Pada 1985, saya pernah ke Payakumbuh, Sumatera Barat, mencari teman yang memberi sedikit info tentang Desa Limbanang.
Dari pusat kota ada dua pilihan transportasi: bendi atau angkot. Saya memilih angkot berbelok ke jalan bertuliskan "Jl Tan Malaka". Jalan ini cukup lebar dan rindang, panjang 5-10 kilometer. Sepanjang jalan terasa hening, penumpang terkantuk-kantuk, enggan bicara, membuat hati sedikit berdegup. Saya merasakan magis. Setelah melewati beberapa desa (satu saya masih ingat: Dangung-dangung), ternyata Limbanang ada di ujung. Cukup sekali bertanya, saya langsung digiring anak-anak menuju rumah teman saya.
Di sekolah rakyat (SR), saya pernah dikenalkan sosok Tan Malaka bersama Dr Soetomo, Haji Agoes Salim, Ki Hajar Dewantara, dan lain-lain. Namun, setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, sosok Tan Malaka hilang. Mungkin ada yang ceroboh, mengaitkan Tan Malaka dengan G30S.
Pulang dari Payakumbuh menuju Bukittinggi, barulah saya sadar mengapa timbul rasa "magis" di diri saya ketika melewati Jl Tan Malaka itu. Setahu saya, di beberapa kota yang pernah saya datangi, baru di Payakumbuh saya menemukan Jl Tan Malaka. Mungkin di salah satu desa di sepanjang jalan itu ia dilahirkan. Manusiawilah namanya diabadikan menamai jalan oleh sanak-famili, angku-datuak, ninik-mamak, cerdik-pandai, dan warga kota Payakumbuh. Saya merasa telah diindoktrinasi entah siapa mengajak membenci Tan Malaka.
Monolog Tan Malaka, Saya Rusa Berbulu Merah, di Institut Francais Indonesia, Bandung (23/3), yang disarikan Kompas(27/3) hendaknya diikuti pergelaran, simposium, seminar, lokakarya, atau apa pun yang dapat menggerakkan pemangku kepentingan di negara ini bahwa ada sejarah yang perlu diluruskan. Terlambat jauh lebih baik daripada terus membiarkan polemik. Harus ada kepastian, Tan Malaka pemberontak atau Guru Revolusi yang turut merancang bangsa ini menuju Kemerdekaan?
ZULKIFLY, PEKAYON JAYA, BEKASI SELATAN, BEKASI, JAWA BARAT
Tanggapan PT Taspen
Kami ucapkan terima kasih atas perhatian melalui surat pembaca yang dikirim Bapak R Sapar Indijah di Kompas(26/3).
Bersama ini kami sampaikan klarifikasi atas kinerja PT Taspen (Persero) sebagai berikut.
Perubahan batas usia pensiun (BUP) dari 56 tahun menjadi 58 tahun berdampak pada pemupukan dana candangan tahun 2014 (UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara).
Terkait perpanjangan BUP, PT Taspen berinisiatif untuk mengusulkan revisi atas Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) tahun 2014 yang semula menargetkan laba usaha Rp 455, 44 miliar menjadi Rp 3,96 triliun. Revisi RKAP dilakukan sesuai tata kelola dan telah disahkan melalui RUPS luar biasa.
Dugaan Bapak R Sapar Indijah tentang kinerja PT Taspen akan sama dengan Japan Airlines yang berakibat pada tidak dibayarkannya hak karyawan, kami nyatakan tidak benar. Secara faktual tingkat solvabilitas PT Taspen telah sesuai dengan PMK No 79/2011, di mana besarnya kekayaan yang diperkenankan telah melebihi besarnya kewajiban kepada peserta.
Pengelolaan investasi yang dilakukan PT Taspen telah sesuai dengan peraturan Menteri Keuangan yang berlaku. Rata-rata perolehan imbal hasil selama 5 tahun terakhir di atas 10 persen atau di atas rata-rata industri.
PT Taspen dikelola secara transparan sesuai prinsip-prinsip tata kelola korporasi yang baik, dan telah memublikasikan kinerja secara terbuka dan dapat diakses oleh berbagai lapisan.
Demikian penjelasan kami. Jika membutuhkan informasi tambahan, Bapak dapat menghubungi kami atau mengunduh laporan keuangan PT Taspen di www.taspen.com.
IWAN SOEROTO, SEKRETARIS PERUSAHAAN PT TASPEN (PERSERO)
Reuni Komika
Sabtu (19/3) malam, saya sekeluarga menonton pentas Reuni Komika Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) Musim ke-4 di Taman Budaya Yogyakarta.
Secara keseluruhan penampilan para komika cukup menghibur. Banyak lawakan cerdas dan kritis, termasuk oleh juara I David Nurbianto, Abdur, dan bintang panggung Dodit Mulyanto.
Namun, sebagian komika menampilkan lawakan vulgar-erotis lewat cerita seks yang disertai peragaan gerak-gerik tubuh.
Sangat disayangkan.
BUDIAWAN, CELEBAN BARU UH III, YOGYAKARTA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Maret 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar