Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 31 Maret 2016

TAJUK RENCANA: Jerman dan Integrasi Pengungsi (Kompas)

Pemerintah Jerman akan menerapkan aturan baru bagi pengungsi berupa kewajiban bagi pengungsi ataupun migran untuk berintegrasi.

Aturan itu, antara lain, mewajibkan pengungsi untuk belajar bahasa Jerman dan wajib berintegrasi dengan masyarakat di luar komunitas mereka. Menteri Dalam Negeri Jerman Thomas de Maiziere menggarisbawahi, siapa pun yang tidak tunduk pada aturan itu, izin tinggalnya setelah tiga tahun tidak akan diperpanjang.

Jerman adalah negara di Eropa yang paling berat menanggung beban politik dan finansial akibat krisis pengungsi. Di tahun 2015 saja, ada sekitar 1 juta pengungsi yang ditampung di Jerman, dan sekitar 100.000 orang di tahun ini.

Kebijakan "pintu terbuka" Kanselir Angela Merkel yang bersedia menampung 1 juta pengungsi awalnya disambut pujian dan simpati oleh dunia. Namun, tidak demikian dengan warga Jerman. Kedatangan sejuta orang asing menimbulkan rasa terancam dan memicu sentimen anti imigran yang kini menjalar di seluruh negara di Eropa.

Pesan paling keras dari rakyat Jerman untuk Merkel adalah kekalahan telak partai berkuasa, Uni Demokratik Kristen (CDU), dalam pemilihan umum regional bulan lalu. Banyak warga Jerman yang mengalihkan suaranya kepada partai Alternatif untuk Jerman (AfD) yang anti imigran dan berhaluan xenofobia.

Itu sebabnya, Merkel habis-habisan memperjuangkan perjanjian pengungsi antara Uni Eropa dan Turki yang disepakati bulan ini. Kesepakatan itu relatif ampuh menyetop arus pengungsi yang menyeberang ke Yunani dari Turki meskipun ditentang keras oleh PBB.

Sampai kini Merkel tetap membela kebijakan "pintu terbuka", tetapi secara diam-diam garis haluan partai mulai berubah untuk merebut kembali simpati warga Jerman menjelang pemilu federal tahun depan. Selain akan lebih tegas dan selektif dalam memilih pengungsi yang bisa memperoleh izin tinggal, otoritas Jerman juga akan menuntut para pengungsi itu "berkontribusi" bagi Jerman.

Terlepas dari inisiatif itu, upaya Jerman yang berani mengambil tanggung jawab kemanusiaan di saat negara-negara lain di Eropa menutup rapat-rapat perbatasannya patut diapresiasi. Apalagi, langkah itu diambil di saat Uni Eropa sedang dilanda serangkaian ujian berat. Di antaranya, serangan teroris di Paris dan Brussels, rencana referendum Inggris untuk memisahkan diri dari blok UE, dan penempatan pengungsi.

Terkait hal itu, Sekjen PBB Ban Ki-moon, yang pernah menjadi pengungsi ketika terjadi Perang Korea (1950-1953), kemarin menyerukan agar dunia bersatu untuk menempatkan sekitar 480.000 pengungsi asal Suriah. Jumlah itu relatif "kecil" jika dibandingkan jumlah pengungsi yang ditampung Turki, Jordania, dan Irak.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2016, di halaman 6 dengan judul "Jerman dan Integrasi Pengungsi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ISO 37001, Sertifikasi Anti Korupsi (DEDI HARYADI)

Akhir tahun ini, gerakan anti korupsi akan menemukan momentum dan amunisibaru, yaitu dengan dipublikasikannya ISO 37001 tentang standar sistem manajemen anti suap. ISO 37001 didesain sebagai instrumen untuk membantu organisasi mengembangkan, mengimplementasikan, merawat, dan memperbaiki programanti suap.

Instrumen ini isinya serangkaian tindakan dan kontrol yang harus dilakukan untuk mencegah, mendeteksi, dan mengatasi suap. Standar ini sudah didesain sefleksibel mungkin sehingga bisa digunakan oleh berbagai jenis dan skala organisasi, juga berbagai konteks budaya. Standar manajemen anti suap ini juga dirancang adaptif sehingga mudah diintegrasikan ke dalamsistem manajemen lain yang sudah ada dalam sebuah organisasi.

Siap terbit

Preparasi penerbitan instrumen ini sudah sangat maju. Tinggal dua langkah lagi saja, yaitu 1) resolusi Draft Internasional Standard (DIS)oleh komite teknis pada April 2016dan2) pemungutan suaraoleh 119 anggota penuhInternational Organizationfor Standardization (ISO) pada akhir 2016. Anggota ISO adalah lembaga standardisasi dari setiap negara.

Satu negara hanya boleh diwakili satu lembaga standardisasi. Ada tiga jenis keanggotaan dalam ISO, yakni anggota penuh (119 lembaga), anggota koresponden (39 lembaga), dan anggota pelanggan (empat lembaga).Yang mempunyai hak suara adalah anggota penuh. Kalau mereka setuju dengan standar ini, jadilah ISO 37001sebagai standarsistem manajemen anti suap. Besar kemungkinan disetujui karena korupsi sudah jadi problem global.Untuk mengatasinya perlu komitmen dan aksi global. Munculnya standar ini merepresentasikan komitmen dan aksi global tersebut.

Inisiatifmengembangkan IS0 37001 ini sudah mengkristal pada 2013 ketikaISO memutuskanmembentukKomite Proyek 278 yang terdiri dari 45 negara dan tujuh kantor perwakilan. Komite proyek inisudah mendesain draf standar ISO 37001dalam rangkaian pertemuan, dimulaidariLondon (Juni 2013),Madrid (Maret 201), Miami (September 201), Paris (Maret 2015), sampai Kuala Lumpur (September 2015).

Sekretariat komite untuk standar anti suap ini digawangioleh British Standard Institution (BSI). Maklum,ISO 37001 ini sebenarnya diturunkan dari UK bribery Act dan British Standard 10500 tentang anti suap.

Mungkin Badan Standardisasi Nasional (BSN),yang menjadi anggota ISO dari Indonesia—kurang sensitif terhadap isu anti korupsi sehingga tidak ambilbagian penting dalamkomiteini. Sebenarnya,BSN cukupaktif. Sejauh ini, BSN sudah terlibat dalam 230 komite teknis ISO baik sebagai partisipan maupun sebagai pengamat.Sebagai anggota penuhdalam ISO, BSN bisa terlibat dalam semua urusan ISO, dimulai dariformulasi kebijakan, pemungutan suara, sampaisoal teknis standardisasi.

Belum terlambat bagi BSN untuk ambil bagian penting dalam perumusan proses standardisasi manajemen anti suap. Dalam waktu yang tersisa, sekarang ini BSN bisa memberikan masukan dan proposal yang berarti pada draf sehingga desain ISO 37001 relevan dengan konteks Indonesia kekinian. Selain itu, dalam pemungutan suara nanti sebaiknya BSN mendukung dan oke dengan standar ini. Sebab standar ini relevan dengan kebutuhan kita saat ini. Risiko korupsidalam berbagai organisasi, khususnya organisasibisnis di Tanah Air, masih sangat tinggi.

Standar ini cukup menjanjikan. Mereka yang menerapkan standar manajemen ini potensial bisa menyelesaikan suap yang dilakukan oleh organisasi atau personalia organisasi atau asosiasi bisnis yang bertindak atas nama organisasi atau untuk keuntungan organisasi. Selain itu, jugasuap yang dilakukan oleh organisasi atau personalia organisasi atau asosiasi bisnis dalam kaitannya dengan kegiatan organisasi.

Suap bisa dicegah, dideteksi, dan diatasijikaorganisasi melakukanserangkaian tindakan dan kontrol, di antaranya adalahmemiliki kebijakan, prosedur dan kontrol anti suap, komitmen dan tanggung jawab manajer puncak tentang anti suap, pengawasan manajer senior, pelatihan anti suap,penilaian risiko suap, due diligence proyek-proyek dan anggota asosiasi bisnis, pelaporan, monitoring, investigasi dan review, tindakan korektif dan langkah perbaikan yang terus-menerus.

Pasar sertifikasi anti suap

ISO 37001 masuk standar Tipe A yang berarti harus disertifikasi dan diaudit. ISO 19600 tentang sistem manajemen kepatuhan yang saat inidrafnyajuga sedang dibahas termasukTipe B. Ia standar saja, yang dirancangsekadar memberikan petunjuk bagaimana menegakkan kepatuhan.Terkait dengan hal itu, maka ada beberapa implikasi penting dari penerbitanISO 73001 ini nantinya munculnya pasar sertifikasi dan audit manajemen anti suap. Memang salah satu pertimbangan pentingmengapa anti suap di-ISO-kan karena ada potensi pasar yang besar di dalamnya.

Sertifikasi ISO 73001 tidak dilakukan oleh ISO, tetapi oleh pihak ketiga.Ini berarti membutuhkanlembaga yang kredibel mengeluarkan sertifikat anti suap. Ia bisa memunculkan lembaga sertifikasi baru, atau lembaga sertifikasi yang ada menambah area kompetensinya. Pada saat yang sama ordersertifikasi anti suap dari berbagi organisasi terutama korporasi akan menguat.

Mengapa? Sangat mungkin akan banyak organisasi bisnis dan nonbisnis yang tertarik menerapkan standar ini karena, 1) memiliki manajemen anti suap bisa menjadi benchmark organisasi, yang distingtif terhadap organisasi lain, 2) memberikan jaminan padamanajemen, investor, pekerja, pelanggan, dan pemangku kepentingan (stakeholder) yang lainbahwa organisasi sudah mengambil langkah untuk mengendalikan risiko suap, dan 3) merupakan bukti bahwa organisasisudah mengambil langkahrasional mengendalikan risiko suap.

Ketika sertifikat anti suap ini diberikan kepada sebuah organisasi, harus dilakukan penilaian (audit) kepatuhan dariwaktu ke waktu apakah standar ini diterapkan secara baik dan menyeluruh atau tidak.Inilah yang akan mendorong munculnya pasar audit kepatuhan.

Tidak menutup kemungkinan dua pasar baru ini terdistorsi juga —seperti munculnya lembaga sertifikasi dan asesor abal-abal, suap-menyuap dalam penerbitan sertifikat, rekayasa hasil audit, dan lain-lain—sehingga menjadi ladang korupsi (suap) baru. Kalau terjadi demikian, IS0 73001 bukannya menyelesaikan, melainkan malah memperumit keadaan.

Untuk memastikan sertifikasi anti suap tidak menjadi ladang suap baru, sebaiknya Komisi Pemberantasan Korupsi mengembangkan program pengawasan sertifikasi dan audit kepatuhan ISO 73001. Di sini, KPK perlu membuat instrumen baru untuk mencegah, mendeteksi, dan mengatasi risiko suap dalam sertifikasi anti suap.

Bagi lembaga swadaya masyarakat (LSM) anti korupsi,pilihannyalebih banyak, bisamemantau risiko korupsi dalam sertifikasi anti suap, ataubermetamorfosis menjadi lembagasertifikasi anti suap atau aktivis anti korupsinya menjadi penilai dalam proses sertifikasi anti suap.

Bagaimanapun ISO 73001 merupakan produk baru yang mungkin akan menjadikan sebagian besar orang dan organisasi, termasuk KPK dan LSM pegiat anti korupsi sekalipun, sebagai mualaf (pemula). Ini berartiada kebutuhan mendesak untuk mengembangkan program melek sertifikasi anti suap.

DEDI HARYADI, DEPUTI SEKJEN TRANSPARANSI INTERNASIONAL INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2016, di halaman 7 dengan judul "ISO 37001, Sertifikasi Anti Korupsi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Imunitas Ombudsman (AMZULIAN RIFAI)

Baru saja Ombudsman Republik Indonesia mengungkapkan kepada publik tentang keterlibatan oknum Staf Kantor Presiden dalam suatu kasus yang ditangani.

Ada saja cara untuk membela diri seakan-akan faktanya tidaklah demikian. Padahal, kalau saja semua fakta diungkap, dapat memojokkan lebih banyak orang.

Bahkan sudah ada pihak yang mengambil ancang-ancang untuk mengkriminalisasi Ombudsman, sebagai lembaga pengawas pelayanan publik tersebut. Mestinya, gaya dan modus operandi seperti ini, yang sudah terjadi untuk lembaga-lembaga lain, jangan juga dicoba untuk Ombudsman. Mungkin publik perlu mengetahui adanya imunitas yang dimiliki insan Ombudsman.

Secara harfiah imunitas dapat diartikan sebagai kebal (immune). Namun, tentu lebih panjang uraiannya, jika imunitas itu ditujukan kepada suatu profesi. Kata ini dapat dimaknai bahwa seseorang dalam profesinya tidak dapat dituntut di pengadilan baik secara pidana, perdata, maupun tata usaha negara karena menjalankan tugas sesuai kewenangannya. Apalagi jika undang-undang secara tegas (tersurat) menyatakannya dalam pasal khusus tentang itu.

Urgensi imunitas

Memang ada urgensi perlunya imunitas terhadap jabatan-jabatan tertentu. Hal itu bertujuan agar mereka yang menjalankan tugas terlindungi, bukan malah repot menghadapi persoalan hukum justru dikarenakan menjalankan tugasnya.

Di Indonesia masih banyak pejabat yang melangkah dengan pongah, belum terbiasa menempatkan dirinya sebagai pelayan publik. Tidak pula terbiasa diusik, sekalipun dia menyalahgunakan kekuasaan atau jabatannya. Umumnya para penguasa semacam ini akan melakukan perlawanan dengan berbagai cara, tak soal berapapun ongkosnya (by any means at all cost) jika terusik. Di antara cara paling mudah adalah dengan menggunakan pasal karet dalam KUHP, yaitu pencemaran nama baik. Padahal, tanpa disadari sejak awal nama si terusik itu memang sudah tidak baik.

Imunitas jabatan juga diperlukan karena terkadang urusan pribadi malah diseret-seret atas nama institusi. Cukup banyak kejadian yang sesungguhnya tanggung jawab pribadi malah institusinya diajak serta untuk membelanya. Padahal, kebetulan saja, misalnya, oknum yang menyalahgunakan kekuasaannya itu berasal dari institusi yang memang garang dan bisa pula memenjarakan orang.

Urgensi imunitas itu menjadi relevan karena praktik di Indonesia sepertinya kriminalisasi terhadap pejabat negara sekalipun, seakan lumrah. Kita sudah menyaksikan kejadian tragis tiga komisioner Komisi Pemberantasab Korupsi dan mantan ketua Komisi Yudisial. Publik meyakini ada kriminalisasi terhadap mereka justru terkait tugasnya.

Memang masih tersisa perdebatan soal ada tidaknya kriminalisasi, tetapi buktinya Jaksa Agung telah mendeponering (mengenyampingkan) kasus itu. Di samping memang kewenangannya, tentu deponering itu hasil kajian mendalam baik secara sosiologis maupun yuridis, meski di saat yang sama timbul pertanyaan juga, bagaimana dengan status tersangka Suparman Marzuki, mantan ketua Komisi Yudisial? Mengapa deponering baginya tak satu paket juga dengan tiga komisioner KPK?

Dasar imunitas

Para perancang UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI paham benar bahwa Ombudsman "akan berhadapan" dengan para penguasa. Penyebabnya karena memang yang diawasi oleh Ombudsman adalah para penyelenggara negara dan pemerintahan. Artinya, tak ada lembaga negara, termasuk BUMN/ BUMD/BHMN yang luput dari pengawasan Ombudsman.

Memang sekilas sederhana saja urusan Ombudsman karena hanya terkait dengan pengawasan pelayanan publik saja. Ada kesan tidak perlu ditakuti karena Ombudsman tidak serta-merta dapat memenjarakan orang. Agaknya, lembaga negara itu baru ditakuti jika ada kewenangan memenjarakan. Padahal, dimensi yang diurusi oleh Ombudsman sangatlah luas. Terkadang terungkap adanya "niat jahat" banyak orang, termasuk penguasa, yang justru ikut merecoki pelayanan publik kita.

Sudah sejak Indonesia merdeka, pelayanan publik kita masih buruk hingga saat ini. Buruk karena para penyelenggara negara dan pemerintahan, para birokrat, kebanyakan tidak komit dengan jabatannya. Mereka lupa kepada hakikat jabatan yang diamanahkan kepadanya.

Pasal 10 UU No 37/2008 tentang Ombudsman menegaskan "Dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan." Pasal ini tegas sekali, tidak perlu adanya penafsiran bahwa ada imunitas bagi anggota Ombudsman dalam menjalankan tugas-tugas mereka. Malah UU yang sama menegaskan bahwa setiap orang yang menghalangi Ombudsman dalam melaksanakan tugasnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Tentu saja, imunitas yang dimiliki Ombudsman tak boleh melahirkan kesewenang-wenangan. Dalam menjalankan tugasnya haruslah atas dasar kepatutan, keadilan, nondiskriminasi, tak memihak, akuntabilitas, keseimbangan, keterbukaan, dan kerahasiaan (sepanjang menyangkut kepentingan para pihak dalam kasus yang ditangani). Publikasi menjadi penting manakala Ombudsman menilai untuk kepentingan umum dan demi kebaikan lembaga tersebut.

Sesuai amanat UU dan misi menghadirkan negara di tengah masyarakatnya untuk membersihkan birokrasi, ke depan sangat mungkin Ombudsman berhadapan dengan para penguasa yang tak sadar dengan hakikat kekuasaannya. Sinyal mengkriminalisasi Ombudsman sebagaimana pernah dilakukan terhadap lembaga lain, sudah ada. Mestinya kita semua juga memahami, sebagaimana pembentuk UU, bahwa ada imunitas anggota Ombudsman.

AMZULIAN RIFAI, KETUA OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2016, di halaman 6 dengan judul "Imunitas Ombudsman".



Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Reaksi atas Perompakan Abu Sayyaf (Kompas)

Jangkauan aksi kekerasan kelompok separatis Abu Sayyaf di Filipina selatan tampaknya mulai mengancam keamanan kawasan Asia Tenggara.

Kekhawatiran itu mulai muncul setelah gerilyawan Abu Sayyaf di luar dugaan merompak kapal tunda Brahma 12 dan tongkang Anand 12 berbendera Indonesia akhir pekan lalu. Para awak kapal, 10 warga negara Indonesia, dijadikan sandera oleh Abu Sayyaf.

Aksi perompakan dan penyanderaan terhadap WNI dengan tuntutan uang tebusan 50 juta peso atau sekitar Rp 14,5 miliar itu merupakan perkembangan baru dalam gerakan Abu Sayyaf. Luapan kekerasan tampaknya mulai melewati batas lingkup urusan domestik Filipina.

Sejauh ini memang disebut-sebut kelompok Abu Sayyaf sudah menjalin hubungan dengan berbagai kelompok ekstrem dan radikal di Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Namun, pertalian hubungan itu tertutup, sementara aksi kekerasan Abu Sayyaf dilakukan sebatas menyerang kepentingan Pemerintah Filipina.

Tidaklah mengherankan jika kasus perompakan dan penyanderaan WNI menimbulkan kekhawatiran, luapan keganasan gerakan Abu Sayyaf sudah melampaui lingkup persoalan internal Filipina. Lebih mencengangkan lagi, Abu Sayyaf yang mengklaim sebagai pejuang pembentukan negara merdeka justru menuntut uang tebusan.

Mungkin saja uang tebusan dibutuhkan untuk pembelian senjata, tetapi justru kontraproduktif secara politik dan diplomatik untuk sebuah perjuangan pembentukan negara terpisah. Penggunaan kekerasan, termasuk penculikan, pembunuhan, sabotase, perampokan, dan perompakan, yang dilakukan Abu Sayyaf selama ini, benar-benar merepotkan pemerintah dan rakyat Filipina.

Segala upaya perdamaian selalu dimentahkan dengan aksi kekerasan. Selain negara dan bangsa Filipina direpotkan oleh gerakan kelompok Abu Sayyaf, negara lain, seperti Indonesia, juga mulai terkena imbas keganasan gerilyawan bersenjata di Filipina selatan itu.

Sungguh mengesankan, Pemerintah Indonesia bereaksi cepat dalam menghadapi kasus perompakan oleh Abu Sayyaf. Tidak hanya pendekatan diplomatik dilakukan, tetapi juga operasi penyelamatan disiapkan. Kesigapan Pemerintah Indonesia tidak hanya diperlukan untuk menyelamatkan 10 WNI yang disandera, tetapi juga memberikan pesan kuat tentang nilai solidaritas dalam semangat dan makna kebangsaan yang lebih luas.

Tidak kalah pentingnya meningkatkan kewaspadaan tentang kemungkinan merebak luas aktivitas kekerasan Abu Sayyaf pada tingkat kawasan. Aksi perompakan dan penyanderaan WNI bisa menjadi sebuah preseden yang bisa diikuti aksi lain. Sangat diperlukan antisipasi.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2016, di halaman 6 dengan judul "Reaksi atas Perompakan Abu Sayyaf".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Reaksi atas Perompakan Abu Sayyaf (Kompas)

Jangkauan aksi kekerasan kelompok separatis Abu Sayyaf di Filipina selatan tampaknya mulai mengancam keamanan kawasan Asia Tenggara.

Kekhawatiran itu mulai muncul setelah gerilyawan Abu Sayyaf di luar dugaan merompak kapal tunda Brahma 12 dan tongkang Anand 12 berbendera Indonesia akhir pekan lalu. Para awak kapal, 10 warga negara Indonesia, dijadikan sandera oleh Abu Sayyaf.

Aksi perompakan dan penyanderaan terhadap WNI dengan tuntutan uang tebusan 50 juta peso atau sekitar Rp 14,5 miliar itu merupakan perkembangan baru dalam gerakan Abu Sayyaf. Luapan kekerasan tampaknya mulai melewati batas lingkup urusan domestik Filipina.

Sejauh ini memang disebut-sebut kelompok Abu Sayyaf sudah menjalin hubungan dengan berbagai kelompok ekstrem dan radikal di Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Namun, pertalian hubungan itu tertutup, sementara aksi kekerasan Abu Sayyaf dilakukan sebatas menyerang kepentingan Pemerintah Filipina.

Tidaklah mengherankan jika kasus perompakan dan penyanderaan WNI menimbulkan kekhawatiran, luapan keganasan gerakan Abu Sayyaf sudah melampaui lingkup persoalan internal Filipina. Lebih mencengangkan lagi, Abu Sayyaf yang mengklaim sebagai pejuang pembentukan negara merdeka justru menuntut uang tebusan.

Mungkin saja uang tebusan dibutuhkan untuk pembelian senjata, tetapi justru kontraproduktif secara politik dan diplomatik untuk sebuah perjuangan pembentukan negara terpisah. Penggunaan kekerasan, termasuk penculikan, pembunuhan, sabotase, perampokan, dan perompakan, yang dilakukan Abu Sayyaf selama ini, benar-benar merepotkan pemerintah dan rakyat Filipina.

Segala upaya perdamaian selalu dimentahkan dengan aksi kekerasan. Selain negara dan bangsa Filipina direpotkan oleh gerakan kelompok Abu Sayyaf, negara lain, seperti Indonesia, juga mulai terkena imbas keganasan gerilyawan bersenjata di Filipina selatan itu.

Sungguh mengesankan, Pemerintah Indonesia bereaksi cepat dalam menghadapi kasus perompakan oleh Abu Sayyaf. Tidak hanya pendekatan diplomatik dilakukan, tetapi juga operasi penyelamatan disiapkan. Kesigapan Pemerintah Indonesia tidak hanya diperlukan untuk menyelamatkan 10 WNI yang disandera, tetapi juga memberikan pesan kuat tentang nilai solidaritas dalam semangat dan makna kebangsaan yang lebih luas.

Tidak kalah pentingnya meningkatkan kewaspadaan tentang kemungkinan merebak luas aktivitas kekerasan Abu Sayyaf pada tingkat kawasan. Aksi perompakan dan penyanderaan WNI bisa menjadi sebuah preseden yang bisa diikuti aksi lain. Sangat diperlukan antisipasi.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2016, di halaman 6 dengan judul "Reaksi atas Perompakan Abu Sayyaf".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Pilkada Serentak: Generasi Y dan Calon Perseorangan (BENI SINDHUNATA)

Tidak ada yang aneh dari generasi Y atau generasi milenial,generasi yanglahir antara 1980 dan 1999, berusia 17-36 tahun (Kompas, 14/3).

Walaupun kontestasi Pilkada DKI-1 masih setahun lagi, Juli 2017, dinamika perseteruan partai politik, politikus, dan calon perseorangan mulai ramai. Media cetak dan media elektronik lewat berbagai cara menjadi sarana ampuh guna menyikapi gejala tersebut. Generasi ini sangat akrab dengan aneka jenisgadget dan aplikasi yang berhamburan.

Dalam konteks ini kita menyoroti bagaimana keakraban pengguna media massa dan media sosial, khususnya dari generasi Y, melibatkan diri dalam pilkada daerah skala nasional tersebut. Dari perspektif usia terlihat bahwa segelintir WNI yang ikut serta dalam perpacuan merebut takhta DKI-1 umumnya perpaduan generasi baby boomer dan generasi X yang lahir dari 1947 sampai 1965. Ibarat anak –keponakan memilih calon pemimpin dari generasi yang digantikannya.

Sementara waktu ini kita tanyakan dari segelintir calon DKI-1, berapa besar perhatiannya soalpenurunan 5–11 sentimeter air muka daratan DKI setiap tahun (Kompas, 18/3). Apakah lima tahunlagi Balai Kota DKI masih layak dihuni dan dijadikan kantor. Atau, lima tahun lagi DKI dan kawasan Ring-1 Ibu Kota selalu tergenang.

Masih berapa banyak yang berpikir ke arah itu atau hanya ikut lomba menduduki kursi empuk DKI-1 tanpa hiraukan kemaslahatan bagi warga merangkap konstituennya. Pertanyaan ini lebih ditujukan kepada segelintir WNI yang merasa layak menduduki dan memperebutkan singgasana DKI-1. Semuanya ditentukan oleh seberapa banyak kita bisa kumpulkan suara warga DKI untuk sang calon.

Santun dan jeruji

Coba kita lihat berapa banyak yang santun, sopan, dan pintar, bahkan rajin beribadah ke rumah ibadah tetapi menjadi tamu atau penghuni jeruji besi di KPK. Atau sudah biasakah orang menggunakan rompi oranye KPK dengan rambut klimis bak seorang selebritas yang sedang digelandang. Apakah itu seorang mantan bupati, wali kota, lurah, gubernur, menteri, atau anggota parlemen, tinggal dapat dihitung dengan jari. Mantan bupati penggemar narkoba (dari Ogan Ilir) atau Ahok petahana dari Jakarta hanya satu contoh untuk menelusuri bibit, bobot,dan bebetseorang pemimpin daerah, bermutu atau tidak.

Karena itu, layaklah calon perseorangan, independen, atau apa pun istilahnya harus diperketat persyaratannya. Padahal, UU No 8 Tahun 2015 sudah mengatur tentang persentase seorang calon perseorangansebab para mantan dan calon perseorangan, kalau ikut, umumnya kalah dari pesaing usungan partai politik.

Survey Politik Indonesia menyatakan, 35 persen kontestan independen atau perseorangan menang di jalur pilkada, itu pun kurang sepertiga hanya 40 persen peserta pilkada. Lainnya dimenangi oleh partai politik, jadi partai politik tetap menjuarai.

Di sisi lain, kita lihat aspek positif berapa banyak dari jutaan lebih PNS bersikap sederhana dan bisa hidup dengan benar dan wajar. Bahagialah anggota parlemen sekarang berpeluang untuk jadi pemimpin di daerah masing-masing yang pernah diwakili sebagai konstituen. Berkesempatan jadi independen atau perseorangan di luar partai politik yang ada merupakan satu kesempatan dalam karier politik.

Hanya saja, sangat kita sayangkan berapa banyak yang masuk dalam generasi emas dan bersinar bagi masa depan bangsa karena di sisi lain lahir pulaplutokratisme di mana yang kaya yang berkuasa sekelompok kecil masyarakat yang dengan gelimangan harta dan berada di puncak piramida harta dan kuasa. Mereka adalah kelompok satu persen yang kuasanya lebih dari 99 persen yang ada. Mungkin mereka sebagian dari 6.000 warga negara Indonesia yang mempunyai deposito di luar negeri. Kelompok ini bisa muncul dalam berbagai bentuk di masyarakat. Mereka tidak hanya mengubah budaya dan tata cara korporasi, tetapi juga manajemen publik sampai ke panggung politik. Misalnya, dengan cara maju perseorangan di samping lembaga politik yang ada, tempat mereka pernah dibesarkan. Disebut sebagai orang kaya atau masuk dalam kelompok miliarder baru sudah biasa, sudah harus berpacu jadi orang kaya dan superkaya (high net worth individual/HNWI).

Komponen masa depan

Generasi Y yang diidentikkan warga milenia merupakan komponen dari masa depan bangsa. Mereka adalah pendobrak generasi sebelumnya dengan kinerja yang lebih efisien dan pengubah wajah korporasi saat ini. Takada hukum besi yang menyatakan calon independen atauperseorangan tak boleh diusung atau dicalonkan parpol lagi, semua bisa berubah tergantung dimensi waktu, tempat, dan kepentingan. Yang harus ditakutkan dengan calon independen, sejauh itu sesuai UU Pilkada, MK dan atau KPU mengizinkan, biarkan saja.

Sebagai satu warga DKI yang tidak berminat merebut singgasana DKI-1 (2017), maka pilihan ke model perseorangan dengan jalur nirpartai merupakan alternatif yang legal sebab dengan berprinsip pada calon gubernur yang paling sedikit janjinya, maka dialah yang paling rendah potensi bohongnya. Karena itu, setengah abadhidup dalam kebesaran partai politik, ini merupakan sarana alternatif.Tak semua orang partai politik jelek. Sebagian kecil di antaranya pasti baik.

Sebagian warga masih perlu partai politik karena keberadaanya sebuah keniscayaan, soal rakyat dipaksa memilih itu lain soalnya. Namun, partai politik perlu berubah dan ber-evolusi dengan perubahan demografis. Semua perlu berubah. Jika calon independen ini ternyata busuknya tidak kurang dari yang sudah-sudah, rakyat akan sadar dan mundur teratur, dan calon perseorangan pun surut sesuai zaman. Jadi tidak ada yang perlu ditakutkan oleh klausul calon perseorangan. Karena bukan yang kaya yang berkuasa, tetapi justru yang muda yang berkarya demi masa depan bangsa dan negara.

BENI SINDHUNATA, PENDIRI INBRA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2016, di halaman 7 dengan judul "Generasi Y dan Calon Perseorangan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Pilkada Serentak: Calon Perseorangan dan Pemda (RAMLAN SURBAKTI)

HANDINING

Baik sebelum pilkada serentak maupun pada pilkada serentak 2015, jumlah calon perseorangan sangat kecil dan jumlah calon perseorangan yang terpilih juga dapat dihitung dengan jari. Bahkan sejumlah calon perseorangan yang terpilih menjadi kepala daerah justru kemudian menjadi ketua partai pada tingkat kabupaten/kota

Berdasarkan fakta ini sesungguhnya calon perseorangan tidaklah menjadi isu besar. Karena itu, mengapa calon perseorangan tiba-tiba dipandang sebagai deparpolisasi. Calon perseorangan untuk pilkada niscaya bukan deparpolisasi tidak hanya karena partai politik di DPR dan pemerintah yang membuat undang-undang yang memungkinkan calon perseorangan menjadi calon dalam pilkada, tetapi juga karena calon perseorangan sudah muncul sebelum Pilkada Serentak 2015.

Karena itu, tiga pertanyaan perlu dijawab pada kesempatan ini. Pertama, mengapa calon perseorangan tiba-tiba menjadi isu besar? Kedua, apakah pencalonan melalui jalur partai politik dan melalui jalur perseorangan merupakan jalur pencalonan yang berbeda secara kategorik? Dan, ketiga, apakah kepala daerah terpilih dari jalur perseorangan mampu mendapatkan dukungan dari semua fraksi di DPRD terhadap rencana kebijakan publik yang diusulkannya?

Calon perseorangan untuk Pilkada 2017 menjadi isu sesungguhnya hanya untuk DKI Jakarta karena dua hal. Pertama, model kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang dalam kajian kepemimpinan dikategorikan sebagai kepemimpinan autentik (authentic leadership). Kedua, perilaku memilih sebagian besar warga DKI Jakarta cenderung rasional karena mampu menilai sepak terjang pemimpin. Tanpa disuruh dan dibiayai oleh Basuki, lebih dari satu tahun "Teman Ahok" sudah mendaftarkan dukungan warga Jakarta untuk pencalonan Basuki untuk pilkada DKI Jakarta melalui jalur perseorangan. Jumlah dukungan warga Jakarta sudah mencapai sekitar 700.000 dari 1 juta yang ditargetkan.

Basuki kemudian harus mengambil keputusan apakah maju menjadi calon gubernur DKI Jakarta melalui jalur partai politik ataukah melalui jalur perseorangan. Basuki kemudian mengambil keputusan melalui jalur perseorangan karena jalur partai dinilai memerlukan dana sangat besar sedangkan jalur perseorangan dipandang tak memerlukan dana. Sejumlah partai politik yang selama ini mendukung duet Basuki dengan Djarot Saiful Hidayat mempertanyakan akurasi alasan itu.

Ketika maju sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta bersama Joko Widodo pada 2012, pasangan ini jelas mendapat bantuan dana baik dari PDI Perjuangan maupun dari Partai Gerindra, bukan sebaliknya. Juga dipertanyakan bukankah maju melalui jalur perseorangan juga memerlukan dana yang tidak sedikit. Dari mana "Teman Ahok" mendapatkan dana yang tidak sedikit tersebut? Sebagian lagi dari mereka yang berniat menyaingi Basuki dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 memandang keputusan Basuki maju melalui jalur perseorangan sebagai bukti nyata ketidakpercayaan Basuki terhadap partai politik. Karena itu, sejumlah tokoh lain kemudian menyatakan niat menjadi calon gubernur DKI Jakarta melalui jalur partai politik.

Konsekuensi politik

Setiap keputusan, apakah maju melalui jalur perseorangan ataupun melalui jalur partai politik, memiliki konsekuensi politik baik yang dapat diperkirakan (intended consequences) maupun yang tidak diperkirakan sebelumnya (unintended consequences). Bila maju melalui jalur partai politik, pasangan calon yang terpilih diperkirakan akan mendapat dukungan solid dari partai politik yang mencalonkan dari DPRD. Namun, fakta menunjukkan betapa dukungan dari partai yang mencalonkan tersebut tidaklah muncul dengan sendirinya. Hal ini juga tergantung pada kepemimpinan politik kepala daerah terpilih dalam menggalang dukungan dari partai tersebut di DPRD.

Sebaliknya, calon perseorangan yang terpilih menjadi kepala daerah diperkirakan akan menghadapi kesukaran mendapatkan dukungan dari semua partai politik di DPRD. Dalam praktik hal itu juga tergantung pada kepemimpinan politik kepala daerah dalam melakukan pendekatan terhadap partai politik di DPRD.

Konsekuensi pilihan jalur yang diambil juga tergantung pada komposisi keanggotaan DPRD: apakah fragmentaris (perolehan kursi partai di DPRD relatif seimbang, tidak ada partai politik yang mencapai jumlah anggota yang signifikan), ataukah relatif homogen (terdapat satu atau dua partai politik yang memiliki jumlah kursi yang signifikan).

Setidaknya terdapat dua faktor yang menyebabkan jumlah calon perseorangan tidak terlalu besar selama ini. Pertama, jumlah dukungan pemilih yang diperlukan untuk dapat menjadi calon cukup besar, terutama pada provinsi dan kabupaten/ kota yang jumlah penduduknya sangat besar, seperti di Pulau Jawa. Mahkamah Konstitusi sudah mengubah syarat dukungan itu dari jumlah penduduk menjadi jumlah pemilih. Putusan Mahkamah Konstitusi ini jelas mengurangi jumlah dukungan pemilih yang diperlukan. Namun, upaya mendapatkan dukungan dalam jumlah yang ditentukan tersebut juga bukanlah perkara mudah. Dukungan pemilih harus dibuktikan dengan KTP, dan KTP harus difotokopi. Namun, tim pengumpul dukungan juga harus hati-hati jangan sampai seorang pemilih yang telah memberikan dukungan kepada satu pasangan calon perseorangan juga memberikan dukungan kepada pasangan calon perseorangan lain. Dukungan ganda ini tak jarang terjadi karena setiap dukungan yang diberikan biasanya juga disertai balas jasa. Singkat kata dukungan pemilih untuk pasangan calon perseorangan niscaya memerlukan dana yang tidak sedikit.

Dan, kedua, partai politik juga sudah membuka diri kepada tokoh yang bukan anggota partai, yaitu menawarkan kesempatan bagi mereka menjadi calon kepala daerah melalui jalur partai. Boleh dikata semua kepala daerah yang dinilai berhasil di Indonesia sekarang ini, seperti Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah, Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo, dan sebagainya—termasuk Basuki sendiri—maju menjadi calon kepala daerah melalui jalur partai. Padahal, semua kepala daerah ini (kecuali Basuki) adalah pegawai negeri sipil yang jelas bukan anggota partai.

Artinya, partai politik tidak hanya telah membuka diri kepada tokoh yang bukan anggota partai, tetapi juga telah mampu memilih calon yang tepat (karena memiliki kepemimpinan yang efektif dan integritas pribadi). Tidak heran bila cukup banyak tokoh yang bukan anggota partai berupaya maju melalui jalur partai. Karena itu, maju menjadi calon di pilkada melalui jalur perseorangan tidak perlu dipertentangkan dengan maju melalui jalur partai politik. Keduanya merupakan jalur yang dibenarkan secara hukum, dan jalur apa yang akan ditempuh setiap bakal calon merupakan keputusan politik yang harus diambil sesuai dengan konteks daerahnya. Basuki sendiri mungkin akan memilih jalur partai bila menjadi calon di daerah lain, seperti Jawa Timur, misalnya. Namun, untuk konteks Jakarta, Basuki merasa mantap maju melalui jalur perseorangan karena karakter pemilih Jakarta yang rasional.

Pemerintahan daerah yang efektif

Setidaknya terdapat dua indikator pemerintahan daerah yang efektif: (1) kebijakan publik (perda dan APBD) yang disepakati dan ditetapkan oleh kepala daerah dan DPRD sesuai dengan kehendak warga daerah; dan (2) kebijakan publik yang sesuai dengan kehendak rakyat tersebut dapat diimplementasikan menjadi kenyataan sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh warga daerah. Indikator pertama berkaitan dengan sistem pemilihan kepala daerah dan proses politik, sedangkan indikator kedua berkaitan dengan kapasitas dan efisiensi birokrasi dalam melaksanakan kebijakan publik tersebut di bawah pengendalian dan pengawasan kepala daerah.

Apakah kepala daerah terpilih yang maju melalui jalur perseorangan akan mampu memimpin pemerintahan daerah dengan efektif? Jawaban atas pertanyaan ini juga tergantung pada konteks daerahnya. Konteks daerah yang dimaksud adalah karakter pemilih (pemilih rasional, loyalis partai politik, tradisional, atau transaksional), komposisi keanggotaan DPRD fragmentaris (DPRD terdiri atas banyak partai politik dengan perolehan kursi yang relatif seimbang) ataukah relatif homogen (terdapat satu atau dua partai politik yang memiliki kursi dalam jumlah yang signifikan), sistem pemilihan kepala daerah, dan tipe kepemimpinan kepala daerah (kepemimpinan transaksional ataukah transformatif, kepemimpinan sebagai acting ataukah kepemimpinan autentik).

Sebagian besar pemilih Jakarta cenderung memiliki pola perilaku pemilih rasional. DPRD DKI Jakarta cenderung fragmentaris: PDI Perjuangan sebagai fraksi terbesar hanya terdiri atas 28 dari 106 kursi DPRD DKI. Delapan fraksi lain memiliki kursi berkisar antara lima sampai dengan 15 (masing-masing 15, 12, 11, 10, 10, 9, 6, dan 5 kursi). Berbeda dengan daerah lain, kriteria keterpilihan pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah di Jakarta adalah harus mencapai lebih dari 50 persen suara. Model kepemimpinan gubernur terpilih belum diketahui.

Karena perda dan APBD diputuskan bersama oleh kepala daerah dan DPRD, apakah kepala daerah yang berasal dari jalur perseorangan mampu menyelenggarakan pemerintahan daerah sesuai dengan kehendak warga daerah? Kehendak rakyat (warga daerah) secara formal diwakili oleh semua partai politik yang memiliki kursi di DPRD, dan pasangan kepala dan wakil daerah (lebih dari 50 persen suara pemilih untuk DKI Jakarta).

Secara substansial kehendak warga daerah juga dapat dinyatakan oleh setiap pemilih secara langsung maupun melalui berbagai organisasi kemasyarakatan. Karena itu, jawaban atas pertanyaan tersebut tergantung pada kepemimpinan politik kepala daerah: apakah mampu meyakinkan DPRD yang fragmentaris, dan apakah mampu mendayagunakan dukungan dari mereka yang mencalonkan (sekitar 700.000 warga DKI) dan yang memilihnya (lebih dari 50 persen pemilih terdaftar) sebagai aset dalam melakukan negosiasi dengan DPRD. Dalam situasi seperti ini, tindakan calon kepala daerah dari perseorangan yang membuka hubungan konfrontatif dengan partai politik niscaya bukanlah tindakan yang tepat. Suka atau tidak suka secara formal partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPRD-lah yang menjadi mitra kepala daerah dalam membuat kebijakan publik.

Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa Basuki ternyata juga mencari dan menerima dukungan dari sejumlah partai politik, seperti Partai Nasdem dan Hanura. Namun, UU pilkada tidak memungkinkan pencalonan melalui dua jalur sekaligus. Karena itu, setiap bakal calon melalui jalur perseorangan perlu menemukan kesepakatan dengan partai pendukung tentang pola dukungan yang diberikan.

RAMLAN SURBAKTI, GURU BESAR PERBANDINGAN POLITIK PADA FISIP UNIVERSITAS AIRLANGGA, DAN ANGGOTA AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2016, di halaman 6 dengan judul "Calon Perseorangan dan Pemda".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tiongkok, UNCLOS 1982 (ERNESTO SIMANUNGKALIT)

Indonesia menangkap kapal pencuri ikan Tiongkok, Kway Fey 10078, di perairan Indonesia pada Sabtu, 19 Maret, lalu. Peristiwa penangkapan kapal pencuri ikan seperti ini beberapa kali berlangsung sejak Indonesia secara tegas memberlakukan kebijakan anti pencurian ikan (illegal, unreported, and unregulated fishing/ IUUF) yang didukung masyarakat, bahkan dunia.

Yang berbeda dari peristiwa biasanya adalah kapal pencuri ikan Tiongkok ini dikawal oleh kapal patroli Tiongkok yang kemudian menghalangi tugas-tugas hukum aparat Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan intimidasi dan kekerasan. Hasil dari tindak kekerasan aparat resmi Tiongkok terhadap aparat resmi Indonesia adalah kegagalan aparat Indonesia membawa barang bukti pencurian ikan, yaitu kapal Kway Fey 10078.

Salah dan berbahaya

Kementerian Luar NegeriTiongkok menyatakan bahwa tindakan aparat Tiongkok terhadap aparat Indonesia karena Kway Fey 10078 sedang melakukan normal activities di wilayahtraditional Chinese fishing ground. Karena itu, aparat Tiongkok wajib melindunginya dari serangan dan pelecehan yang dilakukan oleh armada Indonesia. Lebih lanjut, Pemerintah Tiongkok meminta Pemerintah Indonesia segera melepas dan menjamin keamanan seluruh anak buah kapal Kway Fey yang saat ini ditahan.

Ini adalah pertama kalinya sejak 1293, tahun ketika Tiongkok menyerang Kerajaan Singosari, aparat Tiongkok secara resmi menyerang aparat Indonesia dengan dalih yang tidak masuk akal.

Tiongkok sebagai negara pihak UNCLOS 1982 memang dikenal tidak mematuhi hukum laut internasional dengan mengeluarkan klaim Peta Sembilan Titik dan Garis pada tahun 2009 dengan alasan sejarah.

Dalih bahwa Tiongkok melakukan kegiatan perikanan di traditional fishing ground adalah salah dan berbahaya.Salah karena UNCLOS 1982 tidak mengenal istilah traditional fishing ground. UNCLOS 1982 hanya mengakui dan mengenal traditional fishing rightsdalam konteks kegiatan perikanan tradisional suatu negara yang berada dalam perairan negara kepulauan yang menjadi tetangganya.

Hak itu hanya diatur dalam rezim negara kepulauan dan itu pun hanya tertulis dalam satu pasal, yaitu pasal 51 ayat 1. Atas dasar pengakuan inilah Indonesia memberikan traditional fishing rightskepada nelayan Malaysia melalui suatu perjanjian bilateral. Praktiknya, Malaysia sudah tidak menggunakan hak ini karena perekonomian Malaysia di Serawak yang maju oleh industri sawit dan kayu tropis.

Selain Indonesia-Malaysia, pemberiantraditional fishing rights sesuai dengan UNCLOS 1982 juga dilakukan dalam perjanjian PNG-Solomon Islands: Pacific Islands Treaty 1989 (Customary Fishing Rights).Indonesia-Australia memiliki perjanjian traditional fishing rights bagi nelayan di kawasan Nusa Tenggara Timur yang secara tradisional dengan perahu tradisional dan tanpa GPS selalu berkunjung ke Ashmore Reef Australia untuk keperluan ritual dan istirahat melalui MOU 1974 dan Agreed Minutes 1989.

Meskipun UNCLOS 1982 tidak mengenaltraditional fishing ground,konsep ini ada dalam konteks pengaturan domestik seperti dilakukan di Fiji dan Samoa dalam rangka kegiatan perikanan tradisional di dalam zona konservasi maritim. Konsep ini diberikan dalam rangka perlindungan alam dan kesejahteraan masyarakat pantai tradisional suatu negara. Jelas bahwa sifatnya sangat domestik dan, oleh karena itu, tidak diakui oleh UNCLOS 1982.

Dalih Tiongkok berbahaya karena berarti Tiongkok kembali tidak mematuhi UNCLOS 1982 dengan alasan historis. Dalam Peta Sembilan Titik dan Garis serta argumen traditional fishing groundterdapat suatu kesamaan berpikir, yakni bahwa Tiongkok berhak melakukan apa pun juga yang menurut Tiongkok merupakan suatu hal yang bersejarah dan tradisional.

Apabila argumen ini diterima, bisa jadi semua pelabuhan Indonesia yang pernah didatangi Cheng Ho bisa diklaim sebagai milik Tiongkok karena memiliki sejarah yang lama dengan Tiongkok.Argumentasi ini berbahaya karena berarti Tiongkok menganggap perairan Natuna adalah perairan domestik Tiongkok sehingga diberlakukan konsep traditional fishing ground.

Dukungan aparat resmi

Dukungan aparat resmi Tiongkok dalam melakukan IUUF di wilayah negara lain sebenarnya merupakan suatu pelanggaran prinsip hukum internasional bahwa negara bendera bertanggung jawab atas kegiatan IUUF kapal dengan benderanya, dan hal ini dapat diterjemahkan bahwa Tiongkok adalah pelaku state-sponsored fishery crimes. Penting menyimak berita bahwa Argentina baru saja menembak kapal IUUF Tiongkok di zona ekonomi eksklusif Argentina, dan Tiongkok juga menyatakan kekesalan terhadap Argentina.

Pernyataan juru bicara Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta agar Indonesia dapat menangani masalah ini dengan baik dan mempertimbangkan kondisi hubungan bilateral RI-Tiongkok secara keseluruhan di masa datang memberi suatu pesan yang kurang konstruktif dari Tiongkok.

Seharusnya Tiongkok memahami bahwa kebijakan anti IUUF adalah bagian dari Visi Poros Maritim Dunia yang dapat saja disinergikan dengan Maritime Silk Road dan One Belt One Road (OBOR). Tiongkok seharusnya sadar bahwa sabuk OBOR bagian selatan melalui wilayah Indonesia dan hubungan yang kurang baik dengan Indonesia akan memaksa Indonesia memotong sabuk itu. Indonesia adalah negara yang mengontrol selat-selat penting navigasi dunia yang mana keamanan dan kesejahteraan Tiongkok sangat tergantung kepada penanganan Indonesia di kawasan ini.

Yang menjadi pertanyaan besar saat ini adalah mengapa Tiongkok rela mengorbankan nama baik dan juga hubungan personal yang baik antara Presiden Indonesia dan Presiden Xi Jinping untuk suatu klaim yang tidak berdasar? Apakah ini merupakan sinyal bahwa pada suatu saat akan ada lagi peristiwa Singosari II dengan teater di Natuna? Lalu apakah protes keras saja cukup bagi Indonesia? Apakah langkah tegas seperti menyeret Tiongkok ke ITLOS sebagai pendukung IUUF tidak pantas dilakukan?

Indonesia adalah negara pihak UNCLOS 1982 yang taat pada hukum laut internasional. Sudah saatnya Indonesia memikirkan kemungkinan menggugat Tiongkok ke ITLOS. Beranikah kita?

ERNESTO SIMANUNGKALIT, DIPLOMAT RI; PANDANGAN BERSIFAT PRIBADI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2016, di halaman 7 dengan judul "Tiongkok, UNCLOS 1982".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tan Malaka Guru Revolusi?//Tanggapan PT Taspen//Reuni Komika (Surat Pembaca Kompas)

Tan Malaka Guru Revolusi?

Pada 1985, saya pernah ke Payakumbuh, Sumatera Barat, mencari teman yang memberi sedikit info tentang Desa Limbanang.

Dari pusat kota ada dua pilihan transportasi: bendi atau angkot. Saya memilih angkot berbelok ke jalan bertuliskan "Jl Tan Malaka". Jalan ini cukup lebar dan rindang, panjang 5-10 kilometer. Sepanjang jalan terasa hening, penumpang terkantuk-kantuk, enggan bicara, membuat hati sedikit berdegup. Saya merasakan magis. Setelah melewati beberapa desa (satu saya masih ingat: Dangung-dangung), ternyata Limbanang ada di ujung. Cukup sekali bertanya, saya langsung digiring anak-anak menuju rumah teman saya.

Di sekolah rakyat (SR), saya pernah dikenalkan sosok Tan Malaka bersama Dr Soetomo, Haji Agoes Salim, Ki Hajar Dewantara, dan lain-lain. Namun, setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, sosok Tan Malaka hilang. Mungkin ada yang ceroboh, mengaitkan Tan Malaka dengan G30S.

Pulang dari Payakumbuh menuju Bukittinggi, barulah saya sadar mengapa timbul rasa "magis" di diri saya ketika melewati Jl Tan Malaka itu. Setahu saya, di beberapa kota yang pernah saya datangi, baru di Payakumbuh saya menemukan Jl Tan Malaka. Mungkin di salah satu desa di sepanjang jalan itu ia dilahirkan. Manusiawilah namanya diabadikan menamai jalan oleh sanak-famili, angku-datuak, ninik-mamak, cerdik-pandai, dan warga kota Payakumbuh. Saya merasa telah diindoktrinasi entah siapa mengajak membenci Tan Malaka.

Monolog Tan Malaka, Saya Rusa Berbulu Merah, di Institut Francais Indonesia, Bandung (23/3), yang disarikan Kompas(27/3) hendaknya diikuti pergelaran, simposium, seminar, lokakarya, atau apa pun yang dapat menggerakkan pemangku kepentingan di negara ini bahwa ada sejarah yang perlu diluruskan. Terlambat jauh lebih baik daripada terus membiarkan polemik. Harus ada kepastian, Tan Malaka pemberontak atau Guru Revolusi yang turut merancang bangsa ini menuju Kemerdekaan?

ZULKIFLY, PEKAYON JAYA, BEKASI SELATAN, BEKASI, JAWA BARAT

Tanggapan PT Taspen

Kami ucapkan terima kasih atas perhatian melalui surat pembaca yang dikirim Bapak R Sapar Indijah di Kompas(26/3).

Bersama ini kami sampaikan klarifikasi atas kinerja PT Taspen (Persero) sebagai berikut.

Perubahan batas usia pensiun (BUP) dari 56 tahun menjadi 58 tahun berdampak pada pemupukan dana candangan tahun 2014 (UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara).

Terkait perpanjangan BUP, PT Taspen berinisiatif untuk mengusulkan revisi atas Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) tahun 2014 yang semula menargetkan laba usaha Rp 455, 44 miliar menjadi Rp 3,96 triliun. Revisi RKAP dilakukan sesuai tata kelola dan telah disahkan melalui RUPS luar biasa.

Dugaan Bapak R Sapar Indijah tentang kinerja PT Taspen akan sama dengan Japan Airlines yang berakibat pada tidak dibayarkannya hak karyawan, kami nyatakan tidak benar. Secara faktual tingkat solvabilitas PT Taspen telah sesuai dengan PMK No 79/2011, di mana besarnya kekayaan yang diperkenankan telah melebihi besarnya kewajiban kepada peserta.

Pengelolaan investasi yang dilakukan PT Taspen telah sesuai dengan peraturan Menteri Keuangan yang berlaku. Rata-rata perolehan imbal hasil selama 5 tahun terakhir di atas 10 persen atau di atas rata-rata industri.

PT Taspen dikelola secara transparan sesuai prinsip-prinsip tata kelola korporasi yang baik, dan telah memublikasikan kinerja secara terbuka dan dapat diakses oleh berbagai lapisan.

Demikian penjelasan kami. Jika membutuhkan informasi tambahan, Bapak dapat menghubungi kami atau mengunduh laporan keuangan PT Taspen di www.taspen.com.

IWAN SOEROTO, SEKRETARIS PERUSAHAAN PT TASPEN (PERSERO)

Reuni Komika

Sabtu (19/3) malam, saya sekeluarga menonton pentas Reuni Komika Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) Musim ke-4 di Taman Budaya Yogyakarta.

Secara keseluruhan penampilan para komika cukup menghibur. Banyak lawakan cerdas dan kritis, termasuk oleh juara I David Nurbianto, Abdur, dan bintang panggung Dodit Mulyanto.

Namun, sebagian komika menampilkan lawakan vulgar-erotis lewat cerita seks yang disertai peragaan gerak-gerik tubuh.

Sangat disayangkan.

BUDIAWAN, CELEBAN BARU UH III, YOGYAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger