mengadili kejahatan lingkungan yang bersembunyi di balik kebijakan dan regulasi.

Kesadaran politik
Pemilu hanya salah satu bentuk pengejewantahan demokrasi. Namun, di luar pemilu, menjadi penting bagi warga negara untuk mempraktikkan hak politiknya dalam menentukan nasib dan ruang hidupnya pada unit-unit yang lebih kecil. Bahwa harus diakui hak veto bagi rakyat atas proyek-proyek pembangunan dan ekonomi lainnya, termasuk salah satunya yang dibuat oleh pemerintah melalui MP3EI.

Kesadaran politik di tingkat demokrasi prosedural harus lebih dimajukan untuk secara bersama-sama membersihkan lembaga negara dari perusak lingkungan hidup dan perampas sumber-sumber kehidupan rakyat. Suka tidak suka, agenda politik ini harus dikerjakan agar pada Pemilu 2014 SDA tidak lagi jadi komoditas atau dagangan para elite politik dan kekuasaan.

Khalisah Khalid, Kepala Departemen Jaringan dan Pengembangan Sumber Daya Walhi

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005652696
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Selalu Ada Harapan (ASEP SALAHUDIN)

ENTAHLAH. Mungkin pemilu dirayakan nalar utamanya untuk merawat harapan. Homo esperans, manusia sebagai makhluk yang selalu berharap.
Meminjam kitab tebal curhat Susilo Bambang Yudhoyono, Selalu Ada Pilihan, termasuk pilihan untuk tidak memilih sekian partai dengan sekian wajah yang setiap saat terpampang di ruang publik, menjajakan di media sosial, dan menawarkan diri di banyak televisi. Apalagi kalau televisi itu milik sendiri, tentu iklan politik itu menjadi semacam khotbah yang dirutinkan tidak peduli jemaah mengantuk. Sesuatu yang dirutinkan biasanya menyisakan defisit pencerahan dan surplus pembodohan.

Orang yang tidak memilih tidak otomatis tak punya harapan seperti fenomena absennya orang masuk ke tempat pemungutan suara (TPS) dalam setiap pemilihan kepala daerah. Minimal mengharapkan sikapnya sebagai "kritik ideologis" atas tindakan para politisi yang selama ini dianggap tidak mampu menurunkan kemustahilan menjadi kemungkinan, mengaksentuasikan harapan khalayak menjadi sekian kebijakan yang memihak hajat orang banyak. Dan untuk pilihan ini, tidak perlu fatwa haram dari lembaga mana pun.

Tak ubahnya juga mereka yang giat menyambut siklus demokrasi lima tahunan. Datang ke TPS, lagi-lagi, nalar pokoknya ditautkan pada sebuah fantasi kebangsaan yang diharapkan ke depan jauh lebih beradab, negara mampu mendistribusikan kesejahteraan dan hanya berpihak kepada akal sehat.

Inilah semacam "politik harapan" yang dibilang Erich Fromm (1996), sebagai kesadaran warga yang akan mampu melepaskan suasana kehidupan berbangsa dari sekapan keterasingan, kehampaan, dan keterperosokan, agar kita tidak  kehilangan otentisitas pengalaman sebagai manusia. Menemukan kembali  renaisans humanisme universal, menemukan lagi makna eksistensial sebagai bangsa.

Kata Fromm, khitah harapan itu berwatak paradoks. Harapan bukanlah menunggu secara pasif, juga bukan pemaksaan yang tidak masuk akal terhadap realitas yang tidak bisa dilakukan. Harapan tak ubahnya harimau buas yang tertangkap. Sang harimau akan melompat ketika tiba waktu yang tepat, bersiaga menunggu sang penunggu lengah. Berharap tidak seperti seorang laki-laki tua dalam The Trial Kafka yang diam berabad-abad menunggu pintu surga terkuak, tetapi tatkala pintu itu terbuka, ia masih diam dan meminta izin sampai kemudian sang penunggu itu berkata, "Tak seorang pun yang begitu bersikeras meminta izin kecuali Anda. Sekarang saya mau menutupnya!"

Berharap berarti siap setiap saat terhadap apa yang belum lahir, dan tidak menjadi nestapa jika tidak ada kelahiran. Orang yang memiliki harapan selalu memandang masa depan dengan optimistis dan tidak pernah henti menghargai datangnya fajar baru dan selalu siap membantu kelahiran dari rahim kehidupan yang lebih menyegarkan menawarkan angin perubahan.

Sumbu harapan
Harapan yang pada praktiknya diacukan pada sumbu keyakinan fitri (feith). Keyakinan bukan sekadar pantulan keberagamaan monolitik yang menganggap "liyan" sebagai keliru, tetapi adalah visi terang tentang keadaan masa depan dalam kehidupan warga yang plural.  

Keyakinan yang tidak bertalian dengan urusan administrasi politik keagamaan yang berwatak mesianistik dengan paradigma bipolar hitam-putih, bidah-sunnah, khilafah-demokrasi, dan lainnya khas paradigma para penggiat laskar keagamaan skolastik yang selalu mengidealisasikan format negara masa silam, tetapi adalah keyakinan yang dapat diukur akal budi yang ajek dan bisa dimusyawarahkan secara diskursif di ruang publik dalam kesetaraan. Di sini, seluruh warga berdiri sama tegak mendiskusikan masa depan bangsa, bukan disibukkan urusan eksklusif penghargaan terhadap masjid yang sesak saat shalat berjemaah dan ihwal lain yang seharusnya diselesaikan di ruang privat-keumatan bukan publik-kebangsaan.

Bukan keyakinan metafisis di mana ormas satu dengan lainnya berkontestasi saling berebut mendekat negara, merayu agar melakukan pemihakan terhadapnya. Memaksa pejabat negara untuk memiliki satu pandangan yang sama terhadap apa yang disebut mungkar yang sebermula telah terdefinisikan secara sepihak.

Haluan keberanian
Keyakinan yang dipadupadankan dengan keberanian (courage) dan ketabahan (Spinoza). Keberanian untuk mengatakan bukan sekadar "tidak" terhadap segala bentuk korupsi, melainkan juga bertindak jelas dan bekerja keras atas dasar kepentingan bangsa walaupun tindakan itu  dalam jangka pendek tidak populer.

Bukankah tempo hari keyakinan dan keberanian ini yang membuat manusia pergerakan bukan saja tidak mengenal rasa takut menghadapi kaum kolonial, melainkan juga mampu membangun sebuah imajinasi visioner tentang sebuah "negara" yang dibayangkan.  Jauh sebelum Indonesia diproklamasikan di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, Agus Salim, Tan Malaka, Muso, Hasyim Asy'ari, Ahmad Dahlan, Syahrir, Natsir, Amir Syarifuddin, dan tokoh lainnya menyuntikkan harapan kepada seluruh rakyat.

Yakni, bahwa ideologi yang mereka tawarkan bisa sangat berbeda, tetapi mereka bisa saling menghormati sekeras apa pun perbedaan itu. Entah berhaluan kiri, kanan, ataupun tengah, semuanya diperdebatkan di ruang konstituante sebagai sebentuk ijtihad mempercepat "revolusi harapan", revolusi yang dianggap Soekarno belum selesai. Meskipun untuk itu, mereka akhirnya harus mengalami akhir kehidupan mengenaskan. Sebut saja Soekarno yang diasingkan ke Istana Yaso, Bogor; Syahrir kesepian di Zurich, Swiss; Muso, Amir, dan Tan Malaka yang ditembak; Natsir yang dianggap "kurap" oleh negara fasis Orde Baru, dan sebagainya.

Hanya harapan yang dapat menyatukan "Indonesia" yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dengan ribuan pulau, etnik tidak sama, pilihan agama berbeda, dan budaya berlainan. Bersatu mengarak bendera, bahasa, dan negara yang sama. Minimal tergambarkan lewat puisi Muhamad Yamin berjudul "Sumpah Pemuda" yang dideklarasikan tahun 1928. Sumpah penuh rajah yang tidak pernah menjadi sampah. Mengharapkan kelahiran manusia bijak dari rahim pemilu tentu adalah sahih, tetapi ketika petahana "itu-itu"  juga yang didapatkan, mungkin kita masih harus merawat takdir sebagai bangsa yang masih lama hamil mengandung janin harapan.

Janji kebangsaan kita harus diinjeksikan pada palung spirit "menjadi" (to be), bukan "memiliki" (to have). Yang pertama yang akan mempertegas identitas bangsa penuh marwah, sementara modus memiliki yang  hari ini telah menyeret satu per satu mereka yang mengklaim "pemimpin" ke terali besi karena terbelit kasus korupsi, menjadi bangsat.

ASEP SALAHUDIN, Peneliti Lakpesdam PWNU Jawa Barat dan Dekan di Fakultas Syariah IAILM Suryalaya, Tasikmalaya

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005408322
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Mengukur Partai Terkorup (Adnan Topan Husodo)

BEBERAPA kalangan telah melansir daftar partai terkorup, yang menurut pengakuan penyusunnya, diambil dan diolah kembali dari laporan Indonesia Corruption Watch.

Berbagai pertanyaan lantas mengemuka, terutama berkaitan dengan kebenaran nukilan data tersebut. Sebagai salah satu penggagas penelitian mengenai tren korupsi di Indonesia yang biasanya dilansir oleh ICW secara rutin setiap semester, ada beberapa hal yang perlu diluruskan dalam laporan daftar partai terkorup tersebut. Hal ini untuk menghindari persepsi publik yang keliru sekaligus menjelaskan metodologi riset yang dilakukan ICW berikut catatan mengenai kelemahannya.

Selama ini laporan tren korupsi yang disusun ICW hanya bergantung pada publikasi penanganan kasus korupsi di media massa, terutama media online yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Sedari awal pendekatan ini sudah mengandung kelemahan, yakni tak bisa menggambarkan secara lebih representatif kecenderungan korupsi secara umum karena tidak semua media massa di Indonesia memiliki versi online. Pada saat yang sama data mengenai kasus korupsi yang dikumpulkan akan sangat bergantung pada ada atau tidak pemberitaan akan hal itu.

Demikian halnya data atau informasi yang terkumpul juga akan sangat bergantung pada kejelian peneliti untuk mencarinya. Bisa saja ada kelengahan, baik pada sisi jurnalis maupun peneliti. Jurnalis mungkin tak akan terus-menerus memberitakan proses hukum kasus korupsi karena sangat bergantung pada beberapa faktor. Misalnya, cepat atau lambat penanganan perkara korupsi itu dan terbuka atau tidaknya lembaga peradilan dalam persidangan. Sementara peneliti mungkin alpa memasukkan informasi yang sebenarnya ada dalam pemberitaan.

Daftar partai terkorup?
Meski demikian, secuil informasi dalam laporan tren korupsi bisa menunjukkan fakta tindak pidana korupsi dari berbagai sisi. Misalnya kecenderungan aktor yang terlibat, sektor pemerintahan yang rawan, estimasi nilai kerugian negara, dan modus korupsi yang terjadi di mana semua data tersebut sangat bermanfaat dalam penyusunan kebijakan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Akan halnya daftar partai terkorup―—PDI-P pada urutan pertama dengan 84 kasus korupsi, disusul Golkar 60 kasus, sementara dua partai terbawah, yakni PKS 2 kasus dan PKPI 1 kasus―—yang ramai diperbincangkan di media sosial perlu disikapi secara kritis dari berbagai sisi. Daftar partai terkorup dapat melahirkan kesimpulan prematur yang menyebabkan persepsi publik atas kategori mana partai yang korup dan yang bukan jadi sangat sederhana karena hanya bergantung pada angka kasus korupsi. Padahal, besar kecil jumlah kasus korupsi yang melibatkan politisi akan sangat bergantung pada banyak hal. Ditambah lagi data tersebut disebarluaskan menjelang pemilu yang menimbulkan dugaan adanya motif politik tertentu dari penyusunnya.

Kader partai yang bermain proyek, memeras, menyelewengkan wewenang, menerima suap, dan berbagai jenis korupsi lainnya tak akan mungkin bisa terpantau sepenuhnya oleh otoritas penegak hukum. Hasilnya, tak semua praktik korupsi dalam jumlah yang riil dapat diungkap dan diproses secara hukum, terkecuali sedikit di antaranya karena adanya laporan masyarakat atau temuan audit. Dengan kata lain, mengukur tingkat korupsi adalah pekerjaan teramat mustahil karena angka aktual korupsi tidak akan pernah bisa diperhitungkan (Wedeman, 2004).

Sementara itu, integritas dan profesionalisme penegak hukum juga jadi salah satu faktor penting apakah korupsi (politik) bisa diproses secara hukum. Bisa saja dalam sistem rule of law yang lemah, kejahatan korupsi tak dapat diungkap secara serius. Dalam konteks Indonesia, nyatanya baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang lebih sering menangani perkara korupsi politik dibandingkan kolega mereka, yakni Kejaksaan Agung dan Mabes Polri. Sementara itu, di sisi lain, jangkauan KPK sangat terbatas. Pendek kata, kasus korupsi yang ditangani penegak hukum tak dapat digunakan sebagai satu-satunya cara menyimpulkan bahwa A partai terkorup dan B partai paling tidak korup.

Karena kasus korupsi tak bisa dijadikan ukuran tunggal untuk memberikan label partai terkorup dan bukan, perlu digunakan cara lain yang lebih obyektif, yakni dengan melihat tata kelola internal partai politik. Transparansi Internasional Indonesia (TII) telah melansir metodologi bernama CRINIS untuk mengukur tingkat transparansi dan akuntabilitas partai yang dapat dilihat dari bagaimana partai mengelola dana politik mereka. Karena pendanaan partai politik adalah jantung dari persoalan korupsi, dengan melihat aspek transparansi dan akuntabilitas pengelolaan pendanaan partai publik dapat menilai lebih obyektif mana partai politik yang korup dan mana yang bukan.

Definisi partai terkorup
Secara sederhana, korup atau tidaknya partai dapat dilihat dari apakah partai menyediakan informasi kepada publik mengenai laporan pendanaan politik mereka (dana kampanye maupun dana partai). Selain tersedia, apakah partai juga memublikasikan data/informasi tersebut seperti melalui situs, dan apakah partai politik sudah taat melaporkan penggunaan dana partai politik yang bersumber dari APBN kepada pemerintah.

Dari penelitian tersebut, TII menyimpulkan bahwa secara umum partai politik di Indonesia belum memiliki keterbukaan yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat transparansi dan akuntabilitas yang baik. Ini terutama untuk kategori informasi yang wajib tersedia seperti buku laporan keuangan partai politik, daftar identitas penyumbang, rekening keuangan partai politik, dan sebagainya (TII, 2013).

Sejalan dengan penelitian TII, uji informasi publik yang dilakukan ICW beserta mitra kerja di sejumlah daerah juga menemukan gejala serupa, yakni partai cenderung resisten jika dimintai laporan keuangan mereka (ICW, 2012). Dari dua penelitian tersebut, bisa dikatakan jika partai politik Indonesia belum bisa dikategorikan sebagai partai yang transparan dan akuntabel.

Kecenderungan untuk berlaku tertutup atas laporan keuangan mereka sebenarnya menunjukkan sesuatu yang lebih bermasalah daripada deretan angka korupsi yang mengemuka. Ibarat sungai, arus permukaan yang tenang tidak bisa menggambarkan gejolak dan kedalamannya. Walhasil, 84 kasus korupsi ataupun satu dan dua kasus korupsi tidaklah banyak berbeda. Pembedanya sangat mungkin hanya soal nasib apes karena kebetulan tertangkap KPK.

Adnan Topan Husodo, Anggota Perkumpulan Indonesia Corruption Watch, Tengah Belajar di University of Melbourne, Australia

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005669988
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Di Mesir, Tentara Masih Populer (Kompas)

AKHIRNYA, Abdel Fatah El-Sisi meletakkan jabatan sebagai menteri pertahanan dan menyatakan akan maju sebagai kandidat presiden.
Dikatakan "akhirnya" karena memang selama beberapa bulan terakhir namanya sudah disebut-sebut—bahkan posternya pun sudah bertebaran di mana-mana—bahwa ia akan mencalonkan diri sebagai presiden. Memang, sejak Sisi membawa tentara menjawab permintaan rakyat—istilah yang digunakan ketika itu—menyingkirkan presiden hasil pemilu demokratis pertama setelah revolusi, Mohammad Mursi, namanya langsung membubung tinggi.

Ia dipuja-puja, tentu dengan seluruh jajarannya, sebagai penyelamat bangsa. Sisi (59), yang diangkat oleh Mursi untuk menjabat sebagai menteri pertahanan, muncul pada saat yang tepat, yakni ketika rakyat sampai pada puncak kekecewaannya terhadap Mursi yang dianggap tidak mampu melaksanakan amanah revolusi, memulihkan perekonomian, dan hanya mementingkan kelompoknya sendiri, Ikhwanul Muslimin.

Kalau nanti, dalam pemilu yang menurut rencana akan dilaksanakan beberapa bulan mendatang, Sisi memenanginya, kemenangan itu mempertegas bahwa Mesir memang tidak bisa keluar dari "tangan" tentara. Sejak Revolusi 1952, yang mengakhiri pemerintahan Dinasti Muhammad Ali, Mesir di bawah kekuasaan tentara kecuali Mursi, presiden sipil pertama. Empat presiden sebelumnya adalah tentara: Muhammad Naguib, Gamal Abdel Nasser, Anwar Sadat, dan Hosni Mubarak.

Keterlibatan militer dalam politik sudah berlangsung sejak Nasser merebut kekuasaan pada 1952. Sejak saat itu, peran militer dalam percaturan politik tidak bisa dipisahkan. Bahkan, dikatakan militer menciptakan negara dalam negara. Tersingkirnya Mubarak pada 2011 pun tidak terlepas dari campur tangan militer. Karena itu, Revolusi 2011 sering disebut sebagai "setengah rakyat dan setengah militer". Salah satu slogan yang diteriakkan rakyat ketika itu adalah "rakyat dan tentara bersatu".

Kini, hal itu seperti terulang lagi: tentara di bawah kepemimpinan Sisi dianggap berjasa menyelamatkan negara. Karena itu, rakyat pun mendukungnya. Sekarang ini, memang, Mesir membutuhkan pemimpin yang kuat, yang mendapat dukungan militer. Begitu banyak persoalan yang dihadapi Mesir—mulai dari masalah ekonomi, sektarian, terorisme, keamanan, hingga politik—sekarang ini. Munculnya tokoh kuat, sekalipun tentara, tidak menjadi masalah asal bisa menyelamatkan negara. Walaupun taruhannya adalah berkurangnya kebebasan.

Popularitas Sisi rasanya tidak tertandingi oleh kandidat lain, seperti Hamdeen Sabbahi, kandidat dari kelompok Nasseris. Dengan demikian, peluang Sisi untuk menang sangat besar. Dan, itu berarti Mesir kembali ke tangan militer atau sekurang-kurangnya purnawirawan lagi.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005737212
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Nyepi Menjelang Pileg 2014 (Kompas)

PERAYAAN  hari Nyepi 1936 Saka jatuh pada 31 Maret 2014. Namun, gaduh kampanye membuat berbeda dengan hari raya Nyepi tahun sebelumnya.

Kegaduhan tidak hanya terlihat di spanduk, baliho, foto-foto luar biasa besar orang-orang mejeng di jalan-jalan protokol, ramainya iklan di media cetak, elektronik, dan digital, tetapi juga panggung kampanye dengan berbagai gaya karbitan para juru kampanye.

Bahasa kampanye menjelang pemilu legislatif sama: jualan diri. Lebih kurang menampilkan keunggulan diri (partai) terhadap yang lain. Pendek kata, jualan kecap dengan trademark "tak ada kecap nomor dua". Selalu dilengkapi dengan penyanyi-penyanyi penghibur, bagi masyarakat umum panggung kampanye tidak lebih dari panggung hiburan.

Tidak semua kampanye adalah hoax (bohong), tidak juga seluruhnya benar dan jujur. Benar dalam arti janji-janji itu dipenuhi, jujur dalam arti yang dikatakan sebagai cerminan niat dan hati kecil. Nafsu besar caleg, capres-cawapres, dan partai untuk menang bisa membuat makna kampanye runtuh oleh kebohongan atas nama kejujuran dan janji-janji manis yang siap dimungkiri.

Kampanye dan kontestasi itu ajakan berpartisipasi. Partisipasi adalah syarat minimal demokratisasi (Robert Dahl). Keduanya merupakan keharusan setiap proses pileg dan pilpres. Dalam suasana serba transparan dan kemajuan teknologi modern sekarang, kebohongan gampang terkuak.

Sindir-menyindir dan saling menjelekkan di atas panggung segera terlihat oleh kenyataan di balik panggung. Barangkali tidak terbukti oleh kegairahan ikut kampanye, tetapi ketika mencobloskan paku ke pilihannya pada 9 April nanti. Masyarakat semakin cerdas dan melek, selain oleh ketersediaan sarana, pengetahuan, dan kemuakan, juga oleh ketajaman hati.

Demokrasi tidak selesai dipenuhi secara prosedural (Huntington), tetapi juga terlaksana dalam suasana bebas, adil, dan rahasia. Posisi wasit semacam KPU dan Bawaslu diperlukan agar ikut menjaga prosedur dipenuhi dan dijalankan tanpa kebohongan, apalagi disertasi sikap dan langkah keberpihakan kepada kontestan tertentu.

Terpenuhinya syarat-syarat minimal pileg yang adil, bebas, dan rahasia dikembalikan pada pilihan bebas setiap pemilih dengan tetap mempertimbangkan berbagai kendala yang terus terjadi, seperti kesiapan sarana atau kericuhan administratif. Hasil survei memang bisa tidak mencerminkan realitas, tetapi ketika survei tidak dimuati titipan, hasilnya menguakkan sebagian besar kebenaran. Mengenal sosok-sosok caleg dan partainya, berarti mengingat kembali rekam jejak masing-masing.

Nyepi 2014 sinkron dengan hari-hari menjelang hari-H 9 April. Kita manfaatkan kesempatan ini sebagai introspeksi saat kita ingin ikut serta mengatur masa depan negara dan pemerintahan kita, Indonesia.

Selamat hari raya Nyepi Tahun Baru Saka 1936!

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005740251
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 28 Maret 2014

Belajar dari Alam dan Orang Desa (M Dwi Marianto)

DALAM suatu perbincangan santai, tahun lalu, di Bandung, seorang guru besar bidang seni pernah bercerita tentang pengalamannya di bandara internasional yang menyediakan fasilitas yang menurut dia istimewa.
Penggalan ceritanya demikian: "Wah, airport di Korea bagus sekali. Di sana tersedia tempat-tempat ibadah untuk berbagai agama."

Paparan itu membekas tajam di pikiran saya. Hal itu menyembul kembali ketika saya transit (Desember 2013) di Bandara Heathrow, London. Tepatnya ketika saya melihat tanda "Interfaith Prayer and Meditation Room".

Kesadaran multikultur
Di bandara dunia yang sangat sibuk dengan penerbangan yang padat, manajemennya tetap berusaha mengakomodasi kepentingan kultural para pengguna—yang berasal dari banyak negara, budaya, dan kepercayaan—dengan sesuatu yang sekilas simpel, tetapi menyampaikan pesan tentang kesadaran multikultural. Ingatan dan konsep tentang pelayanan multikultural itu mengemuka lagi setelah saya membaca artikel Achmad Munjid, "Pengajaran Agama Interreligius" (Kompas, 4/01/2014).

Tulisan ini adalah tanggapan atas tulisan visioner itu, untuk mengatakan bahwa pendidikan multireligius dan interreligius itu bukan hanya penting dan lebih mencerahkan, melainkan juga esensial dan fundamental bagi kesinambungan pergaulan sosio-kultural atau interaksi kemanusiaan. Daya hidup kesinambungan sosio-kultural hanya dapat berjalan secara baik, aman, indah, dan kreatif apabila masyarakat pendukungnya memberikan ruang dan toleransi bagi kemajemukan.

Achmad Munjid membuka tulisannya dengan ilustrasi makin maraknya fenomena eksklusivisme sektarian yang memungkiri kebinekaan masyarakat/bangsa Indonesia. Fenomena sosial yang disoroti dan dijadikan ilustrasi, di antaranya kos khusus Muslim, makam Muslim, kompleks perumahan Muslim, dan polemik tentang haram/halalnya mengucapkan selamat Natal yang telah menjadi rutinitas tahunan. Realitas ini adalah indikator lumpuhnya kemampuan sosial dalam melakukan navigasi dalam masyarakat yang sejak awal dibentuk oleh pluralitas. Munjid menduga bahwa muatan dan pendekatan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum/negeri ikut memainkan peran kunci dalam persoalan ini sehingga dapat diartikan sebagai penyebab utama persoalan yang menggejala.

Kiranya keprihatinan Munjid layak menjadi perhatian bersama. Pendidikan yang bersifat agama monoreligius identik dengan pendidikan yang monokultural. Monokultur (budaya tunggal) adalah bentuk kehidupan yang tunggal dan seragam. Alam tak suka akan budaya-budaya seragam (Pattrick J Deneen) karena budaya seperti ini sangat rentan terhadap virus atau hama. Kerusakan yang akan terjadi bersifat total dan serempak.

Pendidikan agama monoreligius akan rentan pula terhadap ideologi radikal. Biasanya pendidikan macam ini tak memiliki banyak variasi dalam memberikan ilustrasi yang lengkap dan holistik. Sebab, yang diutamakan adalah metode pembelajaran dan tes yang terstandardisasi: tidak membuat peserta didik menjadi manusia yang utuh, dengan pemahaman akan dunia secara holistik. Yang diberikan gambaran- gambaran sempit, cenderung hanya memuji diri sendiri, dan sebaliknya buta terhadap budaya pihak lain. Akibatnya, metode pembelajaran macam ini hanya memproduksi alumni yang tidak adaptif terhadap dunia yang berubah, bahkan berpotensi (menurut Deneen) menjadi suatu gerombolan terideologi tunggal yang mudah dimobilisasi.

Padahal, pembentukan masyarakat yang plural adalah kebutuhan sosial mendasar. Sebab, di mana dan kapan pun akan terjadi petaka ketika sekumpulan orang yang besar bergerak ke arah yang sama, secara serempak, memperebutkan ruang, kesempatan, dan materi yang terbatas. Dalam keadaan seperti ini yang terjadi hanya desak-desakan, saling dorong, bahkan injak-injakan yang fatal. Malapraktik yang kuat yang menang akan berulang dengan sendirinya dalam situasi serba seragam dan serentak.

Sejalan dengan pemikiran Munjid, alam dan manusia memang memerlukan kebinekaan nyata. Keberagaman ritual, tradisi, dan budaya dalam menghadirkan religiusitas perlu dilihat sebagai potensi, hikmah, atau subyek pembelajaran agama secara multikultural dan interkultural. Namun, untuk merealisasikan keinginan itu diperlukan komitmen bersama para pelaku dunia pendidikan yang sesungguhnya telah diatur dalam UUD 1945.

Kesadaran bersama
Kembali ke topik utama, Ahmad Munjid memaparkan fenomena kultural yang terjadi di wilayah urban di Yogyakarta sebagai ilustrasi tulisannya. Ini adalah suatu ironi signifikan yang perlu disikapi secara komprehensif karena Yogyakarta sejauh ini dikenal sebagai kota pelajar yang menerima keberagaman.

Sebagai pembanding, 10 hari sebelum artikel Munjid diterbitkan, dilangsungkan suatu peristiwa multidimensional sekaligus interreligius di dua daerah di lereng Gunung Merapi, yaitu di wilayah Klaten dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (lihat: "Natal Budaya: Air, Berkah Kehidupan untuk Semua", Kompas, 26 Desember 2013).

Di dua tempat yang relatif jauh dari kota, di Dusun Surowono, perayaan Natal dikemas dengan kegiatan budaya yang bertema "Mengambil Air Hujan". Melalui aktivitas itu masyarakat dari berbagai keyakinan dan agama (Islam, Kristiani, dan Hindu) diminta mengumpulkan air hujan dan ditampung dalam botol-botol plastik. Sampel air hujan yang dikumpulkan itu  dimasukkan dalam kendi lalu secara khusus didoakan oleh tiga tokoh agama tersebut di atas. Air yang telah didoakan dan diberkati secara multireligius itu lalu diarak keliling kampung bersama-sama.

Kesadaran mengumpulkan air hujan untuk keperluan sehari-hari, terutama untuk memberi minum ternak masyarakat, menjadi ruang kebersamaan baru  yang menyatukan masyarakat dari berbagai keyakinan. Perayaan religius itu jadi atraksi budaya yang dimeriahkan sejumlah seniman dari Solo, Magelang, dan Klaten. Hal itu menjadi pengalaman langsung multi dan interreligius masyarakat yang majemuk sekaligus awal suatu strategi teknis-kreatif masyarakat dalam menghadapi kemungkinan kemarau panjang yang datang sewaktu-waktu.

Akhirnya, jika nanti (sebagaimana diimpikan banyak orang di antaranya Achmad Munjid) metode dan pendekatan multireligius dan interreligius diputuskan jadi dasar pijakan bersama, perlu dipikirkan juga mimpi bersama bangsa ini sebagai pedoman, yaitu pendidikan agama yang menghargai dan menghormati keberagaman guna menciptakan perdamaian dan kemakmuran bersama.

M Dwi Marianto, Pengamat Seni dan Budaya; Dosen ISI Yogyakarta

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005570332
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Arah Politik Buruh (Rekson Silaban)

MENGAPA buruh belum menjadi kekuatan penting politik di Tanah Air, padahal dari segi jumlah dan kemudahan mobilisasi sangat berpotensi sebagai kekuatan penekan? Jawabnya, karena kekuatan buruh masih terpencar dalam berbagai blok. Selain terpencar dalam berbagai organisasi buruh, pemimpin buruh juga terpencar dalam aliansi politik yang tidak terpola.
Artinya, aliansi politik yang terjadi bukan karena ada korelasi perjuangan buruh dengan program politik partai, melainkan karena posisi politik pemimpin serikat dengan partai tersebut.

Di pihak lain, akibat situasi di atas, partai politik sendiri tidak berusaha menggandeng serikat buruh karena minimnya kemungkinan bisa mendulang suara dari kekuatan yang terfragmentasi itu. Kegagalan beberapa pemimpin serikat buruh memasuki "Senayan" sebagai anggota DPR dengan menggunakan label buruh mengonfirmasi premis di atas.

Mengapa buruh menjauh dari politik? Jawaban klasik yang biasa dikemukakan adalah karena depolitisasi politik yang dibuat di masa Orde Baru. Tetapi, reformasi, kan, sudah berlangsung 15 tahun? Mayoritas anggota serikat buruh saat ini adalah generasi yang tidak ikut mengalami trauma politik yang dilakukan rezim Orde Baru. Mereka adalah generasi yang dibesarkan media sosial, relatif terbuka dengan ide baru, hidup dalam era kebebasan. Mereka berbeda dengan generasi sebelumnya.

Dari pengamatan penulis, buruh tidak tertarik ke politik akibat rendahnya pemahaman buruh tentang apa korelasi pilihan politik dengan desain politik ketenagakerjaan. Pelatihan yang dilakukan serikat buruh lebih menitikberatkan pada hak-hak normatif; upah minimum, perjanjian kerja; jaminan sosial; tetapi kurang menelaah akar masalahnya.

Misalnya, masalah yang kerap disuarakan saat demo buruh adalah penghapusan sistem kerja alih daya (outsourcing). Ini adalah tuntutan yang secara ideal bagus, tetapi tidak realistis. Sebab, tidak ada satu pun negara di dunia ini yang bebas dari praktik alih daya. Praktik itu telah menjadi kondisi yang diperlukan dalam pasar kerja global. Yang membedakannya hanyalah ada negara lebih liberal dari yang lainnya, dengan tidak melakukan pembatasan atas jenis pekerjaan yang bisa dialih daya.

Ada juga negara yang memiliki pengawasan yang lebih kuat sehingga tidak sewenang-wenang melanggar UU, seperti buruknya penyimpangan hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Gerakan buruh Indonesia umumnya kuat dalam mobilisasi penolakan, tetapi lemah di tahap pengajuan alternatif. Kalaupun ada alternatif hanya seputar besaran angka rupiah saat menuntut upah minimum.

Padahal, yang paling diperlukan saat ini adalah apa pilihan sistem ketenagakerjaan Indonesia untuk mengurangi jumlah pekerja informal yang masih 64 persen; bagaimana menghentikan meluasnya praktik fleksibilitas kerja (buruh kontrak, alih daya, bekerja tanpa kontrak); apa sistem pengawasan yang sesuai dengan otonomi daerah; sistem pengupahan yang berkorelasi dengan produktivitas; sistem pendidikan, pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja; dan model penguatan gerakan buruh, dan sebagainya.

Tuntutan politik buruh 2014
Peran serikat buruh akan semakin penting seiring dengan makin meluasnya peran industrialisasi. Pendekatan Indonesia untuk buruh harus berubah dari pendekatan keamanan ke pendekatan ekonomi kesejahteraan. Selama ini departemen ketenagakerjaan selalu ditempatkan di bawah koordinasi menteri koordinator politik dan keamanan, bukan di bawah menteri koordinator ekonomi, keuangan, dan industri. Seolah situasinya masih dalam bingkai (politic setting) politik Orde Baru.

Serikat buruh bukan lagi ancaman ideologis bangsa, melainkan sudah menjadi potensi besar ekonomi bangsa. Serikat buruh di mana pun tidak pernah berkeinginan merebut kekuasaan. Jadi, berhentilah memarjinalkan kaum buruh. Sebab, sangat memalukan sebagai negara yang tergabung dalam G-20, 75 persen angkatan kerjanya hanya berpendidikan SMP, 64 persen pekerja informal, hanya 10 persen yang berpendidikan perguruan tinggi. Sampai kapan pun buruh akan selamanya miskin, tidak produktif, bila akses ke pendidikan tetap mahal.

Pemerintah, partai politik, mengetahui masalah ini. Namun, beberapa kali rezim berganti, data-data statistik tentang pendidikan, pekerja informal tidak banyak berubah.

Apakah Pemilu 2014 menghasilkan kemungkinan perubahan? Itu bergantung pada kemauan pemimpin buruh. Gerakan buruh tidak boleh jadi peminta-minta atau berharap pemerintah akan memahaminya. Buruh harus menuntut, merumuskan keinginannya secara jelas, dengan mengusung keinginan buruh, bukan keinginan politik pribadi atau partai.

Peluang mendesakkan tuntutan sangat terbuka dalam pemilu kali ini karena tidak bisa dimungkiri gerakan buruh yang berkembang dalam lima tahun terakhir telah menjadi elemen paling progresif dibandingkan elemen pergerakan lainnya. Buruh diuntungkan karena mudah diorganisasikan dan dimobilisasi, berada dalam ritme, irama, dan psikologi yang sama.

Jadi, sudah saatnya gerakan buruh bergerak dari tuntutan normatif ke tuntutan politik. Urusan normatif bisa dikerjakan pemimpin tingkat perusahaan, pemimpin nasional memikirkan sistem ekonomi-politik yang baik untuk buruh dan Indonesia. Jumlah buruh Indonesia sebanyak 128 juta, pilihan politik buruh berpotensi memengaruhi politik Indonesia. Partisipasi politik yang buruk akan menghadirkan representasi politik yang buruk.

Dalam banyak negara, buruh yang terorganisasi dalam serikat buruh memainkan peran penting dalam memperkuat stabilitas politik, mengurangi melebarnya rasio gini; meningkatkan legitimasi pemerintah kepada rakyat akibat program jaminan sosial; upah; meruntuhkan permusuhan religius dan etnis. Lihatlah negara yang memiliki tradisi serikat buruh kuat, seperti Jerman, Inggris, negara di Skandinavia, Jepang, Brasil, Australia, dan lainnya, selalu memiliki rasio gini ketimpangan kecil, demokrasi stabil, demo buruh pun jarang terjadi. Apalagi demo yang berkaitan dengan upah minimum.

Tiga peristiwa krusial
Ada tiga peristiwa krusial yang penting dimanfaatkan buruh pada tahun politik. Pertama, partai apakah yang sesuai untuk dipilih buruh? Tampaknya tidak ada partai yang benar-benar disukai buruh. Namun, sebagai petunjuk awal, buruh sebaiknya memilih partai yang memiliki program untuk ketenagakerjaan. Kalau ada pemimpin buruh yang menjadi caleg partai tapi tidak memiliki struktur yang mengurusi buruh, maka akan sulit mengharapkan calon tersebut optimal mendukung perjuangan buruh.

Titik krusial kedua adalah pemilihan presiden. Calon-calon presiden yang saat ini kampanye tidak satu pun yang berlatar belakang aktivis buruh, semuanya berlatar belakang pengusaha. Untuk kasus ini, buruh bisa memilih calon presiden yang memiliki perspektif ekonomi ketenagakerjaan makro, tidak penggemar kebijakan privatisasi, yang mempromosikan kedaulatan ekonomi, tidak memiliki catatan buruk atas pelanggaran hak buruh, yang mengutamakan perundingan ketimbang menjalankan pendekatan keamanan untuk mengamankan buruh.

Yang terakhir adalah posisi menteri tenaga kerja baru. Sebaiknya kali ini harus seorang yang sungguh-sungguh memahami dunia ketenagakerjaan, dan memiliki semangat mempromosikan dialog sosial (bipartit, tripartit). Bukan jatah sebagai partai koalisi. Posisi ini menjadi sangat penting karena bisa dipastikan presiden mendatang tidak memahami berbagai kerumitan ketenagakerjaan yang saat ini makin rumit.

Implikasi globalisasi terhadap pasar kerja, pasar bersama
ASEAN 2015, masalah migrasi global, jaminan pensiun, strategi formalisasi pekerja informal adalah hal-hal yang memerlukan kompetensi tinggi yang perlu dimiliki menteri tersebut. Semoga elite buruh memanfaatkan tahun demokrasi ini untuk mempercepat pencapaian hidup layak.

Rekson Silaban, ILO Governing Body

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005670830
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Disorientasi Partai Politik (William Chang)

POTRET parlementer negara kita kian buram. Gara-gara sejumput duit, status yuridis puluhan wakil rakyat berubah menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan. Padahal, tak sedikit duit yang sudah dialokasikan buat gelanggang parlemen. Disorientasi partai politik atau krisis identitas "wakil rakyat"?
Krisis jati diri anggota parlemen di Jakarta, Papua, Padang, dan daerah lainnya melahirkan disorientasi seluruh sistem perwakilan rakyat. Gaya hidup aji mumpung memintal mental profitisasi kursi parlementer yang menyedot uang semir, siluman, THR, dan komisi dari individu/instansi terkait DPR(D). Tentu keadaan ini menyemarakkan gawai korupsi di kalangan anggota parlemen, pejabat pemerintah, dan penentu kebijakan.

Sebenarnya sudah lama tercium bau tak sedap di kalangan anggota parlemen yang tergiur fee proyek, penentuan jabatan-jabatan strategis, dan pemberian izin-izin khusus. Hanya saja sebagian anggota parlemen menutup sebelah mata dan berusaha meredam bau bangkai ini. Namun, kebocoran cerobong migas di Gelanggang Gelora Senayan tak terbendungkan. Dalam suasana disorientatif ini, di manakah suara dan kepentingan rakyat ditempatkan? Apakah hanya kepentingan individual dan parpol yang diperjuangkan anggota parlemen?

Lambang parpol
Tampaknya gejala "skizofren" sedang menyerang sejumlah anggota parlemen. Di satu sisi, mereka adalah pribadi yang memiliki suara dan kepentingan individual. Namun, di sisi lain mereka adalah "wakil rakyat" yang bernaung di bawah parpol. Bagaimana mereka seharusnya menempatkan diri dalam keadaan dilematis ini? Apakah mereka lebih memprioritaskan kepentingan parpol di atas suara/kepentingan rakyat dan pribadi? Tanpa skala prioritas yang proporsional akan timbul disorientasi sistem perwakilan bangsa kita.

Hampir semua anggota parlemen mengenakan pralambang parpol sebagai kendaraan menuju kursi parlementer. Masalahnya, benarkah visi dan misi setiap parpol de facto mendahulukan kepentingan rakyat? Atau sesama parpol berkolusi menyelamatkan diri dari jeratan hukum atas diri pelanggar hukum dengan menyalahgunakan wewenang, korupsi, dan permainan politik kelas tinggi?

Sejumlah (anggota) parpol tampaknya bersikeras memandulkan kekuatan sanksi hukum positif melalui RUU KUHAP yang akan mereka sahkan. Pada- hal, MA, Polri, BNN, PPATK, dan rakyat Indonesia berkeberatan mengesahkan RUU KUHAP.

Sekarang rakyat bisa melihat dengan mata hati selebar-lebarnya untuk mengevaluasi orientasi setiap parpol di Tanah Air. Apakah setiap parpol sungguh memihak dan memperjuangkan kepentingan rakyat? Apakah parpol itu diwakili oleh anggota-anggotanya yang korup dalam badan perwakilan rakyat? Masih akankah kita memilih anggota parpol yang bolos rapat, memikirkan kepentingan individual, dan tidak membawa perbaikan berarti dalam lembaga perwakilan rakyat?

Sebagai makhluk paradoksal, setiap pemilih memiliki akal sehat (rasionalitas) dan perasaan manusiawi. Dalam konteks pemilihan politik, terjadi persaingan dominasi rasional dan perasaan? Dimensi rasional atau perasaan yang akan lebih diprioritaskan? Tinjauan metafisis mengingatkan bahwa perasaan pada hakikatnya tidak dapat diperdebatkan (de gustibus non disputandum est). Sementara itu, rasionalitas mengandung butir-butir pemikiran yang benar dan baik. Dengan sendirinya, yang sebaiknya diprioritaskan adalah peran rasionalitas ketimbang perasaan sesaat dalam pemilihan wakil rakyat atau presiden.

Radar suara rakyat
Secara konstitusional keberadaan parpol mengungkapkan kesetiakawanan diri dan keterlibatan aktif dalam peningkatan keadilan dan kesejahteraan di kalangan rakyat jelata. Dalam ajang perpolitikan, parpol berperan sebagai radar yang menangkap, menyergap, serta mengerti aspirasi dan tuntutan rakyat. Seharusnya setiap parpol memiliki kuping yang panjang, tajam, dan bijaksana menelaah suara rakyat berlalu tanpa bekas.

Menurut Gino Concetti dalam I partiti politici e l'ordine morale (1981), setiap parpol perlu mengingat enam peran utama dalam hidup berpolitik.

Pertama, setiap parpol seharusnya menjadi ekspresi dan artikulasi kepentingan rakyat melalui sistem kepartaian. Dalam konteks ini parpol tampil sebagai pengantara.

Kedua, parpol mentransformasi bahan baku politik menjadi kebijakan dan keputusan dalam memajukan kepentingan umum.

Ketiga, melalui proses partisipasi, parpol seharusnya mengintegrasikan individu ke dalam suatu sistem politik.

Keempat, parpol berusaha mengajukan usul-usul kebijakan supaya mendapat dukungan seluas mungkin. Parpol berani menjatuhkan sanksi bagi anggota yang tidak loyal dengan visi-misi parpol.

Kelima, setiap parpol memiliki sistem kontrol internal dan terhadap pemerintah dalam kegiatan harian.

Keenam, parpol tidak hanya memobilisasi dan memerintah, tetapi juga harus menciptakan kondisi-kondisi bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan rakyat.

Benarkah semua mesin parpol di Tanah Air telah memerankan lakon utama tersebut atau parpol-parpol di Tanah Air lebih sibuk memikirkan kekuatan finansial internal parpol? Sudahkah legitimasi etis diterapkan dengan konsisten dalam tubuh parpol? Opini dan sepak terjang anggota parpol mencerminkan orientasi sebuah parpol dalam mengurus masalah-masalah bangsa.

Pemilihan anggota legislatif dan presiden/wakil presiden mendatang sebaiknya tidak dipengaruhi oleh merdunya lagu- lagu dan slogan-slogan kampanye bernada politik. Setiap pemilih yang kritis tentu menggunakan akal sehat, ketelitian, dan kebijaksanaan dalam menjatuhkan suara.

Yang jelas, perlu diwaspadai pasar perdagangan suara pemilih dengan bujuk rayu dan deretan janji politik yang menggiurkan. Sudah waktunya parpol yang disorientatif ditinggalkan.

William Chang, Pengampu Kuliah Etika Sosial STIE Widya Dharma, Pontianak

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005716108
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Keluar dari Impor Pangan (Siswono Yudo Husodo)

INDONESIA adalah pengimpor pangan yang sangat besar. Nilainya sekitar 9 miliar dollar AS, atau setara lebih dari Rp 100 triliun, setiap tahun dan angka ini terus membesar dari tahun ke tahun.
Menurut GreenPool Commodities (Australia), Indonesia menjadi importir gula terbesar dunia di tahun 2013, menggeser China dan Rusia.  

Pada tiga tahun terakhir, setiap tahun rata-rata Indonesia mengimpor 1,5 juta ton garam (50 persen kebutuhan garam nasional), 70 persen kebutuhan kedelai nasional, 12 persen kebutuhan jagung, 15 persen kebutuhan kacang tanah, 90 persen kebutuhan bawang putih, 30 persen konsumsi daging sapi nasional, 70 persen kebutuhan susu; sementara impor buah (jeruk mandarin, apel, anggur, pir) dan sayuran  juga terus meningkat.

Jika tidak mampu meningkatkan produksi pangannya, Indonesia akan terus mengalami defisit neraca perdagangan pangan, yang telah menguras devisa kita dan memperlemah nilai tukar rupiah. Di tahun 2012, defisit perdagangan subsektor tanaman pangan mencapai 6,7 miliar dollar AS, hortikultura 1,3 miliar dollar AS, serta peternakan 2,9 miliar dollar AS. Di tahun 2013 (data sampai September) subsektor tanaman pangan defisit 3,8 miliar dollar AS, dengan hortikultura defisit 876,9 juta dollar AS, dan peternakan defisit 1,66 miliar dollar AS.

Indonesia perlu segera meningkatkan produksi dan kualitas pangannya secara signifikan. Hal ini mengingat penduduk yang 250 juta jiwa terbesar keempat di dunia; dengan laju pertambahan sekitar 1,3 persen per tahun. Selain itu, tingkat konsumsi pangan per kapita masih rendah, yang perlu ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM)-nya.

Kebutuhan peningkatan produksi dan kualitas pangan juga didorong oleh meningkatnya jumlah kelas menengah. Kelas menengah adalah warga negara yang pengeluaran per kapita per harinya 2 dollar AS-20 dollar AS.

Data Bank Dunia menyebutkan, pada tahun 2003, kelas menengah Indonesia mencapai 37,7 persen dari populasi; pada 2010 kelas menengah berjumlah 134 juta jiwa atau 56,5 persen populasi, dan akan terus meningkat. Membesarnya kelas menengah Indonesia membutuhkan pangan yang lebih banyak dan lebih bermutu. Karena produksi dalam negeri tak dapat memenuhinya, impor pangan meningkat sangat besar.

Memperluas lahan
Tersedianya luasan lahan pertanian yang memadai menentukan kemampuan negara untuk memproduksi pangan.

Saat ini, rasio antara luas lahan pertanian pangan yang ada dan jumlah penduduk Indonesia sangat rendah, hanya 358,5 meter persegi per kapita (lahan sawah) dan 451,1 meter persegi per kapita (ditambah lahan kering); rasio lahan per kapita Thailand 5.225,9 meter persegi per kapita, India 1.590,6 meter persegi per kapita, China 1.120,2 meter persegi per kapita, dan Vietnam 959,9 meter persegi per kapita. Kondisi inilah yang membuat Indonesia tak mampu memenuhi sendiri kebutuhan pangannya.

Indonesia memiliki pengalaman membuka areal pertanian baru yang sangat luas dikaitkan dengan pemerataan persebaran penduduk, yang terkenal dengan nama program transmigrasi. Selama 63 tahun dilaksanakan sampai tahun 2013, program transmigrasi telah membuka lahan pertanian baru sekitar 4,4 juta hektar, yang dibagikan kepada sekitar 2,2 juta kepala keluarga petani atau sekitar 8,8 juta orang; bentuk distribusi tanah kepada rakyat.

Program ini sangat besar peranannya dalam menjadikan Indonesia swasembada beras di tahun 1984 hingga 1998, yang membuat Presiden Soeharto atau Pemerintah Indonesia memperoleh Food Award, penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), dan menjadikan Indonesia pada waktu ini produsen terbesar kelapa sawit. Sayangnya, 16 tahun terakhir, program transmigrasi, yang juga bagian dari program perluasan areal pertanian, jumlahnya sangat kecil.

Dengan perluasan lahan pertanian yang signifikan, Indonesia dapat mencapai banyak sasaran sekaligus, yaitu memenuhi sendiri kebutuhan pangan bagi rakyat yang akan menghemat devisa, menyediakan lapangan kerja, dan selanjutnya menjadi negara eksportir pangan tropis yang akan meningkatkan cadangan devisa kita.

Kita melihat di era globalisasi ini, negara-negara yang secara ekonomi stabil adalah negara-negara yang cadangan devisanya besar. Indonesia juga termasuk sedikit negara yang berpotensi menambah pasokan pangan bagi dunia yang penduduknya terus bertambah 1 miliar jiwa setiap 13 tahun.

Adalah memalukan jika Indonesia yang terletak di kawasan tropis, berlahan subur, dengan curah hujan yang cukup, dan sinar matahari sepanjang tahun justru menjadi beban dunia untuk penyediaan pangannya.

Agar lebih efisien, perluasan lahan-lahan pertanian pangan baru sebaiknya dibangun di tepi sungai-sungai besar di Indonesia, antara lain Kapuas, Mahakam, Digul, Maro, Bian, Kampar, dan Musi, untuk memanfaatkannya sebagai jalur transportasi. Keberhasilan pembangunan pertanian Brasil yang telah menjadikannya penghasil besar jagung, gula tebu, ubi kayu, cokelat, dan lain-lain juga memanfaatkan sarana transportasi Sungai Amazon. 

Modernisasi pertanian
Keseluruhan potensi pertanian yang dimiliki Indonesia luasnya 101 juta hektar. Areal pertanian yang telah ada menurut BPS luasnya 47 juta hektar. Lahan cadangan pertanian tersedia 54 juta hektar yang dapat dimanfaatkan menjadi lahan pertanian yang produktif, termasuk perkebunan, atau hutan penghasil kayu yang juga bermanfaat secara ekologis, atau dapat rusak menjadi padang alang-alang atau belukar. 

Potensi perluasan sawah mencapai 19 juta hektar. Dari 19 juta hektar ini, yang telah digunakan untuk komoditas lain 9 juta hektar sehingga yang masih tersedia 10 juta hektar (terluas di Papua, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Riau). Sementara potensi perluasan areal pertanian di lahan kering 5,1 juta hektar.

Lahan pertanian pangan (plus hortikultura) yang ada sekitar 8,5 juta hektar. Dengan pertambahan penduduk 1,3 persen per tahun, diperlukan penambahan luas lahan pertanian yang lebih tinggi agar kita dapat swasembada dan menjadi eksportir. Kalau tumbuh 2 persen per tahun, berarti 170.000 hektar.

Untuk amannya, Indonesia memerlukan perluasan lahan pertanian 200.000 hektar per tahun. Untuk dapat segera menjadi negara eksportir pangan tropis, diperlukan perluasan lahan tanaman pangan 300.000 hektar per tahun. Itu pun harus dibarengi dengan mengerem konversi lahan pertanian ke penggunaan lain yang untuk Pulau Jawa sebagai penghasil pangan utama saat ini angkanya berkisar 50.000 hektar per tahun.

Program tersebut perlu diiringi dengan modernisasi (mekanisasi dan penggunaan teknologi maju pada benih, pupuk, dan penanggulangan hama) guna meningkatkan daya saing, serta dengan pemilikan lahan per petani yang semakin luas, untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Sebagai perbandingan, pertanian Brasil maju pesat setelah Brasil memberi lahan sekitar 25 hektar per petani, dengan olah tanah menggunakan wheel tractor 50 HP.

Dengan peningkatan skala usaha petani Indonesia menjadi 4 hektar per kepala keluarga disertai dengan modernisasi pertanian, produksi dan produktivitas serta daya saing produk-produk pertanian kita akan meningkat. Semoga.

Siswono Yudo Husodo, Ketua Yayasan Pendidikan Universitas Pancasila

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005595236
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Arti Penting Jalur Ganda KA (kompas)

Indonesia mencatat kemajuan besar dalam penyediaan transportasi umum dengan selesainya jalur ganda kereta api Jakarta-Surabaya.
Selesainya rel ganda ini sekaligus mematahkan keraguan di masyarakat bahwa pemerintah kurang menaruh perhatian serius pada pengadaan transportasi umum. Keraguan tersebut bukan tanpa dasar. Pembuatan jalur ganda butuh waktu lama dan terkesan dikerjakan sepotong-sepotong.

Ruas Jakarta-Cirebon selesai 2007 dan ruas Brebes-Tegal-Pekalongan selesai 2011. Pada 2011, Wakil Presiden Boediono memastikan seluruh sisa jalur diselesaikan dalam dua tahun. Hal ini sekaligus membuktikan kita dapat membangun infrastruktur penting jika ada niat dan
pengawalan ketat.

Arti penting tersedianya jalur ganda adalah meningkatnya arus barang dan manusia di Jawa sehingga meningkatkan kegiatan ekonomi dengan lebih efisien. Beban jalan raya diperkirakan akan berkurang. Seperti kerap dikeluhkan masyarakat, jalan raya di Jawa semakin padat karena bertambahnya pergerakan orang dan barang, sementara panjang jalan tidak bertambah seiring dengan kebutuhan.

Tersedianya angkutan kereta api yang lebih baik akan mendorong orang meninggalkan kendaraan pribadi untuk bepergian antarkota, terutama menjelang hari raya dan hari libur. Itu berarti mengurangi pemakaian bahan bakar minyak sehingga mengurangi pembuangan gas karbon dioksida, salah satu penyebab perubahan iklim, ke udara.

Arti penting lain, peningkatan efisiensi logistik kita. Biaya logistik kita masih 26 persen dari produk domestik bruto, termasuk tinggi dibandingkan dengan negara tetangga yang di bawah 20 persen. Apalagi perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN akan berlangsung pada 2015.

Jalur ganda diperkirakan dapat menekan biaya logistik hingga 17 persen. Selain menekan biaya akibat kemacetan di jalan raya, juga menghilangkan pungli yang menjadi keluhan pengemudi truk. Peningkatan kemampuan transportasi kereta api ini diharapkan menaikkan peringkat daya saing global Indonesia yang salah satunya diukur melalui ketersediaan infrastruktur fisik yang memadai.

Selesainya pembangunan jalur ganda adalah awal dari rangkaian kerja membangun infrastruktur lanjutan untuk menangani naik-turun orang dan barang serta penyediaan rangkaian kereta api pengangkut orang dan barang. Kita sering kedodoran dalam pekerjaan lebih detail, termasuk memelihara apa yang telah kita bangun.

Banyak wilayah di Jawa dan luar Jawa memerlukan infrastruktur fisik, mulai dari jalur kereta api, jalan, pelabuhan, bandara, listrik, hingga air bersih, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi kita.

Keberhasilan membangun jalur ganda Jakarta-Surabaya setelah jalur kereta api mulai dibangun 150 tahun lalu di Indonesia membangkitkan optimisme kita memiliki kapasitas membangun infrastruktur.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005711736
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Masa Terberat Liga Arab (kompas)

SEPERTI sudah tertulis dalam garis perjalanan hidupnya bahwa sangat sulit untuk mempersatukan negara-negara Arab dalam satu wadah.
Memang, pada 22 Maret 1945, berhasil didirikan oleh tujuh negara—Mesir, Irak, Lebanon, Arab Saudi, Suriah, Jordania, dan Yaman—sebuah organisasi yang disebut Liga Arab. Akan tetapi, Liga Arab yang kini beranggotakan 22 negara itu nyaris tidak pernah sepi dari perselisihan, nyaris sangat sulit untuk disatukan dalam satu gerakan tunggal untuk tujuan bersama.

Perjalanan sejarah Liga Arab diwarnai oleh perselisihan dan ketidakbersatuan. Sekadar contoh, ketika Israel menggempur Jalur Gaza (2008-2009), sikap Liga Arab dalam menanggapi krisis itu terpecah menjadi dua kubu. Sekarang pun demikian.

KTT ke-25 Liga Arab yang diselenggarakan di Kuwait, Selasa dan Rabu lalu, gagal membangun rekonsiliasi untuk mempersatukan negara-negara anggota. Ketika KTT dimulai, sebenarnyalah Liga Arab menghadapi berbagai persoalan berat yang telah mendorong organisasi itu berada pada posisi di tepi jurang begitu dalam.

Munculnya Arab Spring di beberapa negara Arab yang menumbangkan rezim berkuasa—Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman—serta sekarang masih menggoyang Suriah, berdampak sangat nyata bagi Liga Arab. Ada sebuah arus baru menuntut perubahan di banyak negara dan menimbulkan konfigurasi peta baru kekuatan serta politik baru di negara-negara anggota. Negara-negara yang disapu Arab Spring hingga kini masih berbenah, bahkan ada yang masih bergolak. Sementara rezim di negara-negara yang tak tersentuh berusaha memperkuat diri menghadapi angin perubahan yang suatu ketika bisa datang.

Itu menjadi salah satu persoalan Liga Arab. Persoalan lain adalah krisis Suriah yang belum selesai telah memecah belah Liga Arab. Ada negara yang mendukung rezim Damaskus dan ada yang mendukung kelompok oposisi bersenjata.

Krisis politik di Mesir, dengan tersingkirnya Ikhwanul Muslimin dari panggung politik, pun memunculkan persoalan antarnegara anggota. Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Bahrain bersitegang dengan Qatar karena Qatar mendukung Ikhwanul Muslimin.

Masalah terorisme yang kini menghantui Dunia Arab juga menjadi persoalan yang membuat anggota Liga Arab tak bisa bersatu. Akibatnya, masalah lama yang selama ini relatif bisa menyatukan Arab—konflik Palestina—terlupakan. Apabila situasi seperti ini terus berlanjut, tak pelak lagi, Liga Arab akan tidak banyak artinya bagi anggota dan cita-cita untuk membangun organisasi regional, seperti Uni Eropa atau ASEAN, tak akan terwujud. Dan, benar pendapat sinikal yang beredar selama ini bahwa Liga Arab tak lebih dari sekadar klub perdebatan yang tak ada kekuatannya.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005711638
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 27 Maret 2014

Hubungan Uni Eropa dan Rusia (Beginda Pakpahan)

KRISIS Ukraina dimulai dengan pengumuman pembatalan kerja sama perdagangan antara Ukraina dan Uni Eropa oleh Viktor Yanukovych pada November 2013.
Situasi ini membuat para pendukung pro Uni Eropa (UE) turun ke jalan. Konflik pun tidak terelakkan antara aparat keamanan dan massa pendukung UE. Sebanyak 70 orang meninggal dan 234 orang ditahan karena dianggap mengganggu ketertiban umum.

Situasi tersebut membuat para demonstran mendesak Presiden Yanukovych mengundurkan diri. Parlemen Ukraina di Kiev memilih Oleksander Turchinov sebagai pemimpin sementara Ukraina.

Perkembangan itu mengakibatkan gedung parlemen dan bandar udara di wilayah otonom Crimea (yang berpenduduk mayoritas keturunan Rusia) di tenggara Ukraina diamankan oleh pasukan militer tanpa identitas. Perwakilan Tetap Rusia di Dewan Keamanan PBB Vitaly Churkin menginformasikan bahwa Yanukovych meminta Rusia mengirimkan pasukan militernya dalam rangka menjaga keamanan di Ukraina.

Terkait dengan situasi di atas, bagaimana kompleksnya hubungan UE dan Rusia dalam krisis Ukraina terkini? Kompleksitas hubungan UE dan Rusia disebabkan tiga faktor. Pertama, UE dan Rusia saling tergantung antara satu dan yang lain, terutama bidang kerja sama ekonomi. Misalnya, UE membutuhkan pasokan energi, khususnya gas alam, untuk kegiatan industri negara-negara UE. Rusia juga membutuhkan UE sebagai pasar untuk menjual energi dan barang-barang lainnya.

Kedua, cukup besarnya biaya ekonomi dan politik yang dikeluarkan UE dan NATO jika mereka melakukan konflik terbuka dengan Rusia dalam konteks krisis di Ukraina. Ketiga, meningkatnya kompetisi antara UE dan Rusia dalam dinamika geopolitik dan geoekonomi di kawasan Eropa. UE dan Rusia perlu berhati-hati dalam menyelesaikan krisis di Ukraina.

Saling tergantung
Data yang digabungkan oleh Congressional Research Service AS periode 2005-2013 memperlihatkan, persentase konsumsi gas alam Rusia oleh negara-negara anggota UE cukup besar. Bahkan, negara-negara seperti Swedia, Bulgaria, Estonia, Finlandia, dan Latvia tercatat 100 persen konsumsi gas alamnya bergantung pada Rusia.

UE juga mengimpor beberapa sumber daya alam dasar dari Rusia, yaitu 27 persen konsumsi minyak, 24 persen konsumsi batubara, dan 30 persen konsumsi uranium (M Ratner, P Belkin, J Nichol, dan S Woehrel, 2013). Data tersebut memperlihatkan bahwa Rusia juga bergantung pada pasar UE untuk memasarkan produk-produk SDA-nya seperti gas alam dan minyak.

Berdasarkan kondisi di atas, anggota UE terlihat cukup hati- hati dalam menyikapi krisis di Ukraina. Tidak tertutup kemungkinan UE bisa terpecah, seperti sikap Inggris yang mendorong inisiasi agar UE bisa bersatu padu dalam merespons campur tangan Rusia terhadap krisis domestik di Ukraina. Pada sisi lain, negara-negara UE yang bergantung pada pasokan gas alam Rusia terlihat lebih hati-hati dalam menanggapi perkembangan di Ukraina.

Selanjutnya, jika UE dan NATO akan mengambil sikap merespons aksi Rusia terhadap Ukraina dengan kekuatan militer, bukan tidak mungkin keuangan UE cukup berat untuk membiayai kegiatan tersebut. Faktanya, krisis ekonomi yang melanda kawasan Euro belum juga pulih sejak krisis keuangan global 2008. Ditambah lagi kondisi ekonomi di AS yang masih merangkak pelan untuk pulih dari krisis ekonomi 2008.

Biaya besar yang akan keluar dengan pelibatan kekuatan militer oleh UE dan NATO membuat fokus pemulihan ekonomi di UE dan AS menjadi tak optimal. Situasi ini akan berdampak terhadap ketidakpuasan konstituen domestik di negara-negara UE dan AS. Ditambah lagi kekuatan militer Rusia cukup kuat dan modern untuk dihadapi secara terbuka oleh UE dan NATO. Situasi ini yang membuat UE dan NATO perlu berpikir dengan cara-cara diplomatik dibandingkan dengan melaksanakan konflik terbuka dengan Rusia di Ukraina.

Kompetisi di Eropa
Kompetisi antara UE dan Rusia dalam dinamika geopolitik dan geoekonomi di kawasan Eropa jadi lebih terbuka. Kondisi di atas tak bisa dilepas dari bentuk retaliasi sejarah antara UE dan Rusia yang belum pulih benar sejak Perang Dingin, yaitu kompetisi kontemporer di antara kedua aktor besar tersebut di Eropa dalam rangka perluasan sphere of influence (jangkauan pengaruh politik dan ekonomi).

Ukraina adalah wilayah batas di mana pengaruh politik dan ekonomi Rusia masih cukup kuat di wilayah timur negara tersebut. Negara tersebut adalah kawasan penyangga Rusia terhadap perluasan pengaruh politik dan ekonomi UE setelah bergabungnya negara-negara Eropa Timur dan Tengah (contohnya Polandia, Ceko, Slowakia, Bulgaria, Romania dan Hongaria)—yang saat Perang Dingin berada di bawah pengaruh politik dan ekonomi Uni Soviet—dengan Uni Eropa pada 2004-2009. Ukraina adalah "implikasi persaingan UE dan Rusia" dari perkembangan dinamika geopolitik di kawasan Eropa terkini.

Perluasan keanggotaan UE ke wilayah Eropa Tengah dan Timur memberikan efek langsung terhadap dinamika geoekonomi di kawasan tersebut. Bergabungnya negara-negara Eropa Tengah dan Timur dengan pasar tunggal UE membuat Rusia menginisiasi pembentukan blok kerja sama regional Uni Eurasia untuk menandingi UE. Blok kerja sama Uni Eurasia adalah kerja sama ekonomi dan politik di kawasan Europa dan Asia Tengah yang diinisiasi dan dibentuk Rusia bersama Kazakhstan dan Belarusia pada November 2011. Kerja sama mencakup penyatuan ekonomi, sistem hukum, dan koordinasi militer yang menurut rencana dilaksakanan penuh pada 2015 (T Varshalomidze, 2013).

Hampir sulit dihindarkan, UE dan Rusia punya ketergantungan yang cukup besar dalam bidang kerja sama ekonomi, khususnya pemenuhan pasokan energi Rusia untuk UE. UE dan Rusia juga saling berkompetisi dalam memperluas pengaruh politik dan ekonomi masing-masing di kawasan Eropa.

Tumpang tindihnya situasi di atas berimplikasi terhadap krisis di Ukraina. UE dan Rusia perlu hati-hati dalam mengambil keputusan untuk menyelesaikan krisis tersebut supaya keadaan tidak mengganggu stabilitas regional di Eropa. Ditambah lagi, peranan UE dan Rusia dan manajemen persaingan di antara keduanya dalam krisis Ukraina cukup berpengaruh terhadap perdamaian dan ketertiban dunia. Kita berharap ada jalan keluar diplomatik yang baik atas krisis Ukraina yang disepakati oleh pihak-pihak di dalam negeri dengan dukungan aktor-aktor internasional.

Beginda Pakpahan, Analis Politik dan Ekonomi Global dari UI

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005550654
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Ihwal Budaya Politik Kita (Masdar Hilmy)

DALAM  hitungan hari, bangsa ini akan menyelenggarakan hajat politik "besar" lima tahunan. Jika tidak ada aral melintang, kita akan memilih anggota legislatif secara serentak pada 9 April.
Memperhatikan apa yang terpampang di baliho-baliho dan spanduk yang tersebar di setiap sudut kota, tampaknya kita siap disuguhi repetisi lima tahunan: tidak akan terjadi apa pun dalam hal perbaikan kualitas demokrasi kita.

Momen pemilu tampaknya tidak akan menerbitkan harapan dan optimisme baru, terutama bagi masyarakat kebanyakan.  Sebaliknya, ia hanya mengundang pesimisme yang sama dengan lima tahun lalu: ketika kader-kader parpol dengan lantang mengatakan "tidak" pada korupsi, tetapi justru berada di garda depan dalam episentrum korupsi. Oleh karena itu, agar tidak kecewa di kemudian hari, sebaiknya kita jangan terlalu bersemangat menaruh harapan berlebihan kepada calon-calon anggota legislatif untuk melakukan perubahan mendasar dalam struktur kehidupan berbangsa dan bernegara.

Metamorfosis
Bagi para calon anggota legislatif yang hendak bertarung di gelanggang politik kekuasaan, menyadari konstelasi politik mutakhir menjadi sesuatu yang imperatif agar mereka bisa belajar dari para senior mereka. Tujuannya cuma satu: tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan para pendahulunya.

Harus ada perubahan mendasar di tingkat paradigmatik agar masyarakat mau "membeli" apa yang mereka tawarkan. Jika mereka mengabaikan pengetahuan semacam ini, dapat dipastikan yang terjadi adalah repetisi dan replikasi belaka.

Melalui karyanya yang sudah menjadi klasik, Benedict RO'G Anderson dalam Language and Power (2006: 47-50) menegaskan bahwa Indonesia menganut budaya politik patrimonial atau klientilisme (pola relasi patron-klien). Pola relasi antara patron dan klien didasari oleh kebutuhan saling menggantungkan, tetapi juga saling menguntungkan. Dengan memanfaatkan otoritas formal yang digenggamnya, sang patron bertindak sebagai pengayom, pelindung, atau penjamin eksistensi si klien. Sebaliknya, si klien berkewajiban menopang eksistensi sang patron. Jika salah seorang di antara keduanya runtuh, maka yang lain juga ikut runtuh.

Weber (Economy and Society, 1978: 227) mendefinisikan patrimonialisme sebagai pola kekuasaan yang dicirikan oleh ketaatan kepada pemimpin tradisional bukan karena otoritas legal-formal yang melekat pada sebuah posisi struktural, melainkan karena pribadinya. Budaya politik patrimonialistik dicirikan oleh empat hal: (1) kecenderungan untuk mempertukarkan sumber daya (resources exchange); (2) kebijakannya bersifat partikularistik, tidak universalistik; (3) penegakan hukum bersifat sekunder; dan (4) penguasa politik sering kali mengaburkan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.

Pola kekuasaan patrimonialistik di masa Orde Baru dapat dilihat dari masifnya kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh banyak individu yang duduk dalam sistem birokrasi dan lembaga politik dengan cara memanfaatkan otoritas formal yang dipikulnya untuk kepentingan dirinya dan orang-orang terdekat. Modus kejahatan yang dilakukan dapat dilihat secara kasatmata dari rekam jejak individu dengan cara memanipulasi kekuasaan yang digenggamnya tanpa melibatkan struktur formal yang didudukinya. Seorang pemimpin daerah bisa memiliki kekayaan yang teramat fantastis akibat jabatan formal yang dimilikinya.

Harus diakui, paradigma politik-kekuasaan di era reformasi ini belum mengalami perubahan signifikan ke arah lebih baik. Reformasi birokrasi melalui pengenalan prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan bersih (good and clean governance) ternyata hanya menggeser paradigma politik-kekuasaan dari patrimonialisme ke neopatrimonialisme. Persis seperti pepatah "menuangkan anggur lama ke dalam botol baru" (pouring the old wine into a new bottle). Jika patrimonialisme berjalan secara individual, maka neopatrimonialisme berjalan secara formal-struktural. Artinya, terdapat pencampuran antara dominasi patrimonial dan birokrasi legal-rasional (Erdmann & Engel, 2006: 18).

Dalam budaya politik neopatrimonialistik, modus kejahatan pun berjalan lebih sistemik, struktural, dan bertali-temali dengan lembaga lain. Jika korupsi pada masa Orde Baru bisa diurai melalui aktor-aktor individu, maka modus korupsi di era Reformasi melibatkan struktur politik birokrasi yang jauh lebih canggih, rumit, dan subtil. Korupsi dilakukan bukan secara individual dan dapat diendus secara individual pula, melainkan secara institusional-struktural.

Aspek lain yang membedakan neopatrimonialisme dari patrimonialisme terletak pada pola loyalitas politik antara si klien kepada sang patron. Pada kekuasaan patrimonialistik, pola ketaatan klien kepada patron sering kali didasarkan pada nilai-nilai tradisional dan primordial. Sementara itu, pada kekuasaan neopatrimonial, pola ketaatan klien kepada patron murni didasari oleh motif-motif ekonomi dan pragmatisme rasional. Dengan demikian, terdapat pertimbangan pilihan rasional di balik pola relasi patron-klien.

Mengakhiri budaya politik (neo)patrimonialistik bukan perkara mudah. Sejauh ini negara (baca: pemerintah) bukan tidak melakukan upaya sama sekali untuk memperbaiki budaya politik kita. Reformasi birokrasi yang didasarkan pada prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik dan bersih sebenarnya telah gencar dilakukan di berbagai lini.

Penambahan insentif juga telah diobral besar-besaran di lembaga-lembaga formal melalui program remunerasi. Akan tetapi, itu semua tidak mengubah budaya politik kita secara signifikan.

Memecah konsentrasi
Salah satu harapan perbaikan justru dimulai dari gedung KPK. Secara tidak disadari, KPK telah memperkenalkan budaya politik baru yang berpijak pada prinsip tata kelola yang baik dan bersih.

Dalam konteks ini, cara yang dilakukan KPK adalah memecah konsentrasi individu-individu yang terlibat dalam budaya politik neopatrimonialistik untuk mempertanggungjawabkan korupsi politik yang telah dilakukannya. Tidak berlebihan jika KPK telah membalikkan sebuah kemustahilan menjadi sebuah kemungkinan dan harapan. Pengenalan budaya politik baru justru dimulai ketika KPK memecah konsentrasi dan memutus pola relasi patron-klien melalui paradigma impartial law enforcement.

Pergeseran paradigma budaya politik semacam ini harus kita dukung bersama dan harus disadari oleh siapa pun yang hendak memasuki domain politik-kekuasaan. Mudah-mudahan langkah KPK memecah konsentrasi neopatrimonialistik ini menandai datangnya era baru budaya politik adiluhung.

Jika Anda ingin selamat dunia-akhirat, janganlah larut ke dalam sistem politik yang ada, tetapi ciptakanlah sistem politik baru yang akuntabel, bersih, bertanggung jawab, dan melayani. Konsekuensinya, jika nanti terpilih, Anda bukan lagi milik parpol dan mengabdi kepada parpol, tetapi milik masyarakat dan bangsa ini.

Masdar Hilmy, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005553387
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sistem Bunga dan Riba (M Dawam Rahardjo)

ARTIKEL  ini dimaksudkan untuk menanggapi tulisan  Samsudin Berlian, "Bunga Ya, Riba Jangan" (Kompas, 25/1/2014), dan K Bertens, "Sekali Lagi tentang Bunga dan Riba" (Kompas, 15/2/2014). Keduanya secara implisit mempertanyakan lagi masalah pengharaman bunga sebagai riba dalam sistem perbankan syariah.
Dalam sistem kapitalis, masalah itu sudah dianggap selesai dengan menetapkan pandangan yang membedakan antara  interest (bunga) dan usury (riba). Bunga adalah tambahan atas pengembalian pinjaman berdasarkan persentase antara tambahan dan pinjaman pokok yang tingkatnya ditentukan melalui mekanisme pasar bebas yang dikelola suatu badan hukum yang khusus bergerak dalam kegiatan perkreditan. Sementara usury adalah tambahan atas pinjaman yang dihitung juga berdasarkan persentase, tetapi tingginya ditetapkan sepihak oleh pemilik modal, yang dalam praktik, tingkatnya mencekik leher peminjam karena sifatnya berlipat ganda.

Sistem bagi hasil
Dalam hukum yang berlaku di Indonesia, bunga diperbolehkan, sedangkan riba dilarang. Tokoh ahli ekonomi Islam Indonesia, Sjafruddin Prawiranegara dan Kasman Singodimedjo, menyetujui pandangan bahwa sistem bunga dan lembaga perbankan halal. Bahkan, mereka menganjurkan agar umat Islam mendirikan lembaga bank guna mencapai kemajuan di bidang ekonomi.

Sementara itu, para ahli ekonomi Islam di dunia pada umumnya juga sudah menganggap hukum bunga sebagai riba sudah final. Bunga dianggap riba dan karena itu diharamkan. Pandangan ini juga diikuti Majelis Ulama Indonesia (MUI). Riba diharamkan, tetapi lembaga perbankan tak dilarang, bahkan dianjurkan, tetapi dengan mengubah sistem bunga dengan sistem bagi hasil dan tanggung-risiko bersama atas kerugian.

Dalam praktik yang tampak hanya sistem bagi hasil, sedangkan tanggung rugi bersama tak tampak karena dilakukan dengan mengurangi tingkat laba dengan tingkat kerugian yang dihitung oleh pihak bank secara internal menjadi laba bersih yang dibagikan. Sistem itu di Indonesia disebut sebagai sistem perbankan syariah. Sistem perbankan syariah itu sudah pula disahkan oleh otoritas moneter Indonesia, bahkan sudah dilegislasikan menjadi UU oleh DPR. 

Masalah bunga dan riba dipersoalkan lagi ketika publik melihat praktik perbankan syariah di mana tingkat bagi hasil ternyata sering lebih tinggi daripada tingkat bunga pasar. Demikian pula ketika dalam praktik bahwa penetapan bagi hasil itu tetap berpedoman pada tingkat suku bunga pasar. Karena itu, timbul pertanyaan berdasarkan pandangan bahwa riba itu adalah suku bunga yang berlipat ganda, yang dalam istilah Al Quran disebut ad'afan mudho'afan. Pertanyaannya kemudian, "Lantas apa bedanya antara sistem syariah dan sistem perbankan kapitalis?"

Ade Perdana dan Zaim Uchrowi bahkan berpendapat, yang disetujui Gunawan Mohamad,
sistem syariah sebagaimana tecermin dalam perbankan syariah pada hakikatnya adalah  varian atau sub-sistem dari sistem kapitalisme finansial. Seorang ulama tarekat asal Spanyol, Syeikh Umar Fadhilon, menyebutnya dengan sindiran contradictio in terminis, " Islamic sampanye" atau "minuman keras Islami".  Profesional perbankan Inggris keturunan Yahudi, Aaron Maclean, yang pernah bekerja dalam Bank Islam di Mesir selama 6 tahun, menulis artikel dalam majalah The American berjudul "Is Islamic Bank Really Kosher?", yang mempertanyakan ke-kosher-an atau kehalalan bank Islam dalam istilah hukum Taurat.

Sebenarnya pandangan Yudeo-Kristiani merasa sudah bisa menyelesaikan masalah "riba" dengan beberapa jawaban. Pertama, dengan membedakan antara interest dan usury yang merupakan modus yang umumnya dianut. Kedua, dengan koperasi simpan-pinjam yang membatasi jasa bunga untuk menutup biaya administrasi saja dan dengan mengembalikan jasa bunga sebagai sisa hasil usaha yang dikembalikan kepada anggota.

Ketiga, beberapa abad lampau Gereja Dominican Italia membentuk lembaga pinjaman tanpa bunga untuk memberantas riba, sekaligus kemiskinan, yang dianggap sebagai cikal bakal "bank sosial" modern itu. Tetapi, bank sosial yang tergabung ke dalam The Global Alliance of Banks based on Value (GABV) yang ber-
pusat di London itu tetap memakai sistem bunga pasar sehingga nilai asetnya berkembang ratarata 30 persen per tahun. Menurut hukum syariah, bank sosial global itu hukumnya haram.

Perbankan syariah yang sudah merupakan paradigma atau kesepakatan dalam komunitas ulama dan cendekiawan Muslim itu sudah menetapkan bunga pasar sebagai riba. Tapi, Sjafruddin Prawiranegara, Gubernur Bank Indonesia yang pertama itu, berpandangan bahwa suku bunga bank yang wajar halal. Sementara riba itu sendiri ia pahami sebagai "semua bentuk sistem eksploitasi" bukan saja di bidang keuangan, melainkan juga di bidang produksi dan perdagangan.

Pandangan Sjafruddin itulah sebenarnya yang jadi dasar teori ekonomi Islam sebagai "sistem ekonomi kerja sama bagi hasil di antara para pemilik sumber daya ekonomi yang berkeadilan, berdasarkan kesepakatan sukarela yang bebas dari keterpaksaan".  Bagi hasil berbeda dengan bunga karena bunga ditentukan oleh mekanisme pasar bebas, sedangkan bagi hasil ditetapkan berdasarkan kesepakatan sukarela antara pihak-pihak yang bertransaksi tanpa keterpaksaan bilateral ataupun struktural.

Inti sistem bagi hasil terletak pada akad mudharabah sebagai kerja sama antara pemilik dana yang diwakili bank sebagai sahib al mal atau penyandang dana dengan produsen sebagai mudharib atau yang menjalankan usaha. Tapi, akad atau transaksi itu ternyata masih sulit dilaksanakan karena moral hazard yang bersumber dari pembiayaan operasional yang cenderung di-mark up untuk menurunkan tingkat laba sehingga cenderung merugikan pemilik dana. Cara mengatasi sementara: laba yang jadi dasar bagi hasil adalah laba kotor sebelum dikurangi biaya operasional sehingga tak bisa disebut profit-sharing, melainkan revenue-sharing. Transaksi ini lebih mendekati akad murabahah, yang sebenarnya adalah akad kerja sama antara bank dan peminjam untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dan perdagangan.

Bank syariah (seharusnya) tidak menarik bunga pasar, melainkan "biaya administrasi" seperti berlaku di koperasi simpan pinjam. Akan tetapi, dengan penerapan sistem online real time, yang diterapkan dan jadi ciri bank sosial itu dalam pelaporan keuangan, pemecahan masalah mudharabah sebagai profit and loss-sharing bisa dilaksanakan secara transparan dan akuntabel.

Teori ekonomi Islam mengenai perbankan, sebagai lembaga kerja sama dan tolong-menolong, dapat dijelaskan dengan teori ruang publik Hannah Arendt (1906-1975), filsuf politik Jerman yang mengidealkan polis (negara kota) Yunani di zaman Socrates, Plato, dan Aristoteles hidup. Polis diidealkan sebagai pusat peradaban berdasarkan prinsip solidaritas dalam mengatur rumah tangga (oikos) yang terlindung dari tekanan survival yang menimbulkan persaingan bebas.

Secara fisik arsitektural, polis dilindungi tembok kota, tetapi secara moral dilindungi oleh hukum. Tapi, ketika tembok itu runtuh dalam perubahan sosial, dengan integrasi dan timbulnya perdagangan dengan masyarakat di luar tembok, terjadi proses naturalisasi dalam bentuk pasar terbuka yang merupakan arena persaingan mempertahankan hidup. Dalam teori Darwin ini disebut pertarungan yang menimbulkan proses seleksi alam berdasarkan hukum rimba yang disebut the survival of the fittest. Karena itu, penetrasi pasar ke ruang publik dalam masyarakat kapitalis disebut Hannah Arendt sebagai barbarisasi ruang publik, yang mengubah hubungan solidaritas menjadi persaingan. Bunga uang yang ditolak Aristoteles itu dilarang karena dianggap mengandung sistem eksploitasi oleh pemilik dana atas orang miskin.

Kesejahteraan sosial
Sistem ekonomi Islam mengidealkan model maninah al munawarah, "negara kota yang tercerahkan" oleh iman dan akhlak mulia. Negara Madinah tak dilindungi oleh tembok, tapi dilindungi hukum atau syariah yang merupakan "pakaian takwa", yaitu melindungi perilaku manusia agar menaati hukum demi keselamatan diri dan orang lain dari kecurangan, penipuan, dan pencurian. Hukum juga harus bersifat adil guna menciptakan keamanan dan perdamaian serta menciptakan dasar kerja sama guna mencapai kesejahteraan bersama. Dengan demikian, prinsip syariah mengacu trilogi nilai: keselamatan di dunia-akhirat, perdamaian, dan kesejahteraan.

Penerapan sistem syariah, dengan demikian, dimaksudkan sebagai usaha pengembalian polis sebagai pusat peradaban yang didasarkan pada prinsip solidaritas dalam bentuk kerja sama dalam kebajikan dan takwa (taat hukum) yang diperintahkan Al Quran sebagai  ta'awanu alal birri wa al taqwa. Dengan demikian, maka kegiatan ekonomi rumah tangga (oikos) dilaksanakan berdasarkan nilai solidaritas dalam kekeluargaan (ukhuwah) dan gotong royong  (ta'awun) yang melindungi masyarakat dari barbarisme pasar bebas. Ini tidak berarti bahwa pasar itu dilarang, walaupun tetap dianggap sebagai berpotensi tidak selamat dan menyelamatkan, mengandung eksploitasi dan ancaman terhadap kesejahteraan, misalnya dengan timbulnya inflasi. Tetapi, pengertian pasar diubah dari arena persaingan bebas yang saling merugikan menjadi arena kerja sama di antara rumah tangga (oikos) pemilik sumber daya ekonomi.

Dalam sistem syariah ini, dana tetap dihargai sebagai faktor produksi, tetapi tidak boleh dipakai sebagai komoditas yang menghasilkan bunga uang, tetapi sebagai fasilitas kebaikan untuk memfasilitasi kegiatan yang menghasilkan dampak sosial dan lingkungan hidup. Fasilitas kebaikan ini adalah dana yang mengandung amanah dan karena itu tetap harus dikelola secara transparan dan akuntabel agar menghasilkan kesejahteraan sosial.

M Dawam Rahardjo, Rektor Universitas Proklamasi '45 Yogyakarta

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004905259
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Politik Anggaran Menjelang Pemilu (Yenny Sucipto)

SETIAP menjelang pemilu, banyak pihak sering kali gusar melihat penggunaan anggaran negara yang kental akan kepentingan politik kekuasaan. Kegusaran itu wajar karena anggaran pada hakikatnya memang tidak netral dan tidak akan pernah netral. Anggaran adalah politik sumber daya, yang berkuasa tentu akan menggunakannya untuk kepentingan politiknya semaksimal mungkin.
Boleh saja dalam konteks teori kita percaya bahwa anggaran negara merupakan wujud kedaulatan rakyat, seolah-olah rakyat yang menentukan anggaran negara. Namun, dalam prosesnya kedaulatan rakyat itu telah diwakilkan kepada wakil rakyat melalui fungsi budgeting di mana penetapan APBN harus mendapat persetujuan DPR.

Persetujuan tersebut yang kemudian menunjukkan bahwa anggaran memang tidak netral karena persetujuan adalah bargaining yang berarti ada proses politik di baliknya dan wakil rakyat  tidaklah bersih dari kepentingan politik pribadi, kelompok, golongan, dan parpol yang menaungi.

Politik anggaran adalah upaya mewujudkan wajah anggaran untuk kepentingan tertentu, bisa pragmatis atau ideologis. Namun, sangat tidak mungkin untuk menyusun anggaran 100 persen ideologis karena bagaimanapun akan terdapat berbagai kepentingan politik pribadi, kelompok, golongan, dan parpol di belakang semua program ataupun anggaran yang disusun.

Bisa saja suatu anggaran terlihat ideologis karena konkret dan berpihak kepada rakyat. Namun, dapat dipastikan akan tetap ada kepentingan politik tertentu dari kekuasaan yang menyusunnya meski kadang terlihat samar.

Menjelang pemilu, di negara mana pun (khususnya negara dunia ketiga) biasanya kepentingan politik parpol yang berkuasa terlihat sangat terasa mewarnai wajah anggaran negara karena memang sangat terbuka untuk dimanfaatkan bagi kepentingan politik pemenangan pemilu. Di Indonesia biasanya dilakukan dengan mendompleng program-program yang langsung bersentuhan dengan rakyat. Beberapa di antaranya dengan penambahan program- program populis dan penggelontoran besar- besaran dana bantuan sosial (bansos).

Hal terbaru adalah dengan memanfaatkan dana optimalisasi. Dan terakhir, yang biasanya paling mudah dilakukan, menjadikan BUMN sebagai "sapi perahan".

Pemanfaatan laba BUMN
Telah menjadi rahasia umum jika BUMN menjadi "sapi perahan" bagi parpol-parpol yang duduk di pemerintahan selama ini. Cara yang paling mudah adalah dengan memperbesar laba ditahan di BUMN dengan alasan untuk ekspansi dalam rangka pengembangan usaha. Laba yang seharusnya disetorkan kepada negara ternyata tetap ditahan dan tidak tanggung-tanggung karena nilainya sangat fantastis mencapai Rp 407,3 triliun, hampir separuh dari anggaran pendapatan negara.

Laba yang ditahan tentunya disimpan di rekening tertentu dan akan berbunga. Bunga tersebut yang paling rentan dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. Bisa saja digunakan untuk pendanaan kampanye parpol yang menguasai BUMN tersebut. Sebab, sampai saat ini tidak ada aturan mengenai berapa besaran laba yang dapat ditahan BUMN dan bagaimana penggunaan atas bunga dari laba yang ditahan itu.

Program populis
Program-program populis, seperti bantuan siswa dari keluarga miskin, keluarga miskin, jaminan sosial, dan PNPM terus meningkat tinggi pada 2014 sampai mencapai Rp 52,9 triliun. Untuk kepentingan kampanye, biasanya program-program itu digunakan untuk memobilisasi para pemilih di daerah dalam rangka kampanye terselubung.

Biasanya program-program tersebut realisasinya ditandatangani oleh menteri yang terkait dengan model kunjungan kerja dalam rangka "labelisasi" seolah-olah program populis itu merupakan jasa dan perjuangan menteri bersangkutan. Program-program populis ini akan sangat menguntungkan bagi menteri yang berasal dari partai politik. Bagi masyarakat, program populis ini manfaatnya akan dirasakan langsung karena memang disengaja bersifat karitatif  demi tujuan politis, yaitu meraup suara untuk pemilu, bukan murni untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pemanfaatan dana bansos
Dana bantuan sosial dari 2013 sampai 2014 terus meningkat, dari Rp 69,8 triliun menjadi Rp 75,7 triliun. Dari semua dana tersebut, sebesar Rp 25,6 triliun tersebar di 10 kementerian yang menterinya berasal dari partai politik. Pemanfaatan dana bansos hampir sama dengan pemanfaatan program-program populis. Pemberian dana selalu disertai suatu seremoni yang dihadiri menteri dalam rangka kampanye terselubung.

Itulah kenapa sejak tahun 2013 banyak menteri rajin melakukan kunjungan kerja ke daerah terkait dengan realisasi bansos. Jika tidak dihadiri menteri, paling tidak dalam setiap pemberian bantuan labelisasi biasanya dilakukan dengan pemasangan gambar/foto yang mencerminkan figur atau sosok populer dari parpol tertentu, bisa tokoh nasional ataupun tokoh lokal selama masih dari parpol yang sama dengan menteri.

Dana optimalisasi
Sejak 2012, pemerintah mengenalkan dana optimalisasi yang tujuannya menunjang kinerja kementerian. Menariknya, jika pada 2013 dana optimalisasi hanya Rp 13 triliun, pada 2014 naik 2 kali lipat menjadi Rp 26,9 triliun. Seyogianya penggelontoran dana optimalisasi harus melalui syarat evaluasi kinerja di setiap kementerian/lembaga terlebih dahulu agar dapat diketahui seberapa jauh efektivitasnya bagi peningkatan kinerja yang menjadi tujuan utama pemberian dana tersebut. Namun, karena tujuan terselubungnya adalah untuk mencari dana-dana titipan bagi kepentingan parpol yang duduk di kekuasaan, tanpa perlu evaluasi lagi dana optimalisasi langsung dinaikkan lebih dari 100 persen.

Dari keempat praktik pemanfaatan anggaran negara tersebut memang tidak bisa dikatakan melanggar hukum secara langsung, kecuali jika terbukti terjadi penggelapan atau penyimpangan nantinya. Namun, praktik demikian merupakan pembodohan kepada rakyat yang justru akan membuat rakyat semakin pragmatis karena banyaknya program karitatif. Upaya membangun kesadaran kritis terhadap anggaran yang dilakukan oleh semua elemen (termasuk pemerintah) selama ini akhirnya menjadi kesia-siaan belaka hanya karena kepentingan politik sempit dan bersifat jangka pendek. Selamat berkampanye.

Yenny Sucipto, Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005689228
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Kelanjutan Drama Skandal Madoff (Kompas)

MENYUSUL Madoff, lima tokoh lain dalam skandal Ponzi yang diotaki Madoff dinyatakan bersalah oleh pengadilan Manhattan, New York.
Kelima orang ini memainkan peran penting dalam operasional jejaring penipuan lewat skema Ponzi alias investasi bodong yang dijalankan oleh hedge fund terbesar dunia yang didirikan Bernard Madoff pada 1962.

Tuntutan hukuman yang berkisar 78-220 tahun dalam peradilan yang berlangsung hampir enam bulan—meski dalam praktik vonisnya bisa lebih rendah—jadi hadiah penghibur bagi investor meski tak bisa mengembalikan investasi mereka yang raib. Madoff sudah divonis 150 tahun dan kini meringkuk di penjara di North Carolina.

Terlepas dari pembelaan bahwa mereka juga dikelabui Madoff dan menjadi korban karena uang mereka ikut hilang, kelima anggota staf dan eksekutif perusahaan Madoff ini dianggap berperan besar dalam penipuan itu. Termasuk mengelabui regulator, auditor, otoritas pajak, kreditor, dan investor sehingga mereka selalu lolos dari pemeriksaan badan pengawas pasar modal AS.

Seperti dilaporkan media internasional, dari awal, tak seorang pun percaya kejahatan sekompleks ini hanya dijalankan sendiri oleh Madoff. Skandal Madoff tercatat sebagai salah satu megaskandal kejahatan kerah putih terbesar dalam sejarah keuangan Wall Street, dengan begitu banyak korban dari kalangan investor di seluruh dunia dan kerugian mencapai 20 miliar dollar AS.

Bagi otoritas keuangan Wall Street, skandal Madoff pukulan memalukan dan pelajaran pahit yang sangat mahal. Bisnis seperti perbankan, investasi, dan jasa keuangan lain adalah bisnis kepercayaan yang sekali rusak bisa meruntuhkan seluruh sistem dan memukul perekonomian global. Itu terbukti dalam krisis 2008.

Kejahatan Madoff terbongkar setelah skandal penipuan oleh hedge fund lain—Bayou Group—terbongkar, memicu krisis kepercayaan investor yang kemudian menarik dananya dari Madoff sehingga gagal bayar.

Aksi penipuan Madoff yang diduga berlangsung sejak 1987 juga menelanjangi kelemahan regulasi dan pengawasan di Wall Street. Rezim Wall Street selama ini mengklaim diri sebagai benchmark tata kelola yang baik dan transparan. Mitos itu buyar ketika dalam krisis 2008, sejumlah lembaga keuangan raksasa ambruk, menguak borok yang ada dalam praktik bisnis mereka selama ini.

Sayangnya, hukuman berat saja tampaknya belum membuat jera. Dewasa ini kita menyaksikan, lembaga dengan bisnis serupa masih banyak bercokol dan merajalela di sejumlah negara, termasuk Indonesia, memanfaatkan ketidakpahaman investor dan kelemahan sistem. Kalangan regulator tampaknya harus bekerja lebih keras lewat upaya preventif disertai pengetatan regulasi, pengawasan, dan pendidikan investor, selain penegakan hukum.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005691120
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Solidaritas untuk Satinah (Kompas)

PERSOALAN perlindungan tenaga kerja Indonesia kembali menjadi sorotan tajam karena kasus Satinah yang terancam hukuman mati di Arab Saudi.
Sejumlah kalangan mempersoalkan mengapa Satinah dibiarkan sendirian menghadapi pengadilan Arab Saudi. Pemerintah dinilai terlambat mengetahui kasus TKI asal Jawa Tengah itu. Upaya negara membela Satinah terkesan kedodoran. Sebaliknya, sungguh mengesankan solidaritas yang diekspresikan masyarakat Indonesia dalam membela nasib Satinah.

Aksi solidaritas berupa pengumpulan uang kini meluas, tetapi harus berkejaran dengan waktu yang semakin terdesak. Jika uang darah (diyat) tidak dibayar sampai batas waktu Kamis, 3 April mendatang, Satinah yang dituduh mencuri dan membunuh majikannya akan dihukum pancung. Pembebasan Satinah, antara lain, bergantung pada kemampuan mengumpulkan uang 7 juta riyal atau sekitar Rp 21,25 miliar sebagai diyat.

Jika uang tebusan tak bisa dilunasi, Satinah, yang divonis pada 2008, akan dieksekusi. Sejauh ini sudah terkumpul Rp 12 miliar yang berasal dari Kementerian Luar Negeri RI sebesar Rp 9 miliar serta dari Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia dan para dermawan di Arab Saudi Rp 3 miliar. Keluarga korban di Arab Saudi tetap menuntut 7 juta riyal sebagai tebusan. Sebaliknya, posisi Pemerintah Indonesia bertahan pada tawaran Rp 12 miliar.

Sejumlah kalangan berharap pemerintah akan terus melakukan tawar-menawar sampai tercapai kesepakatan baru. Namun, tidak sedikit orang mempertanyakan, mengapa pemerintah tidak langsung menggenapi saja angka uang tebusan seperti dituntut. Sering digunakan sebagai argumen, tidakkah lebih baik uang digunakan untuk membela dan melindungi kepentingan warga bangsa ketimbang diselewengkan untuk praktik korupsi yang menghabiskan triliunan rupiah. Namun, persoalannya tidaklah sederhana. Perlu dikemukakan, persoalan perlindungan dan pembelaan terhadap nasib TKI tergolong rumit. Sebanyak 265 TKI di mancanegara terancam hukuman mati.

Hukuman itu dijatuhkan atas kesalahan yang dilakukan TKI, tetapi bagaimanapun pemerintah tak boleh berpangku tangan. Lebih-lebih karena orang mengadu nasib ke mancanegara sebagai TKI akibat negara gagal menciptakan lapangan kerja. Sekalipun risiko yang dihadapi sangat besar, seperti ancaman bahaya kekerasan, pemerkosaan, dan pembunuhan, tetap saja banyak orang mencari kerja dengan menjadi TKI.

Bagaimanapun upaya mendapatkan pekerjaan sangatlah penting, bukan hanya untuk mencari nafkah, melainkan juga untuk mengekspresikan diri karena kerja merupakan kodrat manusia (Homo faber). Masuk akal, pengangguran bukan hanya isu kerja dan ekonomi, melainkan juga menjadi masalah hak asasi yang harus dijamin negara dan diperjuangkan setiap individu untuk harkat diri.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005696284
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Powered By Blogger