Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 31 Oktober 2019

TAJUK RENCANA: Optimumkan Sumber Pertumbuhan (Kompas)

Indonesia masih memiliki sumber-sumber pertumbuhan di dalam negeri yang dapat mengompensasi perlambatan pertumbuhan perdagangan global.
KOMPAS/PRIYOMBODO

Pencari kerja mencari informasi melalui selebaran yang dibagikan dalam Indonesia Career Expo Jakarta di Balai Kartini, Jakarta, Selasa (15/10/2019).

Perlambatan pertumbuhan ekonomi global akibat perang dagang Amerika Serikat dan China, dua ekonomi terbesar dunia, membayangi banyak negara. Mengacu perlambatan perdagangan global ini, ekonomi Indonesia diprediksi juga melambat, dari 5,2 persen menjadi 5 persen tahun ini dan dari 5,2 persen menjadi 5,1 persen tahun depan.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan dengan banyak negara lain, tetapi kita memerlukan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi lagi untuk menyelesaikan banyak persoalan di dalam negeri. Yang terutama adalah membuka lapangan kerja berkualitas untuk angkatan kerja yang terus bertambah setiap tahun serta pemerataan.

Kita memerlukan pertumbuhan ekonomi tinggi agar bonus demografi yang sedang kita nikmati saat ini dapat memberi hasil maksimum dan membawa Indonesia melompat menjadi negara kaya. Pertumbuhan tinggi, inklusif, dan berwawasan lingkungan menjadi kebutuhan karena kita juga harus menurunkan ketimpangan kesejahteraan untuk mendapatkan pertumbuhan jangka panjang berkesinambungan.

Yang terutama adalah membuka lapangan kerja berkualitas untuk angkatan kerja yang terus bertambah setiap tahun serta pemerataan.

Sumber pertumbuhan secara umum adalah ekspor, konsumsi masyarakat dan pemerintah, serta investasi. Bonus demografi membuat tenaga kerja usia produktif berlimpah, sementara konsumsi masyarakat dan belanja pemerintah saat ini terbatas. Investasi langsung masih mengalami kendala akibat ketidakpastian peraturan, birokrasi, dan korupsi.

Yang dapat dimanfaatkan cepat adalah belanja pemerintah untuk menghasilkan pertumbuhan melalui pemerataan. Belanja pemerintah mengutamakan produk dalam negeri, sedangkan pembangunan infrastruktur diutamakan yang berhubungan dengan kebutuhan langsung ekonomi rakyat, seperti pasar konvensional, jalan desa menghubungkan pusat produksi dengan pabrik atau tempat pengolahan dan pasar.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Aktivitas perakitan setrika di PT Selaras Citra Nusantara Perkasa di kawasan Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (10/10/2019). Di tengah perang dagang Amerika -China, PT Selaras Citra Nusantara Perkasa memanfaatkan peluang dengan melepas ekspor pemurni udara elektrik ke Amerika Serikat.

Penyumbang pertumbuhan dalam negeri yang belum optimum dimanfaatkan ada di perdesaan, yaitu pertanian dan perikanan. Sumber lain, ekonomi kreatif yang melibatkan banyak usaha kecil dan menengah. Kita telah memetakan 12 sektor ekonomi yang dapat dikembangkan UMKM, seperti kuliner, kerajinan, mode, seni pertunjukan, musik, dan tari yang bergandengan erat dengan pariwisata. Sektor-sektor tersebut menciptakan pertumbuhan berkelanjutan dan lebih berdaya tahan dengan melibatkan masyarakat luas.

Penciptaan nilai tambah lebih tinggi, jutaan lapangan kerja baru, serta pemerataan ekonomi desa dan luar Jawa akan lebih cepat terjadi apabila melibatkan teknologi digital melalui Palapa Ring yang dapat dikerjakan petani dan nelayan, petambak, serta pelaku UMKM generasi muda.

Yang diperlukan lebih lanjut, koordinasi dan penajaman fokus program, terus mencari pasar baru dengan komoditas baru, selain menumbuhkan iklim usaha, seperti kepastian aturan, perpajakan ramah dunia usaha, birokrasi dan perizinan sederhana, serta menghilangkan perilaku koruptif.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Sejumlah jukung yang digunakan untuk berdagang ditarik oleh perahu lainnya untuk menuju lokasi acara pembukaan Festival Wisata Budaya Pasar Apung 2019 di Siring 0 Kilometer, Sungai Martapura, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Jumat (23/8/2019). Salah satu tujuan festival ini adalah untuk mempromosikan budaya dan pariwisata yang ada di Kalimantan Selatan.

Kompas, 31 Oktober 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Hoaks dan Kebebasan Berpendapat (Kompas)

Di era media sosial sekarang, salah satu masalah terbesar bagi masyarakat adalah peredaran hoaks. Demokrasi bisa terancam olehnya pula.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Para pemuda yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia menggelar aksi deklarasi Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 Damai di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, (25/3). Aksi tersebut mengajak masyarakat untuk mendukung Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 yang damai dengan menolak segala kampanye hitam, ujaran kebencian, dan berita bohong atau hoaks.

Kemajuan teknologi telekomunikasi dan internet yang melahirkan media sosial ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, kemajuan itu bisa meningkatkan kesejahteraan warga dan menumbuhkan perekonomian. Internet, misalnya, terbukti menciptakan potensi ekonomi digital yang nilainya tak sedikit. Orang juga dapat terbantu untuk belajar jarak jauh sehingga warga di mana pun dapat menikmati pendidikan.

Namun, di sisi lain, media sosial yang memudahkan warga berkomunikasi secara interaktif memunculkan persoalan serius. Sifat kebanyakan berita bohong yang provokatif membuatnya gampang memicu emosi warga sehingga dengan enteng pengguna media sosial membagikan materi berita bohong tersebut. Di India, gara-gara peredaran hoaks yang cepat dan masif (diterima banyak orang dalam waktu hampir bersamaan) lewat Whatsapp terjadi kekerasan di masyarakat yang menewaskan sejumlah orang.

Sebelum teknologi internet hadir dalam kehidupan manusia, juga ada berita bohong.

Hoaks muncul tidak hanya sekarang. Sebelum teknologi internet hadir dalam kehidupan manusia, juga ada berita bohong. Perbedaannya, peredarannya pada masa sekarang begitu masif, sedangkan pada masa lalu peredarannya sangat lambat mengingat alat komunikasi masih sederhana.

Hoaks juga dinilai merusak demokrasi karena kehadirannya menyebabkan dialog atau komunikasi rasional berdasarkan fakta dan kebenaran—prasyarat penting masyarakat demokratis—tidak terwujud. Kemunculan hoaks membuat warga membangun argumen di ruang publik berdasarkan kebohongan yang dibawanya.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi peredaran berita bohong. Ada prakarsa membuat unit untuk mengklarifikasi informasi yang diduga hoaks. Ada pula prakarsa yang ditempuh sejumlah negara dengan membuat lembaga pemantau berita bohong. Di titik inilah persoalan muncul. Masyarakat sipil khawatir lembaga itu hanya bertujuan memberangus kebebasan warga untuk mengutarakan pendapat yang berbeda dengan penguasa. Sanksi hukum yang disiapkan mencemaskan sebab warga yang dianggap menyebarkan berita bohong—padahal mungkin hanya sedang memakai hak mengutarakan opini yang berbeda—dapat dihukum.

Tak mengherankan, langkah Thailand membentuk lembaga pengawas media sosial dengan alasan untuk memerangi berita bohong mendapat kritik. Seperti ditulis harian ini pada Rabu (30/10/2019), seorang peneliti senior Human Rights Watch menyebut lembaga itu hanya alat penyensoran yang kini praktiknya dilakukan semakin ketat di Thailand.

Harus diakui, berita bohong dapat merusak. Namun, saat negara membentuk lembaga pengawas media sosial dengan alasan untuk meredam berita bohong, hal ini berpotensi besar tergelincir sebagai alat pembungkam, mematikan hak warga untuk bersuara dan berbeda pendapat.

Kompas, 31 Oktober 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Kita Masih di Pintu Gerbang//DPR: Eksklusif ke Inklusif//Pengembalian Uang Tiket (Surat Pembaca Kompas)


Kita Masih di Pintu Gerbang

Presiden Joko Widodo telah melantik 34 menteri dalam Kabinet Indonesia Maju. Mereka akan bertugas menjalankan visi Presiden lima tahun ke depan. Melihat sosok dan rekam jejak para menteri, terutama yang baru, saya sebagai warga negara Indonesia berharap mereka mau bekerja sungguh-sungguh meski mewujudkan masyarakat adil, sejahtera, dan makmur sangat sulit dalam lima tahun ini.

Yang saya amati, anggaran untuk pertahanan cukup besar dan negara kepulauan terbesar di dunia ini memerlukan alutsista (alat utama sistem persenjataan) modern dan canggih. Masalah paham radikal, termasuk terorisme, juga menjadi pekerjaan rumah kabinet baru. Pembangunan infrastruktur selama lima tahun membuat kita optimistis bahwa masalah ketimpangan dapat dikurangi, apalagi nanti jika ibu kota pemerintahan dipindahkan ke Kalimantan.

Dalam tulisannya di Kompas (24/10/2019), "Memulihkan Kepercayaan", Yudi Latif berkata, "Kekuatan negara yang sehat bisa diraih jika demokrasi yang dijalankan dapat memperkuat kapasitas negara untuk menegakkan hukum, mengendalikan kekerasan, memperkuat meritokrasi, memberantas korupsi dan klientelisme, memperluas penerimaan identitas nasional, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, serta menyediakan sarana-prasarana dan pelayanan publik yang lebih baik."

Kemerdekaan yang sudah kita nikmati selama 74 tahun menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur masih merupakan sebuah pintu gerbang, belum memasuki rumah kebangsaan yang kita cita-citakan bersama. Rakyat di daerah tertinggal—terutama yang berbatasan dengan Malaysia (Sarawak dan Sabah), Filipina Selatan, dan Timor Leste—hanya berkeinginan hidup damai serta sehat dalam kecukupan sandang, pangan, dan papan sesuai sila kelima Pancasila yang setara dengan keinginan pahlawan bangsa, para pendiri negara besar ini.

Arifin Pasaribu
Kompleks PTHII, Kelapa Gading Timur, Jakarta Utara


DPR: Eksklusif ke Inklusif

Hubungan pemerintah (baca: presiden) dengan rakyat dalam lima tahun terakhir ini sangat baik. Setiap blusukan, Presiden Jokowi selalu menanyakan "mau minta apa" kepada rakyat yang dikunjunginya. Istana pun terbuka untuk rakyat yang ingin menyampaikan aspirasi. Pendek kata, Presiden bersifat inklusif terhadap rakyatnya.

Sebaliknya, DPR, terutama dalam setahun terakhir, makin menjauh dari rakyat. Rakyat mengidolakan KPK, DPR malah berniat melemahkan. Rakyat berunjuk rasa menyampaikan aspirasi, DPR malah mengunci gerbangnya. DPR telah menjadi eksklusif.

Mampukah Puan Maharani selaku pucuk pemimpin DPR mengubah DPR dari eksklusif menjadi inklusif?

Suyadi Prawirosentono
Selakopi Pasar Mulya,Bogor

Pengembalian Uang Tiket

Moda transportasi kereta api saat ini merupakan pilihan utama warga kota. Ketepatan waktu perjalanan dan sistem daring pembelian/pemesanan tiket adalah dua keunggulan PT KAI. Namun, ada satu hal yang harus dibenahi dan disempurnakan, yaitu konfirmasi pengembalian uang tiket, khususnya yang daring.

Ketika tiket sudah dibatalkan dan ada pengembalian uang, PT KAI tidak pernah memberitahukan baik lewat SMS, WA, maupun perbankan-el tentang berapa besar nominal uang yang dikembalikan. Pemberitahuan itu kami anggap penting guna memastikan uang yang dikirim sesuai dengan hak pemilik tiket setelah dipotong 25 persen.

Budi Sartono

SoetiardjoCilame, Kabupaten Bandung

Kompas, 31 Oktober 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

LITERASI DIGITAL: Data Mencerdaskan Bangsa (VIVI ALATAS)

KOMPAS/DEONISIA ARLINTA

Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif Indonesia Ricky Joseph Pesik saat membuka International Workshop on Big Data and Information Security (IWBIS) 2018 di Balai Kartini Jakarta, Sabtu (12/5/2018).

Indonesia di persimpangan jalan. Apakah Indonesia akan bisa berlari cepat, apakah Indonesia bisa menjadi negara kaya sebelum menjadi tua? Ataukah kita akan jalan di tempat, terjebak dalam perangkap negara berpendapatan menengah (middle income trap)? Tidak mudah mengenali jalan yang tepat yang bisa membawa kita mendekat pada tujuan. Tantangan pembangunan di Indonesia semakin kompleks: urbanisasi, disrupsi teknologi, ketimpangan, hoaks, ketidakpastian situasi global, dan lainnya.

Dengan kompleksitas setinggi ini, Indonesia membutuhkan penentuan kebijakan berdasarkan bukti, bukan berdasarkan persepsi, intuisi, apalagi kolusi. Solusinya sering kali tak kasatmata. Kita butuh informasi terkini mengenai konteks dan akar permasalahannya. Intinya kita butuh data yang mencerdaskan bangsa. Data memang bisa mencerdaskan bangsa. Namun, ada prasyaratnya. Data yang tepat digunakan untuk menjawab permasalahan yang tepat, oleh orang-orang dengan keterampilan yang tepat.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Isu terkait "Big Data" menjadi tema dalam ekonomi digital yang saat ini menemukan bentuknya dalam era masyarakat informasi.Tema ini bakal merevolusi cara orang-orang berpikir, hidup, dan bekerja.

Data yang tepat seperti apa? Indonesia adalah negara yang tergolong kaya data. Banyak data telah dikumpulkan, baik oleh BPS maupun organisasi lain. Dengan lebih dari 200 juta sekian simcard, Indonesia adalah republik media sosial, dengan berjuta data tentang kita. Namun, data itu belum mencerdaskan bangsa. Kualitas analisis perumusan kebijakan sangat bergantung kuantitas dan kualitas data yang tersedia.

Dengan kompleksitas setinggi ini, Indonesia membutuhkan penentuan kebijakan berdasarkan bukti, bukan berdasarkan persepsi, intuisi, apalagi kolusi.

Ada empat faktor penting. Faktor pertama, relevansi antara data dan tujuan penggunaan. Data yang diperlukan berbeda untuk tujuan berbeda sehingga butuh direncanakan dengan baik. Data untuk diagnostik permasalahan kemiskinan berbeda dengan data untuk targeting, menentukan siapa yang patut menerima bantuan, juga berbeda dengan data untuk monitoring dan evaluasi pelaksanaan berbagai program kemiskinan.

Faktor kedua, ketepatan waktu. Tantangannya memastikan data dapat menggambarkan situasi terkini. Kadang kala proses kesiapan data memakan waktu lama sehingga ketika disuguhkan sudah tak hangat lagi. Dibutuhkan keterpaduan data dari berbagai sumber melalui survei, real time data capture, media tracking, dan data administrasi yang dikumpulkan berbagai institusi.

Faktor ketiga, reliabilitas data. Dan ini sangat bergantung jumlah sampel yang dibutuhkan agar presisi bisa dijaga serta memastikan sampling framework-nya valid sehingga kesimpulan yang diambil memang dapat memberikan gambaran akurat tentang target populasi.

Faktor keempat, akses data. Data hanya berguna jika digunakan. Sayangnya akses data masih menjadi kendala. Tak semua universitas, peneliti, perusahaan, atau lembaga yang menganalisis data bisa mengaksesnya, karena akses dibatasi oleh biaya atau penghalang lain. Ini menjadi kendala besar.

Pada saat data jadi the new currency, dominasi platform besar bisa menyebabkan winner takes all phenomena dan bisa menimbulkan barrier to entry. Kita bersyukur punya empat unicorn, tetapi kita butuh iklim yang menumbuhkan semua. Tantangan Indonesia terlalu kompleks, untuk itu dibutuhkan urun pikiran, urun tenaga dari banyak anak bangsa, bukan hanya yang kebetulan bekerja di segelintir perusahaan raksasa.

KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA

Data analytic room yang berada di salah satu ruangan Kantor Gubernur Kalimantan Barat, Senin (21/10/2019). Ruang analisis data sebagai sarana penganalisa dan pemantau pembangunan berbasis data, sehingga tidak ada lagi kebijakan yang tidak tepat sasaran karena data yang bias serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.

Pada saat data jadi the new currency, dominasi platform besar bisa menyebabkan winner takes all phenomena dan bisa menimbulkan barrier to entry.

Solusinya hanya satu. Pemerintah harus mendorong keterbukaan dan akses data baik data yang dikumpulkan BPS, lembaga negara, maupun platform besar untuk menjawab persoalan-persoalan pelik yang dihadapi Indonesia. Pemerintah butuh memastikan tak ada barrier to entry (hambatan akses) dalam bersama membangun negeri. Data yang tepat saja tak cukup. Butuh digunakan untuk mengatasi masalah yang tepat.

Data yang dihasilkan di Indonesia harus bisa dimanfaatkan untuk Indonesia, untuk kemaslahatan bersama, mengatasi permasalahan-permasalahan pelik bangsa seperti ketimpangan, gizi pendek (stunting), pengangguran pemuda. Penggunaan data jauh dari optimal jika digunakan semata untuk alat marketing mendorong konsumen untuk mau membeli yang ditawarkan. Namun, data yang tepat dan digunakan untuk mengatasi masalah yang tepat membutuhkan pengguna data yang memiliki keterampilan yang tepat. Keterampilan seperti apa yang dibutuhkan? Yang dibutuhkan keterampilan end to end, bukan hanya keterampilan kelas dewa seperti deep learning, melainkan juga literasi digital dan critical thinking.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)

Psikolog keluarga Anna Surti Ariani menyampaikan paparan pada pada dikusi Kompas bertajuk "Membangun Literasi Digital" di Jakarta, Selasa (30/8). Nara sumber lain yang menyampaikan paparan yaitu Direktur Eksekutif Information Communication Technology Watch Donny B Utoyo dan pengamat pendidikan Nurul Agustina.

Bukan hanya Indonesia, dunia butuh lebih banyak ahli matematika, data scientist, statistisi, ahli ekonometri yang menjadikan data bisa bercerita dan bisa menawarkan solusi jitu. Namun, tentu saja tujuan ke depan bukan menjadikan semua orang menjadi data scientist. Yang tak kalah penting adalah literasi digital.

Data yang dihasilkan di Indonesia harus bisa dimanfaatkan untuk Indonesia, untuk kemaslahatan bersama, mengatasi permasalahan-permasalahan pelik bangsa seperti ketimpangan, gizi pendek (stunting), pengangguran pemuda.

Literasi digital bukan hanya kemampuan menggunakan teknologi digital, melainkan juga kemampuan untuk menelaah dan membedakan informasi, yang mana yang sampah, yang mana yang bisa membawa berkah. Tak tenggelam dalam lautan informasi tanpa pegangan.

Menyiapkan keterampilan ini butuh pendekatan yang komprehensif dengan fokus bukan hanya pada universitas, melainkan juga pendidikan anak usia dini (PAUD), bukan hanya pada pendidikan formal, melainkan juga nonformal, bukan hanya pada anak muda, melainkan juga memberikan kesempatan kedua peningkatan keahlian bagi siapa saja.

Studi pemenang hadiah Nobel, James Heckman, menunjukkan return to education satu tahun di PAUD lebih tinggi dibandingkan return to education satu tahun di universitas. Di Jamaika bahkan ditengarai, anak yang mengenyam PAUD punya penghasilan di masa depannya 25 persen lebih tinggi dibandingkan jika dia tidak pernah duduk di bangku PAUD. Tentu saja peranan universitas tetap penting. Universitas bisa jadi inkubator untuk inovator. Suksesnya Silicon Valley, Bangalore tak terlepas dari peranan universitas di sekitarnya. Tantangannya memastikan universitas sigap dan luwes dalam mentransformasi diri merespons perubahan zaman.

Universitas bisa jadi inkubator untuk inovator. Suksesnya Silicon Valley, Bangalore tak terlepas dari peranan universitas di sekitarnya.

Fondasi yang tak kalah penting memberikan kesempatan kedua kepada siapa pun, umur berapa pun untuk mentransformasi diri. Untuk ini semua, revolusi mental terpenting adalah jadi pembelajar sepanjang hayat. Mencari ilmu mestinya dari buaian hingga liang lahat.

Untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat harus siap. Siap mengenali diri tentang bagaimana cara paling tepat untuk merayu diri sendiri agar tetap terus semangat untuk menjadi pembelajar. Menurut Sir Ken Robinson, yang perlu dilakukan adalah mencari irisan antara apa yang kita bisa, apa yang menyalakan semangat di dada, apa yang berdampak baik untuk orang banyak.

\Di era digital kita punya lebih banyak kesempatan dan lebih banyak tantangan dalam belajar. Hampir-hampir tidak ada yang menjadi penghalang akses kita untuk mempelajari berbagai ilmu. Modal utama yang harus kita miliki adalah tekun, telaten, teliti untuk terus menimba. Mari bersama menjadi pembelajar sepanjang hayat.

(Vivi Alatas Peneliti Ketimpangan)

Kompas, 31 Oktober 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

RUU PERTANAHAN: Menjaga Konstitusionalitas RUU Pertanahan (NOER FAUZI RACHMAN)

ARSIP PRIBADI

Noer Fauzi Rachman, Peneliti Politik dan Kebijakan Agraria

Draf RUU Pertanahan memang tak bersesuaian dengan Nawacita, visi-misi, dan Program Aksi Jokowi-Jusuf Kalla. Dalam rapat terbatas RUU Pertanahan, 22 Maret 2017, Presiden menegaskan, semua regulasi ihwal pertanahan harus sejalan dengan reformasi agraria yang diinginkan pemerintah, yakni mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Tanah tak boleh hanya dikuasai segelintir orang atau badan usaha karena bisa memicu ketimpangan tajam.

Kedua, setiap regulasi pertanahan harus mampu menyelesaikan pelbagai masalah pertanahan, seperti sengketa kepemilikan tanah antarmasyarakat ataupun antara masyarakat dan perusahaan. Ketiga, pengaturan pertanahan memerlukan sistem hukum dan administrasi pertanahan yang komprehensif dan visioner, tak tambal sulam dan bertahan dalam jangka waktu lama. Menurut Presiden Jokowi, pengaturan pertanahan harus mampu keluar dari sektoralisme, tak tumpang tindih, tak saling berbenturan.

Dalam rapat terbatas RUU Pertanahan, 22 Maret 2017, Presiden menegaskan, semua regulasi ihwal pertanahan harus sejalan dengan reformasi agraria yang diinginkan pemerintah, yakni mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.

Keempat, pengaturan pertanahan harus dapat mengatur permasalahan tanah telantar. Karena itu, perlu diatur kewenangan mencabut serta mengambil izin dan hak guna usaha yang terbukti tak produktif dan tak dimanfaatkan, serta selanjutnya diredistribusi demi dimanfaatkan secara maksimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Mahasiswa dan Petani yang tergabung bersama Aliansi Tani Jawa Timur berunjukrasa memperingati Hari Tani Nasional di depan gedung DPRD Jawa Timur, Surabaya, Selasa (24/9/2019). Beberapa tuntutan mereka kepada pemerintah adalah agar menyelesaikan konflik agraria di Jawa Timur, menghentikan segala upaya dan proses kriminalisasi petani, tunda pembahasan dan pengesahan RUU Pertanahan.

Dalam rapat terbatas mengenai RUU Pertanahan selanjutnya, 12 Agustus 2019, Presiden telah menerima laporan perkembangan dan meminta penyelesaian masalah yang dihadapi sebelum pemerintahan berakhir pada Oktober 2019.

Tidak tepat

Penulis berpendapat alasan utama RUU ini—yakni perlunya pengaturan menuju single land administration system—dilakukan pihak yang tak tepat. RUU ini tak memenuhi satu prasyarat fundamental: kesediaan pihak yang akan menjadi pengatur ikut partisipasi dalam pembuatan pengaturan itu. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menyampaikan keberatan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam laporan 20 Agustus 2019. Isinya, usul materi pengaturan dalam RUU itu tidak utuh, mengandung cacat formal, mengandung langkah pemutihan atas pelanggaran perbuatan hukum dalam kawasan hutan negara (perkebunan sawit di luar Jawa dan permukiman/industri di hutan Jawa), serta berpotensi rancu dunia usaha (daftar ulang dalam setahun untuk yang berizin lama ataupun baru, diselesaikan batas ulang lima tahun, dan akan selesai sistem pendaftaran dalam 10 tahun).

Prinsip jalan terus yang dianut promotor RUU di parlemen dan pemerintah akan menuai risiko tak terkirakan sehubungan dengan muatan RUU ini tak dapat tertangani. Aturan yang dikandungnya tak bisa berjalan, dan pembagian kerja antara yurisdiksi, teritori, dan kewenangan yang diurus BPN dan sektor lain dikocok ulang tanpa pengaturan memadai.

RUU ini tak memenuhi satu prasyarat fundamental: kesediaan pihak yang akan menjadi pengatur ikut partisipasi dalam pembuatan pengaturan itu. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menyampaikan keberatan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam laporan 20 Agustus 2019.

Jelas terlihat bagaimana acuan yang ada dan sudah dipakai dirancukan. Penilaian Sofyan Djalil, Menteri ATR/Kepala BPN, bahwa UU Pokok Agraria (No 5/1960) yang sudah hampir 60 tahun itu tak relevan dengan perkembangan zaman sesungguhnya berfungsi sebagai pemberi jalan pembaca menyetujui RUU Pertanahan tanpa merasa perlu lagi mempertanyakan apa saja spesifikasi kritik atas UU PA dan apa maksud RUU ini.

KOMPAS/NIKSON SINAGA

Masyarakat adat melakukan ritual membakar kemenyan dalam unjuk rasa menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Pertanahan, di Kantor DPRD Sumatera Utara, Medan, Senin (23/9/2019). RUU Pertanahan dinilai tidak berpihak pada masyarakat adat, tetapi lebih mengakomodir pemodal untuk menguasai tanah.

Para pemerhati RUU Pertanahan frustrasi dengan cara kerja Panja DPR yang membahas perubahan pasal demi pasal. Pembahasan Panja RUU Pertanahan DPR selayaknya didasari naskah akademik terus-menerus. Ironisnya, naskah akademik diperlakukan ibarat "proposal proyek", tugas selesai setelah disetujui.
Daftar inventarisasi masalah (DIM) yang diajukan pemerintah menanggapi draf RUU Pertanahan yang diserahkan DPR kepada Presiden ternyata tak didasari suatu naskah akademik komprehensif, lebih berisikan butir-butir komentar pasal per pasal yang bermuara pada pernyataan disetujui, ditolak, atau dimodifikasi.

Belum lagi budaya birokrasi pemerintah pusat yang cenderung sama-sama kerja dengan partitur masing-masing. Pada budaya inilah permasalahan sektoralisme dalam pembuatan perundang-undangan berada. Tentu hal ini tak lagi spesifik perihal RUU Pertanahan, tetapi secara umum pada kelembagaan, proses, dan mekanisme dalam legislasi nasional. Presiden telah menjadikan hal ini sebagai agenda pemerintahan di masa datang.

Pembahasan Panja RUU Pertanahan DPR selayaknya didasari naskah akademik terus-menerus.

Masih sektoral

Memberi penugasan pembuatan draf naskah akademik dan usulan RUU kepada kementerian tertentu membuat sektoralisme berlangsung kian kuat dan kronis, terlebih ketika satu unit dalam kementerian itu membuatnya sebagai proyek pengadaan pihak ketiga. Pada kasus RUU Pertanahan inisiatif DPR ini, kesiapan BPN mempromosikan telah dimulai semasa BPN meminta, bekerja sama, dan mendapat asistensi teknis dari Bank Pembangunan Asia (ADB) pada 2007.

Meski dalam proyek terdapat kelompok kerja hukum dan teknis yang menyertakan komponen multisektor, serta ada keharusan konsultasi multipihak, draf RUU hasil proyek ini tak menunjukkan hasil orkestrasi bersama.
Sejak didirikan pada 1998, BPN adalah suatu lembaga pemerintah nondepartemen, yang meningkat statusnya sebagai kementerian tahun 2014 dalam kabinet Jokowi-Kalla. Interaksi kelembagaan Kementerian ATR/BPN dengan Kementerian LHK belum sampai pada tingkat bekerja sama dalam satu partitur dan jadi harmonis.

Syukurlah, Presiden telah menunda pengesahan RUU Pertanahan. Presiden bisa memberi naskah RUU itu kepada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Badan Pembinaan Hukum Nasional, LIPI, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan perguruan tinggi negeri serta meminta mereka membahas untuk memberi pandangan ilmiah dan rekomendasi.

Sesungguhnya lembaga tersebut dapat inisiatif sendiri dan membangun kerja sama atau berjaringan mengkaji RUU ini. Pertanyaan pokok, apakah RUU Pertanahan secara formal ataupun materiil bersesuaian dengan norma dasar dalam UUD 1945, putusan MK, dan TAP MPR RI No IX/MPR RI/2001, serta berbagai UU yang berlaku. Selain itu, sebagai pihak yang dibiayai APBN, semua lembaga tersebut dapat menyadari keperluan presiden bahwa semua regulasi mengenai pertanahan harus sejalan dengan reforma agraria yang pemerintah gariskan untuk mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan tanah.

Pertanyaan pokok, apakah RUU Pertanahan secara formal ataupun materiil bersesuaian dengan norma dasar dalam UUD 1945, putusan MK, dan TAP MPR RI No IX/MPR RI/2001, serta berbagai UU yang berlaku.

(Noer Fauzi Rachman Peneliti Politik dan Kebijakan Agraria Indonesia)

Kompas, 31 Oktober 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

REFORMASI BIROKRASI: Memangkas Birokrasi Pemerintah (MIFTAH THOHA)

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Ilustrasi- Pegawai negeri sipil di lingkungan Pemprov DKI Jakarta mengikuti upacara HUT ke-74 RI di kawasan Pantai Maju atau Pulau D hasil reklamasi di Teluk Jakarta, Sabtu (17/8/2019).

Memangkas birokrasi pemerintah bakal dilakukan oleh pemerintahan baru pimpinan Presiden Jokowi pada periode masa jabatan kedua, 2019-2024 ini.
Memangkas birokrasi, istilah populernya melakukan reformasi birokrasi pemerintah. Melakukan reformasi itu suatu upaya yang tak pernah berhenti, upaya yang terus-menerus dilakukan. Melakukan reformasi, tidak pernah lewat dari keinginan setiap rezim untuk mewujudkannya — mulai   dari zaman Bung Karno, era Presiden Soeharto, sampai sekarang ini — tetapi hasilnya  selalu ingin direformasi lagi dan berlanjut pada reformasi-reformasi birokrasi berikutnya.

Kapan reformasi itu bisa dinikmati sebagai suatu sistem pemerintah yang "clean and good governance" (bersih dan mencerminkan tata kelola yang baik)? Sistem yang ada sekarang belum bisa dikatakan excellence. Birokrasi pemerintah ini masih tetap besar dan tidak ramping, cekatan, mudah dan gemar melayani keinginan masyarakat. Dinamika pelayanan publik atau masyarakat bergerak maju mundur. Semenjak dulu, birokrasi pemerintah tugas pokoknya adalah melayani keinginan masyarakat, bukan melayani kemauan pejabat. Akan tetapi tugas pokok pelayanan publik masih harus direformasi.

KOMPAS/ZULKARNAINI

Peserta calon pegawai negeri sipil di lingkungan Kantor Wilayah Aceh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengikuti serangkaian tes di Banda Aceh, Senin (22/10/2018). Dari sekitar 14.000 pendaftar yang diterima hanya 25 orang.

Pelayanan masyarakat masih jauh dari yang diinginkan. Sistem birokrasi kita justru semakin nampak mengikuti kekuasaan penguasa. Semenjak era reformasi tahun 1999 dan semenjak tata sistem demokrasi dijalankan dengan baik, pertumbuhan partai politik semakin berkembang. Keterlibatan partai politik dalam sistem birokrasi pemerintah semakin intensif. Dalam ciri pemerintahan demokrasi, hadirnya partai politik memimpin sistem birokrasi tidak bisa kita dihindari, sedangkan sistem birokrasi itu sebelumnya dipimpin oleh para pejabat birokrat. Semenjak hadirnya partai politik memimpin birokrasi, belum pernah dipikirkan bagaimana sistem tata kerja antara pejabat politik yang memimpin sistem birokrasi dengan pejabat birokrat yang sehari-hari  melaksanakan sistem birokrasi. Maka dikenal adanya dua nomenklatur jabatan pimpinan. Yang yang satu disebut Penguasa dan satunya dikenal sebagai Administratur.

Pelayanan masyarakat masih jauh dari yang diinginkan. Sistem birokrasi kita justru semakin nampak mengikuti kekuasaan penguasa.

Penguasa menunjukkan jabatan yang dipimpin oleh partai politik yang disebut political appointee, dan Administratur dijalankan oleh birokrat karier dalam sistem pemerintahan. Dalam reformasi birokrasi, perlu dipikirkan untuk membangun peraturan perundangan — bisa berupa undang-undang (UU) atau peraturan pemerintah — yang mengatur hubungan kerja antara jabatan politik dan jabatan karier birokrasi pemerintah, sehingga bisa menunjukkan  tidak sebagai hubungan antara atasan dan bawahan  tetapi merupakan  sistem hubungan mitra kerja yang menunjukkan adanya prinsip co equality with the executive.

KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

Spanduk berisi tuntutan dibawa para pendaftar yang tidak lolos pada seleksi admnistrasi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di lingkungan pemerintahan Kota Padang, Sumatera Barat, saat menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Padang, Jumat (2/11/2018). Mereka mendesak agar Pemerintah Kota Padang melihat kembali berbagai kejanggalan yang mengakibatkan 3.576 pendaftar tidak lolos dan memperjuangkan mereka agar bisa mengikuti Computer Assisted Test (CAT) Sabtu (3/11/2018) ini.

Potong eselon birokrasi

Dalam reformasi birokrasi yang sekarang ini, pemerintah akan memotong eselon atau susunan dan struktur lembaga birokrasi pemerintah. Ciri sistem birokrasi ciptaan Mac Weber ini memang disusun melalui jalur eselon atau tingkatan dari masing-masing posisi atau jabatan. Dengan demikian eselonisasi birokrasi menjadi ciri karakteristik yang membuat cantiknya birokrasi, tetapi sekaligus juga menjadi masalah pokok yang menjadikan sistem birokrasi menjadi birokratis dan banyak dikecam masyarakat. Apalagi dengan pejabat yang memegang posisi jabatan lebih banyak menggunakan kekuasaan jabatannya bukan untuk melayani masyarakatnya.

Di Indonesia, eselonisasi birokrasi yang kita kenal sekarang mulai dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pimpinan Soeharto dengan susunan lima tingkatan. Masing-masing diberi nomenklatur eselon satu sampai eselon lima. Eselon satu yang tertinggi dan eselon lima yang terendah. Untuk masing-masing tingkatan eselon itu ditetapkan besar kecilnya tunjangan jabatan. Hal ini yang membuat mewahnya jabatan eselon  pada waktu itu karena selain menunjukkan  wibawa kekuasaan, juga menggambarkan fasilitas tunjangannya.

Di dunia internasional, menurut sejarah, eselonisasi birokrasi sudah dilakukan di era Dinasti Qin dan Han di China.  Dinasti ini semula yang mengenalkan sistem merit melalui sistem pendidikan dan pelatihan, diikuti dengan ujian dan seleksi bagi calon-calon pejabat pemerintahan. Dalam upaya menjalankan pemerintahan di wilayah kekuasaan kerajaan yang semakin luas, pemerintah Dinasti Qin dan Han  menghadapi ruwetnya jaringan jabatan yang semakin  kompleks.

Di Indonesia, eselonisasi birokrasi yang kita kenal sekarang mulai dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pimpinan Soeharto dengan susunan lima tingkatan.

Prospektif jabatan yang tidak terbatas bisa diisi oleh calon dan  mobilitas pejabat pemerintah. Tingkatan atau ranking jabatan   harus ditetapkan dengan melakukan sistem merit  tersebut. Akhirnya  ditetapkan  sistem Sembilan Tingkatan Jabatan (nine-rank system) yang dibentuk oleh tiga dinasti kerajaan setelah Dinasti Qin dan Han. Dari China ini  konsep sistem merit eselonisasi  jabatan birokrasi kemudian diadopsi negara lain: dipergunakan di British India di abad ke-17 dan kemudian menyebar ke daratan Eropa dan Amerika.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Para peserta bersiap mengikuti tes penerimaan calon pegawai negeri sipil di Kantor Walikota Jakarta Barat, Senin (5/11/2018). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angkatan kerja pada Agustus 2018 sebanyak 131,01 juta orang, jumlah tersebut naik 2,95 juta orang dibanding Agustus 2017. Dalam setahun terakhir BPS juga mencatat angka pengangguran berkurang 40 ribu orang.

Di Indonesia, semenjak pemerintahan di awal kemerdekaan sampai sekarang, telah dikenal dan dilaksanakan pula eselonisasi jabatan birokrasi. Akan tetapi, pelaksanaannya tidak seperti yang diharapkan oleh disiplin ilmu meritokrasi. Eselonisasi jabatan  membuat lambatnya proses pemberian pelayanan kepada masyarakat. Selain itu eselonisasi birokrasi, semenjak dipimpin oleh pejabat politik (political appointee) yang berasal dari partai politik, lebih banyak menekankan pada kekuatan kekuasaan dari posisi jabatan tersebut, ketimbang pelayanan atau pengabdian kepada masyarakat.

Berdasarkan UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), sebenarnya eselonisasi birokrasi sudah tidak dipergunakan lagi. Jabatan birokrasi ASN dibagi atau dikelompok menjadi tiga jabatan. Kelompok pertama, jabatan eksekutif (isinya dulu ditempati mantan eselon I dan 2). Kedua, jabatan administrasi. Ketiga, jabatan fungsional. Tidak dikenal lagi eselonisasi.

Selain itu eselonisasi birokrasi, semenjak dipimpin oleh pejabat politik (political appointee) yang berasal dari partai politik, lebih banyak menekankan pada kekuatan kekuasaan dari posisi jabatan tersebut, ketimbang pelayanan atau pengabdian kepada masyarakat.

Jika nanti akan dipotong menjadi dua eselon saja, perlu diperjelas bagaimana struktur birokrasi bagi tiga kelompok  jabatan tersebut. Sebenarnya menghadapi perkembangan Revolusi Industri 4.0 yang sarat dengan teknologi informasi digital — di mana sistem pelaksanaan kerja birokrasi sangat ditentukan oleh pertumbuhan kecepatan teknologi informasi  — susunan eselonisasi itu tak lagi diperlukan karena kerja informasi sangat cepat dan  bisa merembes ke semua bidang dan posisi jabatan birokrasi.

 

Karena itu, untuk mendukung langkah memotong eselon, perlu dilakukan upaya memperkuat sistem birokrasi pemerintah. Caranya, dengan meningkatkan kecakapan pelayanan masyarakat dengan memperkuat sistem digital teknologi  informasi seperti sistem komputerisasi, kecepatan internet, layanan daring, pelayanan WhatsApp. dan sejenisnya

Hambatan pemangkasan

Reformasi birokrasi pemerintah akhir-akhir ini mengalami hambatan karena lembaga birokrasi kita ini terlalu besar. Semenjak dipimpin oleh pejabat politik, tata kelola sistem birokrasi sangat menekankan pada kekuasaan sehingga melupakan sistem pemberian pelayanan masyarakat. Karena partai politik itu menurut Bung Karno adalah kekuatan kelompok orang-orang politik untuk mencapai kekuasaan, melaksanakan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Konsep Bung Karno itu  sampai sekarang masih dipergunakan.

Karena sistem birokrasi pemerintah dipimpin pejabat politik dari partai politik, maka kekuasaan itu sangat menonjol. Pelayanan masyarakat bisa terhalang karena terhambat pendekatan kekuasaan dan belum tertatanya sistem  pembagian kerja antara jabatan politik dan administratur karier birokrasi dalam peraturan perundangan.

Karena sistem birokrasi pemerintah dipimpin pejabat politik dari partai politik, maka kekuasaan itu sangat menonjol.

Dulu, di sistem pemerintah Soeharto, pejabat eksekutif yang memimpin lembaga negara — baik di kementerian maupun di lembaga negara lain— disebut pejabat negara bukan pejabat politik yang bekerja atau mengabdi kepada negara untuk seluruh rakyat Indonesia. Di Amerika Serikat ada UU tentang lembaga  yang memproteksi pelaksanaan sistem merit. UU ini dikenal dengan sebutan merit system protecting board.

KOMPAS/I GUSTI A BAGUS ANGGA PUTRA

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo menandatangani dokumen serah terima jabatan didampingi Menpan RB sebelumnya, Syafruddin, Rabu (23/10/2019), di Kantor Kemenpan RB, Jakarta.

Dalam UU ini dinyatakan bahwa semua pejabat yang berasal dari partai politik, begitu memegang jabatan negara, maka ia tidak boleh membawa  aspirasi dan identitas partai politiknya. Ini merupakan upaya menjamin agar jabatan negara  itu dipakai untuk kepentingan melayani masyarakat luas. Dengan tidak atau belum adanya peraturan hukum yang mengatur hubungan kerja antara jabatan politik dan jabatan karier birokrasi, maka bisa dikatakan,  ini hambatan pertama  yang bisa menghalangi pelaksanaan reformasi birokrasi pemerintah.

Hambatan kedua adalah besarnya lembaga birokrasi pemerintah, akibat banyaknya jumlah kementerian negara. Menurut UU Kementerian, jumlah kementerian kita sebanyak 34 kementerian dan kemungkinan bisa ditambah dengan jabatan wakil menteri. Kalau dibandingkan dengan di negara-negara ASEAN, kementerian di Indonesia terbesar. Malaysia kurang dari 34. Jepang juga tergolong besar, lebih besar dari Indonesia. AS hanya mempunyai 15 kementerian.

Kalau dibandingkan dengan di negara-negara ASEAN, kementerian di Indonesia terbesar.

Besarnya lembaga kementerian akan membawa dampak pada besarnya birokrasi pemerintah. Besarnya lembaga kementerian ini dikarenakan pembentukan kabinet presidensial telah berubah menjadi kabinet partai politik yang mendukung presiden.  Kalau reformasi birokrasi pemerintahan benar-benar akan dilakukan maka harus dipikirkan untuk merevisi UU Kementerian menuju kabinet presidensial yang ramping, tidak memperbesar kekuasaan partai.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Ma'ruf Amin, Rabu (23/10/2019), berfoto bersama para calon menteri di halaman depan Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/10/2019). Pada hari yang sama, Presiden Joko Widodo mengumumkan dan melantik susunan kabinet pemerintahannya yang diberi nama Kabinet Indonesia Maju. Dalam kesempatan itu, Presiden Jokowi juga mengingatkan agar para menteri menjalankan visi-misi presiden-wakil presiden.

Kabinet yang menekankan zaken kabinet  diisi oleh menteri-menteri yang kompeten ahli dan profesional. Saya teringat dulu ketika  ditunjuk membentuk UU Kementerian di bawah kepemimpinan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Kabinet yang kami usulkan itu terdiri dari tiga kelompok kementerian.

Pertama, kementerian yang required atau wajib ada, tidak bisa diubah atau diganti karena keberadaannya disebutkan oleh Konstitusi, seperti Luar Negeri, Dalam Negeri, Pertahanan, Keuangan dan Agama. Kedua, kementerian strategis yang mewadai kebijakan strategis presiden baru yang diwujudkan dalam bentuk kementerian. Jenis kementerian ini bisa diganti, diubah dan dihilangkan kalau presiden baru merasa itu tidak sesuai degan kebijakan strategisnya. Ketiga, kementerian opsional yang sangat tergantung kebutuhan. Kementerian opsional ini bisanya disebut kementerian negara.  Kita dulu mengusulkan jumlah kementerian tak lebih dari 22.

Kementerian opsional ini bisanya disebut kementerian negara.  Kita dulu mengusulkan jumlah kementerian tak lebih dari 22.

Dengan memerhatikan hambatan-hambatan reformasi birokrasi pemerintah selama ini, semoga reformasi birokrasi yang akan dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi periode kedua  itu berhasil dengan baik menuju pelayanan masyarakat yang tidak birokratis dan bisa mewujudkan  sistem pemerintahan  yang ramping, cekatan, clean and good governance.

(Miftah Thoha Guru Besar ( ret) Universitas Gadjah Mada)

Kompas, 31 Oktober 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger