Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 30 September 2015

TAJUK RENCANA: Harapan pada Pariwisata (Kompas)

Baiknya kunjungan wisatawan asing ke Indonesia di tengah kelesuan ekonomi global merupakan kabar baik untuk menggerakkan ekonomi.

Jumlah wisatawan mancanegara (wisman) pada periode Januari-Juli 2015, menurut Kementerian Pariwisata, tumbuh 2,69 persen menjadi 5,47 juta orang. Periode sama tahun lalu, jumlah wisman ke Indonesia 5,32 juta orang. Devisa yang dihasilkan 5,5 miliar dollar AS.

Kenaikan jumlah kunjungan tersebut memberi harapan bahwa kebijakan bebas visa memberi hasil. Fasilitas bebas visa kunjungan (BVK) untuk 30 negara pertama berhasil menaikkan kunjungan wisatawan 15 persen. Pada awal September lalu, pemerintah menambahkan lagi 45 negara penerima BVK. Dengan demikian, total ada 90 negara penerima fasilitas BVK dari Indonesia.

Pariwisata menjadi salah satu dari lima sektor unggulan pemerintah. Selama lima tahun hingga 2019, target kedatangan wisman adalah 20 juta orang. Target tahun ini naik menjadi 10 juta wisman. Tahun 2014 ada 9,44 juta wisman dengan sumbangan devisa 9,8 miliar dollar AS.

Pariwisata memiliki sejumlah nilai lebih. Kunjungan wisman mendatangkan devisa yang semakin dibutuhkan di tengah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, merosotnya ekspor, dan defisit transaksi berjalan.

Industri pariwisata menciptakan lapangan kerja langsung dan tidak langsung melalui tumbuhnya industri terkait, seperti industri kreatif. Menyebar daerah tujuan wisata di berbagai kawasan membuka isolasi wilayah dan menimbulkan pusat pertumbuhan baru di luar Jawa. Kegiatan pariwisata yang inklusif, menyertakan partisipasi masyarakat setempat, dapat meratakan kemakmuran.

Indonesia memiliki banyak keunggulan daya tarik wisata, terutama seni dan budaya serta keindahan alam. Masyarakat kita juga toleran terhadap keberagaman. Kita bisa belajar dari pengalaman daerah, seperti Bali, dan negara lain dalam mengemas paket wisata menarik tanpa kehilangan jati diri dan merusak lingkungan serta cara meminimalkan dampak sosial negatif industri ini.

Kekurangan infrastruktur fisik disebut sebagai penghambat pengembangan pariwisata. Pada saat bersamaan, perlu konservasi kawasan tertentu agar tidak menjadi obyek turisme massal, seperti Raja Ampat di Papua Barat dan Kepulauan Derawan di Kalimantan Timur.

Pada sisi lain, kita masih mendengar perlakuan kurang baik dari oknum petugas imigrasi dan penegak hukum terhadap wisman. Tantangan lain adalah soal kebersihan dan sanitasi serta tenaga terampil bidang pariwisata.

Agar berkelanjutan dan ramah lingkungan dalam arti sosial dan fisik, pengembangan pariwisata tidak bisa dikotak-kotakkan secara departemental. Ini pula pesan dari Agenda 2030 Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pembangunan berkelanjutan yang ikut ditandatangani Indonesia.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 September 2015, di halaman 6 dengan judul "Harapan pada Pariwisata".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

50 Tahun Studi G30S 1965 (ASVI WARMAN ADAM)

Setelah meletus Gerakan 30 September 1965, sampai sekarang telah diterbitkan ribuan tulisan serta banyak film dan program televisi.

Dari perspektif historiografi yang menonjolkan HAM, gelombang pengkajian itu dapat dibagi atas lima episode. Pada tahap pertama diperdebatkan siapa di balik peristiwa itu. Fase berikutnya merupakan periode yang panjang, berupa monopoli sejarah sepanjang Orde Baru, hanya versi tunggal pemerintah yang diperbolehkan.

Pada episode ketiga, korban mulai bersuara setelah Soeharto berhenti sebagai presiden tahun 1998. Tahun 2008 sudah muncul narasi baru yang utuh mengenai Gerakan 30 September (G30S), seperti ditulis John Roosa yang menjadi tonggak keempat. Episode kelima ditandai dengan pemutaran filmJagal (2012) dan Senyap (2014), yakni ketika para pelaku mulai berterus terang.

Lima narasi, lima aspek

Pada episode pertama, yang diperdebatkan siapa dalang G30S 1965? Buku pertama mengenai peristiwa ini 40 Hari Kegagalan "G30S", 1 Oktober-10 November 1965. Bukut ini terbit 27 Desember 1965 atas prakarsa Jenderal Nasution, yang menugasi beberapa pengajar sejarah Universitas Indonesia (UI).

Walaupun belum menggunakan label "G30S/PKI", buku ini sudah menyinggung keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam percobaan kudeta tersebut. Akan tetapi, pandangan yang berbeda diajukan ilmuwan AS, Ben Anderson dan Ruth McVey, yang melihat keterlibatan AD. Laporan itu, yang kemudian dikenal sebagai "Cornell Paper", terungkap keberadaannya lewat Washington Postedisi 5 Maret 1966.

Tahun 1967, Guy Pauker dari Rand Corporation yang dianggap dekat dengan CIA memberi tahu Mayjen Soewarto, Komandan Seskoad, tentang keberadaanCornell Paper dan menyarankan agar ditulis buku tandingan. Soewarto kemudian mengirim Nugroho Notosusanto dan Letkol Ismail Saleh, seorang jaksa dalam persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), untuk melakukan penulisan di AS.

Dengan bantuan Guy Pauker, Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh berhasil membuat buku The Coup Attempt of September 30 Movement in Indonesia. Buku ini dibagikan kepada peserta Kongres Sejarawan Asia (IAHA) di Kuala Lumpur tahun 1968. Prestasi besar ini menyebabkan Pusat Sejarah ABRI mendapat tempat yang luas di bekas kediaman Dewi Soekarno di Wisma Yaso, yang kemudian menjadi Museum Satria Mandala, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Bahkan, kelak, Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh menjadi menteri.

Dalam kunjungan ke AS, Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh membawa berbagai dokumen, termasuk berkas perkara Mahmilub terhadap Heru Atmojo yang melampirkan visum et repertumjenazah enam jenderal yang jadi korban G30S. Dokumen ini sempat terbaca oleh Ben Anderson, yang selanjutnya menulis artikel menggemparkan bahwa tak benar terjadi pencungkilan mata dan penyiletan kemaluan para jenderal. Episode kedua narasi G30S adalah sosialisasi versi tunggal penguasa oleh Nugroho Notosusanto melalui penerbitan bukuSejarah Nasional Indonesia tahun 1975, terutama jilid 6 yang melegitimasi rezim Orde Baru. Nugroho juga memprakarsai pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKIyang disutradarai Arifin C Noer, 1984. Film itu wajib tayang di layar televisi setiap malam tanggal 30 September.

Sejak 1967 dilakukan desukarnoisasi dalam sejarah Indonesia. Berhentinya Soeharto sebagai presiden Mei 1998 menandai episode ketiga narasi G30S. Korban mulai bersuara. Sejarah lisan pun dikerjakan, yang menonjol di antaranya1965: Tahun yang Tidak Pernah Berakhir. Persatuan Purnawirawan AURI juga menerbitkan Menguak Kabut Halim.

Episode keempat narasi G30S ditandai penerbitan buku John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, tahun 2008. Bila semula yang diperdebatkan siapa dalang kudeta 1965, kini fokusnya beralih: siapa dalang pembantaian 1965. Roosa dalam bukunya yang kini bisa diunduh di internet menganggap aksi G30S itu dijadikan dalih melakukan pembunuhan massal. Film Jagal (The Act of Killing) karya Joshua Oppenheimer menandai episode kelima narasi G30S. Bila sebelumnya para korban berbicara, kini pelaku bersaksi. Film ini meraih penghargaan dalam berbagai festival film di mancanegara dan dinominasikan sebagai film dokumenter terbaik Piala Oscar 2014.

Gambaran secara hidup pembantaian terhadap masyarakat Sumatera Utara pasca-G30S itu mendekonstruksi narasi yang disosialisasikan Orde Baru. Pada 10 Desember 2014 film Senyap (The Look of Silence) melengkapi film Jagal yang beredar sebelumnya. Bila diperhatikan, karya yang beredar pada episode ketiga, yakni sejak Era Reformasi, terlihat bahwa G30S itu mencakup lima aspek.

Pertama, peristiwa yang terjadi 1 Oktober 1965 yang menyebabkan tewasnya enam jenderal. Kedua, pembunuhan massal setelah peristiwa itu, yang memakan korban sekitar 500.000 jiwa. Ketiga, pembuangan paksa terhadap lebih dari 10.000 orang ke Pulau Buru, 1969-1979.

Bila ketiga hal itu lebih bersifat kekerasan fisik, dua unsur berikutnya lebih bersifat kekerasan mental, yakni, keempat, dicabutnya kewarganegaraan ribuan pemuda Indonesia yang sedang belajar di mancanegara tahun 1966. Kelima, stigma dan diskriminasi yang diberlakukan terhadap korban dan keluarganya. Isi instruksi Mendagri tahun 1981 antara lain melarang anak-anak korban menjadi PNS dan anggota ABRI.

Rekonsiliasi nasional

Selama 50 tahun studi G30S telah berkembang pesat dengan dibukanya berbagai arsip di AS, Inggris, Australia, Rusia, Jerman, Jepang, dan Tiongkok. Bermunculan pula para peneliti mengenai tema ini di sejumlah negara, seperti di Belanda, Jepang, dan terutama Australia, selain—tentu saja—dari Indonesia sendiri. Areal kajian tak saja mencakup Jawa dan Sumatera, tetapi sudah meluas sampai Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Kemajuan kajian mengenai G30S 1965 semoga membantu terciptanya rekonsiliasi nasional seperti diamanatkan Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan, Agustus 2015. Sebelum tercapai rekonsiliasi, tentu perlu pengungkapan kebenaran yang akan terbantu oleh berbagai kajian selama 50 tahun ini.

ASVI WARMAN ADAM, SEJARAWAN LIPI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 September 2015, di halaman 7 dengan judul "50 Tahun Studi G30S 1965".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Media Sosial, Kekuatan Perubahan (Kompas)

Pengakuan Perdana Menteri India Narendra Modi tentang kekuatan media sosial, terutama bagi para pemegang kekuasaan, amatlah menarik.

Narendra Modi, seperti yang diberitakan harian ini kemarin, mengingatkan para pemimpin dunia bahwa mereka tidak akan berhasil kalau menjauhkan diri dari media sosial. Sebab, dengan memanfaatkan media sosial, pemimpin mempunyai kesempatan mencari tahu seberapa jauh pemerintahan yang dijalankan sudah sesuai dengan rencana atau belum.

Dari pengalaman yang ada—katakanlah revolusi Arab Spring—terbukti jelas bahwa media sosial merupakan alat pembebasan dan pemberdayaan. Dengan media sosial, gerakan yang dimotori oleh kaum muda, kaum terdidik, dan kaum pembaru tersebar ke seluruh penjuru negara, bahkan dunia. Dan, puncaknya, gerakan itu menjatuhkan pemimpin yang sudah tidak lagi dianggap mampu mewujudkan aspirasi rakyat, yang dianggap meninggalkan rakyat, yang dianggap lebih mementingkan diri dan kelompoknya ketimbang kepentingan rakyat.

Dengan kata lain, media sosial—sebut saja misalnya Twitter, Youtube, dan Facebok—tidak hanya memainkan peran penting, tetapi juga instrumental. Modi mengalami hal itu. Kemenangan Modi dengan Partai Bharatiya Janata dalam pemilu Lok Sabha 2014 tidak terlepas dari perang media sosial. Bagaimana tim kampanyenya mampu mem-brandingModi dari tokoh lokal, regional (Gujarat), menjadi tokoh nasional.

Dengan media sosial, tim kampanye mampu "menjual" Modi kepada para calon pemilih: kaum muda dan penduduk perkotaan. Jumlah pemilih muda yang baru pertama kali memiliki hak pilih waktu itu hampir 150 juta orang. Tim kampanye menampilkan Modi, yang tercoreng namanya karena kerusuhan anti Muslim di Gujarat pada 2002, sebagai orang yang jujur dan pekerja keras dan akan mampu membawa India ke zaman yang lebih cerah.

Seperti sudah kita sebut di atas, media sosial tidak hanya memainkan peran penting, tetapi juga instrumental, mulai dari memobilisasi para pemilih muda—ini terjadi di banyak negara, termasuk Amerika Serikat—hingga kekuatan dan alat revolusi Arab Spring. Dari apa yang terjadi di banyak belahan dunia, kita bisa mengatakan bahwa media sosial adalah salah satu lompatan global teramat penting dalam sejarah umat manusia. Mengapa demikian? Media sosial memungkinkan pembentukan jaringan secara cepat dan menghubungkan satu orang dengan orang lain, ide-ide, dan nilai mereka yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Intinya adalah komunikasi. Kepemimpinan tidak lepas dari komunikasi. Tanpa komunikasi yang baik antara pemimpin dan yang dipimpin, niscaya tidak akan pernah terjadi perubahan ke arah yang lebih baik.

Sudahkah hal itu terjadi di negeri ini?

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 September 2015, di halaman 6 dengan judul "Media Sosial, Kekuatan Perubahan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Berdamai dengan Masa Lalu (AGUS WIDJOJO)

Setiap menjelang 30 September, selalu muncul wacana tentang tragedi Gerakan 30 September 1965. Namun, wacana yang muncul masih terbagi dalam dua kelompok.

Kelompok pertama berpihak kepada korban dari eks anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan pengembangannya berbentuk berbagai tuntutan: dimulai dari proses pengadilan bagi pelaku, reparasi bagi korban, hingga pembersihan nama PKI dengan dalih peristiwa ini akibat dari gejolak internal yang ada dalam TNI AD. Masih ada variasi kembangan bahwa peristiwa ini berkaitan dengan peran asing, khususnya intelijen Amerika Serikat, yang berada di belakang TNI AD.

Di sisi lain, ada kelompok yang menyatakan PKI dalang dan berada di belakang peristiwa ini dalam rangka perebutan kekuasaan politik dengan melakukan aksi ofensif terhadap TNI AD. Ini yang mengakibatkan gugurnya tujuh pahlawan revolusi yang jenazahnya ditemukan di lubang sebuah sumur tua di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur, serta dua perwira menengah di Yogyakarta. Kelompok ini menolak keberadaan segala sesuatu yang berbau dan berkaitan dengan komunisme dalam bentuk apa pun di Indonesia.

Rekonsiliasi nasional

Keadaan ini menunjukkan, masyarakat dan bangsa kita masih belum dapat berdamai dan menutup masa lalunya. Kelompok-kelompok masyarakat yang punya kedekatan hubungan emosional, seperti anggota keluarga yang terlibat dengan peristiwa tersebut, masih belum bisa mengadakan refleksi dan memberi jarak pada peristiwa tersebut. Pada dasarnya posisi kedua kelompok ini masih belum berubah dari posisi mereka ketika peristiwa ini terjadi pada 1965. Dapat kita katakan, dilihat dari perspektif tragedi 1965 kedua kelompok ini, Indonesia masih berada dalam tahun 1965.

Telah ada tanda-tanda upaya pemerintah untuk mencari penyelesaian atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu. Namun, semua upaya tersebut tidak sampai berwujud pada bentuk konkret. Telah ada pernyataan publik Jaksa Agung yang menyatakan bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu akan diselesaikan melalui cara non-yudisial dalam bentuk rekonsiliasi. Terlepas dari benar atau tidaknya rumor, pernah beredar juga bahwa pemerintah akan minta maaf, khususnya kepada korban dari keluarga eks anggota PKI. Kesimpangsiuran informasi yang ada dan belum berkembangnya rencana pemerintah dapat dikatakan disebabkan oleh tidak adanya pemahaman tentang konsep penyelesaian pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu, khususnya yang akan diselesaikan melalui rekonsiliasi.

Sebagai prinsip, pertama-tama dapat dikatakan bahwa semua tindakan pelanggaran HAM berat idealnya diselesaikan melalui pengadilan. Hanya pelanggaran HAM berat masa lalu yang tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan—karena tak memenuhi syarat—yang dapat diselesaikan melalui penyelesaian non-yudisial dalam bentuk rekonsiliasi. Mandat untuk penyelesaian melalui rekonsiliasi ini kita dapatkan dalam Pasal 47 a Bab X Ketentuan Penutup UU No 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Dalam UU tersebut dinyatakan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU ini tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Juga dalam UU itu dinyatakan, pelanggaran HAM yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Walaupun disebutkan terdapat 10 bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan, dinyatakan bahwa pelanggaran HAM berat dipersyaratkan memenuhi ketentuan perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui ditujukan langsung terhadap penduduk sipil. Oleh karena itu, pelanggaran HAM berat merupakan tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang spesifik.

Agar rekonsiliasi dapat tercapai, perlu dipenuhi beberapa persyaratan. Berbeda dengan tujuan proses pengadilan untuk membuktikan seseorang bersalah atau tidak, rekonsiliasi lebih bersifat berimbang dari upaya pembuktian suatu kesalahan dengan perhatian yang perlu diberikan kepada korban serta tidak terulang kembalinya peristiwa serupa pada generasi anak-cucu kita di masa depan. Pada akhirnya, rekonsiliasi bertujuan untuk memulihkan harkat dan martabat manusia dalam masyarakat baru Indonesia yang telah berdamai dan menutup masa lalunya.

Untuk mencapai tujuan itu, rekonsiliasi terdiri atas empat elemen yang perlu dicapai secara seimbang. Elemen tersebut adalah keadilan, pencarian kebenaran, reformasi kelembagaan, dan reparasi. Dalam negara yang tengah mengalami masa transisi dari rezim pemerintahan otoritarian menuju demokrasi, terkadang lebih realistis untuk memilih opsi yang mungkin dilaksanakan daripada opsi yang ideal, tetapi tak mungkin diwujudkan. Memaksakan penyelesaian suatu kasus pelanggaran HAM yang berat melalui proses pengadilan dalam masa transisi mengandung risiko tak mencapai tujuan keadilan retributif, malah bisa berakibat sebaliknya. Negara-negara dalam masa transisi menghadapi pilihan berat dalam upaya memberi keseimbangan antara imperatif keadilan dan rekonsiliasi dengan realitas politik untuk mengendalikan impunitas.

Keadilan, perdamaian, dan demokrasi bukan merupakan sasaran yang eksklusif terpisah satu dengan yang lain, tetapi merupakan imperatif yang saling memperkuat dan memerlukan perencanaan strategis, kesatuan rencana, dan penahapan yang cermat. Elemen pencarian kebenaran jadi penting sebagai wujud dari hak korban atas kebenaran. Pencarian kebenaran cara yang penting untuk menyembuhkan luka lama, mengidentifikasi korban, meningkatkan akuntabilitas terhadap para pelaku, dan mengidentifikasi kelemahan dalam sistem atau pembuatan kebijakan untuk dapat kita perbaiki dalam elemen reformasi kelembagaan sebagai bagian keadilan transisional.

Reparasi merupakan proyek pemerintah yang dapat menyatakan pengakuan kepada mereka yang hak-hak dasarnya telah dilanggar, meliputi pengakuan atas pelanggaran atas hak korban, pengakuan atas tanggung jawab negara, dan pengakuan terhadap cedera yang diderita korban sebagai akibat dari tindak kekerasan. Reparasi simbolis dapat berbentuk pernyataan penyesalan, penentuan hari-hari peringatan, pembangunan monumen atau museum. Yang terpenting di sini adalah bahwa semua tentang kesalahan apa yang dilakukan dalam kaitan dengan kewenangan berbagai lembaga, hubungan antara kewenangan lembaga, serta kewajiban untuk patuh pada berbagai peraturan perundang-undangan yang ada perlu diidentifikasi sehingga menjelaskan mengapa sampai terjadi pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan pada sesama bangsa. Kelemahan dan kesalahan itulah yang perlu kita koreksi dalam elemen reformasi kelembagaan untuk menjamin agar peristiwa serupa tidak terulang.

Demi kepentingan bangsa

Dari uraian di atas, jelas bahwa rekonsiliasi bukanlah konsep upaya mementingkan salah satu kelompok yang terlibat dalam tindak kekerasan. Rekonsiliasi bukan untuk membuktikan siapa salah dan benar. Rekonsiliasi juga bukan untuk menjustifikasi tuntutan salah satu pihak terhadap pihak lain. Rekonsiliasi adalah upaya penyelesaian konflik yang selalu berpihak pada kepentingan bangsa.

Rekonsiliasi pada hakikatnya harus lahir dari kesepakatan dan kemauan kuat untuk menutup masa lalu dan membangun masa depan. Menutup masa lalu dengan memaafkan, tetapi tidak melupakan. Tidak melupakan di sini diartikan tidak serta-merta meninggalkan ingatan terhadap peristiwa, tetapi kita harus dapat menarik pelajaran dari kesalahan masa lalu, memperbaikinya, dan menjamin agar peristiwa serupa tidak terulang.

Menjadi jelas, menutup masa lalu tidaklah sesederhana hanya dengan permintaan maaf pemerintah kepada korban PKI. Logika dari kebijakan seperti ini hanya akan melahirkan pertanyaan apakah kesalahan hanya terletak pada pemerintah sehingga pemerintah yang berkewajiban meminta maaf? Apakah korban hanya di pihak eks anggota PKI sehingga permintaan maaf hanya ditujukan kepada korban eks anggota PKI? Rekonsiliasi ini bukan diadakan untuk kepentingan korban eks anggota PKI dan keluarganya. Rekonsiliasi memiliki lingkup bangsa dan jika kita ingat bahwa tragedi 1965 merupakan puncak perebutan kekuasaan politik dari tiga kekuatan politik terbesar pada saat itu, yaitu Presiden Soekarno, PKI, dan TNI AD, di sini kita harus melawan lupa terhadap memori institusional tiga kekuatan politik tersebut untuk membuka jalan bagi rekonsiliasi nasional tragedi 1965.

Tidak boleh kita lupakan, proses politik yang memuncak pada tragedi 1965 merupakan proses sebab-akibat dari apa yang terjadi sebelum 1 Oktober 1965. Oleh karena itu, apabila kita menguji kemampuan bangsa untuk melaksanakan rekonsiliasi nasional berdasarkan model tragedi 1965, kita tidak bisa berawal hanya dari tanggal 1 Oktober 1965. Untuk melawan lupa, kita pun perlu melihat yang diperbuat PKI pada 1948 di Madiun. Tragedi 1965 dapat dilihat sebagai pengulangan perjuangan ideologis PKI dengan menggunakan metode dan cara yang sama.

Tentu hal ini berlaku juga bagi TNI AD dalam catatan institusionalnya. Namun, jangan dilupakan, TNI AD saat ini telah melaksanakan reformasi kelembagaan sehingga apabila dipenuhi persyaratan otoritas politik yang kompeten dan efektif, tindakan yang dilakukan TNI AD pada masa lalu—khususnya pasca tragedi 1965—tidak dapat diulangi. Hal ini merupakan jaminan tidak berulangnya peristiwa serupa di masa mendatang.

Terhadap perspektif korban eks anggota PKI dan keluarganya bahwa banyak di antara mereka telah jadi korban—baik korban jiwa maupun dirampasnya hak-hak dasar mereka sebagai warga negara tanpa pengadilan dan hak membela diri—apabila memang terjadi, mengapa itu tidak dicatat sebagai pengalaman pahit bangsa dan diakui sebagai kenyataan? Akan tetapi, dalam rekonsiliasi, persoalannya tidak berhenti di situ. Rekonsiliasi tidak hanya untuk mencari akuntabilitas dan memberi justifikasi terhadap tuntutan korban, tetapi juga untuk kepentingan bangsa. Rekonsiliasi mencari penyelesaian yang melampaui itu semua, yaitu mencari jawaban atas pertanyaan: mengapa saling bunuh antarsesama anak bangsa bisa terjadi?

Terhadap tuntutan golongan yang menyatakan tidak ada tempat bagi ideologi komunis di bumi Indonesia, sebenarnya itu sudah otomatis mengandung kebenaran. Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 memang tidak ada tempat bukan saja bagi komunis, melainkan juga ideologi lain. Rekonsiliasi merupakan kesepakatan bangsa untuk belajar dari kesalahan yang dilakukan oleh bangsa ini di masa lalu guna menutup masa lalu tanpa melupakan, mengawali era baru untuk menatap masa depan yang tidak memberi kemungkinan bagi terulangnya peristiwa kelam bangsa di masa lalu.

Membuat lembaran baru

Oleh karena itu, rekonsiliasi tidak bisa dibangun atas pendekatan hitam-putih dan zero-sum game. Untuk itu, diperlukan kesediaan berkorban dari setiap pihak untuk menggantikan mitos-mitos lama yang berawal dari konflik dengan nilai-nilai baru berdasarkan orientasi ke masa depan dan kesepakatan untuk membuat lembaran membangun masyarakat baru melalui pemulihan harkat dan martabat manusia.

Rekonsiliasi bagi masyarakat dan bangsa Indonesia masih sulit dimulai. Salah satu sebab utamanya, pengertian rekonsiliasi dipahami secara awam oleh golongan yang terlibat konflik: masih digunakan untuk kepentingan setiap pihak. Keadaan seperti ini tak menguntungkan bagi terlaksananya rekonsiliasi.

Apabila rekonsiliasi tidak mampu kita laksanakan, hal itu hanya akan mencoreng citra bangsa Indonesia yang bukan saja tidak punya keberanian untuk berdamai dengan masa lalunya, melainkan juga menunjukkan tingkat keadaban bangsa yang rendah. Hanya dengan melakukan rekonsiliasi nasional yang berawal dari introspeksi pihak-pihak terkait, melalui kejujuran untuk melihat kesalahan yang dilakukan oleh golongan sendiri, kita bisa melihat derajat dan martabat keadaban bangsa untuk sama dengan bangsa-bangsa lain yang telah berusaha menutup masa lalunya, seperti Jerman, Afrika Selatan, Kamboja, dan Timor Leste.

Tragedi 1965 merupakan sebuah model yang dapat dijadikan ujian bagi masyarakat Indonesia apakah kita mampu melaksanakan rekonsiliasi nasional guna memulihkan martabat bangsa agar sejajar dengan martabat dan peradaban bangsa-bangsa lain di dunia. Perlu kejernihan hati, kebesaran jiwa, dan keberanian untuk melakukan itu.

AGUS WIDJOJO, ANAK PAHLAWAN REVOLUSI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 September 2015, di halaman 6 dengan judul "Berdamai dengan Masa Lalu".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Selasa, 29 September 2015

Penguatan Peran Kemenko (ADNAN PANDU PRAJA)

Fungsi kementerian koordinator tidak hanya melakukan koordinasi, tetapi juga supervisi terhadap kementerian terkait. Demikian pernyataan Presiden Joko Widodo.

Penantian panjang masyarakat akan adanya terobosan Presiden dalam menyelesaikan persoalan di internal kabinet Jokowi-Kalla terjawab dengan penggantian tiga dari empat menteri koordinator (menko) dan jabatan strategis lain. Namun, perombakan kabinet kali ini agak berbeda berkenaan dengan penjelasan Presiden bahwa menko juga memiliki kewenangan supervisi. Presiden rupanya sedang merekonstruksi peran kemenko agar lebih bergigi.

Peran supervisi

Peran supervisi kemenko dapat diilustrasikan dengan peran koordinasi dan supervisi yang diatur dalam UU KPK tentang hubungan kelembagaan dengan instansi penegak hukum lain dalam penanganan kasus korupsi. Koordinasi bersifat horizontal, sedangkan supervisi bersifat vertikal berupa pengawasan, penelaahan, dan pengambilalihan kasus dari instansi penegakan hukum lain.

Keberhasilan KPK dalam hal koordinasi dan supervisi penindakan—meski tak banyak—secara kualitatif dipandang sukses dan menginspirasi lahirnya program pencegahan dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara bersama 12 kementerian, termasuk instansi penegak hukum. Sangat banyak izin tambang dikeluarkan yang mengabaikan syarat-syarat sehingga tumpang tindih dengan izin kebun, hutan, dan lain-lain.

Keberhasilan koordinasi dan supervisi pertambangan adalah lebih dari 1.000 izin tambang telah ditertibkan kepala daerah pengeluar izin. Pendapatan negara meningkat Rp 10 triliun dalam waktu beberapa bulan. Bahkan, ada perusahaan tambang besar langsung membayar lunas tagihan pajak senilai Rp 2 triliun setelah diimbau oleh Dirjen Pajak dalam pertemuan di KPK. Kesadaran memperbaiki kesalahan, baik oleh pelaku usaha maupun para kepala daerah— tanpa upaya paksa KPK ataupun penegak hukum lain—menunjukkan program pencegahan akanefektif bila ada keselarasan antarinstansi terkait sebagai aksi kolektif.

Setidaknya ada tiga alasan mendukung aksi kolektif di bawah supervisi kemenko. Pertama, meminimalisasi ekses negatif dari koalisi partai. Bagi-bagi kursi kabinet kepada partai pendukung telah mendegradasi peran Presiden dalam mengorkestrasi pemerintah. Tiap partai punya target politik berbeda dan masing- masing partai memiliki platform dan patron politik sendiri.

Di samping itu, disparitas kepentingan antarpartai juga akan kian menonjol menjelang pemilu. Sudah banyak bukti kasus korupsi yang ditangani KPK terkait dana bantuan sosial menjelang pemilu. Partai menempatkan orang-orangnya pada jabatan strategis kendati sedang digalakkan program lelang jabatan. Begitu pula posisi staf khusus. Segala cara ditempuh partai untuk mengooptasi kementerian.

Kedua, perbedaan latar belakang menteri dari kalangan birokrat, swasta/profesional, dan aktivis partai. Menteri yang punya latar belakang birokrat akan menjaga harmoni kinerja, sementara yang berlatar aktivis politik lebih mendahulukan kepentingan politik. Berbagai alasan di atas tidak akan jadi faktor penghambat dalam berkoordinasi manakala para menteri telah mengikuti program induksi seperti yang terjadi pada zaman Orde Baru melalui Lemhanas.

Ketiga, alasan praksis. Di akhir masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, KPK berhasil mencegah penjualan gas ke pihak swasta yang seharusnya dijual ke pabrik pupuk untuk kepentingan petani. Supervisi KPK diperlukan karena oknum menteri mengabaikan rekomendasi rapat koordinasi yang dipimpin Menko Perekonomian saat itu.

Agar koordinasi-supervisi tak dianggap pemadam kebakaran, ruang lingkup tugas kemenko seyogianya mencakup empat hal. Pertama, menguatkan peran penegak hukum dalam mendukung kinerja kementerian teknis lain sesuai penjelasan salah seorang menko setelah dilantik.

Kedua, mengoptimalkan peranan pengawasan oleh inspektorat jenderal (itjen) yang selama ini cenderung mandul karena tersubordinasi oleh kepentingan menterinya. Sebagai perbandingan, di Amerika, walaupun struktur itjen ada di bawah kementerian, itjen bertanggung jawab kepada Presiden. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga independendensi itjen ("Pesan Pengawasan untuk Capres", Kompas, 24 Juni 2014).

Ketiga, menjamin koneksi digital antarinstansi horizontal ataupun vertikal melalui pangkalan data terpusat agar tidak terjadi lagi tumpang tindih izin tambang dengan izin hutan dan izin tambang. Keempat, monitor kepatuhan pembayaran pajak oleh pelaku usaha pemegang konsesi atau izin.

Konsisten dalam prinsip

Apabila keempat wilayah koordinasi dan supervisi tersebut dapat dijalankan dengan baik di bidang ekstraktif industri, misalnya, negara akan mengetahui liftingminyak per detik. Dengan begitu, pemerintah daerah bisa mengetahui potensi pendapatan asli daerah dari industri ekstraktif di wilayahnya sebagai bahan dalam menyusun APBD.

Prinsip-prinsip yang harus dipegang teguh agar koordinasi-supervisi dapat terlaksana dengan baik adalah konsisten, imparsial, transparan, dan partisipatif. Konsisten dalam mempertahankan prinsip-prinsip itu pada gilirannya akan menuai kepercayaan masyarakat yang diwujudkan dengan kepatuhan pembayaran kewajiban pajak, misalnya.

Untuk dapat menjalankan fungsi koordinasi-supervisi, kantor kemenko tak perlu besar karena ia bukan instansi teknis. Miskin struktur tapi kaya fungsi. Keunggulan kantor kemenko diletakkan pada senioritas figur menko. Persoalannya apakah nomenklatur kemenko terbaru sudah sejalan dengan harapan Presiden tersebut.

Dari sisi momentum, penguatan peran kemenko sangat relevan menjelang berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Diperlukan percepatan dalam mengintegrasikan pangkalan data antarinstansi vertikal dan horizontal sampai tingkat kabupaten/kota dalam rangka menyelamatkan aset bangsa.

Singkatnya, upaya Presiden merekonstruksi peran kemenko dengan kewenangan supervisi untuk dapat mengorkestrasi birokrasi perlu dukungan seluruh komponen bangsa, terutama komunitas penegak hukum.

ADNAN PANDU PRAJA, KOMISIONER KPK

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 September 2015, di halaman 7 dengan judul "Penguatan Peran Kemenko".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Nasib CPNS di Depok//Oknum di Bandara//Telepon Rusak (Surat Pembaca Kompas)

Nasib CPNS di Depok

Saya seorang CPNS di wilayah Depok, Jawa Barat. Saya telah lulus tes, selesai pemberkasan, dan memenuhi semua syarat yang diminta Pemerintah Kota Depok.

Saya termasuk dalam kategori 2, yaitu pegawai kontrak yang telah mengabdi minimal 10 tahun. Saya lulus tes tahun 2014 awal, tetapi sampai saat ini saya belum mendapat panggilan kembali ataupun penjelasan status saya.

Saya bersama dengan 250 orang lain menunggu kejelasan dari Nur Mahmudi sebagai Wali Kota Depok. Kami minta tolong kepada Bapak Menteri Dalam Negeri untuk membantu menanyakan dan memperhatikan kejelasan status kami kepada Pemerintah Kota Depok.

Sebagai bandingan, di kota lain status kategori 2 sudah jelas, bahkan untuk mereka sudah akan keluar gaji. Sementara pada kami yang terjadi justru sebaliknya: sejak pengumuman lolos CPNS, honor kami diberhentikan.

ISMAIL, RATU JAYA, CIPAYUNG, DEPOK


Oknum di Bandara

Membaca berita adanya oknum petugas imigrasi Bandara Internasional Ngurah Rai yang memeras turis Taiwan, saya ingin menyampaikan hal serupa yang sering terjadi di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang.

Tamu perusahaan tempat saya bekerja—yang mempunyai cabang di Kota Palembang—sering melakukan kunjungan bisnis lewat Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II dari Singapura.

Belum lama ini saya mendapatkan informasi dari salah satu petinggi baru di perusahaan pelanggan kami yang mengalami perlakuan sangat memalukan dari petugas imigrasi Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II.

Ada oknum imigrasi sengaja memperlambat proses keluar dari imigrasi dengan membongkar barang bawaan tamu kami tersebut satu per satu, bahkan sampai menghamparkan pakaian dalam dari koper mereka.

Proses ini tampaknya sengaja dilakukan agar tamu kami memberikan uang kepada petugas imigrasi supaya cepat "dibebaskan". Saat itu, tamu kami, warga Jerman, tidak ingin memberikan uang karena merasa tidak melanggar aturan. Ia diperlambat sampai dua jam.

Ternyata sudah banyak tamu kami dari perusahaan lain yang sering mengalami hal serupa. Namun, karena mereka harus sering berkunjung ke Palembang, mereka menyelipkan uang di paspor agar tidak dipersulit.

Kami berharap pihak imigrasi pusat atau pihak kepolisian menginvestigasi praktik kotor ini dan menindak tegas oknum petugas imigrasi yang nakal.

DANIEL, JAKARTA UTARA


Telepon Rusak

Telepon rumah saya 0711-358XX sejak awal Juli 2015 ada gangguan, tidak bisa untuk telepon keluar ataupun masuk. Maka, saya pada 23 Juli melapor ke 147 pada pukul 11.00 dan diterima Ibu Alisa. Saya laporkan bahwa telepon rumah saya rusak sudah lebih dari 20 hari. Ia mengatakan, laporan saya akan segera dilaporkan ke bagian teknis.

Pada 31 Juli pukul 14.13, saya kembali melaporkan ke operator 147 dan diterima Ibu Alisa lagi. Ia mengatakan, laporan saya sudah diteruskan ke bagian teknis.

Pada 7 Agustus pukul 17.14 saya kembali melapor ke 147 dan diterima Bapak Irfan serta dijawab bahwa jaringan di tempat saya ada gangguan.

Pada 26 Agustus pukul 10.55 saya kembali melapor ke 147, tetapi belum ada tindak lanjut dari laporan saya tersebut.

Pada 27 Agustus pukul 10.00 baru datang petugas ke rumah, memperbaiki telepon saya, dan telepon saya pun menyala/baik.

Pada 28 Agustus saya membayar rekening telepon saya. Hal ini sengaja saya lakukan sebagai protes karena saya berharap telepon saya sudah menyala sebelum tanggal 20 bulan berjalan. Saya sadar bahwa saya akan dikenai denda ( N+1).

Ternyata persoalan belum selesai sampai saya menulis surat ini 3 September. Telepon saya menyala, tetapi yang terdengar adalah kata-kata klise, "Telepon sementara belum bisa dipakai, silakan selesaikan rekening telepon Anda."

Dari hal-hal tersebut, saya sependapat dengan Bapak Indrawan (Surat Pembaca di Kompas, 20 Agustus) bahwa PT Telkom tidak konsisten dengan moto Commited 2 You. Untuk menentukan gangguan jaringan saja perlu waktu 15 hari (23 Juli-7 Agustus), untuk perbaikan/menyala perlu 20 hari (7 Agustus-27 Agustus), dan untuk membuka blokir setelah pembayaran rekening, belum jelas butuh waktu berapa lama.

Dari 28 Agustus sampai saya menulis surat ini, telepon kami belum dapat dipakai. Pelanggan terlambat satu menit saja langsung diblokir, bagaimana tanggung jawab Telkom yang terlambat perbaikan hingga lebih dari satu bulan?

UZAI MERI OEMAR, JL RATNA PS ATOM, ILIR BARAT II, PALEMBANG

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 September 2015, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Izin Pemeriksaan Anggota Legislatif (EMERSON YUNTHO)

MAHKAMAH KONSTITUSI, SELASA— (22/9), memutuskan keharusan adanya izin dari presiden apabila penegak hukum ingin melakukan pemeriksaan terhadap anggota DPR.

Putusan MK lahir setelah adanya permohonan pengujian Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Pasal ini mengatur, pemanggilan dan permintaan keterangan oleh penyidik terhadap anggota DPR yang melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Dalam amar putusan, Hakim Konstitusi menyatakan, frasa "persetujuan tertulis dari MKD" diubah menjadi frasa baru "persetujuan tertulis dari presiden".

Tidak saja anggota DPR, dalam putusannya MK juga menyatakan, untuk memeriksa anggota DPD dan MPR, penyidik harus dapat izin pemeriksaan dari presiden. Sementara izin pemeriksaan anggota DPRD provinsi harus dikeluarkan menteri dalam negeri dan izin pemeriksaan anggota DPRD kabupaten/kota dikeluarkan gubernur. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan, adanya izin itu dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum memadai dan bersifat khusus bagi anggota legislatif dalam melaksanakan fungsi dan hak konstitusionalnya.

Enam hal

Terdapat sedikitnya enam hal yang penting dicermati setelah putusan MK tentang keharusan izin untuk memeriksa anggota legislatif yang tersangkut masalah hukum.Pertama, MK dapat dinilai tak konsisten karena bertentangan dengan putusan sebelumnya yang juga berkaitan dengan izin pemeriksaan. Pada 26 September 2012, MK membatalkan ketentuan yang mengharuskan adanya izin dari presiden untuk memeriksa kepala daerah.

MK menyatakan, sepanjang masih dalam tahap penyelidikan dan penyidikan, penegak hukum dapat langsung memeriksa kepala daerah tanpa meminta izin presiden selaku kepala negara. MK juga beralasan, izin presiden pada tahap penyelidikan dan penyidikan berpotensi menghambat proses hukum dan secara tak langsung mengintervensi sistem penegakan keadilan. Persetujuan tertulis presiden untuk memeriksa kepala daerah dinilai tidak memiliki rasionalitas hukum yang cukup. Pasalnya, sebagai subyek hukum, kepala daerah pun harus mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Kedua, berpotensi menghambat penegakan hukum, termasuk upaya pemberantasan korupsi yang melibatkan anggota legislatif. Pada praktiknya, anggota legislatif, baik di tingkat pusat maupun di daerah, merupakan salah satu pelaku korupsi yang banyak diproses oleh penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) sepuluh tahun terakhir, terdapat sedikitnya 60 anggota DPR yang diproses secara hukum karena terlibat perkara korupsi. Data Kementerian Dalam Negeri tahun 2014 menyebutkan, terdapat 3.169 anggota DPRD se-Indonesia yang tersangkut perkara korupsi selama kurun waktu 2004-2014.

Ketiga, keharusan adanya izin dari presiden akan menambah masalah birokrasi. Belajar dari pengalaman sebelumnya ketika penyidik harus mendapatkan izin dari presiden untuk memeriksa kepala daerah, prosesnya harus melalui birokrasi yang cukup panjang. Misalnya, penyidik kejaksaan negeri ingin memeriksa kepala daerah yang tersangkut korupsi. Prosesnya, permintaan izin tak bisa langsung diajukan oleh kejaksaan negeri kepada presiden, tetapi harus melalui tahapan, antara lain, melalui kejaksaan tinggi, Kejaksaan Agung, lalu ke Sekretariat Negara dan kemudian baru diterima presiden. Artinya, jika ada keharusan izin, butuh waktu cukup lama bagi penegak hukum untuk memeriksa seorang pejabat publik.

Akibat proses birokrasi yang rumit, dalam catatan ICW, pada 2011, penuntasan sedikitnya 30 perkara korupsi yang melibatkan kepala daerah terhambat hanya karena menunggu persetujuan presiden.

Persoalan hukum baru

Keempat, berpotensi menimbulkan persoalan hukum baru. Putusan MK hanya menyatakan, pemeriksaan anggota legislatif harus seizin pihak eksekutif, tetapi menjadi persoalan apabila izin tertulis dari pihak eksekutif tak juga dikeluarkan meski sudah diajukan oleh penegak hukum. Muncul pertanyaan, apakah proses hukum terhadap anggota legislatif tetap dapat dilanjutkan ataukah harus dihentikan. Tidak juga disebutkan berapa lama pengajuan izin pemeriksaan harus segera diputuskan oleh pihak eksekutif. Hal ini berpotensi menimbulkan kemacetan ataupun intervensi terhadap penegakan hukum yang sedang berjalan.

Kelima, diskresi pemberian izin untuk pemeriksaan anggota Dewan akan sangat mungkin dipolitisasi atau disalahgunakan oleh pihak eksekutif. Secara tak langsung pihak eksekutif, yaitu presiden, mendagri, dan kepala daerah, yang berkuasa saat ini memiliki latar belakang kader parpol tertentu. Jika disalahgunakan, izin pemeriksaan anggota Dewan yang dianggap sebagai oposisi dari pihak eksekutif akan lebih cepat keluar jika dibandingkan anggota Dewan yang pro eksekutif yang berkuasa.

Keenam, tugas memberikan izin pemeriksaan kenyataannya akan menambah beban pihak eksekutif, dalam hal ini presiden, mendagri, dan gubernur. Padahal, tugas yang dimandatkan oleh konstitusi ataupun UU juga belum tentu sepenuhnya dapat terlaksana dengan baik, apalagi ditambah dengan tugas baru soal pemberian izin.

Lepas dari sejumlah polemik yang ada, putusan MK soal izin pemeriksaan anggota legislatif adalah sebuah realitas hukum yang harus dihadapi. Tak ada upaya hukum banding atas putusan itu karena, menurut hukum, putusan MK bersifat final dan mengikat.Selain mendorong revisi UU MD3, solusi sementara yang dapat dilakukan adalah Presiden Joko Widodo segera mengeluarkan kebijakan dalam bentuk instruksi presiden untuk percepatan pemberian izin pemeriksaan terhadap anggota legislatif yang tersangkut masalah hukum. Jika dalam 30 hari belum keluar izin pemeriksaan dari pejabat yang berwenang, penegak hukum dapat langsung memproses anggota legislatif tersebut.

EMERSON YUNTHO, ANGGOTA BADAN PEKERJA ICW

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 September 2015, di halaman 6 dengan judul "Izin Pemeriksaan Anggota Legislatif".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

ANALISIS POLITIK AZYUMARDI AZRA: Haji dan Politik, Indonesia dan Arab Saudi

Ketika musibah datang sepanjang pelaksanaan ibadah haji 1436 H/2015 M—robohnya mesin derek (crane) di Masjidil Haram, Mekkah, dan tabrakan antaranggota jemaah (stampede) di Mina yang menyebabkan lebih dari 1.100 anggota jemaah haji meninggal—ada di antara anggota jemaah haji dan kalangan pemerintah serta ulama Arab Saudi yang segera menyatakan: "Kejadian ini adalah takdir. Mereka yang wafat adalah syahid (martir)".

Kaum beriman tentu saja wajib percaya takdir. Namun, jika kejadian berujung maut yang terus berulang sejak musibah Terowongan Mina pada 1990 yang menyebabkan 1.426 orang meninggal, orang patut bertanya apakah kejadian mengenaskan itu lebih disebabkan kelalaian dan salah urus tata kelola ibadah haji di Arab Saudi dan di negara-negara lain tempat asal jemaah haji.

Jika sementara tidak melibatkan soal takdir, sedikitnya ada tiga faktor utama penyebab musibah. Pertama, ketiadaan atau kurangnya pengaturan yang jelas (prosedur tetap) arus lalu lintas jutaan anggota jemaah haji di lokasi rawan tabrakan antaranggota jemaah dari Mekkah menuju Arafah, Muzdalifah, Mina, dan kemudian kembali ke Mekkah.

Untuk menghindari tabrakan jemaah yang pergi-pulang dari melontar jumrah (jamak: jamarat) khusus, Pemerintah Arab Saudi sepatutnya menetapkan alokasi waktu bagi jemaah negara-negara. Kalaupun ada, ketentuan itu terlihat tidak ditegakkan tegas sehingga jemaah calon haji berbondong-bondong pergi melempar jumrah di pagi hari, waktu yang dianggap paling utama.

Kedua, dalam gelombang jemaah yang sangat banyak, petugas lapangan Arab Saudi tampak tidak siap dan tidak sigap memisahkan jemaah yang pergi dan yang pulang dari jamarat. Jumlah mereka di lapangan tidak memadai untuk bisa mengendalikan jemaah dalam jumlah demikian besar.

Ketiga, banyak anggota jemaah tidak atau kurang disiplin. Jemaah berombongan cenderung tidak disiplin dan lebih mendahulukan kepentingan sendiri daripada keamanan bersama dan kekhusyukan beribadah.

Memandang berbagai penyebab musibah, jelas perlu pembenahan tata kelola pelaksanaan prosesi ibadah haji di Arab Saudi dan pengelolaan jemaah di setiap negara. Hanya dengan perbaikan tata kelola, kemungkinan musibah pada musim haji selanjutnya dapat dikurangi jika tidak dapat dihilangkan sama sekali.

Harus diakui, Pemerintah Arab Saudi sangat sensitif dalam tata kelola penyelenggaraan ibadah haji yang tidak hanya bermakna keagamaan, tetapi juga politis. Bagi Pemerintah Arab Saudi, khususnya raja, pengelolaan ibadah haji adalah hak istimewa yang tidak dapat dipersoalkan karena raja adalah 'al-khadim al-haramayn—pelayan dua haram (Mekkah dan Madinah).

Bagi Arab Saudi, penyelenggaraan ibadah haji di Mekkah—yang dilengkapi ziarah dan shalat 40 waktu (shalat Arbain) di Madinah—sepenuhnya tanggung jawabnya. Oleh karena itu, Arab Saudi cenderung menutup diri dan tidak mau melibatkan negara-negara lain pengirim jemaah haji ke Tanah Suci. Bagi Arab Saudi, keikutsertaan negara lain adalah isu politik terkait posisinya vis-à-visnegara Islam atau mayoritas Muslim lain.

Penyelenggaraan ibadah haji tidak steril dari politik. Sejak akhir abad ke-19, misalnya, Mekkah dan Madinah menjadi pusat pertukaran dan penyebaran gagasan Pan-Islamisme menghadapi kolonialisme sejumlah negara Eropa terhadap banyak wilayah Muslim. Karena itu, negara kolonialis Eropa, seperti Belanda yang menjajah Indonesia, memiliki kantor konsulat di Jeddah untuk memantau jemaah calon haji dari Hindia Belanda.

Bagi Arab Saudi, ibadah haji memberikan posisi tawar penting dalam hubungan dengan dunia Muslim. Sejak 1960-an, Raja Faisal menjadikan ibadah haji sebagai kunci melobi negara-negara Muslim lain mewujudkan dan menguasai Organisasi Konferensi Islam (kini Organisasi Kerja Sama Islam/OKI).

Melalui OKI dan Rabitah 'Alam Islami, Arab Saudi mendapat dukungan negara-negara Muslim lain dalam pengelolaan haji tanpa harus mengompromikan kedaulatan penuhnya atas Haramayn. Negara-negara Muslim penganut Sunni umumnya tidak mempersoalkan kedaulatan Arab Saudi atas Haramayn. Saat sama, mereka berusaha mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Arab Saudi atas jemaah masing-masing.

Seperti dicatat Robert R Bianchi dalam bukunya, Guest of God: Pilgrimage and Politics in the Islamic World (2004), Pemerintah Arab Saudi akhirnya menemukan diri harus mendengar suara negara pengirim jemaah calon haji dalam jumlah besar. Negara-negara ini—Indonesia, Turki, Malaysia, Pakistan, dan Nigeria—yang mengembangkan tata kelola haji modern dengan institusi pengelola profesional melalui lobi berhasil mendorong Pemerintah Arab Saudi meningkatkan fasilitas dan pengelolaan ibadah haji.

Kepada pihak lain, Iran (dan Libya pada masa Khadafy) sudah sejak lama menggaungkan ide tentang "internasionalisasi" tata kelola ibadah haji di Haramayn; penyelenggaraan dilaksanakan institusi khusus bentukan bersama negara-negara Muslim. Presiden Iran Mohammad Khatami pada musim haji 1997 pernah mencoba menggalang internasionalisasi pengelolaan Mekkah dan Madinah. Usaha Khatami gagal karena ditolak Arab Saudi yang didukung kebanyakan negara Muslim lain.

Namun, gagasan Iran ini tak pernah padam. Untuk menangkis manuver Iran, Arab Saudi selalu berhasil mendapat dukungan dari negara-negara yang kian penting dalam OKI dan dunia internasional, yaitu Indonesia, Turki, Malaysia, Pakistan, dan Nigeria.

Musibah Mina (24/9) kembali memberikan momentum bagi Iran untuk berargumen, Arab Saudi gagal menyelenggarakan ibadah haji secara baik, aman, dan nyaman. Kini saatnya Pemerintah Arab Saudi menerima internasionalisasi pengelolaan Mekkah dan Madinah. Sekali lagi, gagasan tersebut pasti ditolak Arab Saudi dan mayoritas negara Muslim lain, termasuk Indonesia.

Indonesia dapat memainkan peran lebih kontributif untuk perbaikan tata kelola prosesi ibadah haji di Haramayn. Indonesia memiliki leverage untuk melakukan kemaslahatan umat Islam secara keseluruhan. Penerimaan Presiden Joko Widodo dalam kunjungan ke Arab Saudi (11/9) secara luar biasa oleh Raja Salman dapat menjadi entri penting bagi Indonesia untuk meningkatkan diplomasi dan lobi guna perbaikan pelaksanaan ibadah haji ke depan.

AZYUMARDI AZRA, GURU BESAR UIN SYARIF HIDAYATULLAH, JAKARTA; WAKIL KETUA DEWAN PERTIMBANGAN MUI (2015-2020)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 September 2015, di halaman 15 dengan judul "Haji dan Politik, Indonesia dan Arab Saudi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Manuver Rusia di Suriah (Kompas)

Sangat menarik mengikuti dan mencermati manuver, gerakan, Rusia di Suriah belakangan ini. Apa sesungguhnya kepentingan Rusia? Itulah pertanyaannya.

Sebenarnya kehadiran Rusia di Suriah bukanlah hal baru. Artinya, ada sejarah panjang yang bisa mengungkapkan kehadiran dan keterlibatan Rusia—sejak zaman Uni Soviet—di negeri itu. Namun, perkembangan situasi dan kondisi Suriah akhir-akhir ini telah mendorong Rusia untuk kembali memantapkan kehadirannya di Suriah.

Perkembangan di Suriah memang sangat memprihatinkan. Perang saudara yang bermula dari demonstrasi damai (2011) berubah menjadi revolusi bersenjata, lalu akhirnya menjelma menjadi konflik sektarian yang bahkan melibatkan petarung-petarung asing. Hasilnya: Suriah hancur lebur dan ribuan rakyatnya mengungsi mencari tempat yang aman—mayoritas ke Eropa—untuk mencari kehidupan yang damai dan memberikan pengharapan.

Pada situasi seperti itu, Rusia menegaskan sikapnya untuk hadir; untuk membela sekutu lamanya, Suriah, yang sekarang dipimpin Presiden Bashar al-Assad. Rusia menempatkan paling kurang 2.000 tentaranya didukung berbagai mesin perang.

Akan tetapi, Bashar hanyalah salah satu pihak yang terlibat dalam perang yang melibatkan banyak pihak itu. Suriah memang sudah terpecah-pecah menjadi banyak kelompok: ada Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), kelompok Kurdi, dan sejumlah milisi Islam lain. Mereka bertarung memperebutkan kekuasaan dan wilayah.

Selain itu, Bashar al-Assad tidak lagi menguasai seluruh wilayah di Suriah. Diperkirakan Bashar hanya menguasai seperempat wilayah. Meskipun rezim yang dia pimpin memperoleh dukungan dari Rusia dan Iran, kekuatan militernya diperkirakan makin menyusut.

Inilah yang dikhawatirkan Rusia. Kalau rezim Bashar al-Assad jatuh, satu-satunya pangkalan angkatan laut Rusia di Suriah pun bisa hilang. Sangat membahayakan kalau yang memenangi peperangan adalah NIIS. Keberhasilan NIIS akan memberikan inspirasi dan semangat kelompok-kelompok yang oleh Moskwa dianggap sebagai separatis, misalnya di wilayah Kaukasus.

Karena itu, ada kepentingan dari Moskwa untuk mempertahankan Bashar. Hal itu yang kini juga dikehendaki Amerika Serikat yang semula menginginkan penyingkiran Bashar. Untuk tercapainya tujuan itu, Rusia pun menggandeng negara-negara Arab, termasuk Israel, untuk bersama-sama memerangi kelompok NIIS.

Masuknya Rusia sebenarnya tepat waktu, yakni di saat situasi di lapangan seperti mandek dan sejumlah faksi bertemu untuk mencari jalan damai mendukung prakarsa damai PBB. Di sini, diharapkan Rusia berperan dan tidak mendorong perang lebih lanjut yang hanya akan membuat situasi semakin buruk, kehancuran Suriah.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 September 2015, di halaman 6 dengan judul "Manuver Rusia di Suriah".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger